“Sebenarnya, Allah Swt tertirai darimu semata-mata karena sangat Maha DekatNya padamu.” Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
Dalam syarahnya terhadap Al-Hikam, Syeikh Zarruq menegaskan, bahwa
dekatnya Allah Swt itu tidak dipahami sebagai dekatnya suatu benda
dengan benda lain, atau dekatnya jarak, atau dekatnya sesuatu yang
dikaitkan dengan yang lain. Karena dekat semacam itu mustahil bagi Allah
Swt.
Yang dimaksud dengan dekatNya adalah kedekatan meliputiNya melalui
sifat Ilmu, Qudrat dan IradatNya, selayaknya keMaha Besaran dan
keMaha IndahanNya. Dan sudah nyata bahwa Qudrat dan IradatNya meliputi
wujudnya hamba dan IlmuNya meliputi seluruh waktu dan gerak gerik
hambaNya. Yang menggerakkan aktivitas dan mewujudkan makhluk adalah Dia,
karena itu Dialah yang Maha Dekat kepada makhliuk dibanding adanya
makhluk itu sendiri.
Sedangkan hijab (tirai) bagi makhluk muncul karena wujud makhluk atau
karena makhluk itu diwujudkan. Ketika semakin kuat eksistensi wujud
makhluk dan semakin luas ekspresi aktivitasnya, maka semakin kuat pula
hijab mereka, disebabkan kesibukan mereka tersebut. Itulah realitas
manifestasi kedekatan yang meliputi. Sedangkan kuatnya sifat Dekat
membuat makhluk terhijab dari dekat dan yang mendekat. Dalam al-Qur’an
disebutkan, “Dan Kami lebih dekat padanya dibanding kalian, tetapi
kalian tidak melihatnya.” (Al-Waqi’ah 85)
Maka Syeikh Abul Abbas Al-Mursy bermunajat: “Wahai Yang Maha Dekat,
Engkaulah Yang Dekat, sedangkan akulah yang jauh. Kedekatanmu padaku
membuat aku putus asa pada selain DiriMu, sedangkan jauhku padaMu,
mengembalikan aku untuk terus mencari anugerah dariMu. Maka limpahkanlah
anugerahMu padaku sehingga hasratku terhapus oleh kehendakMu, Wahai
Yang Maha Kuat nan Maha Mulia.”
Ibnu Athaillah as-Sakandary melanjutkan: “Allah Swt tertutup karena dahsyatnya kejelasanNya, dan Dia tersembunyi dari pandangan mata karena agungnya cahayaNya.”
Kejelasan Allah Swt tampak dalam tindakanNya, itulah yang membuat
para makhluk tertutup melihatNya langsung. Kejelasan itu disebabkan
pancaran Nur SifatNya yang tampak pada seluruh semesta makhluk, yang
dinunia ini hanya bisa dilihat secara maknawi (spiritual). Kadar ruhani
maknawi seseorang sangat erat kaitannya dengan aktivasi penglihatannya
di akhirat kelak, menurut Sunnatullah Swt. Sangat kuatnya wujud
kejelasanNya, membuat terhalangnya untuk memandang Nya.
Sebagaimana mata kelelawar ketika tersorot oleh cahaya matahari,
semakin dekat cahaya itu semakin buta matanya – “Dan bagi Allah adalah
contoh yang luhur“ – Inilah para Sufi menegaskan, “Orang yang memandang – dalam bertauhid –
seperti orang yang memandang matahari, ketika pandangannya semakin
bertambah kuat ia semakin buta.”
Maka Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq ra, mengatakan, “Maha Suci Dzat
yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk untuk mengenalNya, kecuali
jalan itu adalah ketakberdayaan untuk mengenalNya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar