Setiap Jum’at kita selalu mendengarkan khutbah yang menganjurkan umat Islam untuk takut kepada Allah. Anjuran “takut kepada Allah” yang disampaikan semua oleh khatib Jum’at merupakan terjemahan dari kata Arab ittaqullah (bisa diterjemahkan “takutlah kepada Allah”).
Secara kebahasaan memang tidak
salah. Kata ittaqu yang berakar kata dari “taqwa”, salah satu artinya memang
“takut”, sebagai sinonim dari kata khauf. Kata “taqwa” kemudian diserap ke
dalam Bahasa Indonesia menjadi “takwa”.
Secara tradisional, para ulama,
diantaranya al-Jurjani, mimtitsaalu awaamiri Allah
wa ijtinaabu nawaahiihi (melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya). Karena takut kepada Allah, kita harus melaksanakan
segala ajarannya berupa perintah dan larangan. Tetapi mengapa ketaatan harus
didasarkan pada ketakutan? Mengapa Allah harus ditakuti? Mungkin ada yang
menjawab, karena jika tidak, Allah akan menyiksa kita di neraka. Jika begitu,
ketaatan itu karena takut kepada neraka, bukan kepada Allah sendiri.
Dalam banyak ayat al-Qur’an dan
Hadis ditemukan perintah dan larangan yang dikaitkan dengan siksa neraka yang
tiada banding dan kenikmatan surga yang tiada tara . Karena itukah manusia
harus beriman dan beramal shalih? Lalu apa arti penting Allah sebagai Dzat yang
harus diimani?
Dalam konteks inilah kita bisa
memahami tingkat-tingkat keimanan, bahkan fluktuasinya (yazdad wa yanquz)
seperti diterangkan Nabi Saw. dalam salah satu hadisnya. Keberadaan neraka dan
surga serta Allah yang sangat berkuasa atas segala hal memiliki makna penting
bagi keimanan tingkat paling dasar. Karena dengan kualitas iman seperti ini,
pelaksanaan amal shalih memerlukan motivasi berupa ancaman dan imbalan. Hal ini
disebabkan oleh kesadaran terhadap ketaatan atas ajaran agama masih sangat
sederhana. Seperti ilustrasi tahapan moralitas Lawrence Kohlberg, seorang anak
akan berbuat baik jika diberi janji imbalan atau diancam dengan suatu ancaman.
Karena kesadaran atas moralitas sebagai sesuatu yang harus diwujudkan tanpa
imbalan atau ancaman sama sekali belum merasuki kesadarannya.
Amal shalih yang didasarkan pada
ketakutan kepada Allah dengan siksa neraka atau balasan surga seperti kepatuhan
anak-anak kepada orang tua yang disebabkan oleh ancaman atau imbalan. Tetapi
dalam konteks keimanan, ketakutan semacam ini selalu penting, karena keimanan
selalu mengalami fluktuasi. Pada suatu saat, beramal shalih didorong oleh
motivasi kesadaran akan moralitas yang tulus, tanpa keinginan mendapatkan
imbalan. Tetapi pada saat yang lain, misalnya untuk menghindari perbuatan tak
bermoral sementara kesadaran moralitas tulus tidak kuat lagi, ketakutan akan
ancaman siksa bisa menjadi benteng terakhir yang dapat menjaganya dari tindakan
tak bermoral.
Sebagai tingkat keimanan yang paling
rendah, tentu ia harus selalu ditingkatkan. Ketakutan kepada Allah dengan
siksanya memang beralasan, terutama bagi masyarakat awam yang mengenal Allah
dari informasi yang diterima dari orang lain, umumnya dari ulama. Mereka tidak
mengenal-Nya sendiri melalui penghayatan terhadap semua ibadah yang dilakukan
serta segala ciptaan-Nya. Seperti kita mendengar tentang tetangga seorang
jendral, yang konon sangat disiplin, tak pernah senyum, kuat dan keras. Kita
hanya mengenal dari cerita orang dan belum mengenal sendiri. Setelah kenal
sendiri, kenal baik, akrab dan saling mengerti sehingga menjadi sahabat karib,
gambaran menakutkan itu akan sirna dan berubah menjadi perkenalan yang
menyenangkan. Kita akan merasakan sendiri kebaikannya sehingga selalu merindukannya.
Jadi tidak berlebihan jika ada seorang pujangga mengatakan duuna al-ta’aruf
dafnul mahabbah (tak kenal maka tak sayang).
Allah memang sering
diperkenalkan sebagai Dzat Yang Maha Kuasa dan punya otoritas mutlak, karena
itu wajar ditakuti. Tetapi dengan penghayatan yang intens melalui ibadah,
perenungan terhadap segenap alam sebagai kenikmatan yang diberikan dan sebagai
“wahyu berupa ciptaan” (al-Qur’an al-takwiny, meminjam istilah Sayyed Hossein
Nasr), selalu berupaya berbuat baik kepada orang lain, sedikit demi sedikit
Allah akan hadir dalam sanubari kita sebagai Dzat yang tidak perlu ditakuti.
Pengenalan ini dapat terus ditingkatkan dengan penyucian diri (tazkiyah
al-nafs) dengan ibadah dan beramal shalih sehingga kehadiran Allah semakin
terasa dalam diri.
Dengan merasakan kehadiran Allah
dalam diri, kita akan tahu bahwa Allah Maha Pengasih (al-Rahman al-Rahim), Maha
Bijaksana (al-Hakim), Maha Lembut (al-Lathif), Maha Adil (al-‘Adl) dan segenap
sifat-sifat baik-Nya. Ternyata Allah tidak perlu ditakuti dan memang tidak
menakutkan bagi hamba Allah yang telah “kenal dekat”, tidak hanya tahu berdasar
cerita orang lain. Pengetahuan tentang sifat Allah seperti di atas tidak cukup
hanya berdasar informasi, dari al-Qur’an sekalipun. Karena keterangan-keterangan
itu hanya bersifat informasi awal dan belum sepenuhnya berarti. Seperti
mendengar tentang api dengan panas sekian derajat celcius, tanpa pernah
merasakan terbakar atau bersentuhan lansung dengannya.
Para sufi telah menunjukan
keimanan demikian. Bagi mereka, neraka dan surga tidak penting. Bahkan Rabi’ah
al-‘Adawiyah, seorang sufi perempuan dengan konsep mahabbah, dengan tegas
mengatakan bahwa keimanan karena takut neraka atau surga adalah omong kosong.
Kerinduan kepada Allah adalah segalanya. Segala yang diperbuat didorong oleh
kecintaan dan keinginan untuk terus bersama-Nya. Yang paling ditakutkan para
sufi adalah berpisah dengan Allah. Karena penderitaan terdalam adalah berpisah
dengan Allah. Karena itu, mereka selalu berdzikir untuk selalu mendekatkan diri
dan tidak ditinggalkan. Bagi kaum sufi, lupa kepada Allah sedetik pun adalah
dosa, sehingga harus bertobat untuk tidak melupakannya lagi. Dzunnun al-Mishri,
seorang sufi besar dizamannya mengatakan bahwa tobatnya masyarakat kebanyakan
adalah taubat dari dosa, tetapi taubatnya orang-orang khusus adalah taubat dari
lupa (Taubat al-‘awaam min al-dzunuub wa taubat al-khawaash min al-ghafalah).
Keinginan untuk bersama yang
dilatar belakangi dengan rasa cinta dan rasa bahagia ketika merasa bersama-Nya
adalah perasaan yang dicapai dari perjalanan panjang penyucian hati berupa
pelaksanaan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan tulus.
Mereka adalah orang-orang yang “mengenal Allah” (‘arif bi Allah), bukan sekedar
tahu berdasar informasi atau berdasar logika semata. Keduanya sama sekali tidak
memadai untuk mengenal Allah dengan lebih baik. Orang yang telah “mengenal
Allah” tidak lagi merasa takut, tetapi merasa tentram dan bahagia, merasakan
langsug perlindungan-Nya. Ketakutan yang bersisa adalah takut berpisah
dengan-Nya. Karena itu segala amal shalih yang dilakukan sebatas untuk
mendekatkan diri kepada-Nya, bukan karena takut neraka dan ingin surganya.
Pada tingkat keimanan seperti
ini, di samping rasa cinta kepada Allah, amal shalih dan prilaku luhur akan
menjadi karakter pribadinya. Ia akan melakukan segala kebaikan dan menghindari
kejahatan tanpa harus berjuang keras. Karena dorongan pelbagai kepentingan yang
ditiupkan hawa nafsu tidak lagi mengendalikan dirinya. Tak ada lagi tarik
menarik antara dorongan baik dan jahat dalam dirinya. Bahkan segala yang ada di
dunia tidak menarik lagi sehingga ia tidak lagi berhasrat menguasainya. Ia
hanya ingin melakukan amal shalih sebanyak-banyaknya. Semua itu, ia
persembahkan kepada Dzat yang dicintai, yakni Allah. Sebagaimana lazimnya,
melakukan sesuatu untuk “yang dicintai” akan begitu menyenangkan dengan
motivasi yang meluap-luap. Demikian juga mereka telah mengenal dan mencintai
Allah. Mereka sangat bersemangat dan sangat senang melakukan amal shalih demi Allah,
Dzat yang begitu dicintainya. Mengerjakan tidak semudah mengucapkan, bukan?‘Asa Allah an Yahdiyana Ajma’ien, Amien……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar