A.
Latar
Belakang Masalah
Islam
sebagai sistem nilai yang dianut oleh suatu komunitas manusia karena
perkembangannya membutuhkan pranata-pranata sosial lainnya, termasuk imamah
yang menampung harapan dan aspirasi umat serta sesuai dengan petunjuk-petunjuk
dasar wahyu. Al-Quran tidak mengeksplisitkan aturan-aturan tentang imamah.
Demikian pula dengan hadits-hadits Rasul, interpretasi terhadap keimamahan di
kalangan umat Islam sangat beragam.[1]
Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, tidak
ada ketentuan khusus untuk menetapkan siapa yang akan diangkat menjadi
pengganti Nabi. Sedangkan keadaan kota Madinah sudah stabil dan agama sudah
tersebar ke seluruh daerah serta pengaruh Rasulullah saw. sudah meluas ke
kawasan Arab yang lain.[2] Persoalan ini kemudian
menjadi konflik awal yang terjadi di tengah kaum muslimin tentang sosok yang
paling kapabel menggantikan kepemimpinan Nabi.[3] Bahkan dalam Islam belum
pernah terjadi perpecahan yang sampai menumpahkan darah sehebat persoalan
imamah.[4]
Di antara pecahan kelompok yang
merupakan akibat dari persoalan imamah adalah Ahlussunnah wa al-Jama’ah (Sunni)
dan Syi’ah.
Sunni adalah kelompok yang menggunakan
argumentasi ilmu kalam[5] atau kelompok yang selalu
berpegang teguh pada Kitâbullah, As-Sunnah dan Atsaru as-Shahâbat,
dalam melaksanakan semua agamanya di segala bidang.[6] Menurut Imam
Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari bahwa dalam kitab Ushuluddin cara
pengangkatan keimaman ada dua. Sebagian Mutakallimin berpendapat harus
ditetapkan melalui nash dari Allah. Demikian pula, setiap imam harus memberikan
nash dari Allah kepada imam sesudahnya. Sebagian Mutakallimîn yang lain
berpendapat terkadang imam ditetapkan melalui nash, tetapi dapat pula
berdasarkan ahlu al-‘aqdi.[7]
Akan tetapi, melihat pada kasus-kasus khilafah sebagian besar berpendapat bahwa pemilihan seorang imam harus berdasarkan
kepada pilihan umat atau yang lazim disebut Syûra.[8]
Hal ini terbukti
dengan pemilihan Khalifah Abu Bakar, Umar Ibn Khattab dan Usman Bin Affan yang berdasarkan
pemilihan umat.[9]
Walaupun sebelum Usman diangkat, Umar mencalonkan enam orang untuk dipilih
dalam musyawarah tersebut. Dan walaupun
Abu Bakar mencalonkan Umar, tetapi beliau masih bermusyawarah dengan
orang-orang yang bijaksana di kalangan muslimin dan orang-orang yang ada di
mesjid.[10] Dan imamah menurut
golongan Sunni adalah orang biasa, sekedar pengganti Nabi dalam mengurus
soal-soal agama dan pemerintahan, dan juga orang biasa yang bisa berbuat
kesalahan.[11]
Sedangkan menurut Haikal yang dikutip
oleh Musdah Mulia bahwa yang dipandang sesuai dengan ajaran Islam adalah konsep
yang memandang khalifah sebagai manusia biasa dan memperoleh kekuasaan dari
rakyat.[12] Konsep ini sejalan dengan
ayat al-Quran QS. al-Kahfi: 110 yaitu:
قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما
إلهكم إله واحد فمن كان يرجوا لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولايشرك بعبادة ربه أحدا [13]
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya
aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa
Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barang siapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Di kalangan Syi'ah persoalan imamah
menjadi pemicu perpecahan dalam tubuh Syi’ah sendiri tentang siapakah yang
paling berhak menerima wasiat keimamahan dan tentang keyakinan sosok imam yang
melahirkan sekte-sekte Kisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghullat dan Ismailiyah.[14]
Di kalangan Syi’ah imam harus dipilih
berdasarkan nash Ilahi. Hal ini sesuai dengan keyakinan Syi’ah bahwa
Nabi Muhammad saw. telah menunjuk Ali bin Abi Thalib secara langsung untuk
menjadi pengganti pemimpin umat Islam setelah beliau. Ketentuan ini, didasarkan
pada al-Quran surat al-Maidah: 67[15] yaitu:
يأيها الرسول بلغ ماأنزل
إليك من ربك وإن لم تفعل فما بلغت رسالته والله يعصمك من الناس إن الله لايهدى
القوم الكفرين[16]
Artinya: “Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Dalam pandangan Syi’ah ayat ini memang turun kepada Nabi saw. ketika
sampai di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang dari haji Wadâ’. Nabi saw.
diperintahkan oleh Allah untuk mengangkat Ali sebagai khalifah sepeninggalnya.
Beliau melaksanakan perintah tersebut. Beliau melantik Ali sebagai khalifah dan
pemimpin bagi umat sepeninggalnya. Di hadapan khalayak banyak, Nabi saw.
mengumandangkan sabdanya yang masyhur,“Barang siapa yang aku adalah
pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”[17]
Selain itu, menurut Asy-Syahrastani seorang
imam harus memiliki sifat terpelihara dari kesalahan (‘ishmah) sebagaimana sifat yang terdapat pada diri Nabi.[18] Di kalangan Syi’ah semua
ketentuan ini tidak boleh ditolak, baik melalui perkataan, perbuatan maupun
keyakinan.[19]
Dari dua golongan ini sama-sama
menggunakan dalil nash untuk memperkuat alasan keduanya. Sementara itu, imamah
tidak bisa diberikan kepada sembarang orang.
Persoalan ini kemudian menurut peneliti sangat menarik untuk diteliti.
Hal ini, karena seorang pemimpin akan selalu dibutuhkan untuk memberikan
petunjuk (sesuai aturan al-Quran) kepada manusia baik dalam urusan agama
ataupun pemerintahan. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian tentang
penafsiran ayat yang digunakan oleh kedua kelompok ini. Dan juga, untuk
menambah pengetahuan mengenai konsep imamah sehingga proses pemilihan seorang
pemimpin tepat kepada orang yang layak untuk menjadi pemimpin.
Kitab yang digunakan dalam penelitian ini adalah tafsir al-Mîzân yang
merupakan karya seorang ulama Syi’ah yang memang diakui keilmuannya yaitu Allamah
Husein Thabathaba’i dan Tafsir al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa
al-Manhaj karya seorang ulama Sunni yaitu Wahbah Musthafa Zuhaili yang juga
diakui keilmuannya. Bahkan kitab al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa
al-Manhaj ini dijadikan rujukan awal oleh para mufassir setelahnya.[20]
Kitab tafsir al-Munîr fi al-’Aqîdah wa
al-Syarî’ah wa al-Manhaj merupakan gabungan antara tafsir bi al-ma’tsur dan
bi al-Ra’yi. Hal ini karena beliau menafsirkan ayat-ayat al-Quran
dengan sunnah Nabi dan perkataan para Salafu
as-Shaleh. Selain itu, beliau juga menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan
menggunakan ijtihad dengan memperhatikan kalimat al-Quran, jumlah, susunan ayat dan sebab turunnya, perbuatan
para mujtahid, kibaru al-Mufassirin wa al-Muhadditsin, dan ketsiqahan
ahl-al-Ilmi. Dan juga, karena
memelihara kandungan al-Quran yang mu’jiz, serta adanya perbedaan
pendapat dalam tafsir terhadap hukum syari’at.[21]
Berbeda dengan Tafsir al-Mîzân yang berbentuk tafsir bi al-ra’yi dengan
corak teologis-filosofis dan pengarang yang berlatar belakang
Syi’ah Imamiyah. Karena terkait dengan rukun iman yang ketiga dalam madzhab
Syi’ah. Dan juga, Thabathaba’i menggunakan
penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain selama hal tersebut sesuai dengan
mengkaji susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut. Dan menggunakan riwayat-riwayat yang membahas tafsiran suatu ayat selama
riwayat tersebut mutawatir baik yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl
al-Bayt.[22] Sehingga hal
ini sangat mempengaruhi terhadap penafsiran ayat-ayat imamah. Walaupun
demikian, kedua tafsir ini sama-sama menggunakan metode tahlili dalam
penafsirannya.
B.
Rumusan
Masalah
Perumusan masalah
merupakan langkah yang sangat penting untuk menentukan arah suatu penelitian.
Pada hakikatnya ia adalah pertanyaan yang jawabannya akan dicari melalui
penelitian.[23]
Sedangkan menurut Imam
Suprayogo perumusan masalah adalah upaya untuk
menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan
yang ingin dicari jawabannya.[24] Sesuai dengan latar
belakang masalah di atas bahwa penelitian ini menfokuskan kajiannya pada konsep
imamah dengan mengkomparasikan pendapat Sunni dan Syi’ah sehingga
masalah-masalah pokok yang menjadi kajian tulisan ini dirumuskan dalam dua
pertanyaan sebagai berikut:
1.
Bagaimana tafsir ayat
imamah menurut Sunni dan Syi’ah dalam kitab Tafsir al-Mîzân dan Tafsir
al-Munîr?
2.
Bagaimana persamaan
dan perbedaan dari kedua pendapat tersebut, dan mengapa?
C.
Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Tujuan peneliti dalam
membahas masalah di atas adalah:
1.
Untuk mengetahui tafsir
ayat imamah menurut Sunni dan Syi’ah berdasarkan kitab dari masing-masing aliran
2.
Untuk mengetahui letak
persamaan dan perbedaan dari kedua golongan tersebut, dan memaparkan
kitab-kitabnya.
Kegunaan penelitian
adalah sesuatu yang diperoleh dari suatu penelitian yang dapat dimbil nilai
gunanya.[25]
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah
untuk menambah pengetahuan tentang konsep imamah sehingga nantinya bisa
mengangkat seorang pemimpin yang pantas untuk menjadi pemimpin atau sesuai
dengan ajaran Islam, serta meluruskan pemahaman yang terjadi antara Sunni,
Syi’ah dalam masalah imamah.
D.
Batasan
Istilah
Penelitian ini membatasi istilah yang
digunakan sebagai berikut:
1.
Imamah: artinya
pemimpin, atau dalam politik islam dikenal dengan khalifah, amir,[26] ra’in dan ulil amri.[27]
2.
Komparasi: adalah
perbandingan[28]
atau suatu permasalahan penelitian yang bersifat membandingkan keberadaan suatu
variabel pada dua sampel atau lebih.[29] Dan penelitian ini
membandingkan pendapat Sunni dan Syi’ah tentang imamah.
3.
Sunni: adalah sering
disebut juga Ahlussunnah wa al-Jamâ’ah, yaitu kelompok yang menggunakan
argumentasi ilmu kalam[30] atau umat Islam yang
semua amaliyahnya selalu berpegang teguh pada Kitabullah, As-Sunnah dan
Atsarus Sahabat, dalam melaksanakan semua agamanya di segala bidang, yang
pada dasarnya lebih mengutamakan petunjuk Agama daripada petunjuk rasio dan
akal.[31] Hal ini sesuai dengan
hadits Nabi; apa Ahlussunnah wa al-Jamâ’ah? Nabi menjawab: Yang aku ini dan
para sahabatku.[32]
4.
Syi’ah: secara bahasa
berarti “kelompok, golongan, sekte atau pengikut.”[33] Sedangkan secara
terminologis adalah kelompok masyarakat yang menjadi pendukung Sayyidina Ali
ibn Abi Thalib. Kelompok ini berpendapat bahwa Sayyidina Ali adalah imam dan
khalifah yang ditetapkan melalui nash dan wasiat dari Rasulullah baik secara
terang-terangan maupun implisit.[34]
Secara umum penelitian ini akan meneliti
ayat imamah dengan mengkomparasikan
pendapat Sunni dan Syi’ah. Perbandingan dari kedua pendapat ini kemudian bisa
diketahui konsep imamah yang lebih sesuai dengan kepemimpinan dalam Islam
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi. Hal ini, karena Nabi adalah suri
tauladan terbaik dalam self development, bisnis dan kewirausahaan,
kehidupan rumah tangga, dakwah, tatanan sosial dan politik, sistem hukum,
pedidikan dan strategi militer.[35]
E.
Telaah
Pustaka
Menurut peneliti banyak sekali orang
yang meneliti tentang konsep imamah. Ada beberapa buku yang ditemukan oleh
penulis mengenai imamah khususnya menurut Sunni dan Syi’ah.
Diantara buku yang
mengkaji konsep imamah adalah I’tiqad Ahlussunnah wa al-Jamâ’ah karya
Sirajuddin Abbas yang membahas tentang bantahan-bantahan terhadap Syi’ah,
termasuk juga masalah imamah. Akan tetapi buku ini hanya membahas dari segi
hadits saja, tidak dari al-Quran.
Selain itu, Buku Putih Madzab Syi’ah
yang membahas tentang imam dari segi hadits dan keutamaan Ali berdasarkan al-Quran
dan hadits. Akan tetapi, penafsiran ayat dalam buku ini hanya sekilas bahkan
terkadang hanya menggunakan satu pendapat.
Dan
juga, buku Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah? Yang juga membahas Syi’ah
secara luas, akan tetapi dalam masalah dalil Syi’ah tentang imamah khususnya
berdasarkan al-Quran hanya dibahas secara sekilas.
Dari beberapa literatur di atas, belum
ada yang meneliti tentang ayat imamah yang dijadikan alasan dari kelompok Sunni
dan Syi’ah. Selain itu, nantinya penulis
akan mencoba menganalisis sehingga persamaan dan perbedaan antara keduanya
(Sunni dan Syi’ah) serta kelebihan dan kekurangan dari keduanya dapat
diketahui.
F.
Kerangka
Teori
Kerangka teori
merupakan perspektif yang digunakan oleh peneliti yang berfungsi sebagai
kriterium atau alat ukur seberapa jauh tingkat kesenjangan (gab) antara
teoris dan praktik, antara das solen dan das sien, antara seharusnya dan
senyatanya.[36]
Paradigma yang menjadi landasan
penelitian ini adalah normatif. Hal ini, untuk mengetahui konsep imamah menurut
kelompok Sunni dan Syi’ah, dan penafsiran dari ayat yang digunakan oleh kedua
kelompok. Dan juga, untuk mengetahui mana yang lebih sesuai dengan kepemimpinan
Rasulullah.
Penelitian ini menggunakan teori tafsir
tematik, yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang berbeda dalam surat al-Quran yang
berhubungan dengan judul, hukum, tafsir dan yang berkaitan dengan tujuan al-Quran[37]
atau menghimpun seluruh ayat al-Quran yang memiliki tujuan dan tema yang sama.[38]
Menurut Musthafa Muslim yang dikutip oleh Ahmad Izzan tafsir tematik adalah
tafsir yang membahas tentang masalah-masalah al-Quran al-Karîm yang (memiliki)
kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya atau disebut
metode tauhidi (kesatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis)
terhadap isi kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan
syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan
unsur-unsurnya, serta menghubung-hubungkan antara yang satu dan lainnya dengan
korelasi yang bersifat komprehensif.[39]
Hal ini untuk mengumpulkan ayat-ayat imamah yang ada pada Tafsir al-Munîr fi
al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj dan tafsir al-Mîzân.
Selain itu, teori yang digunakan adalah
teori induktif yaitu dari khusus ke umum. Hal ini untuk membantu pemahaman
tentang pemaknaan dalam data yang rumit melalui pengembangan tema-tema yang
diikhtisarkan dari data kasar.[40]
Demikian juga, teori kepemimpinan yaitu Teori
Sifat-Sifat Dasar Kepemimpinan Warren Bennis. Dalam teori ini, terdapat enam
sifat-sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Di antara
keenam sifat tersebut yaitu Visioner (Guiding Vision), Berkemempuan kuat
(Passion), Integritas (Integrity), Amanah (Trust), Rasa
ingin tahu (Curiosity), dan Berani (Courage).[41]
Dengan demikian, maka
seorang imam harus benar-benar orang yang tepat atau sesuai dengan keimamahan
pada masa Rasulullah sehingga membuat masyarakat hidup sejahtera.
G.
Metode
Penelitian
Metode penelitian
merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian. Hal ini, untuk
memperjelas arah suatu penelitian. Metode adalah cara yang teratur untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki atau
cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yang ditentukan.[42] Metode juga bisa
diartikan sebagai cara yang teratur dan sistematis untuk pelaksanaan sesuatu.[43] Dalam penelitian ini,
metode yang digunakan oleh peneliti yaitu:
1.
Jenis
dan Objek Penelitian
Adapun jenis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research).
Penelitian ini menjadikan bahan-bahan pustaka sebagai objek penelitian. Bahan
pustaka tersebut adalah berupa naskah-naskah yang berkaitan dengan tema
penelitian, yaitu tafsir ayat imamah menurut Sunni yang diwakili oleh Tafsir Al-Munîr
fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj dan Syi’ah yang diwakili oleh tafsir
al-Mîzân. Artinya penelitian ini mengkomparasikan pendapat imamah menurut Sunni dan Syi’ah.
Selain itu, penelitian ini juga dianalisa dengan
menggunakan teori kepemimpinan sehingga bisa diketahui kelebihan dan kelemahan
dari masing-masing kelompok.
2.
Sumber
Data
Karena penelitian ini berjenis pustaka,
maka yang digunakan adalah sumber data
yang berupa bahan-bahan kepustakaan. Dalam penelitian kepustakaan, sumber data
dibagi dua. Pertama, sumber primer. Sumber ini berupa kitab Tafsir Al-Munîr
fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj dan Tafsir al-Mîzân.
Kedua, sumber sekunder. Sumber ini juga
terdiri dari beberapa buku, artikel, jurnal dan sumber lain yang berkaitan
dengan pembahasan skripsi ini.
3.
Teknik
Pengumpulan Data
Karena
penelitian ini adalah bersifat studi pustaka maka teknik pengumpulan data yang
dilakukan oleh peneliti yaitu dengan mengumpulkan beberapa kitab, buku dan
artikel yang membahas tentang konsep imamah menurut Sunni dan Syi’ah. Adapun
cara yang dilakukan dalam pengumpulan data tersebut yaitu dengan mengumpulkan
ayat-ayat imamah dalam tafsir al-Munîr dan Tafsir al-Mîzân. Ayat imamah ini
merupakan ayat yang dijadikan dalil paling kuat oleh kaum Syi’ah terhadap
pengangkatan Sayyidina Ali sebagai pemimpin. Kemudian menganalisis dari kedua
bentuk penafsiran yang ditawarkan.
4.
Teknik
Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur
urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian
dasar.[44] Atau proses menyusun data
agar data tersebut dapat ditafsirkan.[45] Teknik analisis data yang
digunakan penelitian ini adalah deskriptif.
Hal ini dilakukan dengan membahas tafsir ayat imamah menurut Sunni yang
diwakili oleh Tafsir al-Munîr dan Syi’ah yang diwakili oleh kitab Tafsir al-Mîzân.
Kemudian membandingkan dari kedua pembahasan tersebut dengan mencari persamaan
dan perbedaan serta kelebihan dan kekuranganya dengan menggunakan metode
komparasi. Hasil komparasi tersebut kemudian dianalisis dengan teori
kepemimpinan. Sehingga diketahui letak persamaan dan perbedaan serta kelebihan
dan kekurangan dari keduanya.
H.
Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penelitian
ini dimulai dari bab pertama yaitu pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, batasan istilah, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian
dan sistematika pembahasan. Hal ini bertujuan agar penelitian ini arahnya
menjadi jelas. Dan jika terdapat orang lain yang ingin meneliti tema yang sama maka
dari sudut pandang lain.
Bab dua, pembahasan tentang
landasan teori yang berisi tentang pembahasan Sunni, Syi’ah dan tafsirnya. Terbagi menjadi pemaparan al-Munîr dan al-Mîzân.
Bab tiga, pada bagian ini
berisi tentang analisis ayat-ayat imamah
menurut Sunni dan Syi’ah yang meliputi QS.
Al-Maidah: 55 dan
QS. al-Maidah: 67.
Bab empat,
merupakan bab terakhir. Dalam bab ini akan disajikan kesimpulan yang menjadi
penutup dari penelitian ini. Sebagian kesimpulan itu berisi hasil penelitian
dari apa yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, yang dilanjutkan dengan
saran.
[1] Ali
Anwar Yusuf, Islam dan Sains Modern: Sentuhan
Islam Terhadap Berbagai Disiplin Ilmu, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 107.
[2]
Muhammad Husain Haekal, Abu Bakr As-Siddiq; Sebuah
Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi,
terj. Ali Audah (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2010), hlm. 30-31.
[3] Tim
Karya Ilmiah Abituren 2007, Polaritas Sektarian; Rekonstruksi
Doktrin “Pinggiran”, (Kediri: Lirboyo Press, 2003), hlm. 98.
[4] Ibid,
hlm. 26.
[5]
Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa
al-Nihal jilid 1, terj. Asyiwadie Syukur (Surabaya: Bina Ilmu,
2003), hlm. 77.
[7] Abul
Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran
Teologi Islam, terj. Rosihon Anwar dan Taufik Rahman (Bandung:
Pustaka Setia, 1999), hlm. 176.
[8] Ali
Anwar Yusuf, Islam ... hlm. 106-107.
[9] Muhammad
Husain Haekal, Abu Bakr…hlm.
344-345. Bandingkan pula dengan Muhammad Husain Haekal, Usman bin
Affan; Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan, terj. Ali Audah (Bogor:
PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2010), hlm. 4. Ali Audah, Ali
Bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husain,
(Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2010), hlm. 161-162. Muhammad Husain Haekal, Umar
bin Khattab, terj. Ali Audah (Bogor: PT. Pustaka Litera
AntarNusa, 2010), hlm.727.
[10] Ibid,
hlm. 80-81.
[11]
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wa al-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2010), hlm.
133.
[12]
Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik
Husain Haikal, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 235.
[13]
Departemen Agama RI, Al-Quran
tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, (Banten:
Kalim, 2011), hlm. 305.
[15]
Syarafuddin al-Asnawi, Dialog Sunnah-Syi’ah; Surat
Menyurat Antara Rekor al-Azhar Di Kairo Mesir dan Seorang Ulama Besar Syi’ah, terj.
Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan,
2001), hlm.150-151.
[17] Tim
Ahl al-Bayt Indonesia, Buku Putih Madzhab Syi’ah; Menurut Ulamanya yang Muktabar,
(Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bit Indonesia, 2012), hlm. 114.
[19] Ibid,
hlm. 124.
[21]
Wahbah Musthafa al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-’Aqîdah wa
al-Syarî’ah wa al-Manhaj juz 1, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), hlm. 6.
[22]
Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn al-Thabathaba’i, Al-Mizan;
An Exegesis Of The Qur’an, translation, Sayid Saeed Akhtar Rizvi, (Tehran:
WOFIS, 1983), hlm. Pendahuluan xvii-xviii.
[23]
Irawan Soeharto, Metode Penelitian Sosial: Suatu
Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 23.
[24] Imam
Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), hlm.
128.
[27] M.
mas’ud Sa’id (ed.), Kepemimpinan; Pengembangan
Organisasi Team Building dan Perilaku Inovatif,
(Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010), hlm. 213.
[29]
Kasiram, Metodologi Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm.
246.
[33]
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), hlm. 1155.
[35]
Muhammad Syafii Antoni, Muhammad Saw. The Super Leader
Super Manager, (Jakarta: ProLM Centre Tazkia Publishing, 2009), hlm.
1.
[40] Lexy J. Moleong, Metodologi
penelitia kualitatif, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,
2012), hlm. 298.
[43] Pius
A. Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,
(Surabaya: Arkola, 2001), hlm. 461.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar