“Sesungguhnya
diantara perkataan nubuwah pertama yang diketahui manusia adalah jika engkau
tidak malu, maka berbuatlah sesukamu”(H.R Bukhari-Muslim).
Istilah “Malu”
tidak asing lagi kedengarannya di telinga kita. Kata “Malu” ini merupakan terjemahan dari Bahasa
Arab yaitu Al-Haya'. Secara etemologis
berarti menahan diri dari perbuatan tercela atau yang mendatangkan mudlarat kepadanya. Sedangkan, secara
terminologis ada beraneka ragam definisi yang dikemukakan para sufi. Ada yang mendifinisikan
dengan perubahan dan kekalutan yang menimpa manusia kerena takut tertimpa
sesuatu yang tercela atau membawa aib dirinya. Dzunun al-Misri, seorang sufi besar dizamannya, Ia mendifinisikan bahwa Malu adalah munculnya rasa takut kepada
Allah disertai rasa sedih atas perbuatan yang dilakukannya. Sementara menurut
Abu Ali Ad-Daqaq, Malu adalah meninggalkan tuntutan kepada Allah Swt.
Beraneka ragam definisi tentang
istilah Malu. Ini semua menunjukkan betapa luas dimensi yang dicakupnya. Karena
itulah, dalam dunia tasawwuf, Malu menjadi salah satu fokus perhatian yang
cukup urgen. Dengannya seseorang dapat mengontrol atau menahan diri dari berbuat
suatu hal kejelekan.
Dari definisi di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa malu muncul karena adanya kekhawatiran terjerumus ke
dalam perbuatan tercela. Oleh karena itu, sikap ini sangat erat kaitannya
dengan keimanan seseorang. Jadi, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa malu
merupakan bagian dari iman. Rasululah saw bersabda:
اَلْحَياَءُ وَاْلإِيْمَانُ قُرِنَ جَمِيْعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا
رُفِعَ اْلأخَرُ (رواه أبو نعيم)
“Malu
dan iman selalu bergandengan, apabila salah satunya diangkat (dihilangkan) maka
yang lain (juga akan) hilang”.
Dalam hadits lain
dijelaskan dari riwayat Ibn Umar r.a bahwa: Rasulullah
saw pernah melewati seorang laki-laki dari Anshar yang sedang memberi nasihat
(mau’idhah) kepada saudaranya tentang malu. Maka beliau bersabda kepada
laki-laki tadi, biarkanlah dia, karena sesungguhnya malu adalah sebagian dari
iman.(H.R. Bukhari-Muslim).
Ada juga hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Nabi
saw bersabda bahwa:
اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ
لاَاِلهَ إِلاَّاللهُ وَأَدْناَهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ (رواه البخاري ومسلم)
“Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang
lebih. Yang paling utama adalah perkataan La Ilaha Illallah dan yang paling
rendah adalah menyingkirkan gangguan (duri) dari jalan. Adapun malu adalah
cabang dari iman”.(H.R.Bukhari-Muslim).
Hadits di atas menunjukkan bahwa malu dan iman
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua belah
mata uang logam yang saling melengkapi satu sama lain. Dengan kata lain,
keimanan seseorang tidak akan sempurna tanpa didasari dengan malu. Dan
sebaliknya, malu tidak akan muncul kecuali dari orang yang beriman.
Mengomentari
hadis di atas, al-Raghib menyatakan bahwa malu merupakan salah satu
keistimewaan yang dimiliki oleh manusia. Sifat inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Karena
dengan sifat ini, seseorang akan mampu menahan diri dari nafsu kebinatangan (al-bahimiyyah). Sehingga ia senantiasa
termotivasi untuk berbuat kebajikan serta menghindari semua bentuk kejelekan.
Rasulullah Saw bersabda:
اَلْحَياَءُ لاَيَأْتِيْ إِلاَّبِِخَيْرٍ (رواه مسلم)
“Malu tidak akan
datang kecuali dengan (membawa)
kebaikan”.
Dalam hadis lain dengan
redaksi yang sedikit berbeda Rasulullah Saw bersabda:
اَلْحَياَءُ خَيْرٌ كُلُّهُ (رواه مسلم)
“Malu
itu baik secara keseluruhan”.
Dua hadis di atas, menunjukkan bahwa malu senantiasa
mengantarkan kepada kebaikan. Sebab implikasi minimal sifat malu ini akan
menjadikan seseorang enggan berbuat kejelekan. Sebab ia khawatir diklaim
sebagai pelaku kejelekan. Sedangkan implikasi maksimalnya adalah akan
menjadikan seseorang sungguh-sungguh dalam meninggalkan setiap kejelekan. Dua
implikasi ini sama-sama mengandung nilai kebajikan, yaitu mampu menahan diri
seseorang melakukan kejelekan dan kezaliman.
Kemudian
bagaimanakah gambaran malu yang dapat mengantarkan pada kebaikan? Dalam hal
ini, ulama membagi malu sedikitnya ada dua macam. Yaitu, malu syar’i (iktisaby) dan malu ghairu syar’i (gharizy). Malu syar’iy (iktisaby) adalah malu yang
dituntut atau dianjurkan oleh syara’. Misalnya, malu dalam berbuat maksiat atau
malu meninggalkan perbuatan kebajikan. Sedangkan Malu ghairu syar’iy (gharizy) adalah malu yang
semata-mata timbul dari tabi’at kemanusiaan. Malu gharizy ini masih terbagi pada dua macam. Pertama, malu yang mengandung kebaikan seperti, malu mengambil hak
orang lain. Kedua, malu yang tidak
mengandung kebaikan bahkan dilarang syara’ seperti, malu melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Malu ini (malu gharizy) tidak termasuk kategori hadis di atas. Jadi, yang menjadi
fokus pembahasan dari hadits di atas adalah malu syar’iy dan gharizy yang
selaras dengan syara’.
Lalu, apa saja bentuk-bentuk tingkatan (thabaqah) malu dalam dunia tasawwuf ? Dalam hal ini Ibn Qayyim
al-Jauziyyah membagi atas tiga thabaqah.
Pertama, malu yang muncul karena
seorang hamba tahu bahwa Allah melihat dirinya, hingga mendorong seseorang
untuk selalu bermujahadah. Ini juga
mendorong seseorang untuk mengecam keburukanya, karena malu. Malu ini membuat
seseorang urung mengadu dan mengeluh kepada selain Allah.
Kedua, malu yang muncul karena merasakan “kebersamaan” dengan Allah, sehingga
dapat menumbuhkan rasa cinta dan tidak akan bergantung pada selain Allah.
Kedekatan ini mendorong seseorang untuk mencintai. Selain itu, dengan kedekatan ini juga dapat membuat hati
bergantung dan senantiasa “berhubungan” dengan Allah.
Ketiga, malu yang muncul karena “melepaskan” ruh dan hati dari makhluk, tidak ada pemisahan
dan tidak berhenti mencapai tujuan. Jika ruh dan hati selalu merasakan
“kebersamaan” dengan Allah, maka ia akan merasakan kedekatan dan seakan
“melihat” Allah secara langsung. Sehingga tidak ada kekhawatiran untuk berpisah
dengan Allah dan hati selalu merasakan “kedatangan” Allah Swt.
Melihat gambaran di atas, tampak
jelas bahwa malu mempunyai peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Karena, ia dapat mengerem seseorang dari terjerumus ke
jurang kemaksiatan. Selama malu masih tertanam kokoh dalam jiwa seseorang, maka
ia akan terhindar dari perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma agama dan
masyarakat. Bahkan hal ini akan membawa kepada kebaikan dua dimensi hubungan
manusia sekaligus, yakni habl min Allah (hubungan
manusia dengan Tuhannya) dan habl min
an-Nas (hubungan manusia dengan sesamanya). Dari sinilah seseorang akan
termotivasi untuk selalu berbuat yang tebaik bagi diri dan masyarakat
sekitarnya.
Ahmad al-Jaziry, dalam
bukunya Qutu al-Qulub, menggambarkan
peran malu dalam interaksi sosial manusia menjadi beberapa fase. Pertama, manusia berinteraksi sosial
dengan nilai-nilai agama. Lama kelamaan menipislah rasa keberagamaan manusia. Kedua, manusia berinteraksi sosial atas
dasar kepercayaan, tapi kercayaan itu juga semakin sirna. Ketiga, manusia berinteraksi sosial dengan berdasarkan harga diri (muruah). Ternyata muruah juga tidak bertahan lama. Keempat manusia berinteraksi sosial dengan sikap malu. Karena malu
lenyap, maka manusia berinteraksi sosial semata-mata atas dasar suka sama suka,
sama sekali tidak mengindahkan nilai-nilai agama.
Oleh karena itu,
kita semua patut ber-muhasabah al-nafs
atau introspeksi diri seraya menanyakan pada diri masing-masing, masih
tersisakah sifat malu dalam jiwa ini? Jika kita benar-benar yakin bahwa sifat malu
masih ada, semestinya kita malu berbuat KKN, yang merupakan penyakit terparah
di negari kita. Malu bertindak amoral, asusila, anarkis, kriminalitas dan
diskriminatif antar sesama anak bangsa. Malu melakukan penggusuran dengan
mengatasnamakan penataan kota. Atau mungkin kita tidak kenal –untuk mengatakan
tidak punya– sifat malu?. Na’uzubillahi min zalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar