Minggu, 30 Maret 2014

Pembagian hukum bunuh diri dan mensholatinya


Pada dasarnya hukum bunuh diri adalah diharamkan kecuali ia berkeyakinan bahwa bunuh diri bisa menyelamatkan diri bahaya yang lebih besar. Pada masa shahabat, ada kejadian bahwa salah seorang shahabat mati setelah perang, namun Rasulullah mengatakan bahwa shahabat tersebut masuk neraka, ternyata penyebabnya adalah pada waktu malam hari dia tidak kuat menahan sakitnya luka yang diderita sebab perang, akhirnya dia bunuh diri. Sedangkan hukum mensholati orang yang  bunuh diri, menurut madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah, adalah tetap WAJIB untuk dishalati dan dimandikan.
Ma’khod:
وإن قيل: أن الإنسان قد يقتُل نفسَه وقد يرمي نفسَه من شاهقِ جبلٍ مع أنه قد يَعلم أن ذلك من الـخيرات بل من الشرور فنقول إن الانسان لايقدِم على قتل نفسه إلا إذا اعتقد اَنه بسبب ذلك القتل يتخلَّص من ضررٍ اعظمَ من ذلك القتل والضررُ الاسهلُ بالنسبة الى الضررِ الاعظمِ يكون خيرا لاشرا وعلى ذلك التقدير فالسؤالُ زائلٌ. (تفسير الفخر الرازي، الجزأ 8، صح:18)
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (إلى النار) فكان بعض الـمسلمين يَرتاب وقالوا كيف يكون فى النار فبينهما هم على ذلك إذ قيل لـهم اَنه لـم يـَمُت ولكن أصابته جراحٌ شديدةٌ فلما كان من اليل لـم يَصْبِرْ على الـجراح فاَخذ ذبابَ سيفه (طَرْفَ سيفِه) فتُحامِل عليه (إتِّكاءً عليه فقتَل نفسَه) (يسئلونك فى الدين، الجزأ 1، صح: 537)
ومن قتل نفسَه عمدًا يُغْسَلُ ويُصَلَّى عليه على الـمُفْتَى به عند الـحنفية وعند الشافعية وإن كان اعظمَ وِزْرًا من قاتلِ غيرِه لأنه فاسقٌ غيرُ ساعٍ فى لارض بالفساد وإن كان باغِيا على نفسه كسائر فُسَّاقِ المسلمين (الفقه لاسلامي وادلته، الجزأ 1، صح: 482)

Hukum mengharap agar cepat-cepat mati


Deskripsi Masalah:
Ada seseorang yang telah bertahun-tahun mengalami sakit dan sangat tipis harapan untuk sembuh. Akhirnya, yang bersangkutan atau pihak keluarga minta kepada sanak keluarganya untuk dibacakan surat yasin atau surat lain dengan harapan, kalau memang lebih baik hidup semoga segera disembuhkan dan kalau lebih baik “mati” semoga cepat mati husnul khotimah.
 
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya masalah di atas?

Jawab:
Mengharap cepat-cepat mati hukumnya berbeda-beda tergantung pada faktor yang melatar belakanginya;
Ø Jika faktornya karena kesengsaraan yang menimpa kepada badan atau harta dunianyamaka hukumnya makruh
Ø Jika karena untuk menghindari fitnah yang akan mengancam keselamatan agamanya maka hukumnya sunnah
Ø Jika tidak karena hal di atas maka tidak makruh, alias mubah
Ø Jika karena berkeinginan untuk lebih cepat berjumpa dengan Allah Swt maka hukumnya sunnah
Ma’khod:
(و)كره (تـمنِّـي موتٍ لضرّ) فى بدنه او دنياه (وسُنَّ) تـمنِّيه (لفتنة دينٍ) لـخبر الشيخَين فى الاول {لايتمنَّينَّ احدُكم الموتَ لضرّ اصابَه فإن كان لابدّ فاعلا فليقل "اللهم أحيِني ماكانت الحياةُ خيرا لي وتوفّني اذا كانت الوفاة خيرا لي"} واتّباعا من الثاني لكثير من السلف، وذكرُ السَّن من زيادتي. وقال الاسنوي وغيره ان النووي افتى به – الى ان قال  - (قوله وكره تـمني موت لضر) وسُنَّ لفتنة دين لـم يُعلَم من كلامه حكمُ تـمنيه من غير ضر ولافتنة دين وفى حجّ ما نصّه. (تنبيه) تُنافي مفهومُ كلامه فى مجرد تـمنيه الـخالي عنهما والذى يتّجه اَنه لاكراهةَ لاَن علتها انه مع ضر يُشعِر بالتبرّم بالقضاء بـخلافه مع عدمه بل هو حينئذ دليلٌ على الرَّضا لاَن من شأن النفوسِ النفرةَ عن الموت فتمنّيه لالضر دليلٌ على مـحبّة الاخرة بل حديث "مَنْ اَحَبَّ لِقَاءَ الله اَحَبَّ اللهُ لقائَه" يدل على ندب تـمنيه مـحبةً للقاء الله كهو ببلد شريف بل اولى (حاشية الجمل على شرح منهج الطلاب لسليمان بن عمر الجمل، الجزأ: 2، صح: 135) 

Status hukum roti dibakar menggunakan abu mutanajjis


Deskripsi masalah:
Akhir-akhir ini dengan kecanggihan teknologi banyak orang memasak menggunakan gas, dimana asal semburan gas itu berasal dari barang najis seperti kotoran hewan atau bahkan manusia.

Pertanyaan:
1. Bagaimana status hukumnya, boleh atau tidak?
2. Najiskah, kalau sampai makanan yang dimasak itu mengenai badan atau baju?

Jawab:
1. Status hukumnya adalah boleh
2. Najis, tetapi di ma’fu (diampuni). Jadi, badan atau baju yang dikenai makanan yang dimasak dengan gas atau abu mutanajis itu tidak wajib dibasuh atau dicuci.

Ma’khod:
سُئل شيخُنا ز ي عمّا يعتاده الناسُ فى تسخينِ الْـخبز فى الرَّماد النجِس, ثـم يفُتّونه فى ونحوه؟ فأجاب بأنه يُغفَى عَنهُ حتى مع قدرته على تسخينه فى الطاهر ولو اصابَه شيءٌ من نـحو ذلك اللَّبن لايـجب غسلُه كذا بـهامِسٍ وهو وجيهٌ مرضِيٌّ بل يعفى عن ذلك وإن تعلّق به شيءٌ من الرماد وصار مشاهَدًا سواءٌ ظاهرُه وباطنُه بأن انفتح بعضُه ودخل فيه ذلك (حاشية البجيرمي على الـخاطب لسليمان ببن مـحمد البجيرمي الجزأ: 1، صح: 241)

Nasehat KH. Hasyim Asy’ari

Dalam Kitab-nya Adabul ‘Alim wal Muta’allim, KH. M. Hasyim Asy’ari merangkum etika-etika santri atau pelajar sebagaimana berikut:
KH. Hasyim Asy'ari        Pertama, seorang santri hendaknya membersihkan hatinya dari segala hal yang dapat mengotorinya seperti dendam, dengki, keyakinan yang sesat dan perangai yang buruk.
Hal itu dimaksudkan agar hati mudah untuk mendapatkan ilmu, menghafalkannya, mengetahui permasalahan-permasalahan yang rumit dan memahaminya.
       Kedua, hendaknya memiliki niat yang baik dalam mencari ilmu, yaitu dengan bermaksud mendapatkan ridho Allah, mengamalkan ilmu, menghidupkan syariah Islam, menerangi hati dan mengindahkannya dan mendekatkan diri kepada Allah. Jangan sampai berniat hanya ingin mendapatkan kepentingan duniawi seperti mendapatkan kepemimpinan, pangkat, dan harta atau menyombongkan diri di hadapan orang atau bahkan agar orang lain hormat.
      Ketiga, hendaknya segera mempergunakan masa muda dan umurnya untuk memperoleh ilmu, tanpa terpedaya oleh rayuan “menunda-nunda” dan “berangan-angan panjang”, sebab setiap detik yang terlewatkan dari umur tidak akan tergantikan. Seorang santri hendaknya memutus sebisanya urusan-urusan yang menyibukkan dan menghalang-halangi sempurnanya belajar dan kuatnya kesungguhan dan keseriusan menghasilkan ilmu, karena semua itu merupakan faktor-faktor penghalang mencari ilmu.
       Keempat, menerima sandang pangan apa adanya sebab kesabaran akan ke-serba kekurangan hidup, akan mendatangkan ilmu yang luas, kefokusan hati dari angan-angan yang bermacam-macam dan hikmah hikmah yang terpancar dari sumbernya.
Imam As-Syafi’i Ra berkata, tidak akan bahagia orang yang mencari ilmu disertai tinggi hati dan kemewahan hidup. Tetapi yang berbahagia adalah orang yang mencari ilmu disertai rendah hati, kesulitan hidup dan khidmah pada ulama.
        Kelima, pandai membagi waktu dan memanfaatkan sisa umur yang paling berharga itu. Waktu yang paling baik untuk hafalan adalah waktu sahur, untuk pendalaman pagi buta, untuk menulis tengah hari, dan untuk belajar dan mengulangi pelajaran waktu malam. Sedangkan tempat yang paling baik untuk menghafal adalah kamar dan tempat-tempat yang jauh dari gangguan. Tidak baik melakukan hafalan di depan tanaman, tumbuhan, sungai dan tempat yang ramai.
        Keenam, makan dan minum sedikit. Kenyang hanya akan mencegah ibadah dan bikin badan berat untuk belajar. Di antara manfaat makan sedikit adalah badan sehat dan tercegah dari penyakit yang di akibatkan oleh banyak makan dan minum, seperti ungkapan syair yang artinya: “Sesungguhnya penyakit yang paling banyak engkau ketahui berasal dari makanan atau minuman.”
         Hati dikatakan sehat bila bersih dari kesewenang-wenangan dan kesombongan. Dan tidak seorangpun dari para wali, imam dan ulama pilihan memiliki sifat atau disifati atau dipuji dengan banyak makannya. Yang dipuji banyak makannya adalah binatang yang tidak memiliki akal dan hanya dipersiapkan untuk kerja.
        Ketujuh, bersikap wara’ (mejauhi perkara yang syubhat ‘tidak jelas ‘ halal haramnya) dan berhati-hati dalam segala hal. Memilih barang yang halal seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan semua kebutuhan hidup supaya hatinya terang, dan mudah menerima cahaya ilmu dan kemanfaatannya. Hendaknya seorang santri menggunakan hukum-hukum keringanan (rukhsoh) pada tempatnya, yaitu ketika ada kebutuhan dan sebab yang memperbolehkan. Sesungguhnya Allah senang bila hukum rukhsohnya dilakukan, seperti senangnya Allah bila hukum ‘azimahnya (hukum sebelum muncul ada sebab rukhsoh) dikerjakan.
       Kedelapan, meminimalisir penggunaan makanan yang menjadi penyebab bebalnya otak dan lemahnya panca indera seperti buah apel yang asam, buncis dan cuka. Begitu juga dengan makanan yang dapat memperbanyak dahak (balgham) yang memperlambat kinerja otak dan memperberat tubuh seperti susu dan ikan yang berlebihan. Hendaknya seorang santri menjauhi hal-hal yang menyebabkan lupa seperti makan makanan sisa tikus, membaca tulisan di nisan kuburan, masuk di antara dua unta yang beriringan dan membuang kutu hidup-hidup.
      Kesembilan, meminimalisir tidur selama tidak berefek bahaya pada kondisi tubuh dan kecerdasaan otak. Tidak menambah jam tidur dalam sehari semalam lebih dari delapan jam. Boleh kurang dari itu, asalkan kondisi tubuh cukup kuat. Tidak masalah mengistirahatkan tubuh, hati, pikiran dan mata bila telah capek dan terasa lemah dengan pergi bersenang-senang ke tempat-tempat rekreasi sekiranya dengan itu kondisi diri dapat kembali (fresh).
      Kesepuluh, meninggalkan pergaulan karena hal itu merupakan hal terpenting yang seyogyanya di lakukan pencari ilmu, terutama pergaulan dengan lain jenis dan ketika pergaulan lebih banyak-main-mainnya dan tidak mendewasakan pikiran. Watak manusia itu seperti pencuri ulung (meniru perilaku orang lain dengan cepat) dan efek pergaulan adalah ketersia-siaan umur tanpa guna dan hilang agama bila bergaul dengan orang yang bukan ahli agama. Jika seorang pelajar butuh orang lain yang bisa dia temani, maka hendaknya dia jadi teman yang baik, kuat agamanya, bertaqwa, wara ‘, bersih hatinya, banyak kebaikannya, baik harga dirinya (muru’ah), dan tidak banyak bersengketa: bila teman tersebut lupa dia ingatkan dan bila sudah sadar maka dia tolong. 
(Diterjemahkan dari kitab “Adabul ‘Alim wal Muta’ allim” karya KH. M. Asy’ari)
*Tulisan ini dimuat di Majalah Tebuireng Edisi: 19/Januari-Februari 2012

Hukum Biogas dari Kotoran Hewan/Manusia

BiogasTebuireng.org – Pertanyaan: Bolehkan menggunakan teknologi biogas dari kotoran binatang ternak atau manusia, sebagai energi alternatif seperti untuk kompor gas dan sebagainya? Padahal sepengetahuan kami, kotoran hewan dan manusia itu hukumnya najis.
Atas jawabannya disampaikan terima kasih.
 


Jawaban
       Saudara  yang dimuliakan Allah Swt. Memanfaatkan kotoran hewan atau manusia untuk hal-hal yang bermanfaat hukumnya boleh (mubah). Sama seperti memanfaatkan kotoran hewan/manusia untuk kesuburan tanah (dibuat pupuk kandang, dll.). Ketika kotoran tersebut dikonversi dalam bentuk gas (untuk memasak di kompor gas), maka gasnya juga dihukumi najis, karena gas tersebut hakikatnya tetap mengandung materi najis (‘ainun najasah). Namun, ketika gas tersebut sudah dibakar, maka api dan asapnya dihukumi najis yang ma’fuwwun ‘anhu (dimaafkan/ditoleransi). Sama seperti—maaf—gas yang keluar dari perut manusia; terkadang ia keluar dan membasahi pakaian sehingga pakaiannya dihukumi najis; terkadang tidak membasahi pakaian sehingga dima’fu.
       Artinya, jika kita “menyentuh” biogas tersebut secara sengaja, lalu tangan kita menjadi basah karenanya, maka tangan kita dihukumi najis/mutanajjis. Tapi bila gasnya dibakar dan digunakan untuk memasak, maka api dan asapnya dima’fu, meskipun mengandung materi najis.
Ini konsepsi fiqh Madzhab Syafi’i. Sedangkan menurut madzhab Maliki dan Hanbali, hewan yang dagingnya halal dimakan (seperti ayam, kambing, sapi), kotorannya tidak dihukumi najis. Berarti ketika kotoran tersebut dikonversi dalam bentuk biogas, hukumnya juga tidak najis. Wallahu a’lam.
Referensi:

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج1-383
فُرُوعٌ : دُخَانُ النَّجَاسَةِ نَجِسٌ يُعْفَى عَنْ قَلِيلِهِ وَعَنْ يَسِيرِهِ عُرْفًا مِنْ شَعْرٍ نَجِسٍ مِنْ غَيْرِ نَحْوِ كَلْبٍ ، وَيُعْفَى عَنْ كَثِيرِهِ مِنْ مَرْكُوبٍ لِعُسْرِ الِاحْتِرَازِ عَنْهُ . أَمَّا شَعْرُ نَحْوِ الْكَلْبِ فَلَا يُعْفَى عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ ، وَيُعْفَى عَنْ رَوْثِ سَمَكٍ فَلَا يُنَجِّسُ الْمَاءَ لِتَعَذُّرِ الِاحْتِرَازِ عَنْهُ مَا لَمْ يُغَيِّرْهُ فَإِنْ غَيَّرَهُ نَجَّسَهُ ، وَبُخَارُ النَّجَاسَةِ إنْ تَصَاعَدَ بِوَاسِطَةِ نَارٍ نَجِسٌ ؛ لِأَنَّ أَجْزَاءَ النَّجَاسَةِ تَفْصِلُهَا النَّارُ بِقُوَّتِهَا فَيُعْفَى عَنْ قَلِيلِهِ وَإِلَّا بِأَنْ كَانَ كَالْبُخَارِ الْخَارِجِ مِنْ نَجَاسَةِ الْكَنِيفِ فَطَاهِرٌ كَالرِّيحِ الْخَارِجِ مِنْ الدُّبُرِ كَالْجُشَاءِ ، وَبِهَذَا جَمَعَ بَعْضُهُمْ بَيْنَ كَلَامَيْ مَنْ أَطْلَقَ الطَّهَارَةَ كَبَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ وَبَيْنَ مَنْ أَطْلَقَ النَّجَاسَةَ

حاشية الشبراملسي نهاية المحتاج1-24
وَيُعْفَى عَنْ قَلِيلِ دُخَانِ النَّجَاسَةِ فِي الْمَاءِ وَغَيْرِهِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ الْإِسْنَوِي. ( قَوْلُهُ دُخَانُ النَّجَاسَةِ ) أَيْ حَيْثُ لَمْ يَكُنْ وُصُولُهُ لِلْمَاءِ وَنَحْوُهُ بِفِعْلِهِ وَإِلَّا نَجُسَ

فتح المعين بشرح قرة العين 1-11
(كروث وبول ولو) كانا من طائر وسمك وجراد وما لا نفس له سائلة أو (من مأكول) لحمه على الأصح. قال الإصطخري والروياني من أئمتنا كمالك وأحمد إنهما طاهران من المأكول


Memahami Makna Jihad


Pengertian Jihad
Jihad itu mengandung dua muatan makna, bahasa dan syariat. Makna jihad secara bahasa adalah kesulitan (masyaqah) (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari dan Naylul Awthar), atau juga mempunyai arti kesungguhan (juhd), kemampuan menanggung beban (thaqah) dan kesulitan (masyaqah) (Kamus al Muhath). Jihad dalam aspek bahasa juga bermakna mencurahkan segala usaha atau tenaga untuk memperoleh tujuan tertentu (Al Jihad Walqital Fissiyasah Asy Syar’iyah).
Sementara pengertian jihad dalam konteks syar’i adalah mengerahkan segenap potensi untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung atau tidak langsung, misalnya melalui bantuan materi, sumbangsih pendapat, penyediaan logistik dan lain-lain (Raddul Mukhtar III). Dalam pengertian syar’i, jihad juga bermakna mengerahkan segenap kesungguhan dalam memerangi orang kafir (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari).Walhasil, secara bahasa, jihad mencakup makna yang cukup luas, meliputi jihad melawan hawa nafsu, jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad politik, jihad pemikiran, jihad mencari ilmu dan lain-lain.
Sebaliknya, jihad menurut makna syariat, sebagaimana dibahas dalam literatur fiqh, selalu berkaitan dengan pembahasan tentang perang, penaklukan, ekspedisi militer di wilayah-wilayah Darul Harb (negara yang memusuhi Islam). Banyak sekali ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang jihad (perang). Namun demikian, dalam konteks jihad sesuai pengertian syar’i, ada dua jenis penjelasan, yaitu yang eksplisit (gamblang) dan implisit (tersirat). Yang eksplisit antara lain adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al Haj:39). atau seperti ayat berikut: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” )QS. Al Anfal;39).
Sedangkan yang implisit, tetapi tetap tidak bisa diartikan kecuali perang, antara lain:
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS. At Taubah:73) Ada pula nash-nash jihad yang mengandung pengertian selain peperangan, antara lain: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut:69).
Juga ada Hadits yang berbicara tentang jihad yang mengandung pengertian selain perang, yaitu: “Sayyidatina A’isyah bertanya kepada Nabi, ‘Adakah jihad bagi kaum wanita?’ ‘Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Yaitu haji dan umrah.” (HR. Ahmad).
Para ulama fiqih membahas makna jihad dalam arti syara’ (bukan dalam pengertian bahasa) dalam beberapa aspek, dari hukum berjihad, siapa yang wajib berperang, etika berperang, siapa yang wajib diperangi, keutamaan mati syahid dan lain sebagainya. Oleh karena itu pengertian jihad dalam arti syar’i harus dipahami oleh seluruh umat Islam. Jangan sampai pemaknaan jihad itu mengalami kerancuan dan pembelokan, seperti yang sedang marak akhir-akhir ini. Sebagian kelompok menterjemahkan jihad dengan makna perang secara membabi buta, seperti halnya bom bunuh diri. Sebaliknya, kelompok lain memahami jihad dengan pemaknaan yang terkesan mengecilkan perang. Mereka lebih suka mengedepankan jihad dengan pengertian jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad melawan nafsu dan lain-lain dari pada jihad yang bermakna perang. Bahkan sebagian yang lain, jelas-jelas mengatakan bahwa jihad itu bukan perang, menurutnya, nash Al Quran menjelaskan perang dengan sebutan qital, bukan jihad. Sungguh, beberapa pendapat di atas yang dewasa ini seringkali menghiasi media masa, jelas-jelas merupakan pendapat yang tidak berdasar dan tidak mempunyai pijakan yang jelas dalam kitab-kitabnya para ulama salaf yang telah terbukti kredibitasnya.

Bertahan dan Menyerang
      Setiap individu muslim yang sudah dewasa diwajibkan (fardlu ain) mempertahankan negaranya dari serangan musuh yang ingin menghancurkan kedaulatan dan keutuhan negara Islam. Hal ini dijelaskan dalam Surah Al Baqarah ayat 190: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas.”
Selain berperang mempertahankan kedaulatan negaranya dari serangan musuh, dalam Islam juga dikenal dengan penaklukan terhadap negara-negara kafir yang memusuhi Islam, menghalangi dakwah dan membuat kerusakan di muka bumi. Perang yang bersifat menyerang ini hukumnya fardlu kifayah bagi umat Islam yang sudah baligh, laki-laki, merdeka, tidak cacat dan mempunyai biaya yang cukup untuk berperang dan cukup untuk keluarga yang ditinggalkannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Islam), yaitu dari orang-orang yang diberikan Al Kitab kepada mereka, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At Taubah:29).
Sekilas, dengan pendekatan perang model kedua ini, Islam terkesan sebagai agama radikal dan penuh kekerasan. Seakan Islam adalah agama yang disebarkan dengan pedang dan cara-cara pemaksaan. Namun sebenarnya, Islam tidak tidak pernah memaksakan keyakinan keberagamaan Islam kepada orang-orang non muslim. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah:256). Penyerangan ini semata-mata bertujuan agar tidak ada lagi syariat yang mengatur manusia di atas dunia ini kecuali Islam. Karena hanya dengan diterapkannya syariat Islam, kemaslahatan dan rahmat bisa tercipta bagi kehidupan manusia. Selain itu, perang dengan menaklukkan atau menyerang darul harb (negara yang memusuhi Islam) atau kafir harb (kafir yang memusuhi Islam) ini harus melalui beberapa tahaban. Pertama, tawaran kepada mereka untuk tunduk terhadap kekuasaan Islam. Tahab kedua, jika menolak, mereka diminta membayar jizyah (pajak) dengan jaminan perlindungan keamanan dan hak mereka sama dengan kaum muslimin. Tahab ketiga, jika menolak, ditawarkan perang.
Penyerangan atau penaklukan yang dilakukan oleh kaum muslimin ini sejatinya jauh berbeda dengan penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Mereka menaklukan negara-negara kecil dan lemah dengan tujuan menjajah, menindas dan merampas, untuk semata-mata kepentingan sendiri. Jika misi kaum penjajah adalah penindasan dan pemerasan, sebaliknya, misi perang dalam Islam adalah menciptakan rahmatan lil alamin, mengembalikan manusia ke dalam agama dan kehidupan yang suci untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Akibatnya, negara-negara jajahan kaum kolonialis mengalami keterbelakangan, ketertindasan, kehancuran, dan kemiskinan, sebaliknya negara-negara taklukan tentara-tentara Islam justru mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat dalam segala aspek kehidupan, di bidang ekonomi maupun saint dan teknologi. Contohnya adalah penaklukan Mesir oleh Khalifah Umar bin Khattab, Andalusia oleh Thariq bin Ziyad dan lain-lain.
Islam mensyari’atkan perang tapi penuh dengan etika. Hadits berikut ini sebagai buktinya:
“Ketika mengutus panglima perang Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berwasiat kepadanya dan seluruh pasukan agar bertaqwa dan berbuat baik. Rasulullah bersabda, ‘Berperanglah di jalan Allah dengan nama Allah (ikhlas). Perangilah orang kufur pada Allah. Janganlah kalian berkhiyanat. Janganlah kalian menipu. Janganlah kalian mencincang. Janganlah kalian membunuh anak-anak.” (HR. Tirmidzi).
Etika berperang juga diajarkan oleh Khalifah Abu Bakar Shidiq ra. ketika mendelegasikan Usama bin Zaid ke Syam, “Janganlah kamu berkhianat, jangan menipu, jangan mencincang, jangan membunuh anak kecil, jangan membunuh orang tua, jangan membunuh perempuan, jangan menebang pohon kurma dan jangan pula membakarnya, jangan menebang pohon yang berbuah, jangan menyembelih kambing, lembu atau unta kecuali untuk dimakan. Jika kamu melewati kaum yang mengabdikan diri di gereja, maka biarkanlah mereka beserta pengabdiannya.” (Tafsir Ayatul Ahkam).
Di sinilah letak seni keindahan perang dalam Islam. Dengan begitu tidak ada alasan menjatuhkan vonis bahwa Islam adalah agama radikal. Tidak ada celah menuduh Islam sebagai agama yang melegalkan segala bentuk kekerasan dan kesadisan. Justru sebaliknya, Islam adalah agama penebar rahmat (kasih sayang) bagi kehidupan alam semesta. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya:108)