Istilah
wara’ sudah tidak asing lagi dalam dunia tasawwuf, bahkan wara’ merupakan suatu
fase yang cukup penting. Ia merupakan salah satu tingkatan yang mendasari
seorang sufi untuk melanggengkan tujuan berikutnya.
Abu Sulaiman ad Darany mengatakan bahwa; “wara’ merupakan awal mula dari kezuhudan
seseorang”. Seseorang tidak akan mampu mencapai maqam zuhud apabila sebelumnya tidak disertai sikap wara’ yang
sempurna.
Pada masa Rasullah saw ataupun shahabat,
wara’ tidak hanya diperdebatkan dan diperbicangkan saja, tapi juga dibarengi
dengan pengamalan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Imam Malik yang
dirinya sudah lama hidup di Bashrah, namun belum pernah makan buah kurma, baik
kering ataupun yang masih basah. Ternyata dengan sikap wara’ yang ia miliki
rela menghindari makanan-makanan yang enak dan lezat.
Sehubungan wari’ (orang yang bersikap wara’) dalam hal ini setidaknya ada
empat thabaqah (tingkatan):
Pertama, wara’ yang menjadi prasyarat
persaksian. Artinya sesuatu yang bila ditinggalkan mengakibatkan seseorang
tidak boleh menjadi saksi seperti mencuri, merampok, membunuh, berzina dan
lain-lain.
Kedua, wara’ al sholihin, artinya wara’ menjauhkan diri dari perkara syubhat, karena dalam perkara ini
terdapat ar raibu bainal halal wal haram (suatu keragu-raguan antara barang
halal dan barang haram). Rasulullah saw pernah bersanda: “Tinggalkan hal-hal yang meragukan dan berpeganglah pada hal-hal yang
tidak meragukan (jelas)”. (Sunan at Turmudzi, IV, hal. 232).
Ketiga, wara’
al muttaqien, dalam
pengertian bahwa suatu upaya untuk meninggalkan sesuatu yang halal yang
dikhawatirkan dapat menjerumuskan kepada sesuatu yang haram. Rasulullah saw
bersabda: “Seseorang tidak akan pernah
sampai pada tingkatan muttaqien sehingga ia berani meningalkan sesuatu yang
tidak berdosa karena hal itu dapat menjerumuskan ke dalam hal berdosa”. (Sunan
at Turmudzi, IV, hal. 205).
Keempat,
wara’ as shiddiqien
yaitu seseorang yang memalingkan diri dari selain Allah swt. Sebab ia khawatir
jika dalam waktu sesaat pun yang tidak digunakan untuk mengingat dan
mendekatkan diri kepada Allah swt (taqorrub
ilallah). Walaupun dirinya meyakini
bahwa hal tersebut bukanlah suatu hal yang haram. (Ihya’ ulumiddin, I, hal.
19).
Dari penjelasan singkat di atas, terdapat
sebuah pertanyaan yang cukup menarik, yaitu Apakah sikap wara’ dalam konteks
sekarang dimana dunia semakin menggelobal ini masih relevankah untuk
disosialisasikan dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara?
Jawabannya
adalah YA. Sebab sikap wara’ bukanlah berarti mengajak seseorang untuk bersifat
malas-malasan, tetapi sikap wara’ tetap mempersilahkan seseorang untuk
memperoleh atau bahkan menumpuk harta sebanyak-banyaknya dengan catatan sesuai
dengan apa yang telah ditentukan oleh syara’.
Dengan demikian, sikap wara’ dapat dijadikan
sebagai sebuah pilihan alternatif dalam berkompetisi di era global akhir-akhir
ini. Dengan sikap wara’ persaingan dalam kehidupan sehari-hari – baik dalam bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya – akan berjalan dengan sehat. Sehingga sifat
serakah bin rakus alias tama’ dengan mudah dapat dihilangkan atau setidaknya
dapat dikurangi. Apabila sikap ini dapat dipahami oleh kaum muslimin pada
khususnya dan sekaligus semua komponen lapisan masyarakat, pada umumnya, tentu
penyakit serakah dengan mudah dapat terobati.
Oleh karena itu, patutlah untuk merenungkan
sebuah hadits Nabi yaitu: “Jadilah kalian
orang yang wara’, niscaya kalian akan menjadi manusia yang ta’at beribadah”.
Kandungan hadits ini, dapat mengingatkan dari fenomena masyarakat yang kini
sedang berkembang yaitu munculnya uasaha-usaha untuk memperkaya diri sendiri
secara rakus tanpa mempedulikan nasib dan kondisi masyarakat lain yang dalam
tertekan secara ekonomi. Menjadi kaya tidak mesti harus melakukan kegiatan
tanpa mengenal tatakrama dan norma-norma agama, jangan sampai mengambil sikap
menghalalkan segala cara sebagai alat pembenaran untuk memalingkan perhatian
kita terhadap nasib masyarakat lain yang sangat membutuhkan perhatian dan dan
pertolongan.
Menolong dan memperhatikan masyarakat yang
tersisih/tertindas adalah lebih baik dari menampakkan sikap tidak peduli
terhadap nasib masyarakat lain. Jadilah manusia yang hidup saat ini seperti yang
digambarkan Rasulullah saw: Jadilah manusia wara’ tetapi tetap taat beribadah.
Falyata’ammal....!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar