Sabtu, 22 Maret 2014

iografi KH. Zainal Abidin Munawwir Krapyak Yogyakarta







Alhamdulillah, blog ini dapat hadir lagi untuk berbagi kepada para sahabat. Kali ini akan mempostingkan artikel tentang biografi almarhum simbah KH. Zainal Abidin Munawwir Krapyak Yogyakarta. Namun sebelumnya, sekali lagi admin blog Jagad Kawula Mengucapkan Bela Sungkawa atas meninggalnya beliau kemarin maghrib dan tadi seharian admin ikut dalam prosesi pemakaman simbah di makam keluarga Sorowajan. Setelah pulang dari ta'ziyah, admin punya krentek untuk berbagi sedikit tentang biografi beliau. Berikut biografinya:

Mbah Zainal, demikian para santri menyapa, dikenal luas sebagai sosok yang yang tidak hanya ‘Alim dan A’mil, tetapi lebih dari itu beliau adalah sosok yang sangat istiqomah, sangat zuhud dan wira’i. dalam kesehariannya.
Tumbuh dan besar dalam lingkup pesantren, Usai ditinggal oleh Ayahandanya dalam usia baligh, beliau dididik secara khusus oleh Guru sekaligus Kakaknya, KH. Ali Maksum (suami Nyai Hj. Hasyimah Munawwir) yang saat itu merupakan Pengasuh Pesantren Krapyak bersama saudaranya yang lain. Seluruh hidupnya, di dedikasikan untuk tumbuh-kembang pesantren Krapyak. Nyantri dan Mengajar, hingga dikenal sebagai Kyi yang diakui kepakarannya dalam disiplin ilmu Fiqih dan Alim. Hebatnya, beliau menghabiskan waktu nyantrinya hanya di Pesantren Krapyak.
Banyak kenangan dan kesan tentang kepribadian Kyai karismatik ini. Beliau adalah Kyai yang sangat ketat memegang teguh fiqih Mazhab Syafi’i. Apa yang menurut beliau benar, maka belaiau tidak pernah ragu untuk melakukannya, termasuk jika harus berbeda dengan mayoritas ulama yang lain. Tak kurang pujian dan pengakuan atas keilmuan disematkan oleh Rais ‘Am Nahdhatul Ulama KH. Ali Maksum yang tak lain adalah Kakak dan Guru beliau Sendiri. “Zainal iku Kyai Ampeg; Spesial Fiqih 4 Mazhab”. Mbah Ali pun konon sering berdiskusi dengan Mbah Zainal perihal persoalan Fiqih.
Pak Ali (KH. Ali Maksum) kalau diskusi soal agama, ya dengan Pak Zainal (KH. Zainal Abdiin Munawwir). Kalau soal politik dan kenegaraan biasanya dengan Pak Warson (KH. Ahmad Warson Munawwir. Soal lain, dengan santri lainnya. Mereka itu seolah menjadi penasehat Pak Ali dalam berbagai hal” ungkap KH. Munawwir AF yang jmemang pernah mengaji dengan kedua ulama karismatik ini.
Tidak hanya ‘alim-a’mil, beliau adalah sedikit dari ulama yang produktif menulis kitab. Ada belasan karya tulis beliau, terutama dalam bidang ushul fiqih-fiqih. Namun, memang tidak sempat terpublikasikan secara luas. Hamya dikaji di kalangan santri Pondok Pesantren Krapyak saja. Salah satu karangan beliau misalnya, Kitabus Shiyam, dingajikan selama Ramadhan di Mesjid.
Beliau selain dikenal sebagai kyai Karismatik yang menyejukkan, sangat teguh memegang prinsip, Mbah Zainal adalah sosok yang sangat zuhud dan wira’i. Beliu sangat memperhatikan detail apa yang beliau makan dan gunakan. Beliau adalah sosok yang sangat sederhana dalam hal apapun. Tak jarang, santri melihat Sang Kyai membetulkan gendeng atap rumah beliau sendiri.
KH. Zainal adalah oase ilmu dan kearifan yang tidak ada habisnya ditimba. Banyak sekali cerita-cerita tentang kezuhudan beliau di kalangan masyarakat. Beliau bukan tipe ulama yang mencari popularitas dengan banyak bicara mengucapkan kata-kata penuh istilah maupun mengobral kalimat-kalimat mutiara singkat. Beliau lebih banyak menunjukkan budi pekerti luhur beliau dengan peri-kehidupan yang dihiasi akhlak. 
Ketika dulu ingin naik haji, Mbah Zainal Abidin Munawwir menabung segobang demi segobang. Berapa pun yang terkumpul setiap tahun, beliau menzakatinya, walaupun belum mencapai nishob. Mbah Ali Ma'shum rahimahullah, kakak ipar dan gurunya, terkekeh-kekeh mendengar laku yang demikian itu. "Itu fiqh model apa?" beliau meledek. Dengan mesem (yang hingga kini jarang terlihat beliau tertawa hingga kelihatan giginya), yang diledek hanya bergumam, "Yah... siapa tahu yang begini ini lebih disukai Pengeran..." Mbah Ali Ma'shum jelas hapal tingkah adik ipar sekaligus anak muridnya itu. "Zainal itu adikku yang paling antik!" kata Mbah Ali, setengah bergurau, "Dia itu cagaknya langit. Selama dia masih ada, nggak bakalan kiamat!”
Pada waktu yang lain, Mbah Zainal menyuruh Kang (sekarang kiyai:) Ali As'ad, santrinya, untuk membelikan pedal sepeda karena milik beliau sudah rusak. Tapi kebetulan Kang Ali As'ad punya sepasang pedal masih bagus yang tak terpakai. Maka ia tawarkan untuk dipakai Mbah Zainal, dan diterima. Saat hendak berangkat haji beberapa bulan kemudian, Mbah Zainal memanggil Kang Ali As'ad. "Ada apa, Mbah?" Mbah Zainal mengulurkan sepasang pedal sepeda. "Ini pedalmu yang dulu kupinjam, kukembalikan. Aku mau pergi haji... biar nggak ada tanggungan lagi..." 
 Mbah Zainal Abidin Munawwir juga pernah satu periode menjadi anggota DPRD Kabupaten Bantul, wakil dari Partai Nahdlatul Ulama. Selama itu, beliau wira-wiri ke kantor tiap hari dengan sepeda onthel tua miliknya. Beliau juga tidak mau mengambil gaji bulanannya maupun uang apa pun dari DPRD itu, karena menganggapnya syubhat. Beliau ngotot mengandalkan nafkah hanya dari telur sejumlah bebek yang dipeliharanya. Karena Kang Zainal nggak mau, ya aku yang ngambil gajinya", kata kiyai Ahmad Warson Munawwir, adik Mbah Zainal, sambil senyum-senyum menikmati kenangannya. "Waktu itu Kang Zainal belum kawin", Mbah Warson menyambung, "sedangkan aku pengantin baru. Jadi... aku yang kawin, Kang Zainal yang menafkahi!" 
 "Ke Nggading berapa, Kang?" Mbah Zainal Abidin Munawwir, Krapyak, menawar becak. "Monggo mawon. Terserah panjenengan, Mbah", tukang becak pasrah karena sudah kenal. "Nggak bisa! Sampeyan harus kasih harga!" "Yah... seribu, Mbah". Itu harga yang cukup lazim waktu itu, walaupun sedikit agak mahal. "Lima ratus ya!" Tukang becak nyengir, "Masih kurang, Mbah..." "Enam ratus!" Tukang becak masih nyengir. Ya sudah... tujuh ratus!" Tukang becak sungkan membantah lagi dan mempersilahkan Mbah Zainal naik. Sampai tempat tujuan, Mbah Zainal mengulurkan selembar uang ribuan tapi menolak kembaliannya. Tukang becak bengong. "Kalau tadi kita sepakat seribu, aku cuma dapat pahala wajib", kata Mbah Zainal, "kalau begini ini kan yang tiga ratus jadi shodaqohku". 
Mbah Zainal tidak merokok. Untuk urusan makanan, selama ini beliau dikenal tidak doyan makan makanan dari sesuatu yang bernyawa (daging/telur). Beliau terbiasa hanya berlauk tahu/tempe, bahkan beliau lebih sering seharian hanya mengkonsumsi mie instan, itupun setengah porsi. Beliau juga tidak suka makanan yang terlalu beraroma. Suatu ketika di dapur, Bu Nyai Ida (istri beliau) memasak makanan yang aromanya tercium hingga ruang tamu tempat Mbah Zainal berada saat itu. “Masak apa to Da? Kok bikin bau sampai sini. Mbok jangan masak yang baunya berlebihan seperti itu, saya ndak mau makan” Bu Nyai Ida yang sudah terlanjur masak pun hanya bisa menimpali sederhana “Ini sudah matang. Ya sudah kalau tidak mau ini makanannya saya buang saja” Mbah Zainal kaget, “Eh, jangan. Yasudahlah, sini saya makan saja.”
Suatu hari, KH Munawwar mengantarkan beliau memenuhi undangan salah seorang alumni di luar kota. Ketika itu acara makan siang di sebuah tempat pemancingan ikan. Mbah Zainal yang sehari-harinya dipenuhi puasa sunnah, memperhatikan ikan-ikan yang dipancing. Ia yang begitu sensitif dan peka perasaannya, langsung memanggil KH Munawwar. “Eh eh, itu mancing ikannya kok di tusuki di mulutnya pakai pengait?” KH Munawwar dan yang lain pun kebingungan, “Ya memang seperti itu caranya mancing ikan mbah” Jawab KH Munawwar. Mbah Zainal dengan agak tidak terima langsung menimpali, “Coba kalau mulutmu yang ditusuki seperti itu bagaimana?”  
KH. Zaenal Abidin Munawwir Krapyak terkenal sebagai kiai yang sangat rigid dalam menjaga akidah. Antara yang paling beliau jaga adalah masalah patung. Beliau meyakini, keberadaan patung dapat membuat hidup kita sengsara di akhirat dan menjadikan malaikat lari menjauh, sebagaimana banyak hadits shahih menyatakan hal itu.
Kisahnya, di sebelah sudut Krapyak, ada produsen kerajinan tangan yang memajang patung kuda tinggi besar, yang diletakkan di depan pabrik tersebut. Kiai Zainal berkali-kali mengingatkan pemiliknya dan masyarakat sekitar terhadap mafsadah yang barangkali ditimbulkannya. Beliau bahkan menyuruh para santri untuk ngrudug rumah tersebut dan merobohkan patung itu. Setelah dilakukan mediasi dengan pemiliknya, akhirnya dicapai kata sepakat, rumah tersebut diberi pagar tembok
Pagar tembok rumah pun dibangun. Namun sayangnya, pagar yang dimaksud tingginya hanya sekitar dua meteran. Tentu, patung kudanya masih terlihat gagah, karena tingginya menjulang hampir empat meter. Dan tentu, Kiai Zainal belum terima dengan kenyataan itu. Mediasi pun diupayakan kembali. Hasilnya, tembok rumah harus ditinggikan lagi setinggi hampir empat meter. Jadi sekarang, kalau dilihat dari luar, patung kuda itu hanya terlihat mata, kuping dan jambulnya.
Keyakinan Kiai Zainal tentang bahaya patung juga terlihat jelas setiap beliau pergi ke Magelang. Dari Jogja, beliau senantiasa meminta agar sopir kalau bisa menghindar dari daerah Kali Belan Muntilan, karena di seputar jalannya terdapat banyak toko, penjual dan pengrajin patung. Kalau kemudian terpaksa melewati jalan tersebut, maka sambil lewat beliau akan mengingatkan para penumpang terhadap bahaya patung, sambil beberapa kali istighfar, sedang beliau sendiri mengungkapkan semuanya dengan cara mengalihkan pandangannya ke arah lain, atau sambil memejamkan mata.
Istri beliau, Ibu Nyai Ida Fatimah, yang biasa membuat kue tart, diminta oleh salah seorang temannya membuat kue tart untuk hiasan pengantin. Bu Nyai dengan keahliannya kemudian berhasil membuat kue tart yang lumayan tinggi. Di atasnya tak lupa diberi kue yang dibentuk dan dihias seperti pasangan pengantin. Sesudah jadi, kue tersebut ditaruh di atas meja, sambil mempersiapkan beberapa keperluan lainnya untuk dibawa ke tempat pelaminan. Ketahuan Kiai Zaenal. Beliau menghampiri meja dan berkata: “Iki ki yo patung!” (Ini juga patung), sambil beliau nyuwil (mengambil) bagian kepala “patung” pengantin

Dari Berbagai Sumber

***Semoga Bermanfaat***

3 komentar:

  1. Beliau guru saya yg sangat menyayangi kami, selama 9 Tahun kami diajar beliau belum pernah melihat beliau absen shalat jamaah. Saya waktu dipanggil dikasih jambu biji dipojok kantor salaviyah depan kediaman beliau. Beliau berpesan sbgaimana yg dipesankan mb Ali Maksum agar kita selalu mengisi kegitan yg bermanfaat dan jangan sampai nganggur meski di hari libur. pesan beliau ini di sampaikan sewaktu kami diajak beliau ke lantai dua komplek AB utara masjid pndok. waktu itu kami diajak memanfaatkan kayu-kayu bekas, "yg berlubang ditambal pake semen dan lem kayu ini ya" beliau dawuhi kami. Dan alhamdulillah kayu2 tsb skrg jd kusen2 (gawangan) pintu dan jendela ruangan santri yg ikut mengabdi di kediaman beliau. Lahul fatihah.

    BalasHapus
  2. Beliau guru saya yg sangat menyayangi kami, selama 9 Tahun kami diajar beliau belum pernah melihat beliau absen shalat jamaah. Saya waktu dipanggil dikasih jambu biji dipojok kantor salaviyah depan kediaman beliau. Beliau berpesan sbgaimana yg dipesankan mb Ali Maksum agar kita selalu mengisi kegitan yg bermanfaat dan jangan sampai nganggur meski di hari libur. pesan beliau ini di sampaikan sewaktu kami diajak beliau ke lantai dua komplek AB utara masjid pndok. waktu itu kami diajak memanfaatkan kayu-kayu bekas, "yg berlubang ditambal pake semen dan lem kayu ini ya" beliau dawuhi kami. Dan alhamdulillah kayu2 tsb skrg jd kusen2 (gawangan) pintu dan jendela ruangan santri yg ikut mengabdi di kediaman beliau. Lahul fatihah. Saya Ahmad Fathoni Elkaysi krbacilacap.blogponsel.info

    BalasHapus
  3. Beliau guru saya yg sangat menyayangi kami, selama 9 Tahun kami diajar beliau belum pernah melihat beliau absen shalat jamaah. Saya waktu dipanggil dikasih jambu biji dipojok kantor salaviyah depan kediaman beliau. Beliau berpesan sbgaimana yg dipesankan mb Ali Maksum agar kita selalu mengisi kegitan yg bermanfaat dan jangan sampai nganggur meski di hari libur. pesan beliau ini di sampaikan sewaktu kami diajak beliau ke lantai dua komplek AB utara masjid pndok. waktu itu kami diajak memanfaatkan kayu-kayu bekas, "yg berlubang ditambal pake semen dan lem kayu ini ya" beliau dawuhi kami. Dan alhamdulillah kayu2 tsb skrg jd kusen2 (gawangan) pintu dan jendela ruangan santri yg ikut mengabdi di kediaman beliau. Lahul fatihah. Saya Ahmad Fathoni Elkaysi krbacilacap.blogponsel.info

    BalasHapus