لاَيَكُنْ طَلَبُكَ
تَسَبُّبًا إِلَـى الْعَطَاءِ مِنْهُ فَيَقِلَّ فَهْمُكَ عَنْهُ،
وَلْيَكُنْ طَلَبُكَ لِإِظْهَارِ الْعُبُوْدِيَّةِ
وَقِيَامًا بِحُقُوْقِ الرُّبُوْبِيَّةِ
“Janganlah pencarianmu (doa-doamu) sebagai sebab untuk diberi sesuatu
dari Allah Swt, maka pemahamanmu kepadaNya menjadi sempit.
Hendaknya pencarianmu (doa-doamu) semata untuk menampakkan
wujud kehambaan dan menegakkan Hak-hak KetuhananNya.”
“Janganlah pencarianmu (doa-doamu) sebagai sebab untuk diberi sesuatu
dari Allah Swt, maka pemahamanmu kepadaNya menjadi sempit.
Hendaknya pencarianmu (doa-doamu) semata untuk menampakkan
wujud kehambaan dan menegakkan Hak-hak KetuhananNya.”
(Syeikh Ibnu
‘Athaillah As-Sakandary)
Pencarian
merupakan arah yang menjadi sebab terwujudnya kehendak yang harus ada.
Pencarian, usaha, doa, ikhtiar merupakan rangkaian sebab-sebab menuju apa yang
ingin diraih. Termasuk disini adalah berdo’a
Umumnya
orang berdoa agar terwujud apa yang diinginkan. Berikhtiar agar tercapai apa
yang dicita-citakan. Padahal dimaksud Allah Swt memerintahkan kita berdoa dan
berupaya, semata-mata agar eksistensi kehambaan kita yang serta fakir, serba
hina, serba tak berdaya dan lemah muncul terus menerus di hadapanNya. Bukan,
agar kita bisa mewujudkan apa yang kita kehendaki, karena hal demikian bisa
memaksa Allah Swt menuruti kehendak kita.
Pemahaman
yang sempit tentang Allah Swt, akan terus menerus berkutat pada sikap
seakan-akan Allah-lah yang mengikuti selera kita, bukan kehendak kita ini
akibat kehendakNya, perwujudan yang ada karena kehendakNya, bukan disebabkan
oleh kemauan kita.
Ketika
manusia berdoa seluruh kehinaan dirinya, kebutuhan dirinya dan kelemahannya
serta ketakberdayaannya muncul. Itulah hikmah utama dibalik berdoa. Ketika kita
berikhtiar, pada saat yang sama kita menyadari betapa tak berdayanya kita.
Sebab kalau kita berdaya, pasti tidak perlu lagi ikhtiar dan berjuang.
Di
sisi lain, kita dituntut untuk terus menerus menegakkan Hak-hak KetuhananNya, bahwa
Allah berhak disembah, berhak dimohoni pertolongan, berhak dijadikan andalan
dan gantungan, tempat penyerahan diri, berhak dipuji dan dipatuhi, berhak
dengan segala sifat Rububiyahnya yang Maha Mencukupi, Maha Mulia, Maha Kuasa
dan Maha Kuat. Semua harus terus tegak di hadapan kita. Dan itu semua bisa
terjadi manakala kehambaan kita hadir.
Ironi-ironi
dalam ikhtiar dan doa kita sering terjadi. Kita lebih memposisikan sebagai
“tuhan”, dengan banyak memerintah Tuhan agar menuruti kehendak kita, kemauan kita,
proyeksi-proyeksi kita. Diam-diam kita menciptakan tuhan dan berhala dalam jiwa
kita, agar dipatuhi oleh Allah Sang Pencipta. Inilah piciknya iman kita
kepadaNya, yang sering memaksaNya sesuai dengan pilihan-pilihan kita, bukan
pilihanNya.
Karena
itu hakikatnya, menjalankan perintah doa itu lebih utama dibanding terwujudnya
doa kita (ijabah). Ikhtiar kita hakikatnya lebih utama daripada hasil yang kita
inginkan. Perjuangan kita hakikatnya lebih utama dibanding kemangan dan
kesuksesannya. Ibadah lebih utama dibading balasan-balasanNya. Karena taat,
doa, ikhtiar itu menjalankan perintahNya. Sedangkan balasan, ijabah, sukses,
kemenangan, bukan urusan manusia dan tidak diperintah olehNya.
Banyak
orang berdoa, beribadah, berikhtiar, tetapi bertambah stress dan gelisah. Itu
semua disebabkan oleh niat dan cara pandangnya kepada Allah Swt yang
sempit. Sehingga, bukan qalbunya yang menghadap Allah Swt, tetapi nafsunya.
Syeikh
Abul Hasan asy-Syadzily, ra berkata: “Janganlah bagian yang membuatmu senang
ketika berdoa, adalah hajat-hajatmu terpenuhi, bukan kesenangan bermunajat
kepada Tuhanmu. Hal demikian bisa menyebabkan anda termasuk orang yang
terhijab.”
Bahwa
kita ditakdirkan bisa bermunajat kepadaNya, seharusnya menjadi puncak
kebahagiaan kita. Bukan pada tercapainya hajat kebutuhan kita. Kenapa kita bisa
terhijab? Karena kita kehilangan Allah Swt, ketika berdoa, karena yang trampak
adalah kebutuhan dan hajat kita, bukan Allah Tempat bermunajat kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar