Seiring
dengan semakin menjamurnya berbagai paham di tanah air, kata jihad sering
diasumsikan sebagai tindak kekerasan, seperti terorisme, bom bunuh diri dan
lain-lain. Untuk meluruskan hal tersebut, kita perlu untuk kembali memahami
atri dan esensi jihad yang digariskan oleh al-Qur’an, hadis dan fatwa ulama
salaf.
Jihad
bisa diartikan kesungguhan, perjuangan, atau usaha dengan segala daya upaya
untuk mencapai kebaikan; dan lain-lain. Jika ditarik kesimpulan, maka arti
jihad akan mengerucut pada makna: mengajak manusia ke jalan yang benar atau
dalam bahasa yang lebih luas adalah mencurahkan segala kesungguhan di dalam
menegakkan agama Allah, menyatukan kekuatan Islam di bawah panji syariat Allah.
Maka jihad tidak bisa serta merta dibuktikan dengan peperangan. (lihat Fath
Sirah; 170, Fiqh al-Manhaji ala Madzhab Imam Syafi’I [3]: 475, Radd al-Mukhtar
[4]: 121)
Sebab
dan tujuan perang
Sejarah
memang mencatat, dulu Rasulullah dan para sahabat sering berperang melawan
orang kafir, namun dari sini kita tidak dapat membuat kepahaman bahwa perang
adalah suatu anjuran. Karena peperangan pada zaman itu ada beberapa sebab dan
tujuan. Artinya, apabila sebab dan tujuan itu tidak ada maka peperangan tidak
diperbolehkan.
Islam dengan segala tuntutannya telah membatasi bahwa peperangan pada hakikatnya adalah sayyiah (perkara jelek) karena di dalam pasti ada unsur kerusakan baik dari sisi materi atau fisik yang menjadi kebutuhan hidup manusia dan alam. Perkara jelek ini (baca: perang) akan berubah menjadi perkara yang diperbolehkan kalau memang perang itu menjadi sebuah solusi terakhir untuk mewujudkan kebaikan yakni tegaknya kalimat Allah, menjadikan Islam sebagai agama yang mulia dan memerangai segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan kaum musyrikin.
Islam dengan segala tuntutannya telah membatasi bahwa peperangan pada hakikatnya adalah sayyiah (perkara jelek) karena di dalam pasti ada unsur kerusakan baik dari sisi materi atau fisik yang menjadi kebutuhan hidup manusia dan alam. Perkara jelek ini (baca: perang) akan berubah menjadi perkara yang diperbolehkan kalau memang perang itu menjadi sebuah solusi terakhir untuk mewujudkan kebaikan yakni tegaknya kalimat Allah, menjadikan Islam sebagai agama yang mulia dan memerangai segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan kaum musyrikin.
Di
antara tujuan peperangan yang lain –sehingga diperbolehkan- ialah guna
memerangi orang yang berupaya mencegah dakwah Islam, memerangi orang yang
memusuhi dan mengancam umat Islam, memerangi orang murtad, memerangi golongan
yang membelot atau berencana menjatuhkan kedaulatan Islam serta kepada mereka
yang tidak mau taat pada pemimpin Islam.
Dari
empat tujuan di atas, semuanya terbatas dalam bentuk difa’ (pembelaan diri).
Baik pembelaan dalam bentuk dakwah Islamiyah atau dalam rangka menjaga hak-hak
Islam. Ini semua adalah tujuan mulia dalam keagamaan. Sehingga tidak
diperbolehkan peperangan untuk mencari ghanimah (harta rampasan),
memperlihatkan kekuatan dan kesombongan, ta’asshub (fanatik) dengan sektenya
atau sebab-sebab lain yang didasari nafsu semata. (Ahkam al-Qur’an wa
as-Sunnah: 311-312)
Macam-macam
jihad
1.
Jihad dengan senjata atau kekuatan
Sebagaimana
keterangan di atas, jihad dengan senjata diperbolehkan kalau memang musuh
menolak untuk menerima ajakan masuk Islam dan sulitnya menacapai akad damai
dari kedua belah pihak. Atau jihad tersebut dimaksudkan untuk menambah pengikut
yang membela Islam sehingga menjadi kuat. Jika kedua hal tersebut tidak
dipenuhi maka jihad dengan senjata tidak diperbolehkan. (Fatawi al-Hindiyah
[2]: 188)
2.
Jihad melawan nafsu
Selain
berperang dengan senjata, Islam sangat menganjurkan satu bentuk jihad –dan ini
lebih utama- yakni jihad melawan nafsu dan setan. Allah berfirman:
“Dan berperanglah kamu semua dalam membela
Allah dengan sesungguh-sungguhnya jihad.”
Nabi
berkata kepada para sahabat setelah menjalani perang, “Kita pulang dari jihad
kecil menuju jihad besar.” Sahabat bertanya, “jihad apa ya Rasulullah?”
Rasulullah berkata: “Jihad melawan nafsu.”
3.
Jihad dengan akal untuk memerangi kebodohan
Term
jihad ini sering diabaikan banyak orang sekarang. Padahal jihad inilah yang
dinilai paling relevan melihat perkembangan manusia di dunia yang terkadang
hanya mementingkan perlindungan fisik namun perlindungan akal diabaikan
Implementasi jihad dengan hati dan akal ialah adanya niatan kuat untuk berdakwah, aplikasi norma-norma Islam, menegakkan kebenaran atas kebatilan, menghilangkan syubhat (kerancuan dala sebuah paham) dengan pendapat dan dalil yang unggul, mengentaskan kebodohan, memberi manfaat pada kaum muslimin, dll. Semua insan dianjurkan untuk mengerahkan segala kemampunan baik pikiran, tanaga maupun materi untuk menempuh jalur jihad yang satu ini. (Kisyaf al-Qina’ [3]: 36, Mausu’ah Fiqhiyah [6]: 125)
Implementasi jihad dengan hati dan akal ialah adanya niatan kuat untuk berdakwah, aplikasi norma-norma Islam, menegakkan kebenaran atas kebatilan, menghilangkan syubhat (kerancuan dala sebuah paham) dengan pendapat dan dalil yang unggul, mengentaskan kebodohan, memberi manfaat pada kaum muslimin, dll. Semua insan dianjurkan untuk mengerahkan segala kemampunan baik pikiran, tanaga maupun materi untuk menempuh jalur jihad yang satu ini. (Kisyaf al-Qina’ [3]: 36, Mausu’ah Fiqhiyah [6]: 125)
Menurut
sebagian pendapat (yang difatwakan oleh Ibnu Katsir) bahwasanya jihad dengan
memerangi kebodohan, memerangi kesesatan, dll, apabila saat meninggal, dia
dalam keadaan syahid. Dan orang mati syahid pada hakikatnya adalah hidup dengan
kenikmatan dan dan anugerah dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang
yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya
dengan mendapat rejeki. (Q.S. Ali Imran; 169)
Arti
hidup dalam ayat di atas bukanlah di alam kita ini, melainkan dalam satu alam
di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan Hanya Allah
sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu.
Apa
yang tersebut di atas seharunya menjadikan kita sadar diri. Semua bisa berjihad
sesuai dengan kemampuan demi tegaknya panji-panji Islam hingga cita-cita akan
kejayaan Islam bisa (kembali) terwujud, Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu
Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”
(Q.S. as-Shaaf; 10-11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar