Kamis, 31 Oktober 2013

Gus Miek, dari Khataman ke Tempat Perjudian





  GUS MIEK adalah seorang yang sangat terkenal di kalangan guru sufi, seniman, birokart, preman, bandar judi, kiai-kiai NU, dan para aktivis. Dialah yang membangun tradisi pengajian Sema’an Al-Qur’an Jantiko Mantab dan pembacaan wirid dzikrul ghafilin bersama beberapa koleganya. 
Hamim Tohari Djazuli adalah nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada 17 Agustus 1940 di Kediri dari pasangan KH Jazuli Usman dan Nyai Radliyah. Nyai Radliyah ini memiliki jalur keturunan sampai kepada Nabi Muhammad, sebagai keturunan ke-32 dari Imam Hasan, anak dari Ali bin Abi Thalib dengan Siti Fathimah.
Ayah Gus Miek, KH. Jazuli Usman adalah pendiri pesantren Ploso Kediri. Ia pernah nyantri kepada banyak guru, di antaranya kepada KH Hasyim Asy`ari, Mbah Ma’ruf (KH Ma’ruf Kedunglo), KH Ahmad Shaleh Gondanglegi Nganjuk, KH Abdurrahman Sekarputih, KH Zainuddin Mojosari, KH Khazin Widang, dan Syaikh al-`Allamah al-Aidrus Mekkah. 
KH Jazuli Usman nama kecilnya adalah Mas Mas`ud. Dia telah sekolah di STOVIA yang ada di Batavia, tatkala anak-anak seangkatannya belum sekolah. Mas Mas`ud ini anak dari Mas Usman, kepala KUA Ploso, Kediri. Pada saat itu jabatan sebagai kepala KUA sangat bergengsi. Akan tetapi ayah Gus Miek lebih memilih hidup dan mendirikan pesantren.
Sejak kecil, Gus Miek sudah tampak unik. Dia tidak suka banyak bicara, suka menyendiri, dan bila berjalan selalu menundukkan kepala. Akan tetapi Gus Miek juga sering masuk ke pasar, melihat-lihat penjual di pasar, sering melihat orang mancing di sungai. Bila keluarganya berkumpul, Gus Miek selalu mengambil tempat paling jauh. 
Pada awalnya Gus Miek disekolahkan oleh KH Jazuli Usman di Sekolah Rakyat, tetapi tidak selesai karena dia sering membolos. Setelah itu Gus Miek belajar Al-Qur’an kepada ibunya, kepada Hamzah, Khoirudin, dan Hafidz. Ketika pelajaran belum selesai Gus Miek sudah minta khataman. Para gurunya jadi geleng-geleng kepala.
Ketika usia Gus Miek masih 9 tahun, dia sudah sering tabarrukan ke berbagai kiai sufi. Beberapa kiai yang dikunjunginya adalah KH Mubasyir Mundzir Kediri, Gus Ud (KH Mas’ud) Pagerwojo-Sidoarjo, dan KH Hamid Pasuruan. Di tempat Gus Ud Pagerwojo Sidoarjo, Gus Miek bertemu dengan KH Achmad Shidiq yang usianya lebih tua. KH Achmad Shidiq ini di kemudian hari sering menentang tradisi sufi Gus Miek, tetapi akhirnya menjadi kawan karibnya di dzikrul ghafilin.
Kebiasaan Gus Miek pergi ke luar rumah menggelisahkan orang tuanya. Akhirnya ayahnya memintnya ngaji ke Lirboyo, Kediri di bawah asuhan KH Machrus Ali, yang kelak begitu gigih menentang tradisi sufinya. 
Di Lirboyo Gus Miek bertahan hanya 16 hari  dan kemudian pulang ke Ploso. Ketika sadar orang tuanya resah akibat kepulangannya, Gus Miek justru akan menggantikan seluruh pengajaran ngaji ayahnya, termasuk mengajarkan kitab Ihya Ulumuddin. 
Tapi beberapa bulan kemudian, Gus Miek kembali ke Lirboyo. Ketika masih di pesantren ini, pada usia 14 tahun Gus Miek pergi ke Magelang, nyantri di tempatnya KH. Dalhar Watucongol, mengunjungi Mbah Jogoreso Gunungpring, KH Arwani Kudus, KH Ashari Lempuyangan, KH Hamid Kajoran, dan Mbah Benu Yogyakarta. Setelah itu Gus Miek pulang lagi ke Ploso.
Di Ploso, di tempat pesantren ayahnya, Gus Miek minta dinikahkan, dan akhirya ia menikah dengan Zaenab, putri KH. Muhammad Karangkates, yang masih berusia 9 tahun. Pernikahan ini berakhir dengan perceraian, ketika istrinya masih berusia sekitar 12 tahun. Pada masa ini Gus Miek sudah sering pergi untuk melakukan dakwah kulturalnya di berbagai daerah, tabarrukan ke berbagai guru sufi, dan mendapatkan ijazah wirid-wirid.
Pada tahun 1960 Gus Miek menikah dengan Lilik Suyati dari Setonogedong. Pernikahan ini atas saran dari KH. Dalhar dan disetujui KH. Mubasyir Mundzir, salah satu guru Gus Miek. Gadis itulah yang menurut gurunya akan sanggup mendampingi hidupnya, dengan melihat tradisi dan kebiasaan Gus Miek untuk berdakwah keluar rumah. 
Pada awalnya pernikahan Gus Miek dengan gadis Setonogedong ditentang KH Jazuli Utsman dan Nyai Radliyah. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pernikahan itu disetujui. Saat itu Gus Miek sudah berdakwah ke diskotek-diskotek, ke tempat perjudian, dan lain-lain. 
Dari berbagai perjalanan, riyadlah,  dan tabarrukan, Gus Miek akhirnya menyusun kembali wirid-wirid secara tersendiri yang didapatkan dari para gurunya. Pada awanya Gus Miek mendirikan Jama`ah Mujahadah Lailiyah tahun 1962. Sampai tahun 1971 jama`ah yang dirintis Gus Miek ini sudah cukup luas. 
Pada tahun 1971, para jama`ah Gus Miek dan masyarakat NU menghadapi dilema pemilu. Saat itu semua pegawai negeri diminta memilih Golkar oleh penguasa. Gus Miek sendiri tidak mencegah bila para pengikutnya yang PNS untuk memilih Golkar, karena situasi sosial saat itu di bawah rezim otoriter Soeharto.
Metamorfosis dari komunits yang dibangun Gus Miek, semakin menampakkan bahwa ia mengembangkan tradisi wirid di luar kelompok tarekat yang sudah mapan di kalangan NU. Jama`ah Mujahadah Lailiyah yang dibangunnya berkembang menjadi dzikrul ghafilin. Pada tahun 1971-1973 susunan wirid-wirid dzikrul ghafilin diusahakan untuk dicetak, terutama setelah jangkauan dakwah Gus Miek telah menjangkau Jember. 
Bersama-sama KH Achmad Shidiq yang awalnya sangat menentang, tetapi akhirnya menjadi sahabatnya, naskah wirid dzikrul ghafilin berhasil dicetak. Naskah-naskah yang tercetak dibagikan kepada jaringan jama`ah Gus Miek: di Jember di bawah payung KH Achmad Shidiq, di Klaten di bawah payung KH Rahmat Zuber, di Yogyakarta di bawah payung KH Daldiri Lempuyangan, dan di Jawa Tengah di bawah payung KH Hamid Kajoran Magelang. 
Di samping mengorganisir dzikrul ghafilin, Gus Miek pada tahun 1986 juga mengorganisir sema’an Al-Qur’an. Beberapa bulan kemudian sema’an ini dinamakan Jantiko. Tahun 1987 sema’an Al-Qur’an Jantiko mulai dilakukan di Jember. Saat itu KH. Achmad Shidiq sudah menjadi Rais Am Syuriyah PBNU yang diangkat oleh Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. 
Dibandingkan dzikrul ghafilin, jama`ah Jantiko ini lebih cepat berkembang. Pada tahun 1989, Jantiko kemudian diubah namanya menjadi Jantiko Mantab atau Jantiko man taba. Ada juga yang mengartikan Mantab sebagai Majlis Nawaitu Tapa Brata. Dikatakan juga man taba itu berarti siapa bertaubat. Jantiko Mantab ini kemudian berkembang ke berbagi daerah. 
Perjuangan Gus Miek dengan dzikrul ghafilin, sema`an Al-Qur’an, dan tradisi sufinya ke tempat-tempat diskotek, tempat perjudian, dan lain-lain, sangatlah tidak mudah. Di tengah-tengah jam`iyah NU yang telah membakukan tarekat mu’tabarah, tradisi sufi Gus Miek mendapatkan perlawanan. Dzikrul ghafilin dianggap berada di luar kelaiman, tidak mu’tabarah. Penentangan datang dari orang yang sangat terkenal, sekaligus pernah menjadi gurunya di Lirboyo, yaitu KH Machrus Ali. 
Hanya saja, semua itu bisa dilewati Gus Miek dengan sabar. Yang paling menggemberikan karena KH Achmad Shidiq sebagai orang yang sangat dihormati di NU, yang pada awalnya menentang tradisi sufinya, kemudian bersama-sama mengembangkan dzikrul ghafilin di sekitar Jember dan sekitarnya.
Gus Miek wafat pada 5 Juni 1993. Dia dimakamkan di Pemakaman Tambak Kediri, diiringi ratusan ribu kaum muslimin. Di pemakaman ini pula KH Achmad Shidiq dimakamkan, di sebelah timur makam Gus Miek. Di pemakaman ini pula terdapat tidak kurang dari 22 orang yang kebanyakan menjadi guru sekaligus murid Gus Miek. [Nur Kholil Ridwan] diambil dari www.nu.or.id

Sabar Jalan Pintas Menggapai Ridla Allah


 
Imam Nafri berkata: “Pintu terdekat kepada Allah SWT adalah Sabar”. Dalam sabda Nabi Muhammad disebutkan: “Sabar itu sebagian dari Iman”. Begitu  pentingnya sikap sabar dalam hidup sehingga ditempatkan dalam posisi yang strategis dalam kehidupan manusia, baik secara umum dan khusus keagamaan. Orang seringkali berkata: “Sabar itu ada batasnya..…” Seolah-olah kalimat tersebut sungguh pas untuk menggambarkan bahwa seseorang sudah berusaha bersabar, tetapi bagaimanapun tidak bisa terus menerus bersabar, jadi sabar itu ada batasnya.
Seolah-olah kalimat tersebut mencerminkan sebuah kebenaran, tetapi hanya sebuah apologi semata, membela diri untuk menutup kelemahannya. Kalimat seolah-olah menunjukkan kearifan itu sebenarnya adalah bisikan syaitan, tipu daya syaitan. Baiklah kita kupas; Benarkan sabar ada batasnya? Bagaimana mungkin sebuah kebaikan dan anjuran agama yang diletakkan pada posisi sangat penting dibatasi? Bukankah yang sebenarnya adalah keterbatasan manusia dalam menjalankan sabar? Bukan sabar itu sendiri yang terbatas. Seperti sholat, sebagai kebaikan, apakah dibatasi? memang diatur mana yang boleh dan tidak, mana waktu sholat A dan mana sholat B. Itu tidak membatasi, hanya mengatur/regulasi. Sholat sunnah ada sholat mutlaq, yang bebas aturannya. Suatu ketika ada sahabat Nabi melaksanakan sholat sunnah sampai kakinya bengkak, maka Nabi menegur untuk tidak diteruskan kebiasaannya. Bukan berarti Nabi membatasi orang sholat sunnah, tetapi kemampuan manusia terbatas, jika berlebihan akibatnya akan sangat tidak baik.
Demikian pula sabar. Tidak dibatasi, tetapi kemampuan manusia itu sendirilah yang terbatas untuk menjalankannya. Nabi Muhammad adalah manusia yang sudah mencapai puncak kesabaran, bahkan Jibril yang tak bernafsu saja “menyerah” atas kesabaran beliau. Sehingga kalau kita tidak bisa seperti Nabi, paling tidak kita mau menyadari bahwa itulah referensi terbaik akhlak bersabar, sekaligus menyadari dan mengakui bahwa manusia punya batas-batas kemampuan masing-masing untuk menjalankan kesabaran. Jadi mampu mengucapkan: “Saya masih belum bisa bersabar atas masalah ini. Semoga tindakanku ini dimaafkan Allah SWT, dan dimudahkan Allah SWT”. atau “Saya sebagai manusia mempunyai keterbatasan untuk bersabar, maafkanlah dan ampunilah”.
By the way, apakah sabar itu? sikap diam, sikap pasif, tidak peduli. Apakah do’a Nabi Nuh as terhadap umatnya kemudian ditenggelamkan itu bersabar? Apakah Sikap Musa as menenggelamkan Raja Fir’aun dan pasukannya termasuk bersabar? Atau ketika Ibrahim as menyembelih anaknya juga termasuk sabar?
Agak sulit memang menemukan definisi sabar yang benar-benar pas. Antara satu orang dengan lainnya bisa mempunyai definisi yang berbeda. Wajar jika demikian, sebab sabar merupakan istilah yang memuat hal-hal fisik dan non fisik. Campuran yang abstrak dengan yang riil. Sabar bisa tercermin dalam sikap perilaku yang keliatan, tetapi dia dida-sari pada sikap batin yang abstrak, ghoib. Allah tidak memberi batasan yang benar-benar jelas. Di berbagai ayat al Qur’an sabar muncul. Salah satunya adalah ketika menggambarkan orang yang sabar:“…mereka yang ketika ditimpa musibah berkata inna lillahi wa innaa ilaihi rojiun”. Orang sabar digambarkan oleh Allah adalah  mereka yg ketika ditimpa musibah (kejadian yg tdk mengenakkan-pen) berujar kalimat istirja’ (innaa lillahi wa innaa ilaihi rojiun). Gambaran tersebut lebih fokus kepada musibah, bukan nikmat. Allah paham betul terhadap psikologis manusia.
Ketika nikmat manusia akan mudah mengucap terima kasih. Mudah memuji Allah SWT. Tetapi bagaimana kalau tidak menyenangkan? semoga disitu-lah akan tergambar kesabaran seseorang. Dari sini ada satu pelajaran yang bisa kita ambil, bahwa manusia yang teruji adalah ketika mereka bisa melalui kesulitan, ketidakenakan. Kalau mau tahu apakah manusia itu bersukur atau tidak, maka lihatlah ketika tidak punya apa-apa. Apakah kita termasuk orang yang bersukur atau tidak atas kesehatan, maka lihatlah sikap kita ketika sakit. Apakah anda akan menggerutu dan mengomel ketika sakit? jika ya, berarti kita tidak bersukur atas kesehatan. Terkadang kita diberi flu satu jam saja mengeluhnya luar biasa, lupa jika Allah memberi sehat selama puluhan tahun, itulah manusia yang sering melupakan Allah. Tidak enak sedikit saja melupakan nikmat besar dan lama sebelumnya.
Tepat sekali Allah menggambarkan tentang manusia yang sabar itu. Di saat tidak enak, maka manusia itu dengan penuh kesadaran mengakui: “sungguh…kami ini adalah milik Allah dan kami semua akan kembali kepada Allah…”. Kalimat ini dalam masyarakat kita sudah dipelintir sedemikian rupa hanya berlaku ketika ada orang meninggal. Kalau mau jujur sungguh ungkapan itu diucapkan hanya ketika ada orang meninggal adalah menge-cilkan arti yang sesungguhnya. Ungkapan itu akan keluar dari mulut mereka yang terkena musibah, bukan orang yang tidak kena musibah. Seandainya diucapkan orang lain, maka itu adalah bentuk mengingatkan untuk bersabar bagi yang ditimpa musibah.
Kata kami innaa adalah menunjukkan subyek jamak (pertama) atau kami. Jadi, saya dan apa yang beserta saya. Sehingga disitu yang menjadi milik Allah SWT ada saya dan apa saja yang beserta saya, baik benda, kejadian atau apapun. Sehingga ketika ada kejadian yang membuat kita tidak nyaman, tidak menyenangkan, maka Allah SWT mengajari kita untuk mengakui bahwa itu semua dari Allah SWT. Orang sering dan mudah mengumpat  ketika cuma tersandung. Siapa sebenarnya yang diumpat? kaki, batu, kejadian atau yang menciptakan kejadian tersandung tersebut. Sungguh seandainya tahu, orang di dunia ini tidak akan mudah mengumpat. Demikian pula mengeluh, di al Qur’an berkali-kali disebut “wa laa tai-asu..” (jangan putus as atas rahmat Allah). Kenapa lupa dengan nikmat-nikmat yang telah diberikan selama ini (fa bi ayyi alaai robbikuma tukadziban)?
Dengan demikian, sabarkah diri kita?? cobalah apa yang pertama kali muncul dalam benak kita, hati kita; apa yang pertama terucap dari mulut kita ketika kita menemui kejadian, situasi, dan sesuatu yang buat diri kita tidak enak, tidak senang. Apapun yang muncul dalam benak kita, apapun yang terucap dari mulut kita, maka itulah indikator kesabaran kita. Selanjutnya nilailah sendiri…!! hanya Anda dan Allah SWT yang paling tahu tentang diri Anda.
Sabar adalah sebuah sikap yang tidak hanya soal ucapan, tetapi lebih dari itu, yaitu sikap hati, sikap batin yang terlahir melalui sikap perilaku dan dipertegas melalui ucapan. Sabar demikian penting, tetapi demikian berat dilakukan? untuk apa itu semua dilakukan? seberapa penting sabar dalam hidup, dalam ajaran agama?
Jika pada pembahasan sebelumnya mengulas apa itu sabar, bagian ini akan membahas untuk apa bersabar. Allah berfirman: ”Mintalah dengan sabar dan sholat, sesungguhnya Allah bersama orang yang bersabar”. Ayat ini dengan tegas menyebutkan dua fungsi sabar, yaitu untuk meminta (solusi atas berbagai masalah) dan dekat kepada Allah. Dua hal itu tidak dapat dipisahkan dan pada ujungnya tetap dekat kepada Allah SWT.
Sering kali diantara kita bertanya dengan penuh heran; “mengapa orang-orang kafir kok sukses dalam hidupnya? berhasil dalam kehidupan?”, diantara kita ada yang memberi jawaban:”ah itu kan keberhasilan semu, Allah Swt. hanya menguji  atau memanjakan saja dan tidak berarti benar-benar di sayang sama Allah”. Jawaban tersebut lebih pada penyelematan keimanan agar orang tidak jatuh dan tertarik pada keberhasilan orang-orang kafir dan akhirnya mengikuti jalan hidup orang kafir. Tidak ada salahnya jawa-ban itu. Tetapi kurang mengena, tidak fokus pada jawaban mengapa. Ayat yang saya kutip di atas benar-benar menegaskan bahwa kesabaran adalah kunci. Disinilah sisi universal hukum Allah SWT (Sunnatullah) yang tertuang dalam al Qur’an. Siapa sabar ya bisa mengatasi masalah, tidak peduli siapapun dia, agama apapun dia. Jadi, jangan heran ketika, ada orang yang menyembah cuma batu bisa sukses, bisa mengatasi masalah hidupnya. Sebab dia sudah bersabar dalam usaha, bersabar atas mencari solusi, meski dia terantuk batu. Jadi, inilah keadilan Allah yang didasarkan pada hukumnya yang universal. Disinilah penjelasan mengapa maling, koruptor dan sebagainya kok ya bisa berhasil. Mereka melakukan kejahatan dengan ketelitian, kesabaran. Jadi, itupun bisa dilakukan.
Bagi orang-orang beriman perlu diingatkan dengan penegasan Allah bahwa: “Sesungguhnya Allah beserta orang bersabar”. Ada dua bentuk kedekatan dengan Allah dalam ayat tersebut, yaitu Manusia yang mendekati Allah (dengan Sholat) dan Allah SWT yang mendekati manusia (dengan bersabar). ketika manusia bisa bersabar seperti yang diuraikan sebelumnya, yang bersumbu pada Allah SWT, maka pada saat itu Allah SWT menyertai manusia itu. Penegasan itu pula yang pada akhirnya membedakan orang beriman dengan tidak. Seolah-olah Allah berkata, ketika manusia sudah bersabar bisa jadi bukan keberhasilan, tetapi kegagalan. Oleh karena itu, Allah akan tetap menemani manusia tersebut, meski tidak dikabulkan secara langsung. Bagi orang beriman, jawaban itu sungguh luar biasa. Persoalannya, bukan bicara dikabulkan atau tidak, diterima atau tidak permintaannya, tetapi jaminan Allah akan menyertai itu sungguh luar biasa. Jika sholat manusia berusaha keras mendekati Allah, malah ini sebaliknya. Oleh karena itu, kenikmatan didekati itu merupakan anugrah yang luar biasa, sehingga tetap membuat manusia tetap bersabar dan tetap mendamba didampingi Allah Swt. Mana ada kenikmatan yang lebih luar biasa selain itu??? Bahkan dalam kitab-kitab klasik disebutkan kenikmatan pada ujungnya di surga nanti adalah “melihat wajah Allah”. Ketika di dunia ini bisa di dampingi, disertai Allah terus menerus, maka dia sebenarnya sudah mencapai kenikmatan surgawi, tanpa menyentuh surga itu sendiri.
Begitu agungnya bersabar, memang mudah diucap, meski sulit dilakukan, bukan? Tetapi mengapa kita masih enggan untuk berusaha menempuhnya? Apakah ada alasan yang meyakinkan untuk menolak bersabar? Bahkan orang kafir, penjahat, kriminal mengakui keutamaan bersabar. Maling-maling di malam hari, mau bersabar menunggu pemilik rumah untuk tidur; penculik rela berhari-hari mondar-mandir mempelajari lokasi. Mudah mengatakan, tapi sulit mengerjakan, bukan? Allahummaj’alnaa minashoobiriin. Amiin





    
.