Bagian I
Jika kondisi tersebut terus
berlangsung, maka surga yang luasnya seluas langit dan bumi,…wa jannatin
‘ardluhassamawati wal alrd (Al Imron 31), tentu akan mengalami kekosongan. Itu
pulalah mengapa Nabi Muhammad SAW,melarang umatnya untuk cepat-cepat menuduh
orang-orang yang telah beriman dengan kekufuran. Diriwayatkan dari Anas r.a.
bahwa nabi Muhammad SAW bersabda :
“Tiga prinsip keimanan : mencegah
dari pengkafiran terhadap seseorang yang telah berkata La ilaha ilallah (tiada
ilah selain Alloh) hanya karena perbuatan dosanya dan juga kita tidak
mengeluarkannya dari Islam hanya karena amal maksiat yang dilakukannya.Dan
jihad tetap ada sejak Alloh mengutusku hingga umatku yang terakhir,memerangi
Dajjal yang tidak mampu dikalahkan oleh kedzaliman orang yang dzalim atau
keadilan orang yang adil (kecuali dengan kekuatan Alloh).Dan iman terhadap
takdir (ilmu Alloh SWT) “(HR.Abu Dawan,Muhammad Alawy al Maliki al
Hasani,Mafahim Yajibantushohhah,hal 6)
Mudah menuduh kepada orang-orang
yang beriman sebagai pelaku bid’ah yang dlolalah tentu tidak sesuai dengan
prinsip keimanan yang diajarkan Nabi SAW. Dan sebaliknya,orang-orang yang gemar
mengobral tuduhan bid’ah dlolalah kepada sesama orang Islam tanpa memperhatikan
argumentasi yang dibangun oleh orang-orang Islam yang tertuduh atas
perilakunya, itu adalah kefasikan yang tidak pernah diajarkan Nabi Muhammad
saw.
Mafhum bid’ah menurut kelompok
Wahhabiyyah yaitu sebuah kelompok yang yang pemikirannya selalu dinisbatkan
kepada Muhammad bin Abdul Wahhab,mereka (salah satunya,H Mahrus Ali )
berpendapat bahwa bid’ah adalah : “… segala ajaran yang tidak diajarkan dimasa
Nabi SAW dan sahabatnya tidak boleh diajarkan setelahnya…” (Mantan Kiai NU,Menggugat
sholawat dan dzikir,syirik,hal 127)
Demikian juga Sholeh al Utsaimin
(tokoh Wahhabiyyah juga) memiliki pendapat yang lebih ekstrim tentang bid’ah :
“Ucapan Rasulullah,kullu bid’atin
dlolaalah,’semua bid’ah adalah sesat’, adalah bersifat umum, menyeluruh dan
dipagari dengan kalimat menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu “kull”
(seluruh).Apakah setelah adanya kalimat “menyeluruh”/”kull” ini masih
dibenarkan kita membagi bid’ah mejadi 3 atau 5 ?.Selamanya, ini tidak benar”
(Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin,al ibda’ fi kamal al syar’i wa khatar al
ibtida’,hal 13,ini hasil kajian Tim Bahtsul Masail PC NU Jember dalam buku
mereka ‘Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat &
Dzikir Syirik”.)
Pernyataan Utsaimin diperkuat dengan
pernyataan Hammud bin Abdullah al Mathor (juga dari Wahhabiyyah) :”Barangsiapa
membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah saiyah (yang buruk) maka dia
telah melakukan kekeliruan dan menyalahi sabda Nabi Muhammad SAW tersebut
(Hammud bin Abdullah al Mathor,Al bida’ wa al muhdatsatu wa ma la
ahslalahu,terj. Ensiklopedia bid’ah,hal 97)
Demikian pemahaman mereka ketika
menafsirkan hadis Nabi SAW; “Kullu Bid’atin Dlolalah “,(Setiap hal yang baru
adalah sesat).
Namun,memahami hadis tersebut dengan
tafsiran bahwa bid’ah tidak bisa dibagi-bagi adalah sebuah pemahaman yang
sempit dan tidak berdasarkan pada kajian ilmiah yang rasional. Bahkan mereka
yang berpendapat seperti itupun akhirnya melanggar dan tidak konsisten dengan
pendapatnya. Hammud bin Abdullah al Mathor misalnya,akhirnya juga telah membagi
bid’ah atau ibtida’ (membuat suatu yang baru) menjadi dua. Pertama , Bid’ah
dalam urusan dunia dan kedua ,bid’ah dalam urusan agama (ibid,hal 24).
Demikian juga al ‘Utsaimin,tidak
konsisten dengan pendapatnya sendiri. Dalam kitabnya yang lain,Syarh al ‘aqidah
al wasithiyyah,hal 639-640,menyatakan :
“Hukum asal perbuatan baru dalam
urusan-urusan dunia adalah halal,kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.Tetapi,hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama
adalah terlarang lagi bid’ah kecuali ada dalil dari Al Qur’an dan as sunnah
yang menunjukkan keberlakuannya”
Lihatlah pada kalimat beliau
tersebut,Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama adalah terlarang
lagi bid’ah kecuali ada dalil dari al quran dan sunnah…,sangat sarat dengan
ketidak konsistenan dengan pendapat sebelumnya. Kecuali kalau dia mengenal
istilah- yang dipakai Imam As Syafi’i- qaul qodim dan qoul jadid - pernyataan
lama dan pernyataan baru.Tapi jika ada qoul jadid, Imam as Syafi’i dengan jujur
menganulir qoul qodimnya.
Yang bisa kita simpulkan dari
pendapatnya: pertama, bahwa bid’ah itu ada dua macam, bid’ah dalam urusan dunia
dan bid’ah dalam urusan-urusan agama.Yang kedua,baik dalam urusan-urusan dunia
maupun dalam urusan agama, ada bid’ah yang bisa diterima selama berlandaskan
pada dalil-dalil Al Qur’an dan as sunnah.
Tanggapan Ulama’ Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah
Mafhum bid’ah dalam pandangan ahlus
sunnah wal jama’ah, sangat argumentatif,realistis dan rasional.Oleh karena itu
mereka menafsirkan hadis “semua bid’ah itu sesat” adalah kata-kata umum yang
harus dibatasi, ‘am makhshush, maksudnya adalah semua bid’ah yang tercela yang
sudah pasti bertentangan dengan syari’at, itulah yang sesat (DR. As Sayyid
Muhammad, mafahim yajibu antushohhah,hal 33).
Karena memang dalam menafsirkan
hadist tersebut tidak hanya melihat dhohir (teksnya) saja,namun seharusnya
dikaitkan dengan qorinah-qorinah lain untuk bisa memahami konteks hadis
tersebut.Oleh karenanya Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim,jilid 6/154)
menafsirkan hadis tersebut sebagai berikut:
“Sabda Nabi SAW , “Semua
bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi maksudnya. Dan
yang dimaksud oleh hadis itu adalah gholibnya atau biasanya/terkadang bid’ah
itu adalah sesat”
Hadis tersebut senada dengan hadis ;
“Kullu ma’rufin shodaqoh” semua kebaikan adalah shodaqoh (Riwayat dari al
Bukhori). Pertanyannya apakah semua kebajikan yang diberikan kepada seseorang
bisa dianggap shodaqoh yang berpahala ?. Apakah jika ada manusia yang membantu
pembangunan sebuah gereja dianggap shodaqoh?, apakah jika seseorang memberikan
seekor ayam untuk sesajen pada pohon bisa disebut shodaqoh yang
berpahala?,apakah jika ada beberapa orang yang saling membantu untuk
mensukseskan kemaksiatan juga disebut shodaqoh?. Tentu jawabannya, tidak kan?
Dan dengan jawaban tersebut berarti telah membatasi hadis “semua kebaikan
adalah shodaqoh.Karena tidak semua kalimat “kull” mengharuskan bersifat umum
atau menyeluruh.Sebaliknya terkadang bersifat umum yang dibatasi dengan
qorinah-qorinah (indikator) dari hadis lainnya.
Demikian juga dengan Firman Alloh
swt,surat al Ahqof ayat 25 mengenai angin topan yang menimpa kaum ‘Ad:
“(Angin topan itu) menghancurkan
segala sesuatu atas perintah Tuhannya”
Kalimat Alloh swt “Kulla Syain”,atau
segala sesuatu itu bersifat umum namun yang dimaksud khusus atau
terbatas.Karena angin topan itu tidak menghacurkan semua yang diatas bumi dan
planet lainnya.Hanya menghancurkan sebatas kaum ‘Ad saja. Demikian pula dalam
Firman Alloh swt,Q S.Ali Imron 159
“Ajaklah mereka bermusyawarah dalam
suatu urusan…”
Kalimat “al-amr”,atau suatu urusan
adalah tidak bermakna umum pada semua urusan,baik urusan duniawi dan urusan
ibadah.Kan tidak mungkin untuk urusan ibadah itu wajib atau tidak atau zinah
itu haram atau boleh harus di musyawarahkan terlebih dahulu?.Lucu jadinya,kalau
hendak berzinah harus musyawarah tentang keharamannya terlebih dahulu. Demikian
juga dengan hadis :
“Barangsiapa membuat hal baru yang
tidak ada hubungannya dengan perkara kami,maka itu tertolak” (Muttafaq ‘alaih)
Kalimat ( Ma laisa minhu ), “yang
tidak ada hubungannya dengan urusan kami”, menjadi pembatas atas kesesatan
hal-hal yang baru. Artinya,jika masih ada hubungan dengan urusan-urusan agama
yang sesuai dengannya dan tidak bertentangan dengan syara’, tentu hal-hal yang
baru tersebut tidaklah sesat.Karena pada kenyataannya banyak qorinah /
indikator yang mendukung penafsiran hadis-hadis diatas,bahwa ada bid’ah yang
terpuji, yaitu yang berdasarkan dalil-dalil syariat atau tidak bertentangan
dengan syari’at, sekalipun di jaman Nabi SAW tidak pernah dilakukan.
Bersambung ya, Insyaalloh...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar