Kajian Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah
Karya: Dr. MUhammad Alwi Al-Maliki Al-hasani
Banyak orang keliru dalam memahami substansi
faktor-faktor yang membuat seseorang keluar dari Islam dan divonis kafir. Anda
akan menyaksikan mereka segera memvonis kafir seseorang hanya karena ia
memiliki pandangan berbeda. Vonis yang tergesa-gesa ini bisa membuat jumlah
penduduk muslim di dunia tinggal sedikit. Kami, karena husnuddzon, berusaha
memaklumi tindakan tersebut serta berfikir barangkali niat mereka baik.
Dorongan kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar mungkin mendasari
tindakan mereka. Sayangnya, mereka lupa bahwa kewajiban mempraktekkan amar
ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur kata
yang baik ( bil hikmah wal mau’idzoh al – hasanah ). Jika kondisi
memaksa untuk melakukan perdebatan maka hal ini harus dilakukan dengan metode
yang paling baik sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Nahl : 125. "Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik".
Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan cara
yang baik ini perlu dikembangkan karena lebih efektif untuk menggapai hasil
yang diharapkan. Menggunakan cara yang negatif dalam melakukan amar ma’ruf nahi
munkar adalah tindakan yang salah dan tolol.
Jika Anda mengajak seorang muslim yang sudah
taat mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah,
menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, menyebarkan dakwah, mendirikan masjid,
dan menegakkan syi’ar-syi’ar-Nya untuk melakukan sesuatu yang Anda nilai benar
sedangkan dia memiliki penilaian berbeda dan para ulama sendiri sejak dulu
berbeda pendapat dalam persoalan tersebut kemudian dia tidak mengikuti ajakanmu
lalu kamu menilainya kafir hanya karena berbeda pandangan denganmu maka sungguh
kamu telah melakukan kesalahan besar yang Allah melarang kamu untuk
melakukannya dan menyuruhmu untuk menggunakan cara yang bijak dan tutur kata
yang baik.
Al-Allamah Al-Imam Al-Sayyid Ahmad Masyhur
Al-Haddad mengatakan, “ Telah ada konsensus ulama untuk melarang memvonis kufur
ahlul qiblat (ummat Islam) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur
meniadakan eksistensi Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin
ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang
harus diketahui ummat Islam tanpa pandang bulu (Ma ‘ulima minaddin
bidldloruroh), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang
telah mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua ummat Islam tanpa
pandang bulu.
Ajaran-ajaran yang dikategorikan wajib
diketahui semua ummat Islam (Ma‘lumun minaddin bidldloruroh) seperti
masalah keesaan Allah, kenabian, diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad
SAW, kebangkitan di hari akhir, hisab (perhitungan amal), balasan, sorga dan
neraka bisa mengakibatkan kekafiran orang yang mengingkarinya dan tidak ada
toleransi bagi siapapun ummat Islam yang tidak mengetahuinya kecuali orang yang
baru masuk Islam maka ia diberi toleransi sampai mempelajarinya kemudian
sesudahnya tidak ada toleransi lagi.
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan
sekelompok perawi yang mustahil melakukan kebohongan kolektif dan diperoleh
dari sekelompok perawi yang sama. Kemutawatir bisa dipandang dari :
1. Aspek isnad seperti hadits: “Barangsiapa berbohong atas
namaku maka carilah tempatnya di neraka”.
2. Aspek tingkatan kelompok perawi seperti kemutawatiran
Al-Qur’an yang kemutawati-rannya terjadi di muka bumi ini dari wilayah barat dan
timur dari aspek kajian, pembacaan, dan
penghapalan serta ditransfer dari kelompok perawi satu kepada kelompok lain
dari berbagai tingkatannya sehingga ia tidak membutuhkan isnad.
Kemutawatiran ada juga yang dikategorikan
mutawatir dari aspek praktikal dan turun-temurun (tawuturu ‘amalin wa
tawarutsin) seperti praktik atas sesuatu hal sejak zaman Nabi sampai sekarang,
atau mutawatir dari aspek informasi (Tawaturu ‘ilmin) seperti kemutawatiran
mu’jizat-mu’jizat. Karena mu’jizat-mu’jizat itu meskipun satu persatunya
malah sebagian ada yang dikategorikan hadits ahad namun benang merah dari semua
mu’jizat tersebut mutlak mutawatir dalam pengetahuan setiap muslim.
Memvonis
kufur seorang muslim di luar konteks di muka adalah tindakan fatal.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Jika seorang laki-laki berkata kepada saudara
muslimnya, “ Hai orang kafir”, maka vonis kufur bisa jatuh pada salah satu dari
keduanya”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh
orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran
kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum
syari’at Islam.
Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki
wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa
kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan
dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim yang
berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.
Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan
vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan
terhadap syahadatain tetap terpelihara. Dalam sebuah hadits dari Anas RA,
Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal merupakan pokok iman ; menahan diri dari
orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah. Tidak memvonis kafir akibat
dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad
berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir ummatku memerangi
Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan
orang yang adil ; dan meyakini kebenaran takdir”.
Imam Al-Haramain pernah berkata, “Jika
ditanyakan kepadaku: Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang
menyebabkan kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah
harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan
ini membutuhkan argumentasi mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid.
Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih
bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.
Berangkat dari paparan di muka kami ingatkan
untuk menjauhi pengkafiran secara membabi buta di luar point-point yang telah
dijelaskan di atas. Karena tindakan pengkafiran bisa berakibat sangat fatal.
Hanya Allah yang memberi petunjuk ke jalan yang
lurus dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.
يخطئ كثير من الناس – أصلحهم الله – في فهم حقيقة الأسباب التي تخرج صاحبها عن
دائرة الإسلام وتوجب عليه الحكم بالكفر ، فتراهم يسارعون إلى الحكم على المسلم
بالكفر لمجرد المخالفة حتى لم يبق من المسلمين على وجه الأرض إلا القليل ، ونحن
نلتمس لهؤلاء العذر تحسيناً للظن ، ونقول لعل نيتهم حسنة من دافع واجب الأمر
بالمعروف والنهي عن المنكر ، ولكن فاتهم أن واجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر
لابد في أدائه من الحكمة والموعظة الحسنة وإذ اقتضى الأمر المجادلة يجب أن تكون
بالتي هي أحسن كما قال تعالى : { ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ } .. وذلك أدعى
إلى القبول وأقرب للحصول على المأمول ومخالفته خطأ وحماقة.
فإذا دعوت مسلماً يصلي ، ويؤدي فرائض الله ، ويجتنب محارمه وينشر دعوته ،
ويشيد مساجده ، ويقيم معاهده ، إلى أمر تراه حقاً ويراه هو على خلافك والرأي فيه
بين العلماء مختلف قديماً إقراراً وإنكاراً فلم يطاوعك في رأيك فرميته بالكفر
لمجرد مخالفته لرأيك فقد قارفت عظيمة نكراء ، وأتيت أمراً إدّاً نهاك عنه الله
ودعاك إلى الأخذ فيه بالحكمة والحسنى.
قال العلامة الإمام السيد أحمد مشهور الحداد : وقد انعقد الإجماع على منع تكفير أحد من أهل القبلة إلا بما فيه نفي الصانع القادر جل وعلا أو شرك جلي لا يحتمل التأويل أو إنكار النبوة أو إنكار ما علم من الدين بالضرورة أو إنكار متواتر أو مجمع عليه ضرورة من الدين.
والمعلوم من الدين ضرورة كالتوحيد والنبوات وختم الرسالة بمحمد صلى الله عليه وسلم والبعث في اليوم الآخر والحساب والجزاء والجنة والنار يكفر جاحده ، ولا يعذر أحد من المسلمين بالجهل به إلا من كان حديث عهد في الإسلام فإنه يعذر إلى أن يتعلمه فإنه لا يعذر بعده.
قال العلامة الإمام السيد أحمد مشهور الحداد : وقد انعقد الإجماع على منع تكفير أحد من أهل القبلة إلا بما فيه نفي الصانع القادر جل وعلا أو شرك جلي لا يحتمل التأويل أو إنكار النبوة أو إنكار ما علم من الدين بالضرورة أو إنكار متواتر أو مجمع عليه ضرورة من الدين.
والمعلوم من الدين ضرورة كالتوحيد والنبوات وختم الرسالة بمحمد صلى الله عليه وسلم والبعث في اليوم الآخر والحساب والجزاء والجنة والنار يكفر جاحده ، ولا يعذر أحد من المسلمين بالجهل به إلا من كان حديث عهد في الإسلام فإنه يعذر إلى أن يتعلمه فإنه لا يعذر بعده.
والمتواتر الخبر الذي يرويه جمع يؤمن تواطؤهم على الكذب عن جمع مثلهم إما من
حيث الإسناد كحديث: (( من كذب عليَّ متعمداً فليتبوأ
مقعده من النار )) ..
وإما من حيث الطبقة كتواتر القرآن فإنه تواتر على البسيطة شرقاً وغرباً درساً وتلاوة وحفظاً وتلقاه الكافة عن الكافة طبقة عن طبقة فلا يحتاج إلى إسناد.
وقد يكون تواتر عمل وتوارث كتواتر العمل على شيء من عصر النبوة إلى الآن ، أو تواتر علم كتواتر المعجزات فإن مفرداتها وإن كان بعضها آحاداً لكن القدر المشترك منها متواتر قطعاً في علم كل إنسان مسلم. وإن الحكم على المسلم بالكفر في غير هذه المواطن التي بيناها أمر خطير ، وفي الحديث (إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما) .
رواه البخاري عن أبي هريرة. ولا يصح صدوره إلا ممن عرف بنور الشريعة مداخل الكفر ومخارجه والحدود الفاصلة بين الكفر والإيمان في حكم الشريعة الغراء. فلا يجوز لأي إنسان الركض في هذا الميدان والتكفير بالأوهام والمظان دون تثبت ويقين وعلم متين وإلا اختلط سيلها بالأبطح ولم يبق مسلم على وجه الأرض إلا القليل. كما لا يجوز التكفير بارتكاب المعاصي مع الإيمان والإقرار بالشهادتين ، وفي الحديث عن أنس رضي الله عنه قال صلى الله عليه وسلم: (( ثلاث من أصل الإيمان الكف عمن قال : لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل ، والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر ولا عدل عادل والإيمان بالأقدار )) .. (أخرجه أبو داود) ..
وكان إمام الحرمين يقول : لو قيل لنا : فصِّلُوا ما يقتضي التكفير من العبارات مما لا يقتضي ، لقلنا : هذا طمع في غير مطمع فإن هذا بعيد المدرك وعر المسلك يستمد من أصول التوحيد ومن لم يحظ بنهايات الحقائق لم يتحصل من دلائل التكفير على وثائق .
وإما من حيث الطبقة كتواتر القرآن فإنه تواتر على البسيطة شرقاً وغرباً درساً وتلاوة وحفظاً وتلقاه الكافة عن الكافة طبقة عن طبقة فلا يحتاج إلى إسناد.
وقد يكون تواتر عمل وتوارث كتواتر العمل على شيء من عصر النبوة إلى الآن ، أو تواتر علم كتواتر المعجزات فإن مفرداتها وإن كان بعضها آحاداً لكن القدر المشترك منها متواتر قطعاً في علم كل إنسان مسلم. وإن الحكم على المسلم بالكفر في غير هذه المواطن التي بيناها أمر خطير ، وفي الحديث (إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما) .
رواه البخاري عن أبي هريرة. ولا يصح صدوره إلا ممن عرف بنور الشريعة مداخل الكفر ومخارجه والحدود الفاصلة بين الكفر والإيمان في حكم الشريعة الغراء. فلا يجوز لأي إنسان الركض في هذا الميدان والتكفير بالأوهام والمظان دون تثبت ويقين وعلم متين وإلا اختلط سيلها بالأبطح ولم يبق مسلم على وجه الأرض إلا القليل. كما لا يجوز التكفير بارتكاب المعاصي مع الإيمان والإقرار بالشهادتين ، وفي الحديث عن أنس رضي الله عنه قال صلى الله عليه وسلم: (( ثلاث من أصل الإيمان الكف عمن قال : لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل ، والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر ولا عدل عادل والإيمان بالأقدار )) .. (أخرجه أبو داود) ..
وكان إمام الحرمين يقول : لو قيل لنا : فصِّلُوا ما يقتضي التكفير من العبارات مما لا يقتضي ، لقلنا : هذا طمع في غير مطمع فإن هذا بعيد المدرك وعر المسلك يستمد من أصول التوحيد ومن لم يحظ بنهايات الحقائق لم يتحصل من دلائل التكفير على وثائق .
لذلك نحذر كل التحذير من المجازفة بالتكفير في غير المواطن السابق بيانها لأنه
جد خطير والله الهادي إلى سواء السبيل وإليه المصير.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar