Sabtu, 04 Oktober 2014

Pangilan Hati Nurani


 Kata HATI adalah terjemahan dari Qalbun. Qalbun merupakan bentuk masdar dari akar kata qalaba – yaqlibu – qalban yang berarti membalikkan, mengubah, memalingkan, mengalami perubahan. Pemaknaan etemologis tersebut, tidak jauh dari latar belakangnya yang cendrung selalu berubah-ubah. Qalbun adalah lokus dari kebaikan dan kejelekan, kebenaran dan kesalahan. Dengan kata lain, hati (qalbu) menunjukkan sentralitas dalam diri manusia sebagai pusat keperibadian dan membuat manusia menjadi manusia.
Secara terminologi HATI mempunyai dua makna; yaitu hati dalam bentuk fisik dan hati dalam bentuk ruh atau lathifah.  Dalam arti fisik, hati dapat diartikan sebagai sepotong daging (jantung) yang terletak pada dada sebelah kiri dalam tubuh manusia. Ia yang disebutnya sangat menentukan kualitas manusia. Apakah akan menjadi manusia baik atau buruk dan di sana pula terdapat pusat ruh.
Sedangkan makna yang kedua, yaitu hati dalam bentuk ruh atau lathifah adalah sesuatu yang halus, tidak kasat mata, tidak dapat diraba, bersifat rohani robbani meski ada juga hubungannya dengan hati. Lathifah tersebut merupakan hakikat dari diri seorang manusia. Ia adalah salah satu komponen manusia yang berpotensi melakukan peng-idrak-kan (memahami, menyerap, atau mempersepsikan) atas segala hal yang ditujukan kepadanya dan akan dimintai pertangung jawaban.
Dalam kaitannya denga hati ini, Rasulullah saw bersabda: Ingatlah bahwa dalam tubuh manusia tersapat sepotong daging (mudghoh), apabila ia baik maka akan baiklah seluruh tubuhnya dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ingatlah...!! sepotong daging itu adalah hati.
Dalam hadits di atas, yang dimaksud dengan hati bukanlah hati yang berbentuk fisik yang berfungsi sebagai penyaring racun dalam tubuh, bukan hati yang berdenyut tenag dikala seseorang merasakan ketenangan dan bukan pula hati yang berdenyut kencang disaat mengalami kekacauan. Tetapi hati yang dimaksud adalah hati yang dapat mengantarkan seseorang pada suatu keadaan yang penuh ketenangan, kedamaian, ketentraman, dan bahkan pada sebuah keadaan yang dapat mengantarkan pada cinta abadi dengan Allah swt adalah hati yang lebih kasat mata, ruh atau lathifah.
Banyak hadits Nabi yang membicarakan tentang hati. Diantaranya adalah hadits yang berbunyi: Hati itu bagaikan raja dan raja itu mempunyai bala tentara. Apabila raja itu baik maka baiklah seluruh bala tentaranya dan apabila raja itu buruk maka buruklah seluruh bala tentaranya. (Kanzul Ummal, Hadis ke 1205).
Ketika Nabi menggambarkan “hati dengan raja”, beliau juga melambangkan hati dalam jiwa. Sebagaimana raja memiliki peranan penting dalam memimpin bala tentaranya. Raja itulah yang memerintahkan bala tentaranya untuk bergerak pada arah yang dikehendakinya, baik mengarah pada hal yang baik atau hal yang buruk, begitu juga hati. Ia memegang peranan penting dalam menjaga kesehatan rohani manusia. Apabila hati baik maka rohani akan baik dan apabila hati rusak maka juga akan berakibat rusak bagi rohani. Dengan demikian, tidak terlalu berlebihan, apabila hati disebut sebagai barometer dari segala tindakan manusia.
Untuk menyukseskan program hati yang telah direncanakan agar dapat memancarkan cahaya ketenangan, kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan sehari-hari maka hati butuh makanan sebagaimana tubuh manusia butuh makan. Karena hati bersifat abstrak maka makanannya pun bersifat abstrak, berbeda dengan tubuh manusia yang bersifat konkrit. Kalau makanan manusia berbentuk konktrit seperti nasi, roti, keju dan susu segar untuk menyegarkan tubuh. Tetapi, makan untuk hati dapat dilakukan berupa dzikrullah (banyak mengingat Allah).
Mendapatkan ketenangan, kedamaian, dan ketentraman harus diusahakan lahir dan batin. Secara lahir kita harus menghindari hal-hal yang membuat kesusahan. Atau hal-hal yang menimbulkan hati gelisah, seperti dalam masalah dunia selalu melihat orang yang lebih tinggi, lebih kaya dari kita. Sedangkan mencari ketenangan dan kedamaian secara bathiniyah maka harus selalu memperbanyak dzikrullah dan disertai ikhiyar.
Di sini, perlu kesadaran dari setiap manusia untuk menyelami lebih jauh kesadaran akan ruh Ilahi dalam jiwa manusia, akan terus menerus membawa manusia pada gerak-gerik jiwa agar senantiasa selaras dengan hasrat dan kehendak Ilahi Robby. Agar keselarasan itu muncul, maka seluruh tata cara komunikasi dengan Allah swt melalui tradisi sufi terus dieksplorasi agar baitullah (baca: hati) itu tetap bercahaya dalam jiwanya. Sehingga seluruh elemen-elemen kejiwaan seseorang (fikiran, akal, lubuk, ruh dan sirr) senantiasa disiram cahaya Ilahi,  maka harus ada getaran-getaran hati yang mengerakkan listrik cahaya dalam jiwa, yaitu dzikrullah.
Allah swt berfirman dalam surat ar Ra’du ayat 28 dijelaskan bahwa: ...(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah (dzikrullah). Ingatlah....! hanya dengan mengingat Allah swt hati akan menjadi tentram.
Dalam ayat dia atas menggambarkan bahwa cara memperoleh ketentraman hati adalah dengan memperbanyak dzikrullah, tetapi tidak semua dzikir itu dapat menentramkan hati. Karena itu, syarat dzikir yang dapat menentramkan hati seseorang adalah dzikir orang-orang yang beriman (mu’min). Jadi, orang yang tidak beriman tidak masuk dalam cakupan ayat ini. Artinya, orang yang tidak beriman hatinya tidak akan tentram dengan berdzikir.
Oleh karena itu, kalau kita yakin bahwa dalam jiwa ini masih ada benih keimanan maka jangan mencari kedamaian dan ketentraman pada jabatan yang dimiliki, harta yang berlimpah ruah dan godaan kehidupan dunia yang bersifat sementara semata. Ketentraman hanya dapat diperoleh dengan memperbanyak dzikrullah kepada Allah swt. Karena ketentraman ada hubungannya dengan keimanan seseorang. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt dalam surat al Fath ayat 4, yakni: Dialah yang telah menurunkan ketentraman dalam hati orang-orang yang beriman supaya keimanan mareka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada).....
Untuk mengenali seseorang, apakah hatinya tentram atau tidak maka dapat dikenali dari segala tingkah laku fisik mereka. Karena tingkah laku seseorang bersumber dari panggilan atau bisikan hatinya. Bagi orang yang bertingkah laku Qur’ani, berarti hatinya sedang tentram dan bagi orang yang tingkah laku syaithoni maka dalam hatinya tidak  ada rasa tentram yang menyelimutinya. Na’udzu billahi min dzalik.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar