كَيْفَ يَكُوْنُ
طَلَبُكَ اللاَّحِقِ سَبَبًا فِـي عَطَائِهِ السَّابِقِ
“Bagaimana
mungkin permintaanmu yang baru datang
belakanganakan
bisa mengubah anugerahNya yang terdahulu?”
(Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary)
Dalam
bahasa Sufistik, soal ikhtiar, doa dan takdir dilihat dari dimensi hakikatnya.
Bahwa secara hakikat, upaya dan doa itu tidak akan menjadi sebab terwujudnya
takdir, dan tidak akan mengubah takdir. Mengapa demikian? Karena takdir Allah
Swt, dengan semua ketentuanNya telah mendahului ikhtiar dan doa kita. Bagaimana
mungkin, sesuatu yang baru (berupaya upaya dan doa kita) bisa mengubah sesuatu
yang mendahului (ketentuan Allah Swt)?
Jadi
cara memahami hakikat doa dan ikhtiar adalah:
Doa
dan ikhtiar itu sesungguhnya juga takdir.
Bila
Allah Swt hendak memberi anugerah seseorang, maka si hamba juga ditakdirkan dan
diberi kemampuan untuk berdoa dan berikhtiar.
Doa
dan ikhtiar hanyalah tanda-tanda takdir itu sendiri.
Allah
memerintahkan kita berupaya dan berdoa agar kita memahami bahwa kita sangat
terbatas dan tak berdaya, sehingga doa dan upaya adalah bentuk kesiapan
kehambaan belaka agar kita siap menyongsong takdirNya.
Aturan
syariat mengharuskan kita berikhtiar dan berdoa, karena syariat adalah aturan
bagi keterbatasan manusia, dengan bahasa dan tugas manusiawi (taklifi), maka
seseorang akan berdoa dan beriktiar dengan penuh kepasrahan dan kerelaan pada
ketentuan dan pilihan terbaikNya. Bukannya berdoa untuk memaksaNya mengubah
takdirNya.
Maka
Ibnu Athaillah menegaskan dengan ucapan beliau:“Maha Besar (jauh) bila hukum
AzaliNya harus disandarkan pada sebab akibat yang baru.”
Allah
Swt adalah sebab segalanya. Dan segalanya bergantung semua kepada Allah Swt.
Allah Swt tidak pernah menjadi akibat; seperti akibat kita berdoa Allah
menuruti apa yang kita mau, akibat kita berusaha Allah mengubah takdirNya. Jauh
dan Maha Suci dari hal-hal seperti itu.
Berdoa
kita lakukan semata untuk ‘ubudiyah, manifestasi kehambaan kita akan terwujud
ketika kita berdoa. Sebab dengan berdoa manusia merasa hina dina, merasa butuh,
merasa tak berdaya dan merasa lemah di hadapanNya. Dan itulah hakikat ubudiyah
dibalik doa, agar kita tetap menjaga rasa hina, rasa fakir, rasa tak berdaya
dan rasa lemah. Karena dengan nuansa seperti itu kita akan cukup bersama Allah,
mulia bersamaNya, mampu bersamaNya, kuat bersamaNya. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar