Sabtu, 04 Oktober 2014

Konsep Imamah Sunni Vs Syi'ah (1)


                                                                                  
A.    Latar Belakang Masalah
       Islam sebagai sistem nilai yang dianut oleh suatu komunitas manusia karena perkembangannya membutuhkan pranata-pranata sosial lainnya, termasuk imamah yang menampung harapan dan aspirasi umat serta sesuai dengan petunjuk-petunjuk dasar wahyu. Al-Quran tidak mengeksplisitkan aturan-aturan tentang imamah. Demikian pula dengan hadits-hadits Rasul, interpretasi terhadap keimamahan di kalangan umat Islam sangat beragam.[1]
       Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, tidak ada ketentuan khusus untuk menetapkan siapa yang akan diangkat menjadi pengganti Nabi. Sedangkan keadaan kota Madinah sudah stabil dan agama sudah tersebar ke seluruh daerah serta pengaruh Rasulullah saw. sudah meluas ke kawasan Arab yang lain.[2] Persoalan ini kemudian menjadi konflik awal yang terjadi di tengah kaum muslimin tentang sosok yang paling kapabel menggantikan kepemimpinan Nabi.[3] Bahkan dalam Islam belum pernah terjadi perpecahan yang sampai menumpahkan darah sehebat persoalan imamah.[4]
      
       Di antara pecahan kelompok yang merupakan akibat dari persoalan imamah adalah Ahlussunnah wa al-Jama’ah (Sunni) dan Syi’ah.
       Sunni adalah kelompok yang menggunakan argumentasi ilmu kalam[5] atau kelompok yang selalu berpegang teguh pada Kitâbullah, As-Sunnah dan Atsaru as-Shahâbat, dalam melaksanakan semua agamanya di segala bidang.[6] Menurut Imam Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari bahwa dalam kitab Ushuluddin cara pengangkatan keimaman ada dua. Sebagian Mutakallimin berpendapat harus ditetapkan melalui nash dari Allah. Demikian pula, setiap imam harus memberikan nash dari Allah kepada imam sesudahnya. Sebagian Mutakallimîn yang lain berpendapat terkadang imam ditetapkan melalui nash, tetapi dapat pula berdasarkan ahlu al-‘aqdi.[7] Akan tetapi, melihat pada kasus-kasus khilafah sebagian besar berpendapat bahwa pemilihan seorang imam harus berdasarkan kepada pilihan umat atau yang lazim disebut Syûra.[8]
       Hal ini terbukti dengan pemilihan Khalifah Abu Bakar, Umar Ibn Khattab  dan Usman Bin Affan yang berdasarkan pemilihan umat.[9] Walaupun sebelum Usman diangkat, Umar mencalonkan enam orang untuk dipilih dalam musyawarah tersebut. Dan walaupun Abu Bakar mencalonkan Umar, tetapi beliau masih bermusyawarah dengan orang-orang yang bijaksana di kalangan muslimin dan orang-orang yang ada di mesjid.[10] Dan imamah menurut golongan Sunni adalah orang biasa, sekedar pengganti Nabi dalam mengurus soal-soal agama dan pemerintahan, dan juga orang biasa yang bisa berbuat kesalahan.[11]
       Sedangkan menurut Haikal yang dikutip oleh Musdah Mulia bahwa yang dipandang sesuai dengan ajaran Islam adalah konsep yang memandang khalifah sebagai manusia biasa dan memperoleh kekuasaan dari rakyat.[12] Konsep ini sejalan dengan ayat al-Quran QS. al-Kahfi: 110 yaitu:
قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فمن كان يرجوا لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولايشرك بعبادة ربه أحدا   [13]
       Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

        Di kalangan Syi'ah persoalan imamah menjadi pemicu perpecahan dalam tubuh Syi’ah sendiri tentang siapakah yang paling berhak menerima wasiat keimamahan dan tentang keyakinan sosok imam yang melahirkan sekte-sekte Kisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghullat dan Ismailiyah.[14] 
        Di kalangan Syi’ah imam harus dipilih berdasarkan nash Ilahi. Hal ini sesuai dengan keyakinan Syi’ah bahwa Nabi Muhammad saw. telah menunjuk Ali bin Abi Thalib secara langsung untuk menjadi pengganti pemimpin umat Islam setelah beliau. Ketentuan ini, didasarkan pada al-Quran surat al-Maidah: 67[15] yaitu:
يأيها الرسول بلغ ماأنزل إليك من ربك وإن لم تفعل فما بلغت رسالته والله يعصمك من الناس إن الله لايهدى القوم الكفرين[16]
              Artinya: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
       Dalam pandangan Syi’ah ayat ini memang turun kepada Nabi saw. ketika sampai di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang dari haji Wadâ’. Nabi saw. diperintahkan oleh Allah untuk mengangkat Ali sebagai khalifah sepeninggalnya. Beliau melaksanakan perintah tersebut. Beliau melantik Ali sebagai khalifah dan pemimpin bagi umat sepeninggalnya. Di hadapan khalayak banyak, Nabi saw. mengumandangkan sabdanya yang masyhur,“Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”[17]
       Selain itu, menurut Asy-Syahrastani seorang imam harus memiliki sifat terpelihara dari kesalahan (‘ishmah) sebagaimana sifat yang terdapat pada diri Nabi.[18] Di kalangan Syi’ah semua ketentuan ini tidak boleh ditolak, baik melalui perkataan, perbuatan maupun keyakinan.[19]
       Dari dua golongan ini sama-sama menggunakan dalil nash untuk memperkuat alasan keduanya. Sementara itu, imamah tidak bisa diberikan kepada sembarang orang.
       Persoalan ini kemudian menurut peneliti sangat menarik untuk diteliti. Hal ini, karena seorang pemimpin akan selalu dibutuhkan untuk memberikan petunjuk (sesuai aturan al-Quran) kepada manusia baik dalam urusan agama ataupun pemerintahan. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian tentang penafsiran ayat yang digunakan oleh kedua kelompok ini. Dan juga, untuk menambah pengetahuan mengenai konsep imamah sehingga proses pemilihan seorang pemimpin tepat kepada orang yang layak untuk menjadi pemimpin.
       Kitab yang digunakan dalam penelitian ini adalah tafsir al-Mîzân yang merupakan karya seorang ulama Syi’ah yang memang diakui keilmuannya yaitu Allamah Husein Thabathaba’i dan Tafsir al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj karya seorang ulama Sunni yaitu Wahbah Musthafa Zuhaili yang juga diakui keilmuannya. Bahkan kitab al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj ini dijadikan rujukan awal oleh para mufassir setelahnya.[20]
       Kitab tafsir al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj merupakan gabungan antara tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-Ra’yi.  Hal ini karena beliau menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan sunnah Nabi dan perkataan para Salafu as-Shaleh. Selain itu, beliau juga menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan ijtihad dengan memperhatikan kalimat al-Quran, jumlah,  susunan ayat dan sebab turunnya, perbuatan para mujtahid, kibaru al-Mufassirin wa al-Muhadditsin, dan ketsiqahan ahl-al-Ilmi. Dan juga, karena  memelihara kandungan al-Quran yang mu’jiz, serta adanya perbedaan pendapat dalam tafsir terhadap hukum syari’at.[21] Berbeda dengan Tafsir al-Mîzân yang berbentuk tafsir bi al-ra’yi dengan corak teologis-filosofis dan pengarang yang berlatar belakang Syi’ah Imamiyah. Karena terkait dengan rukun iman yang ketiga dalam madzhab Syi’ah. Dan juga, Thabathaba’i menggunakan penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain selama hal tersebut sesuai dengan mengkaji susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut. Dan menggunakan riwayat-riwayat yang membahas tafsiran suatu ayat selama riwayat tersebut mutawatir baik yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl al-Bayt.[22] Sehingga hal ini sangat mempengaruhi terhadap penafsiran ayat-ayat imamah. Walaupun demikian, kedua tafsir ini sama-sama menggunakan metode tahlili dalam penafsirannya.

B.     Rumusan Masalah
       Perumusan masalah merupakan langkah yang sangat penting untuk menentukan arah suatu penelitian. Pada hakikatnya ia adalah pertanyaan yang jawabannya akan dicari melalui penelitian.[23] Sedangkan menurut Imam Suprayogo perumusan masalah adalah upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang ingin dicari jawabannya.[24] Sesuai dengan latar belakang masalah di atas bahwa penelitian ini menfokuskan kajiannya pada konsep imamah dengan mengkomparasikan pendapat Sunni dan Syi’ah sehingga masalah-masalah pokok yang menjadi kajian tulisan ini dirumuskan dalam dua pertanyaan sebagai berikut:
1.        Bagaimana tafsir ayat imamah menurut Sunni dan Syi’ah dalam kitab Tafsir al-Mîzân dan Tafsir al-Munîr?
2.        Bagaimana persamaan dan perbedaan dari kedua pendapat tersebut, dan mengapa?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
       Tujuan peneliti dalam membahas masalah di atas adalah:
1.        Untuk mengetahui tafsir ayat imamah menurut Sunni dan Syi’ah berdasarkan  kitab dari masing-masing aliran
2.        Untuk mengetahui letak persamaan dan perbedaan dari kedua golongan tersebut, dan memaparkan kitab-kitabnya.
       Kegunaan penelitian adalah sesuatu yang diperoleh dari suatu penelitian yang dapat dimbil nilai gunanya.[25] Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah  untuk menambah pengetahuan tentang konsep imamah sehingga nantinya bisa mengangkat seorang pemimpin yang pantas untuk menjadi pemimpin atau sesuai dengan ajaran Islam, serta meluruskan pemahaman yang terjadi antara Sunni, Syi’ah dalam masalah imamah.

D.    Batasan Istilah
       Penelitian ini membatasi istilah yang digunakan sebagai berikut:
1.        Imamah: artinya pemimpin, atau dalam politik islam dikenal dengan khalifah, amir,[26] ra’in dan ulil amri.[27]
2.        Komparasi: adalah perbandingan[28] atau suatu permasalahan penelitian yang bersifat membandingkan keberadaan suatu variabel pada dua sampel atau lebih.[29] Dan penelitian ini membandingkan pendapat Sunni dan Syi’ah tentang imamah.
3.        Sunni: adalah sering disebut juga Ahlussunnah wa al-Jamâ’ah, yaitu kelompok yang menggunakan argumentasi ilmu kalam[30] atau umat Islam yang semua amaliyahnya selalu berpegang teguh pada Kitabullah, As-Sunnah dan Atsarus Sahabat, dalam melaksanakan semua agamanya di segala bidang, yang pada dasarnya lebih mengutamakan petunjuk Agama daripada petunjuk rasio dan akal.[31] Hal ini sesuai dengan hadits Nabi; apa Ahlussunnah wa al-Jamâ’ah? Nabi menjawab: Yang aku ini dan para sahabatku.[32]
4.        Syi’ah: secara bahasa berarti “kelompok, golongan, sekte atau pengikut.”[33] Sedangkan secara terminologis adalah kelompok masyarakat yang menjadi pendukung Sayyidina Ali ibn Abi Thalib. Kelompok ini berpendapat bahwa Sayyidina Ali adalah imam dan khalifah yang ditetapkan melalui nash dan wasiat dari Rasulullah baik secara terang-terangan maupun implisit.[34]
       Secara umum penelitian ini akan meneliti ayat imamah dengan  mengkomparasikan pendapat Sunni dan Syi’ah. Perbandingan dari kedua pendapat ini kemudian bisa diketahui konsep imamah yang lebih sesuai dengan kepemimpinan dalam Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi. Hal ini, karena Nabi adalah suri tauladan terbaik dalam self development, bisnis dan kewirausahaan, kehidupan rumah tangga, dakwah, tatanan sosial dan politik, sistem hukum, pedidikan dan strategi militer.[35]

E.     Telaah Pustaka
       Menurut peneliti banyak sekali orang yang meneliti tentang konsep imamah. Ada beberapa buku yang ditemukan oleh penulis mengenai imamah khususnya menurut Sunni dan Syi’ah.
       Diantara buku yang mengkaji konsep imamah adalah I’tiqad Ahlussunnah wa al-Jamâ’ah karya Sirajuddin Abbas yang membahas tentang bantahan-bantahan terhadap Syi’ah, termasuk juga masalah imamah. Akan tetapi buku ini hanya membahas dari segi hadits saja, tidak dari al-Quran.
       Selain itu, Buku Putih Madzab Syi’ah yang membahas tentang imam dari segi hadits dan keutamaan Ali berdasarkan al-Quran dan hadits. Akan tetapi, penafsiran ayat dalam buku ini hanya sekilas bahkan terkadang hanya menggunakan satu pendapat.
       Dan juga, buku Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwah? Yang juga membahas Syi’ah secara luas, akan tetapi dalam masalah dalil Syi’ah tentang imamah khususnya berdasarkan al-Quran hanya dibahas secara sekilas.
       Dari beberapa literatur di atas, belum ada yang meneliti tentang ayat imamah yang dijadikan alasan dari kelompok Sunni dan Syi’ah.  Selain itu, nantinya penulis akan mencoba menganalisis sehingga persamaan dan perbedaan antara keduanya (Sunni dan Syi’ah) serta kelebihan dan kekurangan dari keduanya dapat diketahui.

F.     Kerangka Teori
       Kerangka teori merupakan perspektif yang digunakan oleh peneliti yang berfungsi sebagai kriterium atau alat ukur seberapa jauh tingkat kesenjangan (gab) antara teoris dan praktik, antara das solen dan das sien, antara seharusnya dan senyatanya.[36]
       Paradigma yang menjadi landasan penelitian ini adalah normatif. Hal ini, untuk mengetahui konsep imamah menurut kelompok Sunni dan Syi’ah, dan penafsiran dari ayat yang digunakan oleh kedua kelompok. Dan juga, untuk mengetahui mana yang lebih sesuai dengan kepemimpinan Rasulullah.
       Penelitian ini menggunakan teori tafsir tematik, yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang berbeda dalam surat al-Quran yang berhubungan dengan judul, hukum, tafsir dan yang berkaitan dengan tujuan al-Quran[37] atau menghimpun seluruh ayat al-Quran yang memiliki tujuan dan tema yang sama.[38] Menurut Musthafa Muslim yang dikutip oleh Ahmad Izzan tafsir tematik adalah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah al-Quran al-Karîm yang (memiliki) kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya atau disebut metode tauhidi (kesatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan unsur-unsurnya, serta menghubung-hubungkan antara yang satu dan lainnya dengan korelasi yang bersifat komprehensif.[39] Hal ini untuk mengumpulkan ayat-ayat imamah yang ada pada Tafsir al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj dan tafsir al-Mîzân.
       Selain itu, teori yang digunakan adalah teori induktif yaitu dari khusus ke umum. Hal ini untuk membantu pemahaman tentang pemaknaan dalam data yang rumit melalui pengembangan tema-tema yang diikhtisarkan dari data kasar.[40]
       Demikian juga, teori kepemimpinan yaitu Teori Sifat-Sifat Dasar Kepemimpinan Warren Bennis. Dalam teori ini, terdapat enam sifat-sifat  dasar  yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Di antara keenam sifat tersebut yaitu Visioner (Guiding Vision), Berkemempuan kuat (Passion), Integritas (Integrity), Amanah (Trust), Rasa ingin tahu (Curiosity), dan Berani (Courage).[41]
       Dengan demikian, maka seorang imam harus benar-benar orang yang tepat atau sesuai dengan keimamahan pada masa Rasulullah sehingga membuat masyarakat hidup sejahtera.

G.    Metode Penelitian
       Metode penelitian merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian. Hal ini, untuk memperjelas arah suatu penelitian. Metode adalah cara yang teratur untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[42] Metode juga bisa diartikan sebagai cara yang teratur dan sistematis untuk pelaksanaan sesuatu.[43] Dalam penelitian ini, metode yang digunakan oleh peneliti yaitu:
1.         Jenis dan Objek Penelitian
       Adapun jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research). Penelitian ini menjadikan bahan-bahan pustaka sebagai objek penelitian. Bahan pustaka tersebut adalah berupa naskah-naskah yang berkaitan dengan tema penelitian, yaitu tafsir ayat imamah menurut Sunni yang diwakili oleh Tafsir Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj dan Syi’ah yang diwakili oleh tafsir al-Mîzân. Artinya penelitian ini mengkomparasikan pendapat imamah menurut  Sunni dan Syi’ah.
       Selain  itu, penelitian ini juga dianalisa dengan menggunakan teori kepemimpinan sehingga bisa diketahui kelebihan dan kelemahan dari masing-masing kelompok.
2.         Sumber Data
       Karena penelitian ini berjenis pustaka, maka yang digunakan adalah  sumber data yang berupa bahan-bahan kepustakaan. Dalam penelitian kepustakaan, sumber data dibagi dua. Pertama, sumber primer. Sumber ini berupa kitab Tafsir Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj dan Tafsir al-Mîzân.
       Kedua, sumber sekunder. Sumber ini juga terdiri dari beberapa buku, artikel, jurnal dan sumber lain yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

3.         Teknik Pengumpulan Data
       Karena penelitian ini adalah bersifat studi pustaka maka teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan mengumpulkan beberapa kitab, buku dan artikel yang membahas tentang konsep imamah menurut Sunni dan Syi’ah. Adapun cara yang dilakukan dalam pengumpulan data tersebut yaitu dengan mengumpulkan ayat-ayat imamah dalam tafsir al-Munîr dan Tafsir al-Mîzân. Ayat imamah ini merupakan ayat yang dijadikan dalil paling kuat oleh kaum Syi’ah terhadap pengangkatan Sayyidina Ali sebagai pemimpin. Kemudian menganalisis dari kedua bentuk penafsiran yang ditawarkan.
4.         Teknik Analisis Data
       Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.[44] Atau proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan.[45] Teknik analisis data yang digunakan penelitian ini adalah deskriptif.
       Hal ini dilakukan dengan membahas tafsir ayat imamah menurut Sunni yang diwakili oleh Tafsir al-Munîr dan Syi’ah yang diwakili oleh kitab Tafsir al-Mîzân. Kemudian membandingkan dari kedua pembahasan tersebut dengan mencari persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kekuranganya dengan menggunakan metode komparasi. Hasil komparasi tersebut kemudian dianalisis dengan teori kepemimpinan. Sehingga diketahui letak persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kekurangan dari keduanya.
H.     Sistematika Pembahasan
       Sistematika pembahasan dalam penelitian ini dimulai dari bab pertama yaitu pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, batasan istilah, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Hal ini bertujuan agar penelitian ini arahnya menjadi jelas. Dan jika terdapat orang lain yang ingin meneliti tema yang sama maka dari sudut pandang lain.
       Bab dua, pembahasan tentang landasan teori yang berisi tentang pembahasan Sunni, Syi’ah dan tafsirnya. Terbagi menjadi pemaparan al-Munîr dan al-Mîzân.
       Bab tiga, pada bagian ini berisi tentang analisis ayat-ayat imamah menurut Sunni dan Syi’ah yang meliputi QS. Al-Maidah: 55 dan QS. al-Maidah: 67.
       Bab empat, merupakan bab terakhir. Dalam bab ini akan disajikan kesimpulan yang menjadi penutup dari penelitian ini. Sebagian kesimpulan itu berisi hasil penelitian dari apa yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, yang dilanjutkan dengan saran.













[1] Ali Anwar Yusuf, Islam dan Sains Modern: Sentuhan Islam Terhadap Berbagai Disiplin Ilmu, (Bandung: Pustaka Setia, 2006),  hlm. 107.
[2] Muhammad Husain Haekal, Abu Bakr As-Siddiq; Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, terj. Ali Audah (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2010),  hlm. 30-31.
[3] Tim Karya Ilmiah Abituren 2007, Polaritas Sektarian; Rekonstruksi Doktrin “Pinggiran”, (Kediri: Lirboyo Press, 2003), hlm. 98.
[4] Ibid, hlm. 26.
[5] Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal jilid 1, terj. Asyiwadie Syukur (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), hlm. 77.
[6] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdatul Ulama, (PT. Duta Aksara, 2010), hlm. 147.
[7] Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, terj. Rosihon Anwar dan Taufik Rahman (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 176.
[8] Ali Anwar Yusuf, Islam ... hlm. 106-107.
                [9] Muhammad Husain Haekal, Abu Bakr…hlm. 344-345. Bandingkan pula dengan Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan; Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan, terj. Ali Audah (Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2010), hlm. 4. Ali Audah, Ali Bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husain, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2010), hlm. 161-162. Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, terj. Ali Audah (Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2010), hlm.727.
[10] Ibid, hlm. 80-81.
[11] Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wa al-Jama’ah,  (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2010), hlm. 133.
[12] Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, (Jakarta: Paramadina, 2001),  hlm. 235.
[13] Departemen Agama RI,  Al-Quran tafsir Perkata Tajwid Kode Angka,  (Banten: Kalim, 2011),  hlm. 305.
[14] Tim Karya Ilmiah Abituren 2007,  Polaritas…hlm. 100.
[15] Syarafuddin al-Asnawi, Dialog Sunnah-Syi’ah; Surat Menyurat Antara Rekor al-Azhar Di Kairo Mesir dan Seorang Ulama Besar Syi’ah, terj. Muhammad al-Baqir  (Bandung: Mizan, 2001), hlm.150-151.
[16] Departemen Agama RI,  Al-Quran… hlm. 120.
[17] Tim Ahl al-Bayt Indonesia, Buku Putih Madzhab Syi’ah;  Menurut Ulamanya yang Muktabar, (Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bit Indonesia, 2012), hlm. 114.
[18] Al-Syahrastani, Al-Milal…hlm. 124.
[19] Ibid, hlm. 124.
[20] Mannâ’ al-Qaththân, Mabahits fi Ulum al-Quran, (Surabaya: al-Hidayah, 1973), hlm. 363.
[21] Wahbah Musthafa al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj juz 1, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), hlm. 6.
[22] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn al-Thabathaba’i, Al-Mizan; An Exegesis Of The Qur’an, translation, Sayid Saeed Akhtar Rizvi, (Tehran: WOFIS, 1983), hlm. Pendahuluan xvii-xviii.
[23] Irawan Soeharto, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 23. 
[24] Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003),  hlm. 128.
[25] Asep Syaiful Muhtadi, dkk, Metode Penelitian Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 144.
[26] Ali Anwar Yusuf, Islam…hlm. 103.
[27] M. mas’ud Sa’id (ed.), Kepemimpinan; Pengembangan Organisasi Team Building dan Perilaku Inovatif, (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010), hlm. 213.
[28] Ali Anwar Yusuf, Islam…hlm. 352.
[29] Kasiram, Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. 246.
[30] Al-Syahrastani, Al-Milal wa... hlm. 77.
[31] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdatul Ulama, (PT. Duta Aksara, 2010), hlm. 147.
[32] Al-Syahrastani, Al-Milal…hlm. 3.
[33] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), hlm. 1155.
[34] Al-Syahrastani, Al-Milal…hlm. 124.
[35] Muhammad Syafii Antoni, Muhammad Saw. The Super Leader Super Manager, (Jakarta: ProLM Centre Tazkia Publishing, 2009), hlm. 1.
[36] Kasiram, Metodologi…hlm. 274.
[37] Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Tafsir Maudhu’i, (… Dar al-Nafais, 1996), hlm. 30.
[38] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 159.
[39] Ahmad Izzan, Metode Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), hlm. 114-115.
[40] Lexy J. Moleong, Metodologi penelitia kualitatif, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 298.
[41] Muhammad Syafii Antoni, Muhammad Saw…hlm. 27-28.
[42] DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 740.
[43] Pius A. Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 2001),  hlm. 461.
[44] Kasiram, Metodologi…hlm. 288. Lihat pula Lexy J. Moleong…hlm.  280.
[45] Dadang Rahmad, Metode Penelitian Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 158.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar