Pengertian
Jihad
Jihad
itu mengandung dua muatan makna, bahasa dan syariat. Makna jihad secara bahasa
adalah kesulitan (masyaqah) (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari dan Naylul
Awthar), atau juga mempunyai arti kesungguhan (juhd), kemampuan menanggung
beban (thaqah) dan kesulitan (masyaqah) (Kamus al Muhath). Jihad dalam aspek
bahasa juga bermakna mencurahkan segala usaha atau tenaga untuk memperoleh
tujuan tertentu (Al Jihad Walqital Fissiyasah Asy Syar’iyah).
Sementara pengertian jihad dalam konteks syar’i adalah
mengerahkan segenap potensi untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung
atau tidak langsung, misalnya melalui bantuan materi, sumbangsih pendapat,
penyediaan logistik dan lain-lain (Raddul Mukhtar III). Dalam pengertian
syar’i, jihad juga bermakna mengerahkan segenap kesungguhan dalam memerangi
orang kafir (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari).Walhasil, secara bahasa, jihad
mencakup makna yang cukup luas, meliputi jihad melawan hawa nafsu, jihad
ekonomi, jihad pendidikan, jihad politik, jihad pemikiran, jihad mencari ilmu
dan lain-lain.
Sebaliknya,
jihad menurut makna syariat, sebagaimana dibahas dalam literatur fiqh, selalu
berkaitan dengan pembahasan tentang perang, penaklukan, ekspedisi militer di
wilayah-wilayah Darul Harb (negara yang memusuhi Islam). Banyak sekali
ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang jihad (perang). Namun demikian, dalam
konteks jihad sesuai pengertian syar’i, ada dua jenis penjelasan, yaitu yang
eksplisit (gamblang) dan implisit (tersirat). Yang eksplisit antara lain adalah
firman Allah Subhanahu wata’ala:
“Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu.” (QS. Al Haj:39). atau seperti ayat berikut: “Dan perangilah
mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.”
)QS. Al Anfal;39).
Sedangkan
yang implisit, tetapi tetap tidak bisa diartikan kecuali perang, antara lain:
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu,
dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan
itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS. At Taubah:73) Ada pula
nash-nash jihad yang mengandung pengertian selain peperangan, antara lain: “Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut:69).
Juga
ada Hadits yang berbicara tentang jihad yang mengandung pengertian selain
perang, yaitu: “Sayyidatina A’isyah bertanya kepada Nabi, ‘Adakah jihad bagi
kaum wanita?’ ‘Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Yaitu haji dan
umrah.” (HR. Ahmad).
Para
ulama fiqih membahas makna jihad dalam arti syara’ (bukan dalam pengertian
bahasa) dalam beberapa aspek, dari hukum berjihad, siapa yang wajib berperang,
etika berperang, siapa yang wajib diperangi, keutamaan mati syahid dan lain
sebagainya. Oleh karena itu pengertian jihad dalam arti syar’i harus dipahami
oleh seluruh umat Islam. Jangan sampai pemaknaan jihad itu mengalami kerancuan
dan pembelokan, seperti yang sedang marak akhir-akhir ini. Sebagian kelompok
menterjemahkan jihad dengan makna perang secara membabi buta, seperti halnya
bom bunuh diri. Sebaliknya, kelompok lain memahami jihad dengan pemaknaan yang terkesan
mengecilkan perang. Mereka lebih suka mengedepankan jihad dengan pengertian
jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad melawan nafsu dan lain-lain dari pada
jihad yang bermakna perang. Bahkan sebagian yang lain, jelas-jelas mengatakan
bahwa jihad itu bukan perang, menurutnya, nash Al Quran menjelaskan perang
dengan sebutan qital, bukan jihad. Sungguh, beberapa pendapat di atas yang
dewasa ini seringkali menghiasi media masa, jelas-jelas merupakan pendapat yang
tidak berdasar dan tidak mempunyai pijakan yang jelas dalam kitab-kitabnya para
ulama salaf yang telah terbukti kredibitasnya.
Bertahan
dan Menyerang
Setiap individu muslim yang sudah dewasa
diwajibkan (fardlu ain) mempertahankan negaranya dari serangan musuh yang ingin
menghancurkan kedaulatan dan keutuhan negara Islam. Hal ini dijelaskan dalam
Surah Al Baqarah ayat 190: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas.”
Selain
berperang mempertahankan kedaulatan negaranya dari serangan musuh, dalam Islam
juga dikenal dengan penaklukan terhadap negara-negara kafir yang memusuhi
Islam, menghalangi dakwah dan membuat kerusakan di muka bumi. Perang yang
bersifat menyerang ini hukumnya fardlu kifayah bagi umat Islam yang sudah
baligh, laki-laki, merdeka, tidak cacat dan mempunyai biaya yang cukup untuk
berperang dan cukup untuk keluarga yang ditinggalkannya. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
Hari Akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
Rasulnya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Islam), yaitu dari
orang-orang yang diberikan Al Kitab kepada mereka, hingga mereka membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At Taubah:29).
Sekilas,
dengan pendekatan perang model kedua ini, Islam terkesan sebagai agama radikal
dan penuh kekerasan. Seakan Islam adalah agama yang disebarkan dengan pedang
dan cara-cara pemaksaan. Namun sebenarnya, Islam tidak tidak pernah memaksakan
keyakinan keberagamaan Islam kepada orang-orang non muslim. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al
Baqarah:256). Penyerangan ini semata-mata bertujuan agar tidak ada lagi syariat
yang mengatur manusia di atas dunia ini kecuali Islam. Karena hanya dengan
diterapkannya syariat Islam, kemaslahatan dan rahmat bisa tercipta bagi
kehidupan manusia. Selain itu, perang dengan menaklukkan atau menyerang darul
harb (negara yang memusuhi Islam) atau kafir harb (kafir yang memusuhi Islam)
ini harus melalui beberapa tahaban. Pertama, tawaran kepada mereka untuk tunduk
terhadap kekuasaan Islam. Tahab kedua, jika menolak, mereka diminta membayar
jizyah (pajak) dengan jaminan perlindungan keamanan dan hak mereka sama dengan
kaum muslimin. Tahab ketiga, jika menolak, ditawarkan perang.
Penyerangan
atau penaklukan yang dilakukan oleh kaum muslimin ini sejatinya jauh berbeda
dengan penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Mereka menaklukan
negara-negara kecil dan lemah dengan tujuan menjajah, menindas dan merampas,
untuk semata-mata kepentingan sendiri. Jika misi kaum penjajah adalah
penindasan dan pemerasan, sebaliknya, misi perang dalam Islam adalah
menciptakan rahmatan lil alamin, mengembalikan manusia ke dalam agama dan
kehidupan yang suci untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Akibatnya,
negara-negara jajahan kaum kolonialis mengalami keterbelakangan, ketertindasan,
kehancuran, dan kemiskinan, sebaliknya negara-negara taklukan tentara-tentara Islam
justru mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat dalam segala aspek
kehidupan, di bidang ekonomi maupun saint dan teknologi. Contohnya adalah
penaklukan Mesir oleh Khalifah Umar bin Khattab, Andalusia oleh Thariq bin
Ziyad dan lain-lain.
Islam
mensyari’atkan perang tapi penuh dengan etika. Hadits berikut ini sebagai
buktinya:
“Ketika mengutus panglima perang Rasulullah shollallahu alaihi wasallam
berwasiat kepadanya dan seluruh pasukan agar bertaqwa dan berbuat baik.
Rasulullah bersabda, ‘Berperanglah di jalan Allah dengan nama Allah (ikhlas).
Perangilah orang kufur pada Allah. Janganlah kalian berkhiyanat. Janganlah
kalian menipu. Janganlah kalian mencincang. Janganlah kalian membunuh
anak-anak.” (HR. Tirmidzi).
Etika
berperang juga diajarkan oleh Khalifah Abu Bakar Shidiq ra. ketika
mendelegasikan Usama bin Zaid ke Syam, “Janganlah kamu berkhianat, jangan
menipu, jangan mencincang, jangan membunuh anak kecil, jangan membunuh orang
tua, jangan membunuh perempuan, jangan menebang pohon kurma dan jangan pula
membakarnya, jangan menebang pohon yang berbuah, jangan menyembelih kambing,
lembu atau unta kecuali untuk dimakan. Jika kamu melewati kaum yang mengabdikan
diri di gereja, maka biarkanlah mereka beserta pengabdiannya.” (Tafsir Ayatul
Ahkam).
Di
sinilah letak seni keindahan perang dalam Islam. Dengan begitu tidak ada alasan
menjatuhkan vonis bahwa Islam adalah agama radikal. Tidak ada celah menuduh
Islam sebagai agama yang melegalkan segala bentuk kekerasan dan kesadisan.
Justru sebaliknya, Islam adalah agama penebar rahmat (kasih sayang) bagi
kehidupan alam semesta. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya:108)