Kata HATI adalah terjemahan dari Qalbun. Qalbun merupakan bentuk masdar
dari akar kata qalaba – yaqlibu – qalban
yang berarti membalikkan, mengubah, memalingkan, mengalami perubahan. Pemaknaan
etemologis tersebut, tidak jauh dari latar belakangnya yang cendrung selalu berubah-ubah.
Qalbun adalah lokus dari kebaikan dan
kejelekan, kebenaran dan kesalahan. Dengan kata lain, hati (qalbu) menunjukkan sentralitas dalam
diri manusia sebagai pusat keperibadian dan membuat manusia menjadi manusia.
Secara terminologi HATI mempunyai
dua makna; yaitu hati dalam bentuk fisik dan hati dalam bentuk ruh atau lathifah. Dalam arti fisik,
hati dapat diartikan sebagai sepotong daging (jantung) yang terletak pada dada
sebelah kiri dalam tubuh manusia. Ia yang disebutnya sangat menentukan kualitas
manusia. Apakah akan menjadi manusia baik atau buruk dan di sana pula terdapat
pusat ruh.
Sedangkan makna yang kedua, yaitu
hati dalam bentuk ruh atau lathifah adalah sesuatu yang halus,
tidak kasat mata, tidak dapat diraba, bersifat rohani robbani meski ada juga hubungannya dengan hati. Lathifah tersebut merupakan hakikat dari
diri seorang manusia. Ia adalah salah satu komponen manusia yang berpotensi
melakukan peng-idrak-kan (memahami,
menyerap, atau mempersepsikan) atas segala hal yang ditujukan kepadanya dan
akan dimintai pertangung jawaban.
Dalam kaitannya denga hati ini,
Rasulullah saw bersabda: Ingatlah bahwa
dalam tubuh manusia tersapat sepotong daging (mudghoh), apabila ia baik maka
akan baiklah seluruh tubuhnya dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh
tubuhnya. Ingatlah...!! sepotong daging itu adalah hati.
Dalam hadits di atas, yang
dimaksud dengan hati bukanlah hati yang berbentuk fisik yang berfungsi sebagai
penyaring racun dalam tubuh, bukan hati yang berdenyut tenag dikala seseorang
merasakan ketenangan dan bukan pula hati yang berdenyut kencang disaat
mengalami kekacauan. Tetapi hati yang dimaksud adalah hati yang dapat
mengantarkan seseorang pada suatu keadaan yang penuh ketenangan, kedamaian,
ketentraman, dan bahkan pada sebuah keadaan yang dapat mengantarkan pada cinta
abadi dengan Allah swt adalah hati yang lebih kasat mata, ruh atau lathifah.
Banyak hadits Nabi yang
membicarakan tentang hati. Diantaranya adalah hadits yang berbunyi: Hati itu bagaikan raja dan raja itu
mempunyai bala tentara. Apabila raja itu baik maka baiklah seluruh bala
tentaranya dan apabila raja itu buruk maka buruklah seluruh bala tentaranya. (Kanzul
Ummal, Hadis ke 1205).
Ketika Nabi menggambarkan “hati
dengan raja”, beliau juga melambangkan hati dalam jiwa. Sebagaimana raja
memiliki peranan penting dalam memimpin bala tentaranya. Raja itulah yang
memerintahkan bala tentaranya untuk bergerak pada arah yang dikehendakinya, baik
mengarah pada hal yang baik atau hal yang buruk, begitu juga hati. Ia memegang
peranan penting dalam menjaga kesehatan rohani manusia. Apabila hati baik maka
rohani akan baik dan apabila hati rusak maka juga akan berakibat rusak bagi
rohani. Dengan demikian, tidak terlalu berlebihan, apabila hati disebut sebagai
barometer dari segala tindakan manusia.
Untuk menyukseskan program hati
yang telah direncanakan agar dapat memancarkan cahaya ketenangan, kedamaian dan
ketentraman dalam kehidupan sehari-hari maka hati butuh makanan sebagaimana
tubuh manusia butuh makan. Karena hati bersifat abstrak maka makanannya pun
bersifat abstrak, berbeda dengan tubuh manusia yang bersifat konkrit. Kalau
makanan manusia berbentuk konktrit seperti nasi, roti, keju dan susu segar
untuk menyegarkan tubuh. Tetapi, makan untuk hati dapat dilakukan berupa dzikrullah (banyak mengingat Allah).
Mendapatkan ketenangan,
kedamaian, dan ketentraman harus diusahakan lahir dan batin. Secara lahir kita
harus menghindari hal-hal yang membuat kesusahan. Atau hal-hal yang menimbulkan
hati gelisah, seperti dalam masalah dunia selalu melihat orang yang lebih
tinggi, lebih kaya dari kita. Sedangkan mencari ketenangan dan kedamaian secara
bathiniyah maka harus selalu
memperbanyak dzikrullah dan disertai ikhiyar.
Di sini, perlu kesadaran dari
setiap manusia untuk menyelami lebih jauh kesadaran akan ruh Ilahi dalam jiwa manusia, akan terus menerus membawa manusia
pada gerak-gerik jiwa agar senantiasa selaras dengan hasrat dan kehendak Ilahi Robby. Agar keselarasan itu
muncul, maka seluruh tata cara komunikasi dengan Allah swt melalui tradisi sufi
terus dieksplorasi agar baitullah (baca:
hati) itu tetap bercahaya dalam jiwanya. Sehingga seluruh elemen-elemen
kejiwaan seseorang (fikiran, akal, lubuk, ruh dan sirr) senantiasa disiram
cahaya Ilahi, maka harus ada getaran-getaran hati yang
mengerakkan listrik cahaya dalam jiwa, yaitu dzikrullah.
Allah swt berfirman dalam surat
ar Ra’du ayat 28 dijelaskan bahwa: ...(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah
(dzikrullah). Ingatlah....! hanya dengan mengingat Allah swt hati akan menjadi
tentram.
Dalam ayat dia atas menggambarkan
bahwa cara memperoleh ketentraman hati adalah dengan memperbanyak dzikrullah, tetapi tidak semua dzikir
itu dapat menentramkan hati. Karena itu, syarat dzikir yang dapat menentramkan
hati seseorang adalah dzikir orang-orang yang beriman (mu’min). Jadi, orang yang tidak beriman tidak masuk dalam cakupan
ayat ini. Artinya, orang yang tidak beriman hatinya tidak akan tentram dengan
berdzikir.
Oleh karena itu, kalau kita yakin
bahwa dalam jiwa ini masih ada benih keimanan maka jangan mencari kedamaian dan
ketentraman pada jabatan yang dimiliki, harta yang berlimpah ruah dan godaan
kehidupan dunia yang bersifat sementara semata. Ketentraman hanya dapat
diperoleh dengan memperbanyak dzikrullah
kepada Allah swt. Karena ketentraman ada hubungannya dengan keimanan seseorang.
Hal ini sejalan dengan firman Allah swt dalam surat al Fath ayat 4, yakni: Dialah yang telah menurunkan ketentraman
dalam hati orang-orang yang beriman supaya keimanan mareka bertambah disamping
keimanan mereka (yang telah ada).....
Untuk mengenali seseorang, apakah
hatinya tentram atau tidak maka dapat dikenali dari segala tingkah laku fisik
mereka. Karena tingkah laku seseorang bersumber dari panggilan atau bisikan
hatinya. Bagi orang yang bertingkah laku Qur’ani,
berarti hatinya sedang tentram dan bagi orang yang tingkah laku syaithoni maka dalam hatinya tidak ada rasa tentram yang menyelimutinya. Na’udzu billahi min dzalik.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar