Beberapa waktu yang lalu sebagian masyarakat pecinta
dayah dikejutkan dengan kehadiran buku yang memvonis sesat amalan yang telah
lumrah mereka amalkan, yaitu hadiah pahala. Buku tersebut berjudul “HADIAH
PAHALA AMALAN REKAYASA’’, karangan Bapak Muhammad Ali Wari. Buku tersebut
dipuji oleh salah seorang guru besar usul fiqih yang ikut memberikan kata
pengantar, Prof. Dr. Alyasa` Abu Bakar, MA. yang tak lain adalah murid dari
penulis semenjak bangku MIN.
Sekitar setahun yang lalu, ketika diadakan maulid di salah
satu Dayah di kawasan kabupaten Pidie Jaya, ada yang mengusulkan supaya
dilakukan pembedahan terhadap buku tersebut dalam acara mubahatsah yang
diadakan pada malam hari, namun kami melihat tanggapan yang sangat lemah dari
seorang guru kami, beliau tampak tidak tertarik sama sekali membahas isi buku
tersebut, padahal beliau adalah orang yang sangat aktif membahas masalah yang
musykil, rupanya bagi beliau tidak ada kemusykilan sedikitpun untuk menjawab
argument yang dibawakan penulis buku tersebut. Pada saat itu kami belum melihat
dan membaca isi bukunya.
Pada awal tahun ini, kami mendapatkan buku itu dari
salah seorang guru di LPI Mudi yang kuliah pasca sajrana di IAIN ar-Raniry,
Banda Aceh. Salah seorang dosen beliau, membagikan buku tersebut secara gratis
serta menyampaikan pesan supaya buku tersebut dibaca-baca oleh kalangan santri
di Dayah. Pada cetakan buku yang ada pada kami, ada lembaran tambahan untuk Bab
II hal 52. Dalam lampiran tambahan itu, Bapak Aliwari mengutip hadist dari
kitab hadist rujukan utama kaum Syiah, al-Kafi yang dikarang oleh tokoh panutan
Syiah, Muhammad bin Ya`qub al-Kulainy (w. 329 H). Setelah membaca dan
mempelajari isi buku tersebut dan merujuk kepada referensinya maka kami
mendapatkan jawaban mengapa guru kami tidak berminat samasekali membahas dan
bermubahatsah tentang isi buku itu.
Saat kita membaca buku ini, kita akan mendapati sajian
intelektual islami dimana Bapak Aliwari membawakan ayat al-Quran, al-Hadits,
dan nash-nash para ulama terutama ulama tafsir. Hal ini tentu akan membuat
pembaca mendapat pandangan baru tentang amalan hadiah pahala dan merasa bahwa
inilah sebuah kebenaran karena berlandaskan ayat al-quran, hadist dan pendapat
para ulama. Namun demikian, karena keuniversalannya ayat dan hadits bahkan qaul
ulama, sejalankan pendapat Bapak Aliwari atau ada perbedaan penafsirannya
dengan ulama-ulama yang mu`tabar.
Inilah pertanyaan yang timbul saat kami membaca buku
beliau. Kami merasakan seolah-olah bapak Aliwari terkurung dalam sebuah
ideology sehingga aliran tulisan beliau mengalir bak air irigasi yang sudah
tertentu arah tujuannya, bukan seperti sungai yang mengalir menurut
kehendaknya. Artinya dalil-dalil yang beliau sampaikan beliau arahkan kepada
sebuah kesimpulan, bukan menarik sebuah kesimpulan dari dalil-dali tersebut.
Karenanya keilmiyahan buku ini perlu kita teliti dengan seksama, sebab sangat
tidak logis jika memotong meteran karena kayu yang kependekan.
Maka dalam tulisan singkat ini, kami ingin memaparkan
sedikit hasil pengamatan kami terhadap buku “HADIAH PAHALA AMALAN REKAYASA’’.
Yang akan kami paparkan di sini hanyalah sebagian kecil contoh-contoh
kontroversial Bapak Aliwari terutama dalam hal mengkatagorikan para ulama besar
dalam satu golongan tertentu. Sedangkan problema yang ditimbulkan oleh Bapak
Aliwari dalam memahami nash al-Quran dan hadist serta nash-nash para ulama dan
keterasingan Bapak Aliwari dalam penempatan qaedah-qaedah tertentu, tidak kami
sebutkan disini.
Penting juga untuk diketahui bahwa pada bab 2 Bapak
Aliwari membuat judul besar “HADIAH PAHALA KONTRA AL-QURAN DAN HADITS. Kemudian
pada poin A, Bapak Aliwari membuat sub judul dengan “Dalil hadiah pahala dan
Over dosa menentang al-quran.
Sepengetahuan kami saat ini, tidak ada pihak yang
menyatakan bahwa over dosa ini ada dalam islam, baik di Aceh maupun di luar
daerah. Kalangan ulama Ahlus sunnah hanya mengakui adanya hadiah pahala
sedangkan over dosa tidak ada sama sekali.
Ketika Bapak Aliwari membawakann ayat al-quran dari
hal 23-46 sebanyak 102 ayat al-quran, ada 26 ayat al-quran yang hanya
berhubungan dengan masalah over dosa. Maka ketika Bapak Aliwari menggabungkan
dalil ayat al-quran untuk kedua masalah tersebut akan terbanyang dalam benak
pembaca yang awam bahwa ada lebih seratus ayat al-quran yang menyatakan tidak
adanya hadiah pahala. Sedangkan untuk masalah over dosa, pikiran pembaca tidak
akan tertuju kepada hal tersebut karena memang umumnya pembaca sudah mengakui
bahwa over dosa itu tidak ada. Disini terlihat kepiawaian Bapak Aliwari dalam
menggiring pembaca dari kalangan masyarakat awam.
Berikut ini
beberapa analisa Bapak Aliwari yang kami telusuri, kami sebutkan sedikit
sebagai contoh saja:
1. Salah
menisbahkan perkataan.
Pada halaman
54, Bapak Aliwari mengatakan:
Atas dasar
ibadah palsu itu pulalah, kata Imam Syafii, Maka Rasulullah SAW dan semua
shahabatnya tidak pernah sama sekali menghadiahkan pahala bacaan…
Ini
sebenarnya bukanlah perkataan Imam Syafii, ini hanya perkataan Imam Ibnu Katsir
dalam tafsir beliau setelah mengatakan bahwa atas dasar ayat an-Najmu 39 Imam Syafii
berijtihad bahwa hadiah bacaan tidak sampai kepada orang meninggal. Khusus
untuk masalah shadaqah untuk mayat Ibnu Katsir dengan terang mengakui sampai
pahalanya untuk mayat dan beliau sendiri mengatakan hal tersebut merupakan
ijmak para ulama.
Lagi pula
maksud Imam Syafii tersebut adalah adalah tidak sampai pahala bacaan al-quran
apabila tidak diiringin dengan doa atau bukan dihadapan mayat sebagaimana yang
diterangkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitamy.
2. Berdusta
atas nama para ulama.
Dalam bab ke
tiga Bapak Aliwari menyebutkan sederetan nama para mufassir dengan disertai
sebagian nash kitab tafsir. Namun amat disayangkan Bapak Aliwari hanya mengutip
sebagian nash kitab tafsir tetapi tidak menuliskan nash yang kadang-kadang
terletak tepat didepan nash yang beliau sebutkan. Dari nash yang tidak
disebutkan itu, dengan sangat jelas dan terang akan kita dapati bahwa para
mufassir tersebut mengakui adanya hadiah pahala.
Para
mufassir seperti Dr. Wahbah Zuhaily, Imam Jalaluddin al-Mahally, Abu Hafash
Sirajuddin Umar bin Ali bin Adil al-Hanbaly ad-Dimsyaqy (w. 775 H) pengarang
tafsir al-Lubab, Abu Qasim Mahmud bin Amr az-Zamakhsyary (367-538 H/1074-1143
M) pengarang kitab al-Kisyaf, Abdullah Abu Barakat an-Nasafi (w. 710 H/1310 M)
pengarang tafsir Madarik at-Tanzil wa Haqaiq at-Ta`wil, Abu Su`ud Muhammad bin
Muhammad bin Musthafa al-Imady (898-982 H/1493-1573) pengarang Tafsir Irsyadul
`aqal as-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim, Imam as-Sayuthy pengarang Tafsir
al-Jalalain dan al-Mantsur, Imam asy-Syanqithy (1907-1973 M/1393-1325 H)
pengarang kitab Adha` al-Bayan fi Idhah al-quran bi al-quran, Abu Tsana`
syihabuddin al-Alusi (1217-1270H/1802-1854 M) pengarang kitab Ruhul Ma`any,
Imam Muhammad bin Umar bin Hasan Fakhruddin ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M) pengarang
tafsir Mafatihul Ghaib, Syeikh Jamaluddin bin Muhammad Sa`id al-Qasimy
(1283-1332 H/1866-1914 M), Imam Ismail Haqqy bin Musthafa al-Istanbuly
al-Hanafy al-Khalwaty (w.1127 H/1715 M) pengarang kitab Ruh al-Bayan, Imam
Syamsuddin Khatib Muhammad bin Ahmad asy-Syarbainy (w. 977 H/1570 M) , Imam
al-Qurthuby, Ibnu Ajibah, dan Syeikh Thanthawy Jauhary merupakan orang yang
tegas menyatakan bahwa adanya manfaat dari amalan orang lain baik dari amalan
berupa shadaqah, haji, membaca al-quran dll sebagaimana mereka tulis dengan
jelas dalam karya-karya mereka. Nama-nama mufassir diatas hanya beberapa kitab
tafsir yang sempat kami periksa, selain itu masih banyak kitab tafsir yang lain
yang disebutkan Bapak Aliwari dalam bukunya yang belum sempat kami periksa.
Oleh Bapak
Aliwari para ulama tersebut dimasukkan dalam golongan yang mendukung
pendapatnya bahwa tidak ada hadiah pahala sama sekali dengan membawakan
sebagian nash kitab mereka dan tidak menuliskan penjelasan mereka yang lebar
panjang setelahnya yang terdapat dalam halaman berikutnya bahkan kadang-kadang
penjelasan tersebut mereka uraikan tepat setelah nash yang hanya diambil oleh
Bapak Aliwari.
Untuk contoh
cukup kami bawakan satu kitab tafsir yang disebutkan oleh Bapak Aliwari,
sedangkan yang lain akan kami paparkan pada kesempatan yang lain;
Pada halaman
112, Bapak Aliwari membawakan nash kitab Daf`ul Idhah Idhtirab`an Ayatil Quran
karangan Imam asy-Syanqithy:
{وَأَنْ
لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى} هذه الآية الكريمة تدل على أنه لا ينتفع
أحد بعمل غير
Bapak
Aliwari tidak melanjutkan penjelasan Imam asy-Syanqithy selanjutnya yaitu
ketika menjawab ta`arudh/kontradiksi antara ayat ini dengan ayat-ayat dan
hadist yang lain. Beliau memberi tiga jawaban, salah satunya adalah:
الأول – إن
الآية إنما دلت على نفي ملك الإنسان لغير سعيه ولم تدل على نفي انتفاعه بسعي غيره
لأنه لم يقل وأن لن ينتفع الإنسان إلا بما سعى. وإنما قال وأن ليس للإنسان. وبين الأمرين فرق ظاهر لأن
سعي الغير ملك لساعيه إن شاء بذله لغيره فانتفع به ذلك الغير وإن شاء أبقاه لنفسه
وقد أجمع العلماء على انتفاع الميت بالصلاة عليه والدعاء له والحج عنه ونحو ذلك
مما ثبت الانتفاع بعمل الغير فيه.
Pertama;
ayat ini hanya menunjuki kepada tidak ada kepemilikan bagi selain pelaku
amalannya, dan sama sekali tidak menunjuki bahwa tidak ada manfaat dengan
amalan orang lain karena Allah tidak menyebutkan “tidak bermanfaat bagi manusia
kecuali amalannya sendiri”. Allah hanya menyebutkan “tidak ada bagi insan…”
antara kedua lafadh ini ada perbedaan yang nyata, karena usaha orang lain
adalah miliknya sendiri jika ia menghendaki ia bisa saja memberikan kepada
orang lain maka orang lain bisa saja mendapatkan manfaatnya dan jika ia
menghendaki bisa saja ia tetapkan untuk dirinya sendiri. Para ulama telah ijmak
bahwa bisa bermanfaat untuk mayat dengan shalat, doa, haji baginya, dan hal-hal
yang lain yang ada dalilnya yang dapat memberi manfaat dengan amal orang lain.
Kasus
seperti diatas sangat banyak ditemukan dalam buku Bapak Aliwari. Kalau
disebutkan contoh-contoh yang lain, akan penuhlah halaman majalah ini. Insya
Allah akan kami terangkan dalam buku khusus untuk menanggapi buku Bapak
Aliwari. Maka kalau sang professor dalam kata pengantarnya menyatakan bahagia
dan gembira atas hasil karya gurunya yang sudah sepuh, kami malah merasa heran,
mengapa Bapak Aliwari yang dalam usia yang sudah sepuh, masih berani memutar
balik fakta dan data atas nama para ulama-ulama besar. Tidakkah ia takut akan
azab Allah terhadap orang-orang yang menyembunyikan kebenaran, terlebih lagi
atas nama para kekasihNya.
3. Penulis
buku Bapak Aliwari juga mengikutsertakan nama para ulama Mazhab Syafii seperti
Imam Syafii, Imam Nawawy, Imam Ramly, Imam Qalyuby, Imam Ibnu Hajar Haitamy,
Imam ad-Dimyathy (Sayyid Abi Bakar Syatha), dan ulama mazhab Syafii yang lain.
Disini Bapak
Aliwari membawakan pernyataan para ulama Mazhab Syafii tentang yang melarang
dan mengharamkan kenduri kematian.
Disini Bapak
Aliwari kembali berusaha menyeret pemikiran pembaca, semua para ulama Syafiiyah
tersebut adalah ulama yang mengakui adanya hadiah pahala. Seperti kata Imam Sayyid
Abi Bakar asy-Syatha tentang sampai pahala shadaqah dalam kitab Hasyiah i`anah
hal 245 jilid 2 cet. Haramain yang mengutip isi kitab Busyra Karim bahwa
sepatutnya hal tersebut (adanya manfaat dari amalan orang lain) tidak
diperselisihkan keabsahannya. Para ulama tersebut hanya terjadi perbedaan
pendapat pada beberapa masalah ibadat apakah boleh dihadiahkan pahala atau
tidak, namun secara umum mereka sepakat adanya bentuk amalan yang dapat diambil
manfaatnya oleh orang yang telah meninggal seperti masalah haji, doa dan
shadaqah.
Perlu
diketahui bahwa yang disebutkan oleh para ulama syafiiyah tersebut adalah
masalah berkumpul di rumah kematian bukan masalah hadiah pahala. Dua masalah
ini sangat jauh berbeda dan tidak saling melazimi. Berkumpul bisa terjadi tanpa
adanya kegiatan menghadiahkan pahala, dan menghadiahkan pahala amalan bisa saja
dilakukan tanpa berkumpul. Lagi pula berkumpul yang dimaksudkan oleh ulama
mazhab Syafii tersebut adalah berkumpul dalam keadaan tertentu yang dapat
menimbulkan kegundahan di hati keluarga bukan mutlak berkumpul, sangat ganjil
bila pada hari kematian, agama melarang yang namanya berkumpul yang berarti
harus duduk secara sendiri-sendiri tidak boleh berkumpul.
Penambahan
nama-nama para ulama Syafiiyah tersebut tampaknya bertujuan menarik kalangan
awam untuk menguatkan pandangan saudara Aliwari.
4. Pada
halaman 20, Bapak Aliwari menyinggung bahwa Ibnu Taimiyah menyatakan lebih 20
jenis manfaat amal shaleh yang dapat dimanfaatkan dari amalan shaleh orang
lain. Bapak Aliwari tidak menyebutkan secara detil 20 jenis amalan yang Ibnu
Taimiyah sebutkan itu. Akhirnya beliau menyimpulkan bahwa manfaat amal shaleh
berupa pahala hanya semata-mata berguna untuk yang mengamalkannya saja.
Namun,
benarkan diantara 21 contoh yang Ibnu Taimiyah sebutkan tidak ada manfaat yang
berupa pahala? Ketika kita periksa ke 21 amalan tersebut maka kita akan
mendapati bahwa Ibnu Taimiyah berkata, diantaranya;
(No. 8)
Orang yang telah meninggal menerima manfaat dengan shadaqah dan pemerdekaan
budak untuknya berdasarkan keterangan jelas dari sunnah dan ijmak.
(No. 9) Haji
yang wajib akan terlepas dari tanggungan mayit dengan sebab dikerjakan oleh
walinya untuk mayat tersebut.
(No. 10)
Haji dan puasa yang wajib dengan bernazar akan terlepas dari mayit dengan
dikerjakan pekerjaan orang lain.
Tiga contoh
yang dibawakan Ibnu Tamiyah ini merupakan manfaat berupa pahala amalan orang
lain. Berarti dalam hal ini Ibnu Taimiyah sejalan dengan keyakinan ulama
Ahlussunnah yang mengakui adanya manfaat pahala dari amalan orang lain. Bahkan
murid beliau, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dalam kitabnya ar-Ruh menguraikan
panjang lebar tentang adanya manfaat pahala dari amalan orang lain.
Kalau
seandainya Bapak Aliwari berpendapat “tidak ada hadiah pahala” kemudian beliau
menguatkan pendapatnya dengan mengutip pendapat tokoh-tokoh seperti Rasyid
Redha, Ibnu Bazz, Lajnah Daimah lil Buhuts Arab Saudy, dan yang sepaham dengan
mereka tanpa berusaha memasukkan nama-nama para ulama seperti Imam Syafii, Imam
Nawawy, Imam as-Sayuthy kedalam golongan mereka, maka kita menganggapnya jujur
dalam menulis walaupun salah dalam memilih dan memahami nash al-quran dan
hadits.
Namun, kalau
hanya menyandarkan pendapatnya kepada tokoh-tokoh diatas tentu saja
pandangannya sulit untuk laku dimasyarakat, karena itulah ia berusaha
memasukkan nama-nama ulama besar yang disepakati sebagai panutan umat kedalam
golongan orang-orang yang sependapat dengannya.
Setelah kami
menelaah buku karangan Bapak Aliwari maka dapat kami simpulkan:
- Bapak Aliwari tampaknya mengalami kegagalan interpretasi terhadap literatur karya ulama klasik. Hal ini dibuktikan oleh ketidakmampuannya untuk mengkompromikan pendapat-pendapat para ulama yang tampaknya kontradiktif.
- Penulis buku tersebut sangat objektif, artinya ia tidak merasa sungkan untuk memutarbalikan fakta dan data karena telah terlebih dahulu meyakini ideology yang ia anut.
- Apa yang dilakukan penulis buku tersebut dengan membuang sebagian data agar sampai kepada tujuannya merupakan kebohongan ilmiyah dan ketidakjujuran akademik, sehingga patut dipertanyakan etika intelektualitasnya dan juga intelektualitas orang-orang yang memberikan apresiasi kepadanya.
Sekian
tulisan singkat kami tentang buku tersebut. Sebenarnya kalau ingin menguraikan
kebohongan buku tersebut akan menghabiskan lembaran yang banyak apalagi uraian
tentang kesalahan pemahanannya terhadap nash-nash agama.
Semoga Allah
selalu menjaga kita dari fitnah kelompok yang tidak menghargai para ulama
salaf/terdahulu, dan hanya fanatic kepada panutan mereka terutama dalam hal
menuduh dan memvonis kaum muslim yang lain sebagai ahli bid`ah, syirik serta
sebagai pelaku amalan sesat dan rekayasa. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar