Kamis, 28 November 2013

Tasawuf Sebagai Solusi Alternatif di Era Global



Untuk memahami makna tasawuf itu, memang diperlukan pengertian yang mendalam: yakni maknanya dalam keseluruhan keberagamaan, dan kaitannya dengan penciptaan kehidupan kemanusiaan yang lebih baik. Inilah yang disebut “tasawuf positif”, sebuah tasawuf yang terbuka kepada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia untuk pertumbuhan, keseimbangan dan harmoni. Dengan tasawuf positif ini, terbuka juga kemungkinan dialog dengan berbagai ragam spiritualitas agama-agama, maupun non-agama yang semuanya sebenarnya dewasa ini menghadapi masalah besar bersama yaitu ancaman kemanusiaan!
Macam-macam tasawuf telah berkembang mengatasi krisis global kemanusiaan. Karena itu dialog di antara sesama penganut tasawuf, walaupun dari berbagai agama, bisa Menyumbangkan wacana untuk berbagai krisis kemanusiaan. Apa yang disebut Hans Kung dengan “kebutuhan akan Etika global” tampaknya bisa dipenuhi dengan kerja sama agama-agama, dimulai dari pandangan positif terhadap hal yang paling dasar dari agamanya sendiri-the heart of religion, yaitu hakikat tasawuf itu sendiri, yang bisa mempertemukan berbagai agama.
Dari sini kita bisa merambah kepada dialog bahkan passing over ke arah agama lain, untuk menggali dan mendapatkan kekayaan perspektif rohani.
Kalau kita mengamati perkembangan kesadaran mengenai tantangan etika global itu, perkembangan tasawuf (dalam hal ini “tasawuf antar-agama”) memang telah melandasi usaha-usaha bersama mencari sebuah alternatif atas pandangan kebudayaan modern yang mekanistik, sekularistik, ke arah cara pandang yang lebih ekologis dan holistik. Di sini tasawuf bertemu dengan spiritualitas agama-agama (Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, mistik Kristen, new age, spiritualitas dari kearifan lokal dan seterusnya), yang bersama-sama diharapkan dapat mendorong massa yang kritis untuk melihat dunia ini secara baru. Inilah yang disebut Marilyn Ferguson sebagai The Aquarian Conspiracy (konspirasi Aquarius) yang menjadi pertanda dari kebangkitan tasawuf di era milenium.
Tasawuf memang mempunyai filsafat yang begitu mendalam mengenai spiritualitas dan segi-segi religiusitas keberagamaan, sehingga harapan banyak kalangan mengenai healthy-spirituality memang bisa diperoleh dari tasawuf positif ini, di tengah ancaman “keberagamaan yang sakit” yang muncul karena otoritarianisme dalam beragama-yang dalam tasawuf digambarkan sebagai nafs ammarah bi ‘l-su (nafsu yang mendorong kepada keburukan, Q. 12:53).
Tasawuf menjanjikan penyelamatan. Apalagi di tengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialis, hedonis, sekular, plus kehidupan yang makin sulit secara ekonomis maupun psikologis itu, tasawuf memberikan obat penawar rohani, yang memberi daya tahan. Dalam wacana kontemporer, sering dibahas tasawuf sebagai obat mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari kehidupan di dunia ini. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini memang sangat tidak mengenakkan, dan membuat penderitaan batin. Maka mata air tasawuf yang sejuk dan memberikan penyegaran dan penyelamatan pada manusia-manusia yang terasing itu.
Mewujudkan cita-cita ini, bukanlah hal yang berlebihan. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner. Beberapa contoh bisa disebut di sini, seperti pertemuan tasawuf dengan fisika, dan sains modern yang holistik, yang membawa kepada kesadaran arti kehadiran manusia dan tugas-tugas utamanya di muka Bumi-segi yang kini disebut The Anthropic Principle; pertemuan tasawuf dengan ekologi yang menyadarkan mengenai pentingnya kesinambungan alam ini dengan keanekaragaman hayatinya, didasarkan pada paham kesucian alam; pertemuan tasawuf dengan penyembuhan alternatif yang memberikan kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan hanya bersifat fisikal, tetapi lebih-lebih ruhani:
Tasawuf memberikan visi keruhanian untuk kedokteran, pertemuan tasawuf dengan psikologi baru yang menekankan segi transpersonal; dan lain-lain pertemuan interdisipliner yang intinya sama: semua menyumbang kesadaran bahwa arti tasawuf dewasa ini bukan hanya pada kesalehan formal, tetapi justru terutama etika global! Untuk itu tasawuf memang perlu wujud dalam cara hidup. Cara hidup tasawuf bukan terutama benar dari formalnya, tetapi bagaimana nilai-nilai tasawuf itu menjadi way of life!
Keunggulan umat Islam salah satunya adalah Ilmu Tasawwuf ini. Dengan bertasawwuf yang merupakan suatu kekuatan batin untuk mempertebal iman, tauhid, ladang amal, pembersih jiwa, serta untuk memperkuat Ihsan suatu cara untuk lebih mengenal Allah dan mencari keridloan-Nya semata maka secara otomatis akan meningkatkan akhlakul kariimah (Akhlak yang Mulia).
 Menurut Prof. DR. Hamka bahwa: “Tasawwuf Islam telah timbul sejak timbulnya Agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad Saw. Disauk airnya dari Qur’an sendiri”. (Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad). Adapun ciri dari Sufi menurut Imam Nawawi (620-676 H/1223-1278 M) dalam suratnya al-Maqasid at-Tawhid ada lima ciri jalan sufi atau bertasawwuf yaitu: (1) menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri, (2) mengikuti Sunah Rasullaah Saw. dengan perbuatan dan kata, (3) menghindari ketergantungan kepada orang lain, (4) bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, (5) selalu merujuk masalah kepada Allah swt.
Melihat perkembangan Islam di Indonesia, belakangan ini memang kelihatan ada pergeseran orientasi keberagamaan dari kesalehan formal kepada kesalehan sufistik. Persis pada titik ini “demam tasawuf” yang sedang melanda masyarakat Islam ini begitu mengkhawatirkan dan perlu mendapat perhatian. Seperti kita tahu, Islam di Indonesia telah berkembang sedemikian rupa sehingga kini tampak sangat formalis dalam beragama, seolah tidak ada lagi segi religiusitasnya. Bentuk-bentuk kesalehan formal dan kesalehan individual begitu menonjol.
Keberagamaan sangat semarak, rumah ibadah berkembang pesat di mana-mana, jumlah orang naik haji meningkat, tetapi dari segi substansial, sebagai bangsa, keberagamaan rupanya belum mencerminkan nilai-nilai Islam. Apa yang disebut egalitarianisme, keadilan, kesadaran humanitarian, hormat kepada hukum, dan hak-hak asasi manusia, kesadaran lingkungan, kebersihan, penghargaan terhadap orang yang lemah, sikap inklusif dan pluralis, dan seterusnya, yang jelas merupakan nilai-nilai dasar agama, ternyata tidak tercermin dalam kehidupan masyarakat. Padahal kegairahan dalam beragama begitu tinggi, suasana keagamaan begitu mencolok.
Nah, kita sangat mengkhawatirkan demam tasawuf belakangan ini. Kalau demam tasawuf itu hanya kepanjangan saja dari kesalehan formal, lantas apa maknanya? Antara tasawuf dan bukan tasawuf tidak ada bedanya: sama-sama kesalehan formal yang tidak mencerminkan religiusitas! Demam tasawuf mudah-mudahan tidak hanya merupakan kelanjutan dari kesalehan formal, yang kalau hanya begini, ya ibarat buih dalam lautan: tidak bermakna apa-apa secara sosial!
Oleh Karena itu, Ilmu Tasawwuf khususnya di Indonesia haruslah mendapat perhatian penuh dari para alim ulama, sarjana, dan para cendekiawan muslim lainnya untuk dapat penyelidikan dan pengupasan secara luas dalam bidang Tasawwuf, untuk menciptakan mental yang Islami dan pemahaman spriritual dalam Islam untuk menjauhkan dari sifat-sifat tercela dan munafik. Sekali lagi bahwa Islam adalah agama Rahmatan lil ‘aalamiin.

Mengoptimalkan Potensi Anak Mulai Usia Dini

Usia tiga tahun pertama merupakan saat paling tepat mengembangkan kecerdasan anak-anak. Masa itu seyogianya diisi orang tua dengan memberikan pendidikan formal dan nonformal. Anak yang terlahir dari rahim seorang ibu bak sehelai kertas putih yang bersih dan polos. Orang tua dan lingkungan di sekitarnyalah yang akan membentuk “kertas” itu menjadi berwarna dengan cara menuliskan sesuatu di atas kertas itu, menggambar bentuk, atau bahkan ada yang meremasnya menjadi tidak berarti.
Begitu pula halnya anak, baik atau buruknya anak, tergali atau tidak bakat si anak, sangat dipengaruhi oleh peran orang tua serta lingkungan sekitar. Proses interaksi antara orang tua dan anak serta antara anak dengan lingkungan dipandang penting demi membentuk karakter anak yang positif.
Sebagai salah satu bentuk interaksi antara anak dan lingkungan bisa dilakukan dengan cara menyekolahkan anak sedini mungkin. Ada beragam tujuan orang tua menyekolahkan anakanak mereka pada usia dini, antara lain mengisi waktu luang anak dan menjadikan anak cerdas.
Tidak dimungkiri, memberikan pendidikan pada anak sedini mungkin akan merangsang perkembangan otak anak. Anak adalah pribadi yang unik dan tidak bisa dibandingkan satu dengan yang lainnya.
Oleh sebab itu, untuk menjadikan anak unggul dan cerdas bisa dilakukan dengan memberi pendidikan sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Semua anak akan berkembang untuk tumbuh dan belajar setiap hari dengan cara mereka sendiri yang nyaman dan menyenangkan.
Menurut Soedjatmiko, dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, masa tiga tahun pertama anak-anak berusia di bawah lima tahun (balita) merupakan masa-masa emas pertumbuhan otak atau disebut juga dengan golden years period.
“Jika sewaktu lahir otak balita sudah sebesar 25 persen dari otak orang dewasa, yaitu sekitar 350 gram, maka pada usia 18 bulan otak anak berkembang dua kali lipatnya,” jelas Soedjatmiko. Kemampuan otak anak memang tergolong luar biasa.
Hingga usia 6 tahun, besarnya otak anak sudah mencapai 90 persen ukuran otak orang dewasa. Anak benar-benar berada dalam masa emas untuk mengembangkan kecerdasannya. Oleh karena itu, Seodjatmiko menyarankan agar para orang tua mengajari anak-anak mereka dan memberi pendidikan sedini mungkin agar sel-sel otak anak-anak itu berkembang optimal. Balita Cerdas Tidak selamanya pendidikan yang dimaksud Soedjatmiko adalah pendidikan formal.
Pendidikan nonformal yang diberikan di rumah pun bisa mengembangkan kecerdasan anak. Di rumah orang tua bisa memberi rangsangan pada semua sistem indra balita (pendengaran, penglihatan, perabaan, penciuman, dan pengecapan), gerak kasar dan halus kaki, tangan, serta jari-jari.
Selain itu, orang tua juga hendaknya mengajak anak berkomunikasi, merangsang pikiran dan perasaan si kecil dengan suasana bermain yang menyenangkan dan penuh kasih sayang.“Orang tua yang cerdas tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mereka akan memberikan stimulasi optimal,” kata Soedjatmiko.
Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50 persen kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Ketika menginjak usia 8 tahun, kecerdasannya telah mencapai 80 persen orang dewasa. Adapun titik kulminasi kecerdasan anak ketika berumur sekitar 18 tahun.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu empat tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya.
Karenanya periode emas bisa dikatakan sebagai periode kritis bagi anak dan perkembangan yang terjadi pada periode itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Pada masa keemasannya, perkembangan kemampuan belajar anak memang sangat pesat, baik secara fisiologis, psikis, maupun sosial anak-anak mengalami lompatan kemajuan luar biasa.
Tidak heran apabila mereka sangat potensial dalam mempelajari berbagai hal. Pada masa itu pula tidak kurang dari 100 miliar sel otak siap distimulasi agar kecerdasan anak dapat berkembang secara optimal.
Biasanya pada rentang waktu itu anak lebih banyak melihat apa yang terjadi di sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari. Meniru adalah salah satu proses belajar yang paling dominan yang dilakukan para balita. Berbagai kegiatan yang bermanfaat hendaknya banyak dilakukan pada periode emas itu. Tujuannya agar rentang waktu itu tidak terlewati dengan sia-sia. Salah satu kegiatan yang bisa dilakukan ialah bermain sembari belajar. Melalui pelbagai permainan secara tidak langsung anak pun akan menyerap pelajaran. Selain itu, bermain juga merupakan proses menggali potensi diri anak yang belum terlihat.
Bisa dikatakan bermain termasuk salah satu metode sederhana untuk merangsang bakat terpendam anak serta kemampuan bersosialisasi dengan orang lain dan lingkungan. Menurut psikolog anak Novita Tandry, memberi pendidikan usia dini pada anak sangat penting. Anak-anak berhak mendapatkan sarana pendidikan yang nyaman, penuh kasih sayang, serta lingkungan yang mendukung.
“Pendidikan usia dini penting karena banyak manfaat positif yang bisa diperoleh anak,” ujar psikolog yang juga pemilik Tumble Tots Indonesia itu. Dia menyatakan program pendidikan untuk anak usia prasekolah, yakni mulai usia enam bulan sampai tujuh tahun umumnya dirancang untuk mengembangkan kemampuan motorik kasar anak melalui aktivitas ketangkasan, keseimbangan, koordinasi dalam lingkungan yang aman, positif, dan penuh kasih sayang. “Banyak orang tua yang menganggap bahwa pendidikan anak usia dini tidak begitu penting, padahal 70 persen pembentukan karakter manusia itu dimulai dari usia nol hingga tiga tahun,” terang Novita.
Lebih jauh, dia memaparkan ketika anak mencoba sesuatu dengan memasuki dunia baru, tetapi kemudian gagal, maka sebaiknya orang tua tidak boleh mengkritiknya. Apabila hal itu dilakukan niscaya si kecil akan takut untuk mencoba kembali. Novita mengingatkan bahwa pemberian pendidikan bagi anak sejak dini kepada anak bukan berarti membuatnya menjadi stres, justru harus menghindarkan anak dari stres. Oleh karena itu, selalu lakukan dengan cara yang menyenangkan,” pesannya

Konsep Negara Menurut NU



NU menempatkan negara sebagai alat bagi pencapaian tujuan Islam. Maka, karena tujuan Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (kesejahteraan bagi semesta), negara yang mengarah ke tujuan tersebut bisa diterima, meskipun tidak berbentuk Islam.
Pada tanggal 4-8 Juni, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) diundang oleh para ulama Afghanistan dan Noor Educational and Capacity Development Organization (NECDO) untuk menghadiri workshop “Peran Ulama dalam Pembangunan dan Rekonstruksi Afghanistan” di Afghanistan.
PBNU, yang diwakili empat delegasi, berbicara di hadapan para ulama dan ilmuwan dari 12 provinsi tentang pentingnya perdamaian serta rekonsiliasi.
Dalam kesempatan itu, NU diminta berbagi pengalaman tentang peran ulama di Indonesia dalam menciptakan keharmonisan umat beragama beserta manajemen konflik di dalamnya.
Yang menarik dalam pertemuan itu adalah potensi NU sebagai model Islam di dunia, sebab ia menjadi “cermin”, khususnya bagi Afghanistan, dalam rangka hubungan Islam dengan kemodernan. Hubungan yang berhasil dijaga NU secara harmonis ini telah meminimalisir konflik, baik konflik antar-umat beragama maupun antara Islam dan Barat. Dengan demikian, NU bisa menjadi model bagi hubungan Islam dan kemodernan yang melahirkan hubungan harmonis antar-umat beragama.
Model yang dibangun NU itu merujuk pada integrasi Islam ke dalam perjuangan nasional melalui demokratisasi dalam jangka panjang. Dalam kaitan ini, terdapat dua proses signifikan. Pertama, integrasi Islam ke dalam nasionalisme. Kedua, partisipasi Islam dalam demokratisasi.

Kita akan membahas poin pertama dulu, yakni integrasi Islam ke dalam nasionalisme.
Yang dimaksud poin ini adalah penyatuan visi Islam tentang kehidupan ke dalam tujuan utama pendirian negara-bangsa. Hal ini berangkat dari kaidah al-ghayah wa al-wasail (tujuan dan metode), yang NU menempatkan negara sebagai alat bagi pencapaian tujuan Islam. Maka, karena tujuan Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (kesejahteraan bagi semesta), negara yang mengarah ke tujuan tersebut bisa diterima, meskipun tidak berbentuk Islam. Oleh karena itu, NKRI, yang memuat “keadilan sosial” sebagai tujuan konstitusional bernegara, diterima oleh NU, meskipun ia bukan negara Islam yang formal.
Pada ranah historis, proses integrasi ini terjadi melalui beberapa tahap. Pertama, pengakuan wilayah Nusantara sebagai wilayah Islam (dar al-Islam). Hal ini dilakukan pada Muktamar ke-11 (1936), yang para ulama NU menetapkan Nusantara sebagai dar al-Islam. Menariknya, istilah dar al-Islam ini tidak dimaknai sebagai “negara Islam”, melainkan “wilayah Islam”, sebab di dalamnya umat Islam bebas melaksanakan syari’at. Dengan cara ini, NU telah membentuk “kebangsaan Islam” (Islamic nationalism) sebab dar al-Islam tersebut dipahami sebagai bangsa. Artinya, ketika Nusantara diakui sebagai dar al-Islam, wilayah ini telah dipahami sebagai bangsa muslim Indonesia.
Kedua, penerimaan atas negara-bangsa (NKRI), bukan negara Islam pada pembentukan konstitusi 1945. Wakil NU di sidang PPKI, yakni Kiai Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan Zainul Arifin, telah menyepakati bangunan NKRI dalam kerangka perawatan kemajemukan bangsa. Pada titik ini, NU telah menepis ego-kelompok, demi terjaganya masyarakat bangsa yang majemuk.
Ketiga, penetapan pemerintah RI sebagai pemimpin darurat yang memiliki wewenang menerapkan syari’at (waliy al-amri al-dlaruri bi al-syaukah). Kesepakatan ulama pada Munas Alim Ulama (1954) ini ditetapkan agar syari’at Islam bisa ditegakkan, karena pemerintahan sah secara syar’i. Dari sini terlihat bahwa politik kebangsaan NU tidak bersifat sekuler, karena ia bermuara pada syari’at Islam, baik melalui penerapan partikel hukumnya di dalam hukum nasional, maupun pengamalan sebagai etika sosial.
Keempat, penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini ditetapkan pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo (1983), Pancasila diterima sebagai dasar negara sedangkan Islam tetap dijaga sebagai aqidah. Antara aqidah beragama dan dasar bernegara tidak dibenturkan, sebab Pancasilam yang memuat sila ketuhanan, merupakan bentuk pengamalan syari’at Islam.
Melalui proses integrasi Islam ke dalam nasionalisme ini, NU telah melerai ketegangan antara Islam sebagai “ideologi universal” dan Pancasila sebagai “ideologi nasional”, serta antara Islam sebagai “paham theokratis” dan NKRI sebagai “bangunan negara-bangsa”. Sebuah pola hubungan yang hingga saat ini masih menyediakan ketegangan bagi sebagian besar negara Islam di Timur Tengah, karena mereka belum mencapai hubungan harmonis antara Islam dan kemodernan.
Dalam kaitan ini, penerimaan NU atas NKRI digerakkan melalui demokratisasi dalam jangka panjang. Hal ini terjadi karena NU memahami nasionalisme tidak dalam kerangka identitas dan wilayah, melainkan kerakyatan. Hal ini terkait dengan pandangan terhadap kekuasaan yang terkait langsung dengan kemaslahatan rakyat (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah). Melalui pandangan ini, demokrasi yang diperjuangkan bukan demokrasi prosedural, melainkan demokratisasi, baik dalam rangka pemenuhan hak sipil-politik maupun hak sosial-ekonomi.

Dari paparan di atas terlihat bahwa NU telah membangun model Islam yang selaras dengan kemodernan, nasionalisme dan demokrasi. Menariknya, NU melakukan ini melalui khazanah tradisi Islam. Tradisi yang kemudian menjadi metodologi ini misalnya terdapat pada legal maxim (qawa’id al-fiqhiyah), legal theory (ushul fiqh), dan legal philosophy (hikmah al-tasyri’).
Legal maxim menyediakan kaidah praktis yang bertujuan menyelaraskan ketaatan normatif dengan keluwesan menghadapi realitas. Misalnya, kaidah Ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu (Apa yang tidak bisa dicapai semuanya jangan ditinggal prinsip dasarnya). Kaidah ini membuat NU tidak menolak NKRI, sebab terdapat prinsip-prinsip Islam di dalamnya, meliputi syura (musyawarah), ‘adalah (keadilan), dan musawah (persamaan).
Sementara itu legal theory menyediakan metode penerapan syari’at dengan mengakomodir perkembangan zaman. Adapun legal philosophy menjadi jembatan antara hukum Islam dan ilmu pengetahuan.
Dengan metode tradisional yang bernuansa modern ini, NU bisa menghadapkan Islam dengan tantangan zaman secara setara. Dampaknya, ia tidak terjebak di dalam asumsi Barat sebagai ancaman dengan posisi “Islam terancam” selayak pemahaman kalangan fundamentalistis. NU dengan tradisinya telah menempatkan Islam sebagai kebijaksanaan hidup yang menyempurnakan sistem kehidupan yang ada. Oleh karenanya, dalam kaitan dengan pembangunan, peran Islam tidak sebatas suplementer (tambahan), melainkan komplementer (penyempurna), dengan ikut menentukan arah ideal pembangunan.
Kesadaran dunia Islam seperti Afghanistan untuk bercermin dari NU membuktikan bahwa jam’iyyah ini memiliki potensi besar. Tidak hanya dalam kehidupan berbangsa, melainkan terlebih kehidupan global. Tak mengherankan jika pemikir muslim asal Mesir, Hassan Hanafi, melihat potensi “Islam Indonesia” sebagai pemimpin dunia Islam. Pandangan ini disampaikan oleh Hanafi kepada K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjabat presiden ke-4 RI. Tentu yang dimaksud Hassan Hanafi tersebut adalah NU.

Siraman Air yang Menyejukkan
Di tengah gencarnya usaha atau minimal suara agar Indonesia menjadi negara Islam, yang besar kemungkinan akan sedikit memanaskan situasi, apa yang dipaparkan NU, dalam hal ini As’ad Said Ali, wakil ketua umum PBNU, itu benar-benar bagai siraman air yang menyejukkan.
Di negara kita, kondisi umat beragamanya adalah majemuk. Ada yang menganut Islam, Hindu, Buddha, dan sebagainya. Lalu, kalau dasar negara kita adalah Islam, misalnya, apakah para penganut agama yang lain setuju. Saya kira tidak. Dalam sebuah diskusi pada acara Indonesia Lawyers Club di TvOne beberapa waktu lalu, seorang romo Katholik menyebutkan, yang intinya kurang lebih, nilai kebangsaan kita sebagaimana yang dipesankan Bung Karno telah luntur. Kita lebih mementingkan ego suku, agama, dan seterusnya, daripada ikatan kebangsaan.
Itulah sebabnya, pilihan politik bangsa ini ihwal dasar negara adalah Pancasila, bukan agama. Bukankah ini adalah pilihan yang adil bagi semua penganut agama?
Untuk NU, saya sungguh salut pada pandangan-pandangannya. Saya berkeyakinan, pandangan-pandangan NU akan semakin go international. Insya Allah, kelak bukan hanya para ulama Afghanistan yang akan meng-NU-kan umat Islam-nya. Ulama-ulama negara-negara lain, yang sadar bahwa pandangan-pandangan NU sangat bermanfaat bagi tercapainya perdamaian dunia, pun akan mengikuti ulama-ulama Afghanistan itu. Amin….
sumber: Santridayah.com

Pertautan Islam dan Tradisi Indonesia


ISLAM tidak hanya dipahami dan diyakini sebagai agama yang benar bagi penganutnya, melainkan juga diyakini sebagai agama universal yang sejalan dengan prinsip kemanusiaan. Islam berlaku untuk semua zaman dan konteks kehidupan sosial manusia.
Meski demikian, dalam faktanya, pemahaman tentang universal Islam ini tidaklah tunggal, tetapi sangat beragam. Dan bahkan ada sebagian kelompok Islam merasa diri paling benar dalam memahami universalime Islam tersebut.  Sehingga mereka pun merasa berkewajiban untuk menegakkan Islam secara kaffah (menyeluruh).
Sesuatu yang tidak didasarkan pada ajaran Islam secara kaffah, entah dalam bentuk budaya, paham dan sistem sosial-politik, dengan mudah dicap sebagai perbuatan bid’ah, musyrik, khurafat dan kafir. Akibatnya, corak keberagamaan pun menjadi kaku karena tidak mampu berdamai dengan nilai-nilai kebudayaan lokal.
Inilah salah satu model dari praktik keagamaan modern yang kering dari nilai subtansi, karena dominannya penonjolan formalitas dan simbolitas keagamaan dalam konteks kehidupan sosial dan kebangsaan kita.

Islamisasi Negara
Gerakan berlabel agama yang dimotori oleh beberapa kalangan banyak bermuculan setelah reformasi bergulir. Meski kelompok ini tidak pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, namun mereka mengklaim diri paling berhak untuk menentukan corak dan sistem kenegaraan dengan mengatasnamakan keistimewaan paham agama dan ideologi yang mereka anut.
Serta tidak jarang pula, kelompok ini memaksakan kehendak untuk meng-Islamkan negara dengan berupaya menganti ideologi Pancasila dengan ideologi baru bernama Islam.
Baginya, Islam bukan hanya sekedar agama yang berkutat pada ranah spiritual semata, melainkan juga sebagai ideologi yang harus terintegrasikan dalam sistem kehidupan bernegara, dengan alasan bahwa sistem Pancasila dan demokrasi di Indonesia adalah sistem kafir yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga perlu untuk di-Islamkan.
Meng-Islamkan negara adalah merupakan esensi dari nilai-nilai ke-Islaman, yang menurut mereka bersifat universal. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa sisi universalisme Islam tidak terletak pada simbolitas ideologi, melaikan pada nilai yang dikandungnya, seperti keadilan, kemanusiaan dan toleransi sebagai fundamen dasar lahirnya kemaslahatan umat manusia.

Islam Indonesia
Penyebaran Islam di bangsa ini tidak dominan dalam bentuk politik, melainkan lebih bersifat kultural dengan menjadikan nilai-nilai kebudayaan sebagai sarana penyebaran Islam. Perpaduan antara nilai-nilai Islam dengan kebudayaan lokal tersebut menjadi ciri khas Islam Nusantara, yang diprakarsai oleh para Wali Songo sebagai penyebar Islam pada saat itu.
Mereka menghadirkan Islam tidak hanya dalam bentuk simbolis semata, melainkan juga dengan visi kemanusiaan yang universal. Atau dalam artian, Islam tidak diajarkan dan dipraktikkan dalam konteks spiritual-teologis saja, melainkan juga menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan sosial kemanusiaan, dengan menjadikan nilai-nilai keadilan, kedamaian dan toleransi sebagai fundamen utama ajaran Islam.
Dalam konteks ini, kehadiran Islam tidak dimaksudkan untuk menggusur nilai-nilai lokal, melainkan mencoba untuk berdialog serta berupaya untuk mencari titik temu, tanpa harus saling melukai. Lokalitas menjadi pijakan utama dalam upaya untuk membumikan nilai-nilai ke-Islaman, sementara ke-universalan nilai-nilai Islam tidak tercederai hanya kerena mengakomodasi budaya lokal tersebut.
Model seperti inilah yang diistilahkan oleh Gus Dur sebagai model gerakan Pribumisasi Islam yang populer pada tahun 1980-an. Konsep ini menawarkan praktik keberislaman dengan melihat sisi terpenting dari tradisi untuk senantiasa menjadi  pijakan. Sebab Islam yang tidak menjadikan tradisi sebagai pijakan, maka ia akan tumbuh menjadi kering dan kaku.
Oleh karena itu, esensi dari gerakan ini tidak terletak pada artikulasi ke-Islaman yang serba seragam, apalagi serba Arab. Melainkan lokalisasi Islam dengan model keberislaman yang tetap kukuh pada identitas lokalnya. Singkatnya, kita tetap berislam dengan benar, tanpa harus tercerabut dari identitas kebudayaan lokal kita.