Bagian II
Setelah kami jelaskan penafsiran hadis-hadis terkait dengan
bid'ah, maka berikut ini akan dikaji qorinah/ indikator-indikator yang
memperkuat penafsiran tersebut.
B. Penghimpunan Al Qur’an dalam Mushaf
Umar r.a. mendatangi Abu Bakar r.a dan berkata: “Wahai kholifah
Rasulillah SAW, saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah
mengorbankan para qurro’ (penghafal Al Qur’an), bagaimana kalau engkau
menghimpun Al Qur’an dalam satu mushaf?”. Khalifah menjawab,”Bagaimana kita
akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?”, Umar
berkata,”Demi Alloh, ini baik!...”. Hadis
ini diriwayatkan oleh al Bukhori.
Pernyataan khalifah, bahwa hal ini tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah, menunjukkan bahwa aktifitas tersebut adalah bid’ah
dalam urusan agama,karena kalau itu hanya dalam urusan dunia tentu khalifah
tidak akan menolak dengan perkataan itu. Dan dalam
hadis tersebut, baik Abu Bakar maupun Zaid bin Tsabit akhirnya menerima usul
dari Umar, sekalipun itu bid’ah dalam urusan agama.
Dan kalau ada yang berkata bahwa mereka yang melakukan aktifitas
tersebut adalah kalangan sahabat, dan apa yang mereka lakukan tidak masuk
kategori bid’ah, berdasarkan hadis Nabi SAW. “Berpegang teguhlah
kalian dengan sunnahku dan sunnah Al khulafaur Rasyidin yang memperoleh
petunjuk…” HR.Ahmad, Abu Dawud ibn Majah, At Tirmidzi, dan ia mengatakan
hasan shohih.
Dalam hadis itu ada perintah dari Nabi SAW untuk mengikuti tuntunan
para khalifah yang selalu mendapatkan petunjuk ilahi. Namun yang perlu dikaji
dari hadis tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Para khalifah tersebut adalah tidak terjaga dari kesalahan (tidak ma’shum
).Dan dari aspek itu,tidak berbeda dengan ulama sebagai pewaris para nabi,baik
dari generasi tabi’in,tabi’ittabi’n hingga akhir jaman.
2.
Adalah hal yang baru (bid’ah) jika membatasi jumlah para khalifah itu
hanya pada empat orang sahabat saja. Karena tidak diketemukan dari lisan Nabi
SAW tentang batasan tersebut.Bahkan Abdullah Ahmad berkata, telah berkata
kepada kami Muhammad bin Abi Bakar al Maqdisi, berkata kepada kami Yazid
bin Zurai’, berkata kepada kami Ibnu ‘Aun dari Sya’bi dari Jabir bin Samurah
dari Rasulullah dia bersabda, ”Perkara ini (agama ini) akan tetap jaya
melawan orang yang memusuhinya selama dua belas masa kekhilafahan yang semuanya
berasal dari kalangan Quraisy” (HR.Al Bukhari dan Muslim dan yang lainnya). Bahkan ada ulama
yang menambahi dengan Umar bin Abdul ‘Aziz (717 – 720 M) pada masa dinasti
Mu’awiyyah. Dan tidak menutup kemungkinan penambahan-penambahan lainnya.Lihat
Tarikh Khulafa’,karya imam As Suyuthi.
3.
Maka bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al Khulafa’ dalam hadis
tersebut adalah umum. Maksudnya siapa saja yang mutamassik (berpegang
teguh) dengan Al Qur’an dan as sunnah dapat dikategorikan dengan Al khulafa Ar
Rasyidin al Mahdiyyin. Kajian ini berdasarkan hadis Ibnu ‘Asakir dari Al Hasan
ibn Ali r.a., dimana Rasulullah SAW pernah bersabda:“Rahmat Alloh atas para
khalifahku”, ada yang bertanya : “Siapa para khalifahmu ya Rasulullah?”.Beliau
menjawab :”Mereka yang mencintai sunnahku dan mengajar-kannya kepada manusia” (Muhammad Samiri; an Nash, Mafhum bid’ah
baina adldliq wa as-sa’ah, hal.19)
Jadi para ulama ahli Al Qur’an dan ahli hadis yang selalu membela
keduanya dalam berdakwah adalah para khalifah Nabi SAW juga.
Dan Jika dikatakan bahwa Abu Bakar, Umar dan Zaid bin Tsabit
diperkenankan berkreasi dalam urusan agama, sekalipun tidak dilakukan oleh Nabi
SAW,karena mereka termasuk Al Khulafau Ar Rasyidah berdasarkan hadis tersebut.
Maka berdasarkan hadis yang sama, sah-sah saja para ulama paska sahabat
melakukan kreasi (ijtihad) terhadap urusan-urusan agama dengan tetap berpegang
teguh pada Al Qur’an dan hadis.
B. Sholat Taraweh pada Masa Umar
Abdurrahman bin Abdul al Qori berkata, ”Saya keluar pada
suatu malam bersama Umar bin Al Khattab. Ternyata orang-orang di masjid
berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang sholat sendirian, ada juga
yang menjadi imam sholat dari beberapa orang. Lalu Umar berkata,”Saya
berpendapat, seandainya mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih
baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam yang lain,
aku ke masjid lagi bersama Umar bin al Khattab, dan mereka melaksanakan sholat
bermakmum kepada seorang imam.Menyaksikan hal itu, Umar berkata : ‘Ni’matil
bid’ah hadzihi, sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan sholat diakhir
malam lebih baik daripada di awal malam ‘. Pada waktu itu, orang-orang
menunaikan taraweh di awal malam “ (HR.Al Bukhori
& Al Malik, al Muwaththo’, I/114).
Dari hadis ini bisa disimpulkan dan ditarik pengertiannya, bahwa
Rasulullah SAW tidak pernah menganjur-kan sholat taraweh secara bareng-bareng
(berjamaah). Beliau hanya melakukan beberapa malam saja dan kemudian
meninggalkannya. Itu artinya, Rasulullah tidak melakukan secara rutin tiap
malam. Jadi apa yang dilakukan oleh Umar r.a. adalah sesuatu yang tergolong bid’ah
dalam urusan agama, namun hasanah (baik ), terpuji. Karena itu beliau
berkata : Ni’matul bid’ah hadzihi (Sebaik-baik bid’ah adalah ini).
Ada sekelompok orang yang mengomentari bahwa perkataan Umar “Ni’matul
bid’ah hadzihi”, adalah yang dimaksud dengan bid’ah disini adalah bid’ah
dalam pengertian bahasa, bukan dalam pengertian agama. Setiap yang mempunyai
dasar rujukan (dalil) dalam agama, kemudian hal tersebut diistilahkan sebagai
bid’ah, maka yang dimaksud adalah bid’ah menurut pengertian bahasa (Hammud bin
Abdullah al Mathor, hal 78). Karena apa yang dilakukan oleh Umar bin al Khattab
sudah pernah dilakukan Nabi, sekalipun hanya beberapa malam, Umar hanya
menghidupkan kembali. Demikian pula mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf
itu, sejak jaman Nabi sudah ada perintah penulisannya. Jadi, yang dilakukan
oleh Umar dan Abu Bakar tersebut juga hanya sekedar membangkitkan apa yang
sudah ada sebelumnya.
Menanggapi komentar mereka tersebut.Di bawah ini dipaparkan berbagai
analisa proporsional sebagai berikut :
1.
Justru Hammud berpendapat bahwa segala yang ada dasar rujukan (dalil) dalam
agama itu bisa disebut bid’ah, sekalipun dalam pengertian bahasa, sangat bisa
diterima dan masuk akal., Karena nantinya konsekuensi logis dari pendapatnya,
ia harus menerima kalau tahlilan, dzikir jama’i, do’a jama’i, dzikir bersama
setelah sholat fardhu adalah bid’ah lughowiyyah (dalam pengertian
bahasa) karena para ulama yang melakukan hal tersebut juga ada dalilnya.
2.
Kalau yang dilakukan Umar dalam sholat taraweh, itu sekedar menghidupkan
kembali terhadap apa yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW, tentu pendapat ini
mengada-ada.
a.
Karena yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, tidak dalam konteks penganjuran
untuk berjamaah. Sehingga pada waktu itu ada sahabat yang sholat sendiri-sendiri
atau berjamaah.Itu artinya,apa yang dilakukan oleh Umar bukanlah menghidupkan
kembali apa yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW. Karena
beliau memang tidak pernah menganjurkan sholat tersebut dengan berjamaah dan
dengan roka’at tertentu.
b.
Pada waktu itu Rasulullah tidak merutinkannya tiap malam selama bulan Romadlon. Dan juga tidak
menetapkannya.
c.
Kalau sholat taraweh berjamaah itu sudah dianjurkan oleh Nabi, kenapa
sahabat-sahabatnya tidak segera melakukannya. Bahkan pada masa Abu Bakar juga
tidak melakukan anjuran tersebut. Padahal sangat diketahui kepribadian sahabat
terhadap hal-hal yang baik dari Rasulullah akan bersegera melaksanakannya.
d.
Dan perkataan Umar, “Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah’ adalah memiliki makna
yang berkebalikan. Artinya, bahwa sebelumnya (terjadinya sholat taraweh secara
sendiri-sendiri) adalah bid’ah yang tidak baik (bi’sati bid’ah)
e.
Dan yang terakhir, kalimat bid’ah yang diucapkan oleh Umar bin Khottob
menunjukkan bahwa sholat berjamaah yang dianjurkan olehnya, memang benar-benar
tidak pernah terjadi sebelumnya.Karena bid’ah dalam pengertian bahasa berarti
hal-hal baru yang belum pernah ada.
Adapun pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf dianggap sudah ada
perintah sebelumnya (berupa perintah penulisan ayat-ayat al Quran), sehingga
apa yang diusulkan oleh Umar kepada Abu Bakar r.a. adalah bukan hal yang baru
dalam agama. Pendapat ini bertentangan dengan hadis itu sendiri, dimana Abu
Bakar menolak usulan Umar dengan perkataan, ”Kaifa naf’al syai’an
lam yaf’al hu Rasulullah SAW?”, bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang
belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?. Bagaimana mungkin ada pendapat
diatas kalau Abu bakar sendiri menyatakan usulan Umar tersebut dengan kalimat
‘sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi’. Dan kalau memang itu sudah ada
perintah dari Nabi SAW, tentu Umar tidak menjawab penolakan Abu Bakar tersebut
dengan kalimat Wallahi, hadza khoir, Demi Alloh, ini baik.
Seharusnya ia menjawab dengan kalimat, hadza ma amarana Rasulullah SAW, ini adalah sesuatu yang sudah diperintahkan oleh Nabi SAW. Jadi,
dari uraian dua kasus yang terjadi pada jaman sahabat ini, maka hadis-hadis
tentang bid’ah diatas (kullu bid’atin dlolalah dan ma laisa minhu) tidak
boleh dipahami hanya pada teksnya saja. Karena setelah dikontekskan dengan
hadis-hadis dalam dua kasus pada jaman sahabat tersebut, bisa dipahami kalau
Imam Nawawi mengartikan ‘kullu bid’atin dlolalah’ adalah kalimat umum
yang harus dibatasi maknanya. Artinya, yang dimaksud dengan semua bid’ah itu
sesat adalah bid’ah yang bertentangan dan tidak berdasar pada hal-hal pokok
dalam syari’at Alloh SWT. Dan itulah yang disebut dengan bid’ah sayyi’ah
atau madzmummah (tercela). Dan hal-hal yang baru (bid’ah) namun tidak
bertentangan dengan syari’at bahkan bersesuaian, karena ada rujukan dalilnya,
maka ini bisa dikategorikan sebagai bid’ah yang hasanah (baik). Dibawah
ini akan dibahas pendapat sebagian para ulama Ahli Sunnah Wal Jama’ah terkait
dengan pembagian bid’ah pada dua hal tersebut .(Dinukil, dari buku, Membongkar
kebohongan buku’Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik’)
Pendapat
Beberapa Ulama dalam membagi bid’ah
1.
Imam Nawawi dalam
kitabnya Tahdzib al asma’ wa al lughot, jilid 3, hal 22, mengatakan, Bid’ah terbagi menjadi dua hal, yang hasanah (baik) dan yang qobihah (buruk).
2. Al Hafizh ibn al ‘Arabi al Maliki
Nama
lengkapnya adalah Abu Bakar al ‘Arabi al Maliki, seorang pakar hadis yang
bergelar al Hafizh, mufassir dan pakar fiqh dalam madzab Imam al Maliki. Dalam
kitabnya ‘Aridhat al Ahwadzi Syarh Jami’ al Tirmidzi jilid 10 halaman 417,
mengatakan, Umar berkata, Ini sebaik-baik bid’ah. Bid’ah yang dicela
hanyalah semua bid’ah yang bertentangan dengan as sunnah. Dan perkara baru yang
dicela adalah yang mengajak kepada kesesatan.
3. Al Imam Muhammad bin Isma’il al Shon’ani
Dalam
kitabnya Subulus Salam, Syarh Bulugh al Maram jilid 2 halaman 48, mengatakan, Bid’ah
menurut bahasa adalah sesuatu yang dilakukan tanpa melihat contoh sebelumnya.
Dan yang dimaksud dengan bid’ah disini adalah sesuatu yang dilakukan tanpa
didahului adanya syara’ dari Al Qur’an dan as sunnah. Dan sungguh ulama telah
membagi bid’ah menjadi lima bagian :
1. Bid’ah wajib, seperti menjaga
ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok
sesat dengan (tetap) menegakkan dalil-dalil.
2. Bid’ah mandubah, seperti membangun
madrasah
3. Bid’ah mubahah, seperti bebasnya dalam
macam-macam makanan dan kebanggan pada baju yang bagus
4. Bid’ah
yang diharamkan
5. Bid’ah
yang dimakruhkan, dan keduanya sudah cukup jelas contoh-contohnya. Adapun
hadis,”Semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata yang bersifat umum dimana
pemahamannya dibatasi.”
4. Ibn Hajar al ‘Asqolani
Beliau
adalah seorang pakar hadis yang bergelar al Hafizd. Diakui kepakaran hadisnya,
baik di Timur maupun Barat. Dalam kitabnya Fath al Bari jilid 4 halaman 253,
mengatakan tentang bid’ah sebagai berikut; Dalam
konteks bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dilakukan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Dan dalam konteks syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan dari
sunnah, sehingga ia menjadi tercela. Hakekatnya, jika bid’ah itu masuk dalam
wilayah yang dianggap baik oleh syara’, maka itu bid’ah yang baik. Dan jika
bid’ah tersebut masuk dalam wilayah yang dianggap jelek oleh syara’, maka itu
bid’ah yang buruk dan kalau tidak masuk pada keduanya, maka itu masuk pada
wilayah (bagian) yang mubah (boleh). Dan bid’ ah itu dapat terbagi
menjadi lima hukum”.
5. Al Imam al Syaukani
adalah
Muhammad bin Ali al Syaukani, ahli hadis dan ilmu fiqh. Beliau juga membagi bid’ah
dengan mengutip pernyataan Ibn Hajar dalam kitabnya Nail al Author jilid 3
halaman 25, tanpa memberinya komentar.(Silahkan pembaca meruju’ buku,Membongkar
Kebohongan Buku ‘Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik,yang di
susun Tim Bahtsul Masail PC NU Jember, untuk
mendapatkan kajian tentang pendapat-pendapat ulama yang lebih mendalam)
Pembagian
Bid’ah adalah Suatu Keniscayaan
Jika kita
melihat kajian para ulama salaf tentang mafhum bid’ah, maka akan sampai pada
suatu kesimpulan, bahwa pembagian bid’ah adalah suatu keniscayaan. Karena
dengan hati orang-orang yang suci dan logika orang-orang yang berakal akan
memberi pemahaman yang komprehensif, mendalam dan argumentatif pada hadis “kullu
bid’atin dlolalah”.
A.
Bid’ah dalam aspek bahasa
Pada
pengertian bahasa, bid’ah adalah suatu hal atau perbuatan yang baru yang tidak
ada contoh sebelumnya. (DR. Ibrahim Anis: Mu’jamaul Wasith, jilid 1, hal.43. Bandingkan dengan Imam ‘Izzuddin bin
Abdissalam:
Qowa’id al Ahkam fiy mashalihil anam,
jilid 2 halaman 172 dan Imam an Nawawy: Tahdzib al Asma’wa al lughot,
jilid 3, hal. 22)
Dalam
pengertian bid’ah ini terkadang ada yang hasanah dan ada pula yang bid’ah
tercela. Adapun yang dimaksud bid’ah yang hasanah adalah semua hal
yang baru yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an, as sunnah dan ijma’. Dan
dalam konteks ini tidak perlu dibedakan apakah itu urusan dunia atau agama.
Karena pada hakekatnya semua yang terjadi didalam kehidupan dunia sudah pasti
terkait dengan syara’ atau agama. Bagaimana kita akan makan, minum atau berpakaian
sekalipun itu urusan dunia harus berstandarkan dengan syara’ atau agama.Dan
bahasa yang tepat adalah semua hal-hal yang baru, baik itu terkait langsung
dengan ibadah ghoiru mahdloh atau tidak langsung, selama berdasarkan
Al Qur’an dan as sunnah atau ijma’, maka masuk kategori bid’ah yang hasanah
atau tidak tercela (Bandingkan dengan kajian Imam as Syafi’i pada Al Baihaqi. Manaqib
al Syafi’i, jilid I, hal. 469)
1.
Contoh-contoh bid’ah yang tidak langsung terkait dengan ibadah
a. Warna
pakaian
b. Bentuk
pakaian bagi pria, apakah kemeja atau T-Shirt
c. Semua
hal yang terkait dengan perkembangan tehnologi
d. Pemeliharaan
ilmu dengan pembukuannya
e. Dan
sebagainya
2.
Contoh-contoh bid’ah hasanah yang terkait langsung dengan ibadah ghoiru mahdloh
a.
Dzikir jahr (mengeraskan dzikir, baik dengan suara atau alat pengeras suara).
Ini adalah bid’ah yang berdasarkan as sunnah. Ali r.a. bercerita,”Abu Bakar
bila membaca Al Qur’an dengan suara lirih, sedangkan Umar dengan suara yang
keras, dan ‘Ammar jika membaca Al Qur’an mencampur surah ini dengan surah yang
lainnya. Maka hal tersebut dilaporkan kepada Nabi SAW, maka beliau bertanya
kepada Abu Bakar,”Kenapa engkau melirihkannya?”, Abu Bakar menjawab,”Alloh
dapat mendengar suaraku walaupun lirih”, dan Nabi bertanya kepada Umar,”Kenapa
engkau mengeraskan suaramu?”, Umar berkata,”Aku ingin mengagetkan setan dan
mengusir rasa kantuk.”,Nabi bertanya kepada ‘Ammar,”Kenapa engkau mencampur
surat ini dan surat itu?”, ‘Ammar menjawab,”Apakah engkau mendengarkan aku
mencampur dengan yang bukan al Qur’an ?”, beliau menjawab,”Tidak”, lalu beliau
bersabda,”Semuanya baik” (HR. Imam Ahmad)
Hadis
ini menunjukkan bolehnya mengeraskan bacaan Al Qur’an atau dzikrulloh dengan
niat syi’ar dan memungkinkan orang-orang lain dapat terjaga untuk bersegera melaksanakan
ibadah.
b.
Dzikir bareng-bareng (jama’i)
Dzikir
jama’i memiliki manfaat yang besar bagi pelakunya terutama pada masyarakat yang
awam. Bagi mereka dengan bareng-bareng melakukan ibadah dzikir akan mempicu
semangatnya dalam berdzikir. Dan dzikir jama’i ini hanya uslub
(teknis) saja untuk berdzikir atau mendekatkan diri kepada Alloh SWT. Jika ada
seseorang yang tidak berkenan dengan bareng-bareng dalam ibadah-ibadah yang
sunnah, tidak mengapa ia melakukannya secara sendirian.
Adapun
aktifitas dzikir jama’i termasuk aktifitas bid’ah yang tidak tercela karena
masih berlandaskan dengan as sunnah antara lain :
“Tidaklah
berkumpul suatu kaum disebuah rumah dari rumah-rumah Alloh yang mereka lagi
membaca kitab Alloh dan saling mengkajinya diantara mereka kecuali Alloh
menurunkan kepada mereka ketenangan dan rahmat, dan malaikat memagarinya serta
Alloh menyebut nama-nama mereka dihadapan malaikatNya” (HR. Abu Dawud)
Kalimat
“Tidaklah berkumpul suatu kaum” menunjukkan sebagai dalil
dibolehkannya dzikir jama’i.Karena penyebutan kata “kaum” dalam hadis
tersebut menunjukkan kepada banyaknya orang yang melakukan dzikir.
Demikian
juga dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri r.a., dia berkata
: Mu’awiyah r.a. melewati suatu halqah di masjid, lalu dia
bertanya,”Majelis apa ini? ”Mereka
menjawab, ”Kami duduk untuk berzikir kepada Alloh Azza
wa Jalla” Muawiyah bertanya lagi, ”Demi Alloh, benarkah kalian duduk hanya
untuk itu?” Mereka menjawab, ”Demi Alloh, kami duduk hanya untuk
itu.”Kata Muawiyah selanjutnya, ”Sungguh, aku tidak menyuruh kalian bersumpah
karena mencurigai kalian, karena tidak ada orang yang menerima hadis dari
Rasulullah saw.lebih sedikit daripada aku.”Sesungguhnya Rasulullah pernah
melewati halqah para sahabatnya lalu Rasulullah saw. Bertanya, ”Majelis
apa ini?” Mereka menjawab, ”Kami duduk untuk berzikir kepada Alloh dan
memuji-Nya atas hidayah-Nya berupa Islam dan atas anugerah-Nya kepada kami. ”Rasulullah
saw. bertanya lagi, ”Apakah Demi Alloh kalian duduk hanya untuk itu?” Mereka
menjawab, ”Demi Alloh kami duduk hanya untuk itu.” kata Rasulullah saw.
Selanjutnya, ”Sungguh, aku menyuruh kalian bersumpah bukan karena mencurigai
kalian tetapi karena aku didatangi oleh Jibril a.s. kemudian dia memberiatahuku
bahwa Alloh Azza wa Jalla membanggakan kalian didepan para
malaikat.”(diriwayatkan oleh Muslim, hadis no 1889)
Perhatikan kalimat Halqoh dalam hadis
tersebut,itu menunjukkan sekumpulan banyak orang.Dan hadis ini juga bisa
menjadi dalil bolehnya dzikir jama’i.
c.Mabit di Mina Jadid(Mina baru)
Sekalipun
tidak pernah dilakukan oleh Nabi (karena beliau mabit di Mina lama),
namun ini menjadi hal yang hasanah. Karena dengan kondisi melimpahnya jutaan
jamaah haji, tentu tidak akan menampung jika Mina tidak diperluas. Dan akan
mendatangkan madlorot (bahaya) jika mereka dipaksa mabit di Mina lama
sebagaimana di jaman Nabi SAW.
d. Do’a dengan menggunakan bahasa ibu
Doa
yang menggunakan bahasa Jawa, Indonesia, Cina, Arab dengan berbagai susunan dan
gaya bahasanya adalah bid’ah yang dibolehkan bahkan jika itu membuat yang
berdoa lebih khusu’,tentu bid’ah hasanah.
Karena
dijaman Nabi SAW sendiri ada sahabat yang berdoa dengan menggunakan redaksi
yang tidak pernah diajarkan Nabi, namun beliau membolehkannya.
“Anas bin Malik berkata, ”Suatu saat Rasulullah SAW lewat disisi
laki-laki A’rabi yang sedang berdoa dalam sholatnya dan ia berdoa,” Ya Tuhan yang semua mata tidak sanggup
melihatNya, tidak dipengaruhi oleh keraguan, tidak bisa disifati oleh siapapun,
tidak bisa merubahNya waktu yang berjalan, tidak takut oleh malapetaka, Dia,
Alloh yang mengetahui timbangan gunung, takaran lautan, jumlah tetesan air
hujan, jumlah dedaunan dari pohon-pohonnya, jumlah segala apa yang ada dalam
gelapnya malam dan terangnya siang, tidak menghalangiNya dari langit satu ke
langit yang lainnnya, bumi satu ke bumi yang lain, dan lautan tidak dapat
menyembunyikan dasarnya, gunung tidak dapat menyembunyikan isinya, (Ya Alloh) jadikanlah sebaik-baik umurku
pada akhirnya, sebaik-baik aktifitasku pada penghujungnya dan sebaik-baik
hariku pada hari aku bertemu denganMu”. Setelah selesai ia berdoa, Nabi SAW
memanggilnya dan memberikan padanya emas dan beliau bersabda,”Aku
berikan kamu emas, karena bagusnya pujianmu kepada Alloh ‘Azza wa Jalla
(HR.Al Thabarani dalam al Mu’jam al Ausath dengan sanad jayyid)
e.
Istilah-istilah wajib, mandubah, makruh,mubah atau haram
yang di jaman nabi SAW tidak pernah ada.Namun di jaman setelahnya keberadaan
istilah-istilah tersebut dalam kajian ushul fiqih dan ilmu fiqh tentu sangat
hasanah dan bermanfa’at.
Pada prinsipnya,
bid’ah-bid’ah lughowiyyah (bahasa) baik yang terkait tidak langsung
atau terkait langsung dengan ibadah ghoiru mahdloh seperti contoh-contoh
diatas, kalau memang berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah, atau ijma’ dan
qiyas,sudah tentu melalui metode ijtihad maka bid’ah lughowiyyah tersebut,akan
menjadi bid’ah hasanah (baik).
Hampir semua
persoalan yang masuk wilayah ijtihad adalah persoalan-persoalan yang baru dan
belum pernah ada di jaman Nabi SAW.Misalnya,tentang darah nifas yang tidak ada
nash yang membicarakan hal tersebut.Para ulama berbicara tentang darah nifas
dengan diqiyaskan/dianalogikan kepada darah haid.Demikian pula tentang zakat
profesi,zakat fithrah dengan uang,jumlah raka’at sholat teraweh (20
raka’at),qunut dalam sholat teraweh ditengah bulan Ramadhan,qunut dalam sholat
shubuh,pemberian titik dalam mushhaf al Quran,memperingati hari-hari besar
dalam islam,adzan kedua dalam sholat jum’at,miqot makani di Jeddah
bagi jama’ah dari Asia,sa’i dilantai kedua dan sebagainya.
Dan karena masuk
wilayah ijtihad maka bisa dipastikan akan memunculkan perbedaan dari hasil
ijtihad tersebut. Namun perbedaan itu, sah-sah saja dan bisa dimaklumi karena
berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW,
“Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya
benar, maka ia memperoleh dua pahala, Dan apabila ia melakukan ijtihad lalu
keliru, maka ia memperoleh satu pahala” (HR. Bukhori)
Jadi,menurut
Nabi SAW dalam wilayah ijtihad(selama memenuhi ketentuan dan persyaratan dalam
berijtihad) tidak ada yang mengarah kepada kesesatan.Oleh karenanya
janganlah menuduh orang lain sesat atau melakukan aktifitas bid’ah
dlolalah,yang ujungnya musyrik dan kafir hanya karena
perbedaan pendapat dari hasil ijtihadnya.Selama ijtihad tersebut
dihasilkan oleh orang-orang yang memenuhi syarat dalam berijtihad,maka hasil
ijtihadnya tidak bisa digugurkan oleh ijtihad lainnya.
Adapun bid’ah
dalam pengertian bahasa, namun tidak lahir dari proses ijtihad, sehingga
bertentangan dengan Al Qur’an dan as sunnah maka bid’ah seperti ini
adalah madzmumah (tercela). Seperti model-model pakaian yang
memamerkan ketiak dan paha atau aurat-aurat lainnya, yang sekarang lagi
digandrungi anak-anak muda. Dan banyak contoh-contoh lainnya.Atau bid’ah dalam
urusan ibadah mahdloh(murni),seperti jumlah roka’at dalam sholat wajib,maka
melakukan bid’ah tersebut dengan merubah jumlah raka’at tanpa ada ‘udzur syar’i
adalah kesesatan.
Ada pertanyaan dari mereka(Wahhabiyyah), “Jika bid’ah
dalam hal-hal yang berkaitan dengan ibadah itu hasanah (baik), tentulah
generasi-generasi sahabat akan lebih cepat melakukannya.Tapi kenapa
sahabat-sahabat tidak juga melakukannya? Apakah
generasi khalaf itu lebih baik daripada generasi-generasi sahabat?”.
Tentu pertanyaan
tersebut tidak perlu ada. Karena apakah kita berani berkata bahwa Bilal yang
telah melakukan ijtihad untuk sholat dua rakaat setelah wudlu dengan waktu yang
telah ditentukan, lebih baik daripada Nabi SAW?. Dimana Nabi SAW tidak pernah
melakukan sebelumnya. Kalau itu baik kenapa Nabi tidak melakukannya terlebih
dahulu ?.
Ada riwayat dari
Rifa’ah bin Rafi’ r.a., beliau berkata,”Suatu ketika kami sholat bersama
Nabi SAW, ketika beliau bangun dari ruku’nya, beliau berkata,”Sami’allahu liman
hamidah”, Seorang sahabat berkata dibelakangnya, “Rabbana walakal hamdu hamdan
katsiran thoyyiban mubarakan fih.”.Ketika selesai sholat Nabi SAW
bertanya,”Siapa yang berkata tadi?”, sahabat tadi menjawab,”Saya”,beliau
bersabda,”Aku telah melihat ada lebih 30 malaikat berebut menulis pahalanya”(HR.
Bukhori, An Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)
Al Hafizh ibn
Hajar mengomentari hadis tersebut dalam kitabnya Fath al Bari jilid 2 halaman
267, bahwa hadis itu bisa menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam
sholat, apabila tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur dan bolehnya
mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
Apakah kita
berani berkata bahwa sahabat tersebut lebih baik dari Rasulullah SAW yang
bacaannya dalam I’tidal lebih panjang?padahal Rasulullah SAW tidak
melakukan sebelumnya.Dan kenapa Rasulullah tidak melakukannya terlebih dahulu,
jika itu baik?.
Dan kenapa pula
Abu Bakar tidak bersegera membukukan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal itu
adalah hal yang baik?. Kenapa harus menunggu usulan dari Umar bin Khottob?
Apakah Umar bin Khottob lebih baik daripada Abu Bakar?.Tentu tidak !, karena
apa yang dilakukan oleh generasi-generasi terbaru (khalaf) terkait yang bid’ah
hasanah bukan berarti generasi-generasi sebelumnya (salaf) yang tidak melakukan
bid’ah hasanah tersebut karena menganggapnya sebagai suatu kesesatan. Bisa jadi
mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada udzur yang
terjadi pada saat itu, misalnya banyak peperangan sehingga sangat sibuk untuk
itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama atau barangkali hal
itu belum diketahui oleh mereka (lihat perkataan Imam as Syafi’i yang senada
dengan itu, yang dinukil oleh Hafizh al Ghimari dalam Itqon as Shun’ah fi
Tahqiqi ma’na al bid’ah. Halaman 5).
Dan dalam
hal-hal tertentu,terkadang generasi selain sahabat jauh lebih baik dari generasi
sahabat.Hal tersebut disebabkan karena perkembangan masalah atau problem
kemasyarakatan semakin modern dan kompleks dan membutuhkan penyelesaian melalui
kecerdasan ber ijtihad.Lebih-lebih dengan tidak hadirnya Nabi SAW di
tengah-tengah mereka (generasi selain sahabat).Sehingga,jika mereka bisa
menyelesaikan persoalan-persoalan keimanan atau keagamaan tanpa Nabi SAW
ditengah-tengah mereka adalah sebuah hal yang luar biasa dibandingkan dengan
sahabat-sahabat Nabi SAW.Coba renungkan hadis dibawah ini;
“Dari ‘Ubaidah
bin al Jarrah RA berkata : Ya Rosululloh,adakah seseorang yang lebih baik dari
pada kami?, kami berislam dihadapanmu dan berjihad
bersama engkau.Rosululloh menjawab : ‘(Ada yaitu) generasi setelah kalian yang
beriman kepadaku sekalipun tidak pernah melihatku”.Hadis riwayat dari
Ahmad,Thobaroni dan di shahihkan oleh al Hakim.(Lihat,Ahmad Syarifuddin,al Zad
al Mustafad,hal 74).
B. Bid’ah dalam Pengertian Syar’i
Bid’ah inilah yang masuk kategori
sesat. Karena segala hal yang baru yang tidak berdasarkan kepada syara’, bahkan
berlawanan,maka ini termasuk bid’ah dlolalah dan setiap yang bid’ah
dlolalah pasti tercela dan tidak perlu dihidup-hidupkannya.
Seperti adanya
aliran-aliran sesat sejak jaman awal Islam berkembang seperti,
Khawarij,Murji’ah, dan sebagainya. Hingga orang-orang di jaman sekarang dengan
kelompoknya mengakui adanya nabi palsu dari mereka sendiri adalah suatu bid’ah
syar’iyah yang sesat, dan setiap yang sesat sudah pasti di neraka.
PENUTUP
Demikian, kajian
tentang bagaimana kita memahami bid’ah yang benar dan argumentatif
serta rasional. Tidak ada maksud apapun dari penulisan ini, kecuali berharap
ridlo Alloh SWT dengan membela para ulama yang sholeh, yang telah banyak
memberikan kontribusi pemikiran pada umat Islam ini. Membela dari caci maki
kelompok-kelompok yang begitu sempit memahami bid’ah dan dengan itu
menjadikan senjata untuk mengkufuri para ulama yang ikhlas tersebut.
Sungguh, pena
merasa malu untuk menulis caci maki yang mereka keluarkan, dan julukan-julukan
jelek yang mereka lontarakan terdengar begitu risih oleh telinga orang yang
mendengarkan, demikian tulis murobbi kami, DR. As Sayyid Muhammad
Alawy al Maliky al Hasany, dalam kitabnya al Ghuluw.
Disamping
mengharap ridloNya, tidak lupa kami juga berterima kasih pada Tim Bahtsul
Masail PC NU Jember yang secara tidak langsung telah banyak membantu penulisan
ini dengan membuat mudah penulis menukil pendapat para ulama salaf dari buku
“Membongkar Kebohongan Buku ‘Mantan Kyai NU menggugat sholawat dan dzikir
syirik” yang disusun tim tersebut. Semoga Alloh memberikan pahala yang
layak bagi tim tersebut. Jazaakumulloh
Ahsanal jaza’. Amin.
Wallohu A’lam. Diambil dari dar-alkayyis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar