Minggu, 03 November 2013

Dari Takut Menuju Rindu


Setiap Jum’at kita selalu mendengarkan khutbah yang menganjurkan umat Islam untuk takut kepada Allah. Anjuran “takut kepada Allah” yang disampaikan semua oleh khatib Jum’at merupakan terjemahan dari kata Arab ittaqullah (bisa diterjemahkan “takutlah kepada Allah”).
Secara kebahasaan memang tidak salah. Kata ittaqu yang berakar kata dari “taqwa”, salah satu artinya memang “takut”, sebagai sinonim dari kata khauf. Kata “taqwa” kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “takwa”.
Secara tradisional, para ulama, diantaranya al-Jurjani, mimtitsaalu awaamiri Allah wa ijtinaabu nawaahiihi (melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya). Karena takut kepada Allah, kita harus melaksanakan segala ajarannya berupa perintah dan larangan. Tetapi mengapa ketaatan harus didasarkan pada ketakutan? Mengapa Allah harus ditakuti? Mungkin ada yang menjawab, karena jika tidak, Allah akan menyiksa kita di neraka. Jika begitu, ketaatan itu karena takut kepada neraka, bukan kepada Allah sendiri.
Dalam banyak ayat al-Qur’an dan Hadis ditemukan perintah dan larangan yang dikaitkan dengan siksa neraka yang tiada banding dan kenikmatan surga yang tiada tara . Karena itukah manusia harus beriman dan beramal shalih? Lalu apa arti penting Allah sebagai Dzat yang harus diimani?
Dalam konteks inilah kita bisa memahami tingkat-tingkat keimanan, bahkan fluktuasinya (yazdad wa yanquz) seperti diterangkan Nabi Saw. dalam salah satu hadisnya. Keberadaan neraka dan surga serta Allah yang sangat berkuasa atas segala hal memiliki makna penting bagi keimanan tingkat paling dasar. Karena dengan kualitas iman seperti ini, pelaksanaan amal shalih memerlukan motivasi berupa ancaman dan imbalan. Hal ini disebabkan oleh kesadaran terhadap ketaatan atas ajaran agama masih sangat sederhana. Seperti ilustrasi tahapan moralitas Lawrence Kohlberg, seorang anak akan berbuat baik jika diberi janji imbalan atau diancam dengan suatu ancaman. Karena kesadaran atas moralitas sebagai sesuatu yang harus diwujudkan tanpa imbalan atau ancaman sama sekali belum merasuki kesadarannya.
Amal shalih yang didasarkan pada ketakutan kepada Allah dengan siksa neraka atau balasan surga seperti kepatuhan anak-anak kepada orang tua yang disebabkan oleh ancaman atau imbalan. Tetapi dalam konteks keimanan, ketakutan semacam ini selalu penting, karena keimanan selalu mengalami fluktuasi. Pada suatu saat, beramal shalih didorong oleh motivasi kesadaran akan moralitas yang tulus, tanpa keinginan mendapatkan imbalan. Tetapi pada saat yang lain, misalnya untuk menghindari perbuatan tak bermoral sementara kesadaran moralitas tulus tidak kuat lagi, ketakutan akan ancaman siksa bisa menjadi benteng terakhir yang dapat menjaganya dari tindakan tak bermoral.
Sebagai tingkat keimanan yang paling rendah, tentu ia harus selalu ditingkatkan. Ketakutan kepada Allah dengan siksanya memang beralasan, terutama bagi masyarakat awam yang mengenal Allah dari informasi yang diterima dari orang lain, umumnya dari ulama. Mereka tidak mengenal-Nya sendiri melalui penghayatan terhadap semua ibadah yang dilakukan serta segala ciptaan-Nya. Seperti kita mendengar tentang tetangga seorang jendral, yang konon sangat disiplin, tak pernah senyum, kuat dan keras. Kita hanya mengenal dari cerita orang dan belum mengenal sendiri. Setelah kenal sendiri, kenal baik, akrab dan saling mengerti sehingga menjadi sahabat karib, gambaran menakutkan itu akan sirna dan berubah menjadi perkenalan yang menyenangkan. Kita akan merasakan sendiri kebaikannya sehingga selalu merindukannya. Jadi tidak berlebihan jika ada seorang pujangga mengatakan duuna al-ta’aruf dafnul mahabbah (tak kenal maka tak sayang).
Allah memang sering diperkenalkan sebagai Dzat Yang Maha Kuasa dan punya otoritas mutlak, karena itu wajar ditakuti. Tetapi dengan penghayatan yang intens melalui ibadah, perenungan terhadap segenap alam sebagai kenikmatan yang diberikan dan sebagai “wahyu berupa ciptaan” (al-Qur’an al-takwiny, meminjam istilah Sayyed Hossein Nasr), selalu berupaya berbuat baik kepada orang lain, sedikit demi sedikit Allah akan hadir dalam sanubari kita sebagai Dzat yang tidak perlu ditakuti. Pengenalan ini dapat terus ditingkatkan dengan penyucian diri (tazkiyah al-nafs) dengan ibadah dan beramal shalih sehingga kehadiran Allah semakin terasa dalam diri.
Dengan merasakan kehadiran Allah dalam diri, kita akan tahu bahwa Allah Maha Pengasih (al-Rahman al-Rahim), Maha Bijaksana (al-Hakim), Maha Lembut (al-Lathif), Maha Adil (al-‘Adl) dan segenap sifat-sifat baik-Nya. Ternyata Allah tidak perlu ditakuti dan memang tidak menakutkan bagi hamba Allah yang telah “kenal dekat”, tidak hanya tahu berdasar cerita orang lain. Pengetahuan tentang sifat Allah seperti di atas tidak cukup hanya berdasar informasi, dari al-Qur’an sekalipun. Karena keterangan-keterangan itu hanya bersifat informasi awal dan belum sepenuhnya berarti. Seperti mendengar tentang api dengan panas sekian derajat celcius, tanpa pernah merasakan terbakar atau bersentuhan lansung dengannya.
Para sufi telah menunjukan keimanan demikian. Bagi mereka, neraka dan surga tidak penting. Bahkan Rabi’ah al-‘Adawiyah, seorang sufi perempuan dengan konsep mahabbah, dengan tegas mengatakan bahwa keimanan karena takut neraka atau surga adalah omong kosong. Kerinduan kepada Allah adalah segalanya. Segala yang diperbuat didorong oleh kecintaan dan keinginan untuk terus bersama-Nya. Yang paling ditakutkan para sufi adalah berpisah dengan Allah. Karena penderitaan terdalam adalah berpisah dengan Allah. Karena itu, mereka selalu berdzikir untuk selalu mendekatkan diri dan tidak ditinggalkan. Bagi kaum sufi, lupa kepada Allah sedetik pun adalah dosa, sehingga harus bertobat untuk tidak melupakannya lagi. Dzunnun al-Mishri, seorang sufi besar dizamannya mengatakan bahwa tobatnya masyarakat kebanyakan adalah taubat dari dosa, tetapi taubatnya orang-orang khusus adalah taubat dari lupa (Taubat al-‘awaam min al-dzunuub wa taubat al-khawaash min al-ghafalah).
Keinginan untuk bersama yang dilatar belakangi dengan rasa cinta dan rasa bahagia ketika merasa bersama-Nya adalah perasaan yang dicapai dari perjalanan panjang penyucian hati berupa pelaksanaan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan tulus. Mereka adalah orang-orang yang “mengenal Allah” (‘arif bi Allah), bukan sekedar tahu berdasar informasi atau berdasar logika semata. Keduanya sama sekali tidak memadai untuk mengenal Allah dengan lebih baik. Orang yang telah “mengenal Allah” tidak lagi merasa takut, tetapi merasa tentram dan bahagia, merasakan langsug perlindungan-Nya. Ketakutan yang bersisa adalah takut berpisah dengan-Nya. Karena itu segala amal shalih yang dilakukan sebatas untuk mendekatkan diri kepada-Nya, bukan karena takut neraka dan ingin surganya.
Pada tingkat keimanan seperti ini, di samping rasa cinta kepada Allah, amal shalih dan prilaku luhur akan menjadi karakter pribadinya. Ia akan melakukan segala kebaikan dan menghindari kejahatan tanpa harus berjuang keras. Karena dorongan pelbagai kepentingan yang ditiupkan hawa nafsu tidak lagi mengendalikan dirinya. Tak ada lagi tarik menarik antara dorongan baik dan jahat dalam dirinya. Bahkan segala yang ada di dunia tidak menarik lagi sehingga ia tidak lagi berhasrat menguasainya. Ia hanya ingin melakukan amal shalih sebanyak-banyaknya. Semua itu, ia persembahkan kepada Dzat yang dicintai, yakni Allah. Sebagaimana lazimnya, melakukan sesuatu untuk “yang dicintai” akan begitu menyenangkan dengan motivasi yang meluap-luap. Demikian juga mereka telah mengenal dan mencintai Allah. Mereka sangat bersemangat dan sangat senang melakukan amal shalih demi Allah, Dzat yang begitu dicintainya. Mengerjakan tidak semudah mengucapkan, bukan?‘Asa Allah an Yahdiyana Ajma’ien, Amien……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar