Untuk
memahami makna tasawuf itu, memang diperlukan pengertian yang mendalam: yakni
maknanya dalam keseluruhan keberagamaan, dan kaitannya dengan penciptaan
kehidupan kemanusiaan yang lebih baik. Inilah yang disebut “tasawuf positif”,
sebuah tasawuf yang terbuka kepada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia untuk
pertumbuhan, keseimbangan dan harmoni. Dengan tasawuf positif ini, terbuka juga
kemungkinan dialog dengan berbagai ragam spiritualitas agama-agama, maupun
non-agama yang semuanya sebenarnya dewasa ini menghadapi masalah besar bersama
yaitu ancaman kemanusiaan!
Macam-macam tasawuf telah berkembang mengatasi krisis global
kemanusiaan. Karena itu dialog di antara sesama penganut tasawuf, walaupun dari
berbagai agama, bisa Menyumbangkan wacana untuk berbagai krisis kemanusiaan.
Apa yang disebut Hans Kung dengan “kebutuhan akan Etika global” tampaknya bisa
dipenuhi dengan kerja sama agama-agama, dimulai dari pandangan positif terhadap
hal yang paling dasar dari agamanya sendiri-the heart of religion, yaitu
hakikat tasawuf itu sendiri, yang bisa mempertemukan berbagai agama.
Dari sini kita bisa merambah kepada dialog bahkan passing over ke
arah agama lain, untuk menggali dan mendapatkan kekayaan perspektif rohani.
Kalau kita mengamati perkembangan kesadaran mengenai tantangan
etika global itu, perkembangan tasawuf (dalam hal ini “tasawuf antar-agama”)
memang telah melandasi usaha-usaha bersama mencari sebuah alternatif atas
pandangan kebudayaan modern yang mekanistik, sekularistik, ke arah cara pandang
yang lebih ekologis dan holistik. Di sini tasawuf bertemu dengan spiritualitas
agama-agama (Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, mistik Kristen, new age,
spiritualitas dari kearifan lokal dan seterusnya), yang bersama-sama diharapkan
dapat mendorong massa yang kritis untuk melihat dunia ini secara baru. Inilah
yang disebut Marilyn Ferguson sebagai The Aquarian Conspiracy
(konspirasi Aquarius) yang menjadi pertanda dari kebangkitan tasawuf di era
milenium.
Tasawuf memang mempunyai filsafat yang begitu mendalam mengenai spiritualitas
dan segi-segi religiusitas keberagamaan, sehingga harapan banyak kalangan
mengenai healthy-spirituality memang bisa diperoleh dari tasawuf positif ini,
di tengah ancaman “keberagamaan yang sakit” yang muncul karena otoritarianisme
dalam beragama-yang dalam tasawuf digambarkan sebagai nafs ammarah bi ‘l-su
(nafsu yang mendorong kepada keburukan, Q. 12:53).
Tasawuf menjanjikan penyelamatan. Apalagi di tengah berbagai
krisis kehidupan yang serba materialis, hedonis, sekular, plus kehidupan yang makin
sulit secara ekonomis maupun psikologis itu, tasawuf memberikan obat penawar
rohani, yang memberi daya tahan. Dalam wacana kontemporer, sering dibahas
tasawuf sebagai obat mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah
lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti
dan tujuan dari kehidupan di dunia ini. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan
hidup ini memang sangat tidak mengenakkan, dan membuat penderitaan batin. Maka
mata air tasawuf yang sejuk dan memberikan penyegaran dan penyelamatan pada
manusia-manusia yang terasing itu.
Mewujudkan cita-cita ini, bukanlah hal yang berlebihan. Apalagi
dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam
hubungan inter-disipliner. Beberapa contoh bisa disebut di sini, seperti
pertemuan tasawuf dengan fisika, dan sains modern yang holistik, yang membawa
kepada kesadaran arti kehadiran manusia dan tugas-tugas utamanya di muka
Bumi-segi yang kini disebut The Anthropic Principle; pertemuan tasawuf dengan
ekologi yang menyadarkan mengenai pentingnya kesinambungan alam ini dengan
keanekaragaman hayatinya, didasarkan pada paham kesucian alam; pertemuan
tasawuf dengan penyembuhan alternatif yang memberikan kesadaran bahwa masalah
kesehatan bukan hanya bersifat fisikal, tetapi lebih-lebih ruhani:
Tasawuf memberikan visi keruhanian untuk kedokteran, pertemuan
tasawuf dengan psikologi baru yang menekankan segi transpersonal; dan lain-lain
pertemuan interdisipliner yang intinya sama: semua menyumbang kesadaran bahwa
arti tasawuf dewasa ini bukan hanya pada kesalehan formal, tetapi justru
terutama etika global! Untuk itu tasawuf memang perlu wujud dalam cara hidup.
Cara hidup tasawuf bukan terutama benar dari formalnya, tetapi bagaimana
nilai-nilai tasawuf itu menjadi way of life!
Keunggulan umat Islam salah satunya adalah Ilmu Tasawwuf ini.
Dengan bertasawwuf yang merupakan suatu kekuatan batin untuk mempertebal iman,
tauhid, ladang amal, pembersih jiwa, serta untuk memperkuat Ihsan suatu cara
untuk lebih mengenal Allah dan mencari keridloan-Nya semata maka secara
otomatis akan meningkatkan akhlakul kariimah (Akhlak yang Mulia).
Menurut Prof. DR. Hamka bahwa: “Tasawwuf Islam telah timbul sejak
timbulnya Agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu
sendiri yaitu Nabi Muhammad Saw. Disauk airnya dari Qur’an sendiri”.
(Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad). Adapun ciri dari Sufi menurut Imam
Nawawi (620-676 H/1223-1278 M) dalam suratnya al-Maqasid at-Tawhid ada lima
ciri jalan sufi atau bertasawwuf yaitu: (1) menjaga kehadiran Allah dalam hati
pada waktu ramai dan sendiri, (2) mengikuti Sunah Rasullaah Saw. dengan
perbuatan dan kata, (3) menghindari ketergantungan kepada orang lain, (4)
bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, (5) selalu merujuk masalah kepada
Allah swt.
Melihat perkembangan Islam di Indonesia, belakangan ini memang
kelihatan ada pergeseran orientasi keberagamaan dari kesalehan formal kepada
kesalehan sufistik. Persis pada titik ini “demam tasawuf” yang sedang melanda
masyarakat Islam ini begitu mengkhawatirkan dan perlu mendapat perhatian.
Seperti kita tahu, Islam di Indonesia telah berkembang sedemikian rupa sehingga
kini tampak sangat formalis dalam beragama, seolah tidak ada lagi segi
religiusitasnya. Bentuk-bentuk kesalehan formal dan kesalehan individual begitu
menonjol.
Keberagamaan sangat semarak, rumah ibadah berkembang pesat di
mana-mana, jumlah orang naik haji meningkat, tetapi dari segi substansial,
sebagai bangsa, keberagamaan rupanya belum mencerminkan nilai-nilai Islam. Apa
yang disebut egalitarianisme, keadilan, kesadaran humanitarian, hormat kepada
hukum, dan hak-hak asasi manusia, kesadaran lingkungan, kebersihan, penghargaan
terhadap orang yang lemah, sikap inklusif dan pluralis, dan seterusnya, yang
jelas merupakan nilai-nilai dasar agama, ternyata tidak tercermin dalam
kehidupan masyarakat. Padahal kegairahan dalam beragama begitu tinggi, suasana
keagamaan begitu mencolok.
Nah, kita sangat mengkhawatirkan demam tasawuf belakangan ini.
Kalau demam tasawuf itu hanya kepanjangan saja dari kesalehan formal, lantas
apa maknanya? Antara tasawuf dan bukan tasawuf tidak ada bedanya: sama-sama
kesalehan formal yang tidak mencerminkan religiusitas! Demam tasawuf
mudah-mudahan tidak hanya merupakan kelanjutan dari kesalehan formal, yang
kalau hanya begini, ya ibarat buih dalam lautan: tidak bermakna apa-apa secara
sosial!
Oleh Karena itu, Ilmu Tasawwuf khususnya di Indonesia haruslah
mendapat perhatian penuh dari para alim ulama, sarjana, dan para cendekiawan
muslim lainnya untuk dapat penyelidikan dan pengupasan secara luas dalam bidang
Tasawwuf, untuk menciptakan mental yang Islami dan pemahaman spriritual dalam
Islam untuk menjauhkan dari sifat-sifat tercela dan munafik. Sekali lagi bahwa
Islam adalah agama Rahmatan lil ‘aalamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar