Senin, 10 November 2014

WARA’: Sebuah Pilihan Alternatif


Istilah wara’ sudah tidak asing lagi dalam dunia tasawwuf, bahkan wara’ merupakan suatu fase yang cukup penting. Ia merupakan salah satu tingkatan yang mendasari seorang sufi untuk melanggengkan tujuan berikutnya.
Abu Sulaiman ad Darany mengatakan bahwa; “wara’ merupakan awal mula dari kezuhudan seseorang”. Seseorang tidak akan mampu mencapai maqam zuhud apabila sebelumnya tidak disertai sikap wara’ yang sempurna.
Pada masa Rasullah saw ataupun shahabat, wara’ tidak hanya diperdebatkan dan diperbicangkan saja, tapi juga dibarengi dengan pengamalan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Imam Malik yang dirinya sudah lama hidup di Bashrah, namun belum pernah makan buah kurma, baik kering ataupun yang masih basah. Ternyata dengan sikap wara’ yang ia miliki rela menghindari makanan-makanan yang enak dan lezat.
Sehubungan wari’ (orang yang bersikap wara’) dalam hal ini setidaknya ada empat thabaqah (tingkatan):
Pertama, wara’ yang menjadi prasyarat persaksian. Artinya sesuatu yang bila ditinggalkan mengakibatkan seseorang tidak boleh menjadi saksi seperti mencuri, merampok, membunuh, berzina dan lain-lain.
Kedua, wara’ al sholihin, artinya wara’ menjauhkan diri dari perkara syubhat, karena dalam perkara ini terdapat ar raibu bainal halal wal  haram (suatu keragu-raguan antara barang halal dan barang haram). Rasulullah saw pernah bersanda: “Tinggalkan hal-hal yang meragukan dan berpeganglah pada hal-hal yang tidak meragukan (jelas)”. (Sunan at Turmudzi, IV, hal. 232).
Ketiga, wara’ al muttaqien, dalam pengertian bahwa suatu upaya untuk meninggalkan sesuatu yang halal yang dikhawatirkan dapat menjerumuskan kepada sesuatu yang haram. Rasulullah saw bersabda: “Seseorang tidak akan pernah sampai pada tingkatan muttaqien sehingga ia berani meningalkan sesuatu yang tidak berdosa karena hal itu dapat menjerumuskan ke dalam hal berdosa”. (Sunan at Turmudzi, IV, hal. 205).
Keempat, wara’ as shiddiqien yaitu seseorang yang memalingkan diri dari selain Allah swt. Sebab ia khawatir jika dalam waktu sesaat pun yang tidak digunakan untuk mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah swt (taqorrub ilallah).  Walaupun dirinya meyakini bahwa hal tersebut bukanlah suatu hal yang haram. (Ihya’ ulumiddin, I, hal. 19).
Dari penjelasan singkat di atas, terdapat sebuah pertanyaan yang cukup menarik, yaitu Apakah sikap wara’ dalam konteks sekarang dimana dunia semakin menggelobal ini masih relevankah untuk disosialisasikan dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
  Jawabannya adalah YA. Sebab sikap wara’ bukanlah berarti mengajak seseorang untuk bersifat malas-malasan, tetapi sikap wara’ tetap mempersilahkan seseorang untuk memperoleh atau bahkan menumpuk harta sebanyak-banyaknya dengan catatan sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh syara’.
Dengan demikian, sikap wara’ dapat dijadikan sebagai sebuah pilihan alternatif dalam berkompetisi di era global akhir-akhir ini. Dengan sikap wara’ persaingan dalam kehidupan sehari-hari – baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya – akan berjalan dengan sehat. Sehingga sifat serakah bin rakus alias tama’ dengan mudah dapat dihilangkan atau setidaknya dapat dikurangi. Apabila sikap ini dapat dipahami oleh kaum muslimin pada khususnya dan sekaligus semua komponen lapisan masyarakat, pada umumnya, tentu penyakit serakah dengan mudah dapat terobati.
Oleh karena itu, patutlah untuk merenungkan sebuah hadits Nabi yaitu: “Jadilah kalian orang yang wara’, niscaya kalian akan menjadi manusia yang ta’at beribadah”. Kandungan hadits ini, dapat mengingatkan dari fenomena masyarakat yang kini sedang berkembang yaitu munculnya uasaha-usaha untuk memperkaya diri sendiri secara rakus tanpa mempedulikan nasib dan kondisi masyarakat lain yang dalam tertekan secara ekonomi. Menjadi kaya tidak mesti harus melakukan kegiatan tanpa mengenal tatakrama dan norma-norma agama, jangan sampai mengambil sikap menghalalkan segala cara sebagai alat pembenaran untuk memalingkan perhatian kita terhadap nasib masyarakat lain yang sangat membutuhkan perhatian dan dan pertolongan.
Menolong dan memperhatikan masyarakat yang tersisih/tertindas adalah lebih baik dari menampakkan sikap tidak peduli terhadap nasib masyarakat lain. Jadilah manusia yang hidup saat ini seperti yang digambarkan Rasulullah saw: Jadilah manusia wara’ tetapi tetap taat beribadah. Falyata’ammal....!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar