Sabtu, 04 Oktober 2014

Konsep Imamah Sunni Vs Syi'ah 2


MENGENAL SUNNI SYI’AH DAN KITAB TAFSIR
       Nabi Muhammad saw. merupakan Nabi akhiruz zaman sehingga ia menjadi panutan bagi umat setelahnya. Setelah Nabi saw. wafat, beliau meninggalkan dua buah kitab yaitu al-Quran dan hadits sebagai pedoman hidup bagi umat manusia. Walaupun demikian, masih banyak permasalahan dan perbedaan di antara umat manusia sehingga memunculkan aliran-aliran, seperti Sunni dan Syi’ah.           
       Ahlussunnah wal-Jamâ’ah atau Sunni adalah istilah yang paling populer dalam dunia Islam sekaligus paling ampuh digunakan untuk menyerang golongan lain sebagai sesat dan tidak selamat. Golongan ini menyatakan dirinya sebagai golongan yang selamat dari 73 golongan umat Islam. Bahkan dalam sejarah kelompok ini merupakan kelompok yang mengikuti Rasulullah saw. dan para sahabat.
       Sedangkan di kalangan Syi’ah, mereka juga meyakini bahwa dirinya adalah benar. Akan tetapi, di kalangan Syi’ah masalah imamah merupakan hal yang hangat diperbincangkan. Bahkan masalah ini membuat Syi’ah terpecah menjadi beberapa golongan. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian tentang imamah menurut Sunni dan Syi’ah.

A.     Asal-Usul Kemunculannya Sunni
       Pada watu Nabi Muhammad saw. wafat, umat Islam mulai menemukan kemusykilan-kemusykilan yang belum pernah dialami sebelumnya. Sedangkan untuk bertanya atau Tokoh yang dapat memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut sulit didapat. Berbeda ketika Nabi saw. masih hidup, semua permasalahan langsung diserahkan pada Nabi saw. sehingga tidak ada  perbedaan pendapat maupun perpecahan.[1]
       Menurut Al-Amidi setelah Rasulullah wafat timbul perdebatan-perdebatan mengenai ijtihad seperti masalah hukum furu’, siapa pengganti Nabi setelah wafat, di mana Nabi akan dimakamkan, dan lain sebagainya. Perdebatan-perdebatan ini berkembang hingga pada masa sahabat. Dan perdebatan-perdebatan itu mulai reda pada masa khalifah Abu Bakar. Hal ini tidak berselang lama, perpecahan itu muncul kembali dari orang-orang murtad, orang yang mengaku Nabi dan golongan yang tidak membayar zakat. Menurut Abu Mansur al-Baghdadi yang dikutip oleh Haekal bahwa di antara yang mengaku Nabi adalah Thuhailah ibn Khulualid al-Asad dan Musailamah al-Kadzdzab di Yaman, al-Aswad al-Ansy dan Sajah binti al-Harits. Keadaan ini berjalan hingga masa Umar ibn Khattab.[2]
     Pada akhir kekhalifahan Utsman ibn Affan, friksi internal dan gejolak politik mengenai kebijakan-kebijakan Utsman mulai dipermasalahkan dan menjadi sasaran kritik sebagian masyarakat. Keadaan ini melibatkan unsur-unsur Majusi dan Yahudi sehingga terjadi kekacauan dan beragam propaganda dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Utsman. Hal ini kemudian menjadikan khalifah Utsman ibn Affan terbunuh dan Ali terpilih menjadi khalifah.[3] Walaupun pemilihan khalifah Ali tanpa suara bulat karena ada golongan yang tidak setuju. Peristiwa ini merupakan pangkal terpecahnya umat Islam menjadi berbagai golongan. Di antaranya ada yang setuju dengan Ali, menolak Ali, dan pertengahan, tidak memihak pada yang dua golongan.[4]
       Pada masa pemerintahan Ali ra. kerabat Utsman, Mu’âwiyah, gubernur Suriah, menuntut agar Ali tetap mengadili pembunuh-pembunuh Utsman dan menolak mengakuinya sebagai khalifah. Hal ini kemudian menimbulkan perang saudara di antara mereka yang tiada akhir. Akhirnya sebagian pasukan yang membela Ali keluar dari barisannya tetapi tetap menentang Mu’awiyah. Kelompok ini disebut dengan Khawarij. Pada tahun 661, setelah seorang anggota Khawarij membunuh Ali, Mu’âwiyah diterima menjadi khalifah, memulai dinasti kekhalifahan, Dinasti Umayyah, yang berlangsung hingga 750. Pada masa ini, muncul permasalahan-permasalahan mengenai definisi keimanan sejati, status orang yang mengaku Islam tetapi melakukan dosa besar, kebebasan dan determinisme. Dan pada tahun 750, kekhalifahan Umayyah ditumbangkan oleh Dinasti Abbasiyah, anak cucu paman Nabi, al-Abbâs. Pada khalifah al-Abbâs ini, Ahlussunnah Wal-Jamâ’ah menemukan jati dirinya. Empat madzhab yang dimulai dari Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi’e dan Ibn Hanbal menjadi terkukuhkan.[5]
       Hal ini karena pada masa khalifah al-Makmun yang cukup besar menaruh minat pada filsafat menjadikan Muktazilah sebagai madzhab resmi negara pada tahun 827 M. Hal ini karena aliran pertama yang sangat dipengaruhi oleh filsafat adalah Muktazilah sehingga ajaran tauhidnya cenderung rasional dan liberal.[6] Akibatnya semua elemen pemerintahan dan masyarakat dipaksa untuk menganut paham Muktazilah. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang tetap berpegang teguh pada hadits Nabi saw. dan tidak mau menerima logika dalam pembuktian masalah aqidah. Di antara ulama yang tetap berpegang teguh pada hadits Nabi adalah Ahmad ibn Hanbal. Dan peristiwa ini kemudian dikenal dengan mihnah (ujian aqidah). Walaupun demikian, ketika al-Mutawakil (233-247 H/647-861 M), penguasa Abbasiyah di Irak menjadi khalifah, ia memerlukan dukungan dari masyarakat. Sementara itu, kelompok mayoritas setelah peristiwa mihnah menjadi pengikut Ahmad ibn Hanbal. Oleh sebab itu, pada tahun 856 khalifah al-Mutawakil membatalkan paham Muktazilah sebagai madzhab resmi Negara.[7]
       Bagi masyarakat awam, paham Muktazilah yang rasional dan filosofis sulit untuk diterima. Oleh karena itu, masyarakat menginginkan ajaran yang sifatnya sederhana yang sejalan dengan sunnah Nabi saw. Dengan keadaan yang demikian, muncullah Abu Hasan al-Asy’ari dengan paham baru yang berusaha menampung aspirasi rakyat dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi serta tradisi para sahabatnya. Aliran ini kemudian dikenal dengan nama Asy’ariyah atau Asya’irah. Paham Asy’ariyah ini banyak yang berbeda dengan Muktazilah, walaupun al-Asy’ari sendiri semula berpaham Muktazilah.[8]
       Selain itu, dalam rangka melawan muktazilah, muncul teologi baru yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 944) yang kemudian dikenal dengan Aliran al-Maturidiyah. Di Bukhara aliran al-Maturidiyah didirikan dan dikembangkan oleh Ali Muhammad Bazdawi. Namun kedua aliran ini ada perbedaan dalam beberapa paham. Aliran al-Maturidiyah di Samarkand agak liberal dan lebih dekat pada Muktazilah. Sedang al-Maturidiyah di Bukhara bersifat tradisional dan lebih dekat pada paham teologi Asy'ariyah. Kedua aliran teologi ini, dikenal dengan golongan Ahlussunnah wal-Jama’ah. Teologi Asy’ariyah dianut oleh Imam Syafi’e dan Ahmad ibn Hanbal serta para pengikut mereka.[9] Menurut Tim Saluran Teologi bahwa selain dua tempat tersebut (Samarkhan dan Bukhara), masih ada tempat yang juga melakukan perlawanan terhadap Muktazilah dan mengikrarkan diri sebagai pengikut Ahlu al-Hadits (Imam Ahmad bin Hanbal) yang mewarisi aqidah dari Nabi saw. dan para sahabatnya yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari di Baghdad.[10]
       Adapun Istilah Ahlussunnah wal-Jama’ah dinisbatkan pada teologi Asy’ariyah dan al-Maturidiyah. Hal ini karena mereka berpegang kuat pada Sunnah Nabi saw. dan merupakan kelompok mayoritas dalam masyarakat Islam. Oleh karena itu, Sunnah dalam istilah ini berarti hadits. Ahlussunnah wal-Jama’ah percaya kuat dan menerima hadits-hadits shahih tanpa memilih dan melakukan interpretasi. Dengan demikian, istilah Ahlussunnah wal-Jama’ah muncul setelah munculnya aliran teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah.[11]
       Pada masa berikutnya, dua aliran ini mendominasi tauhid umat Islam, disamping muncul aliran Syi’ah yang sesekali muncul ke permukaan. Akan tetapi, pada tahun ke-5 Hijriyah, aliran Muktzilah akhirnya lenyap, dan hanya tinggal Syi’ah dan Sunni yang terus bertahan. Pada abad ini, gerakan kembali ke aliran salaf yang digelorakan Ibnu Taimiyah beberapa abad sebelumnya, berhasil melahirkan aliran baru di kalangan Sunni, seperti Wahabi di Saudi Arabia dan Muhammadiyah di Indonesia. Sementara aliran Sunni lainnya, seperti Asy’ariyah dan al-Maturidiyah, juga harus bertahan dan bahkan melahirkan aliran baru seperti Nahdatul Ulama di Indonesia.[12]

B.     Asal-Usul Kemunculan Syi’ah
       Banyak riwayat yang menceritakan asal usul Syi’ah. Akan tetapi, yang paling populer adalah pendapat yang mengatakan bahwa Syi’ah lahir setelah perundingan antara pihak Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin.[13] Sejarah menceritakan bahwa setelah Ali menerima tawaran damai dari Mu’awiyah, ternyata hal itu menimbulkan pertentangan yang cukup keras dari pendukungnya sendiri, terutama bagi mereka yang tidak setuju untuk berdamai dengan Mu’awiyah dan tidak mau menerima formulasi pengambilan hukum yang diserahkan mutlak kepada kedua orang yang melakukan tahkim atau arbitrase. Hal ini membuat Harqus, ketua kelompok yang mendukung Ali bin Abi Thalib untuk membuat barisan sendiri dan menyatakan keluar dari kepemimpinan Ali. Kemudian kelompok ini disebut Khawarij.[14]
       Sebagai reaksi atas kelompok khawarij, muncul pula kelompok yang menyatakan setia kepada Sayyidina Ali, siap membela dan mati bersamanya. Kelompok ini dikenal dengan Syi’atul Ali (pengikut Ali), dan pada akhirnya menjadi embrio lahirnya Syi’ah. Sebenarnya pendukung setia Sayyidina Ali sudah ada setelah hari wafatnya Nabi. Ketika pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah[15] antara golongan Anshor dan Muhajirin, sebagian keturunan Bani Hasyim dan sebagian kaum muhajirin, sebenarnya menyuarakan Ali sebagai pengganti Nabi. Namun, suara mereka kalah dengan suara yang memilih Abu Bakar sehingga Abu Bakarlah yang menjadi khalifah. Di samping itu, Ali sibuk dengan proses pemakaman jenazah Nabi saw.[16]
       Ketika Ali menjadi khalifah setelah Utsman, baru mereka menguatkan barisannya. Dan menjadi sebuah gerakan ketika terdapat pembangkangan dari kaum Khawarij dan pemberontakan dari Mu’awiyah yang menyatakan sebagai orang yang berhak menjadi khalifah setelah Utsman serta terbunuhnya Husein secara sadis.[17] Pemberontakan Bani Mu’awiyah terhadap pemerintahan Ali dan putranya, membuat kaum Syi’ah semangat patriotik untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan Bani Mu’awiyah.[18]
       Sejalan dengan perkembangan zaman, keyakinan kaum Syi’ah justru beralih menjadi sifat teologis. Pada intinya, ajaran teologi Syi’ah berpusat pada masalah imamah yang menurut mereka harus berasal dari keturunan ahlul bait. Karena mereka beralasan bahwa yang dimaksud dengan ayat 55 dalam surat al-al-Maidah adalah Ali bin Abi Thalib.[19] Dan juga adanya hadits riwayat Imam Ahmad yang berbunyi: “Barang siapa yang menganggap Aku (Nabi saw.) sebagai pemimpin, maka Ali adalah pemimpinnya.”[20]
       Pada masa berikutnya persoalan imamah membuat kelompok Syi’ah terpecah dalam sekte-sekte, walaupun pada intinya mereka tetap menyepakati keimamahan Sayyidina Ali, Hasan dan Husein. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah pengganti dari Husein. Keadaan ini kemudian membuat Syi’ah terpecah menjadi dua aliran Syi’ah. Pertama, mereka yang berkeyakinan bahwa setelah Husein adalah putranya Husein yaitu Ali Zainal Abidin. Kedua, mereka yang berkeyakinan bahwa setelah Husein adalah Muhammad bin Hanafiyah, putra Ali dari selain Siti Fatimah. Selanjutnya perkembangan Syi’ah mengalami perubahan yaitu nuansa teologi semakin kental daripada politik, sehingga muncul aliran-aliran baru. Di antaranya adalah Kîsaniyah, Ghullat, Zaidiyah dan Imamiyah.[21] Sebagian mereka dalam bidang teologi cenderung pada Muktazilah, sebagian lagi pada Ahlussunnah wal-Jamâ’ah, dan sebagian lagi cenderung pada at-Tasybih (penyamaan Tuhan dengan makhluk).[22]

C.       Perbedaan Sunni dan Syi’ah
       Sebenarnya kelompok Sunni dan Syi’ah sama-sama berasal dari Islam. Akan tetapi, karena Ali menerima perdamain dengan Mu’awiyah, sehingga pengikut Ali keluar dari kepemimpinan Ali dan membentuk suatu gerakan yang disebut Khawarij. Sedangkan yang tetap membela Ali mereka juga membentuk kelompok yang disebut Syi’ah. Begitu juga, yang tetap bertahan dengan berpegang pada hadits Nabi dan sahabat disebut Sunni.
       Dengan demikian, yang dimaksud dengan golongan Sunni atau Ahlussunnah wal-Jamâ’ah adalah mereka yang tetap berpegang teguh pada hadits Nabi saw. dan sahabatnya. Hal ini sesuai dengan hadits:
رَوَى اَبُوْ دَاوُدْ وَالتِرْمِذِى وَابنُ مَاجَهْ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرة رَضِى الله عَنْهُ ان رَسُول الله صلى الله عليه وسلم, إقْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَالنَصَارَى عَلَى اثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.  وَتَفْرِقُت أُمَتِى عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. كُلُها فى النَارِ اِلَا وَاحِدَةٌ, قالو : ومن هم يا رسول الله؟ قال: هُم الَذِينَ عَلَى الَذِى أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي[23]
       Artinya: Telah meriwayatkan Abu Daud,at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra.bahwa sesungguhnya  Nabi saw. bersabda, “Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Umat Nasrani menjadi 72 golongan. Sedang umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua yang 73 golongan itu adalah di neraka kecuali satu golongan.
       Ditanyakan (kepada Nabi), “siapakah golongan itu?” beliau bersabda,“orang-orang yang aku berada di atasnya saat ini dan para sahabatku.”

       Menurut Syihab al-Khafaji, Abdullah ibn ‘Amr, Umar, Jabir dan Anas bahwa yang dimaksud dengan golongan yang selamat itu adalah Ahlussunnah wa al-Jamâ’ah.[24]
       Dalam Ensiklopedia Tasawuf Ahlussunnah wa al-Jama’ah adalah golongan umat Islam yang mengikuti jejak Rasulullah saw. dan mengakui Khalafa’ Ar-Rasyidin.[25]
       Menurut kebanyakan Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti pendapatnya  Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi di dalam masalah aqidah Islam dan mengikuti pendapat salah satu imam yang empat (Maliki, Hanafi, Syafi’I dan hambali) di dalam Syari’at Islam dan mengikuti pendapatnya imam al-Ghazali dan imam al-Junaidi al- Baghdadi di dalam akhlak atau tasawuf.[26]
       Sedangkan golongan Syi’ah adalah mereka yang bersuara membai’at Sayyidina Ali sebagai khalifah setelah wafatnya Nabi saw. atau yang setia kepada Sayyidina Ali, siap membela dan mati bersamanya. Mereka berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah imam dan khalifah yang ditetapkan melalui nash dan wasiat dari Rasulullah baik secara terang-terangan maupun implisit.[27] Akan tetapi, dari dua aliran ini terdapat perbedaan-perbedaan, khususnya di bidang aqidah[28], yaitu:
No.
Sunni
Syi’ah
1
Khalifah secara berturut adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali
Tiga khalifah pertama terkutuk karena telah merampas hak Sayyidina Ali
2
Khalifah tidak harus dari keturunan ahlul Bait
Khalifah harus dari keturunan ahlul Bait
3
Khalifah adalah manusia biasa, tidak ma’shum
Khalifah itu ma’shum
4
Tidak mempercayai khalifah Ghaib
Mempercayai khalifah Ghaib yang akan datang di akhir zaman
5
Kepercayaan kepada khalifah tidak termasuk rukun iman
Kepercayaan kepada khalifah termasuk salah-satu rukun iman
6
Kitab kedua adalah hadits Bukhari
Kitab kedua adalah al-Kafi, karangan Muhammad bin Ya’kub al-Kulaini
7
Mushhaf yang sah adalah mushhaf Utsmani
Mushhaf yang sah adalah mushhaf  Ali
8
Ahlul bait adalah keluarga Nabi termasuk istri Nabi
Ahlul bait adalah hanya keturunan Ali-Fatimah
9
Tidak menganut paham Wahdat al-Wujud
Menganut paham Wahdat al-Wujud
10
Islam telah sempurana ketika Nabi wafat
Islam belum sempurna ketika itu, karena masih ada wahyu bagi Imam-imam Syi’ah
11
Taqiyah bukan rukun Iman
Taqiyah termasuk rukun Iman
12
Raj’ah tidak ada
Percaya terhadap raj’ah
13
Dua kalimat syahadat
Tiga kalimat syahadat (ditambah wa Anna Aliyyun Waliyu Allah)
14
Lafadz shalawat terkadang ditambah wa Shahbih
Pantang menyebut wa Shahbih
15
Penyebutan nama Imam tidak ditambah ‘alaihi as-Salam
Penyebutan nama Imam  ditambah ‘alaihi as-Salam karena sama dengan Nabi
16
Mengucapkan “Amin” dalam shalat
Tidak mengucapkan “Amin” dalam shalat karena dapat membatalkan shalat
17
Tidak menjama’ shalat kecuali dalam safar atau situasi tertentu
Selalu menjama’ shalat
18
Tidak boleh kawin kontrak
Boleh kawin kontrak
19
Tidak ada khums kecuali dalam zakat
Ada kewajiban khums (20%) kekayaan penganutan untuk dana dakwah
20
Tidak ada sistem imamah
Sistem imamah menjadi syarat muthlaq
21
Menolak Bada’
Meyakini Bada’ yaitu Tuhan tidak mengetahui hal yang akan datang
22
Haram menyiksa diri dengan alasan apapun
Melakukan ritual penyiksaan diri
23
Dll
Dll 
       Dari semua perbedaan ini, yang paling populer adalah masalah Imamah. Dan hal ini kemudian menjadikan Syi’ah berbeda dari aliran-aliran yang lain.

D.    Tafsir Sunni Syi’ah
       Setiap aliran mempunyai pandangan berbeda dengan aliran yang lain. Bahkan kitab yang digunakan pun berbeda sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Dalam masalah imamah Sunni berbeda dengan Syi’ah. Hal ini terbukti dengan adanya perbedaan penafsiran dari kedua aliran ini.
       Adapun kitab tafsir di kalangan Sunni yang digunakan dalam penelitian ini adalah tafsir al-Munîr karya Wahbah Musthafa Zuhaili. Tafsir ini merupakan tafsir yang mengkombinasikan antara bi al-Ma’tsur dan bi ar-Ra’yi. Selain itu, corak yang digunakan adalah teologis-filosofis-fiqhi. Sedangkan tafsir dari kalangan Syi’ah diwakili oleh tafsir al-Mîzân yang merupakan karya seorang ulama Syi’ah yang memang diakui keilmuannya yaitu Husein Thabathaba’i. Bahkan karena kepandaiannya ia dijuluki dengan “Allamah”. Selain itu, tafsir al-Mîzân yang berbentuk tafsir bi al-ra’yi dengan corak teologis-filosofis dan pengarang yang berlatar belakang Syi’ah Imamiyah. Hal ini terkait dengan rukun iman yang ketiga dalam madzhab Syi’ah. Dan juga, Thabathaba’i menggunakan penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain selama hal tersebut sesuai dengan mengkaji susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut. Dan menggunakan riwayat-riwayat yang membahas tafsiran suatu ayat selama riwayat tersebut mutawatir baik yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl al-Bayt.[29] Selain itu, Syi’ah sering mengalami ketidakmujuran sejarah politik kaum muslim, sehingga tafsir mereka selalu mengarah peda pengukuhan Ali dan keturunannya. Hal ini kemudian sangat mempengaruhi terhadap penafsirannya.
       Dengan demikian, kedua tafsir ini sama-sama menggunakan corak teologis-filosofis. Selain itu, metode yang digunakan oleh keduanya adalah metode tahlili.
1.  Tafsir Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj
a.    Biografi Wahbah Musthafa Zuhaili
       Wahbah Zuhaili merupakan seorang mufassir dan ahli fiqih yang dilahirkan di desa A’thiyal Damsyiq pada tanggal 6 Maret 1932 M/1351 H. Ayahnya bernama Musthafa Az-Zuhyli yang juga merupakan seorang yang terkenal dengan keshalihan dan ketakwaannya serta hafidz al-Quran. Wahbah Zuhaili menempuh pendidikan pertamanya di Madrasah Ibtidaiyyah yang ada di kota kelahirannya sendiri dengan usia yang sangat muda. Pada tahun 1946 M, ia melanjutkan pada tingkat menengah dan masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun. Pada tahun 1952 M, ia mendapatkan ijazah menengahnya. Kemudian ia melaujutkan ke al-Azhar di Fakultas Syariah dan Bahasa Arab, dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain  Syam dalam waktu  yang  bersamaan. Ketika itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah antara lain :
1)        Ijazah dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956 M
2)        Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957
3)        Ijazah dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957.
       Setelah mendapatkan tiga ijazah, ternyata ia belum puas dengan yang diperolehnya sehingga ia melanjutkan ke tingkat pasca di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar Magister. Kemudian untuk menyempurnakan ia melanjutkan ke tingkat tertinggi yaitu program Doktor dan selesai pada tahun 1963 dengan judul desertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami”.[30]
       Di antara guru-guru Wahbah yang telah mendidik dan mengajarinya di Syam adalah Syekh Muhammad Hashim al-Khatib al-Rifa’i, (w. 1958 M) yang merupakan seorang khatib di Masjid Umawi dan Syekh Abdul Razaq al-Hamas (w. 1969 M), beliau belajar fiqih dari dua ulama ini, ilmu Hadits dari Syekh Mahmud Yassin (w.1948 M),   ilmu faraid dan ahl asy-Syakhsiyah dari Syekh Hassan al-Shati (w. 1962 M) seorang ahli fiqih dan guru pertama ketika kuliah di Damaskus, ilmu Tafsir dari Syekh Hassan Habnakah al-Midani (w. 1978 M), Syekh Shadik Habnakah saudara Hasan Habnakah belajar darinya ilmu tafsir, ilmu bahasa Arab (Balaghah dan Adab) dari Syekh Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986M) seorang pendidik dan pengajar al-Barizin; ilmu Usul  Fiqih dan Mustalah Hadits dari Syekh Muhammad Lutfi al-Fayumi (w. 1990 M), dan ilmu Akidah dan Kalam dari Syekh Mahmud al-Rankusi.[31]
       Sedangkan ketika Wahbah tinggal di Mesir, ia juga belajar kepada beberapa guru. Di antaranya Syek Muhammad Abu Zuhrah, (w. 1395 H), Syekh Mahmud Shaltut (w. 1963 M), Doktor Abdurrahman Taj seorang guru al-Azhar tahun 1954-1958 M, Isa Mannun (1376 H) guru al-Azhar bagian Ushuludddin dan Syari’ah, Muhammad Ali Khafif (w. 1978M), dan lainnya.[32]
       Sebagai seseorang yang ahli di bidang fiqih dan tafsir, ia juga ingin sama dengan yang lain yaitu menyalurkan ilmu yang telah diperolehnya kepada yang lain lewat tulisan. Di antara karya-karya yang telah ditulisnya berjumlah 130 buah kitab dan risalah, yaitu al-Harb fi al-Fiqh al-Islami – Dirasat Muqaranah, Al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid, Nazariat al-Darurat al-Syar’iyyah, Nazariat al-Daman, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, Usul al-Fiqh al-Islami (dua Jilid), Juhud Taqnin al-Fiqh al-Islami, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj, (16 jilid), tafsir al-Wasîd, tafsir al-Wajîr, Al-Quran al-Karim al-bunyatuh al-Tasyri’iyyah aw Khasa’isuh al-Hadariah, Al-Dzarâi’ fi al-Siyasah al-Syar’iyah, al-‘Ilât al-Dauliyah fi al-Islam Muqarana bi al-Qanun al-Dauli al-Hadits, Al-Wasit fi Usul al-Fiqh, Al-Usul al-Ammah li Wahdah al-Din al-Haq, Al-Alaqat al-Dawliah fi al-Islam, Fiqh al-Mawaris fi al-Shari’at al-Islamiah, Al-Wasaya wa al-Waqf fi al-Fiqh al-Islami, Al-Islam Din al-Jihad La al-Udwan, Persatuan Dakwah Islam Antarabangsa, al-Qisah al-Quraniyyah Hidayah wa Bayan, al-Rukhsah al-Syari’at – Ahkamuha wa Dawabituha, Khasa’is al-Kubra li Huquq al-Insan fi al-Islam, Al-Ulum al-Syari’at Bayn al-Wahdah wa al-Istiqlal, Al-Asas wa al-Masadir al-Ijtihad al-Musytarikat bayn al-Sunnah wa al-Syiah, Al-Islam wa Tahadiyyat al-‘Asr, Muwajahat al-Ghazu al-Thaqafi al-Sahyuni wa al-Ajnabi, al-Taqlid fi al-Madhahib al-Islamiah inda al-Sunnah wa al-Syiah, Al-Ijtihad al-Fiqhi al-Hadith, Al-Uruf wa al-Adat, Bay al-Asham, Al-Sunnah al-NabawiyyahIdarat al-Waqaf al-Khairi, al-Mujadid Jamaluddin al-Afghani, Taghyir al-Ijtihad, Tatbiq al-Syari’at al-Islamiah, Al-Zira’i fi al-Siyasah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami, Tajdid al-Fiqh al-Islami, Al-Thaqafah wa al-Fikr, Manhaj al-Da’wah fi al-Sirah al-Nabawiyah, Al-Qayyim al-Insaniah fi al-Quran al-Karim, Haq al-Hurriah fi al-‘Alam, Al-Insan fi al-Quran, Al-Islam wa Usul al-Hadarah al-Insaniah, Usul al-Fiqh al-Hanafi, Hadhârah Islam Adh-Dhimsyaqiyyah, dan lainnya.[33]
b.    Karakteristik Tafsir Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj
       Tafsir ini merupakan salah satu tafsir yang pembahasannya tidak hanya pada penafsiran al-Quran saja. Akan tetapi, juga membahas masalah-masalah tentang al-Quran. Salah satunya adalah tentang mengenal al-Quran dan bagaimana al-Quran diturunkan dan lainnya.[34] Kitab ini terdiri dari 16 jilid yang ditulisnya selama 16 tahun.
       Dalam ilmu penafsiran terdapat dua bentuk (jins) tafsir yaitu Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Menurut DR. Rosihon Anwar yang dikutip oleh Ahmad Izzan bahwa tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran al-Quran berdasarkan penjelasan al-Quran sendiri, penjelasan rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya dan aqwal tabi’in.[35] Sedangkan tafsir bi al-Ra’yi menurut al-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti Asbab an-Nuzul dan Nasikh Mansukh.[36]   
       Tafsir al-Munir ini merupakan salah satu tafsir yang mengggabungkan dua bentuk penafsiran di atas yaitu tafsir bi al-Ma’tsûr dan tafsir bi al-Ra’yi.  Hal ini karena beliau menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan sunnah Nabi dan perkataan para Salafu as-Shaleh. Selain itu, beliau juga menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan ijtihad dengan memperhatikan kalimat al-Quran, jumlah,  susunan ayat dan sebab turunnya, perbuatan para mujtahid, kibaru al-Mufassirin wa al-Muhadditsin, dan ketsiqahan ahl-al-Ilmi. Dan juga, karena  memelihara kandungan al-Quran yang mu’jiz, serta adanya perbedaan pendapat dalam tafsir terhadap hukum syari’at.[37]
       Selain itu, metode (manhaj) penafsiran yang dipakai dalam menafsirkan kitab ini adalah tahlili, yaitu sebuah metode yang menyoroti ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan berbagai aspek keilmuan sesuai urutan bacaan mushhaf ustmani.[38] Wahbah Zuhaili menafsirkan al-Quran dari surat al-Fatihah sampai dengan surat an-Nas dari berbagai sudut pandang seperti dari  sudut balaghah, i’rob, qira’at, asbab an-Nuzul dan lainnya.
       Walaupun demikian, dalam pembagian ayat-ayatnya beliau mengelompokkan sesuai tema yang dikandung oleh masing-masing ayat (tematik), seperti dalam menafsirkan surat al-Furqan ayat 64-77 tentang sifat-sifat hamba yang pengasih, dan seterusnya sampai surat an-Nas beliau selalu memberi tema bahasan di setiap kelompok ayat yang saling berhubungan.
       Demkian juga, corak yang digunakan dalam tafsir al-Munîr adalah ‘adabi ‘ijtima’i dan fiqhi, karena memang  Wahbah Zuhaili mempunyai basik keilmuan Fiqh. Namun dalam tafsirnya beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan dalam di tengah-tengah masyarakat. Karena memang sudah disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya bahwa dia akan mengurangi beberapa penyimpangan tafsir kontemporer. Akan tetapi, tafsir ini juga memiliki corak teologis-filosofis. Hal ini juga terlihat dalam perjalanannya ketika mencari ilmu dan karya-karyanya.
        Secara rinci karakteristik dari tafsir al-Munîr yaitu[39]
1)         Pembagian ayat-ayat sesuai tema, seperti dalam surat al-Maidah ayat 57-63 menjelaskan tentang larangan al-muwâlah bagi orang-orang kafir dan sebab-sebab turunnya[40].
2)         Adanya penjelasan mengenai balaghah dan I’rob, seperti dalam QS. Al-Maidah:69, kata wa ash-Shâbiûna adalah menjadai mubtada’ yang dibuang yang kira-kiraannya adalah kadzâlika.[41] Khâlidîna fîha adalah menjadi hâl dan kata Hiwâlan menjadi maful.
3)         Adanya pembahasan mengenai al-Qira’at, seperti dalam QS. al-Maidah:57 kata wa al-Kuffâra, menurut qira’at Abu ‘Amar, al-Kisâ-i, dan qira’at al-Nahwiyin membacanya dengan I’rob khofad (kasroh) sedangkan qira’at al-Baqîn membacanya dengan nashob.[42]
4)         Mufradat bahasa, seperti kata ana Basyarun diartikan “Adam”. Dan kata walau ji’na bimitslihi diartikan “seperti laut”
5)         Adanya penjelasan mengenai Asbab an-Nuzul, jika ada. Dan kisah-kisah yang diambil dari beberapa kitab tafsir seperti Tafsir ath-Thabari, Ar-Razi dan lainnya
6)         Adanya Munasabah ayat
7)         Adanya penjelasan mengenai ayat-ayat al-Quran dan tafsirannya
8)         Adanya pembahasan fiqih atatu hukumnya bagi kehidupan. Artinya adanya pengambilan hukum dari ayat-ayat al-Quran. Seperti dalam surat al-Kahfi ayat 107-110 menerang bahwa orang yang beriman kepada Allah Rasulnya adalah orang yang mengerjakan amal shaleh maka surga firdaus yang tinggi dan kekal di dalamya.[43]
c.       Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj
       Di antara kelebihan-kelebihan dari Tafsir Al-Munîr yaitu:
1)        Adanya pembahasan mengenai ushul al-Fiqh
2)        Mengakomodir perbedaan pendapat yang terjadi antar ulama madzhab pada tafsir ayat-ayat ahkam
3)        Mencantumkan catatan kaki (footnote) dalam pengutipan sehingga memudahkan pembaca untuk mengetahui perbedaan pendapat
4)        Menjelaskan korelasi (munasabat) antar ayat.
5)        Tafsir ini bahasanya mudah dicerna bahkan oleh orang asing (a`jami), karena bahasa yang digunakan sangat sederhana. Dan juga, kitab ini disusun dengan sistematika yang manarik sehingga pembaca dengan mudah mencari apa yang diingikannya, walaupun tidak membaca secara keseluruhan. Selain itu, adanya tema pembahasan dari setiap kumpulan ayat-ayat yang ditafsirnya.
6)        Adanya kesimpulan hukum atau hikmah yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, karena Wahbah menyimpulkan ayat yang ditafsirkan dengan pembahasan Fiqh al-Hayah au al-Ahkam.
7)        Tidak menggunakan riwayat israiliyyat
       Walaupun banyak kelebihan yang dimiliki oleh tafsir ini,  namun, tafsir ini juga memiliki kekurangan-kekurangan. Tafsir al-Munîr ini merupakan kumpulan atau ringkasan dari kitab-kitab tafsir klasik dan kontemporer. Hal ini karena sulitnya untuk menemukan pendapat pengarang yang terdapat dalam tafsir ini. Oleh karena itu, menurut penulis tafsir ini merupakan ringkasan-ringkasan dari tafsir-tafsir yang ada.

2.    Tafsir al-Mîzân
a.    Biografi Allamah Husein Thabathaba’i
       Thabathaba’i dikenal oleh orang-orang pada masanya dengan ‘Allamah Thabathaba’i, seorang penafsir al-Quran dan pakar filsafat tradisonal Persia abad kedua puluh yang paling menonjol.[44] Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad Husein ibn Sayyid Muhammad ibn Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i. Beliau dilahirkan dari keluarga ulama Syi’ah terkenal di Tabriz pada 30 bulan 12 tahun 1321 H. atau 17 bulan 3 tahun 1904 M. Akan tetapi, pada tahun 1912 M. Allah telah mengambil kembali ayahnya sehingga pada waktu masih kecil ia menjadi yatim.[45]
       Pendidikan pertama yang di pelajari adalah bahasa arab dan pengetahuan-pengetahuan keislaman yang ditempuh di negaranya sendiri. Dan pada usianya yang sekitar 20 tahun ia melanjutkan studinya ke Universitas Syi’ah yang besar di An-Najaf al-Asyraf, Iraq. Kebanyakan murid di madrasah memilih cabang al-Ulum al-naqliah, terutama Fiqih dan Ushul. Sedangkan Thabathaba’i menguasai kedua pengetahuan tradisional yakni pengetahuan naqliah dan aqliah.[46] Di sana kemudian ia bertemu dengan para Syekh yang memang menganut Syi’ah Imamiyah. Ia belajar fiqih kepada Syekh Muhammad Husein bin Abdurrahim An-Na’ini al-Gharawi dan Muhammad Husein bin al-Haj Muhammad Hasan al-Ashfahani. Dan juga, ia bertemu dengan Syekh Dhiyâ’u Al-Din bin Muhammad Al-‘Iraqi.[47] Selain itu, ia melakukan studi-studi yang lebih tinggi dalam ilmu-ilmu hukum dan filsafat, sehingga ia meraih tingkatan tertinggi ijtihad dari kedua bidang ilmu tersebut. Dan juga ia menjalani latihan spiritual dan mulai memasuki dimensi batin Islam yang di kalangan Syi’ah dikaitkan dengan ‘irfân.[48]
       Pada tahun 1314 H/1934 M. ia kembali ke Tabriz dan tinggal di kota itu beberapa tahun. Di samping itu, ia mengajar sejumlah kecil murid-muridnya. Akan tetapi, ia belum dikenal di kalangan keagamaan Persia pada umumnya. Pada tahun 1324 H/1945 M, akibat Perang Dunia II dan pendudukan Rusia ke Persia membuat Thabathaba’i pergi ke Qum, Iran. Ketika itu Qum menjadi pusat studi keagamaan di Persia. Dengan sederhana ia mulai mengajar dengan menitik beratkan pada Tafsir al-Quran dan Filsafat serta Teosofi Islam tradisional yang selama bertahun-tahun tidak diajarkan di Qum.[49]
       Di sana ia menajadikan ajaran-ajaran Mulla Sadra sebagai bagian dari kurikulum tradisional. Selain itu, ia mempelajari dasar  Filsafat komonisme dan memberikan jawaban terhadap matrialisme dialektika dari sudut pandang tradisional. Hal ini kemudian ia menghasilkan karya yang berjudul Ushul-I falsafah wa rawisyi ri’alism. Dab juga, ia mendidik sejumlah murid dengan pendidikan modern.[50] Dan di sini pula ia menghabiskan sisa hidupnya sampai ia kembali menghadap Sang Pencipta pada hari ahad, 15 November 1981 M. atau 18 bulan satu 1402 H.[51]
       Setelah wafatnya, Allamah Thabathaba’i sangat dihormati. Bahkan namanya dijadikan nama sebuah Universitas dan karya-karyanya terus memperoleh popularitas besar. Dalam abad ini ia dikenal diseluruh dunia sebagai salah seorang tokoh intelektual dan spiritual, baik dari kalangan Syi’ah sendiri maupun dari Islam secara keseluruhan.[52]
       Sebagai seorang guru, mufassir, pakar filsafat dan penulis handal, Thabathaba’i menyalurkan hasil belajarnya dalam bentuk tulisan. Beberapa karyanya ditulis ke dalam bahasa Arab, Persia, membahas al-Quran dan soal-soal keagamaan pada khususnya. Adapun karyanya yang paling terkenal adalah al-Mîzân fi tafsir al-Quran. Kitab tafsir ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dengan sebagian besar di bawah arahan Thabathaba’i.[53] Dan juga di abad 20-an ini, tafsir ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
       Selain itu, karya-karyanya di bidang keagamaan yaitu, Qur’an dar Islâm (al-Quran dan Islam) dan Syi’ah dar Islâm (Islam Syi’ah) atau dalam bahasa inggrisnya adalah Shi’ite Islam. Buku Shi’ite Islam ini berisi tentang diskusi antara Thabathaba’i dengan Profesor Kenneth Morgan dari Universitas Colgote. Kedua karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Demikian juga, karyanya di bidang filsafat yaitu Ushûl-i falsafah-yi Ri’alism, Bidâyah al-Hikmah, Nihâyah al-Hikmah, Asasu al-Falsafah dan Mushâhabât bâ Ustad Kurbân. Karya terakhir ini memuat beberapa diskusinya dengan Islamis dan filosof Prancis, Hendri Corbin.[54]
       Kontribusi Thabathaba’i di bidang filsafat adalah pertentangannya terhadap dialektika Marxisme dan Materialisme-Historis, Ushûl-i falsafah va ravish-irîalizm (1953-1985). Hal ini terbukti dengan ditujukannya bagi siswa-siswa madrasah di Qum, yang tertarik pada gagasan radikal dan sekular.[55] Selain itu, dengan keshalehannya Thabathaba’i mampu menghidupkan kembali ajaran filsafat Islam, walaupun ia ditentang oleh banyak ulama. Dia mengajarkan filsafat Ibn Sina dan Mulla Sadra serta ‘Irfan dan memberikan arahan spiritual kepada sejumlah muridnya. Di antara murid-muridnya adalah Murtadha Muthahhari (1338/1920-1399/1979 ), Sayyid Jalal al-Din Asytiyani dan Hasan Hasanzadah Amull. Demikian juga, ia memiliki murid-murid yang belajar di Universitas.[56]
       Adapun karya-karya Thabathaba’i yang lain yaitu Hasyi’ah Dar Asfar (catatan pinggir buku asfar), Mushahabat dar Ustad Kurban, Risalah Dar Hukumat-i Islam, Hasyiyah-i Kifayah, Risalah Dar Quwwah wa fi’l, Risalah Dar Ithbat-i Zat, Risalah Dar Sifat, Risalah Dar Af’al, Risalah Dar Wasa’ith, Risalah Dar Insan Qabl al-Dunya, Risalah Dar Fi’l, Risalah Dar Nubuwwah, Risalah Dar Walayat, Risalah Dar Musytaqqat, Risalah Dar Burhan, Risalah Dar Mughalathah, Risalah Dar Tahlil, Risalah Dar Tarkib, Risalah Dar I’tibaray, Risalah Dar Nubuwwat wa Manamat, Manzhumah Dar Rasm-i Khathth-i Nastaqliq, dan Ali Wa’l Falsafah al-Ilahiyah. Selain itu, ada juga artikel-artikel yang memang diterbitkan dalam jurnal-jurnal Maktab-i Tasyayyu’, Maktab-i Islamai Ma’arif-i Islami dan dalam koleksi-keleksi seperti The Mulla Shadra Commenaration Volume dan Marja’iyat wa Ruhaniyat.[57]
b.    Karekteristik Tafsir al-Mîzân
      Kitab tafsir al-Mizan ini terdiri dari 20 jilid dengan dua bentuk bahasa, yaitu bahasa arab dan bahasa inggris. Tafsir ini menggunakan metode penafsiran atas ayat-ayat al-Quran tertentu dengan bantuan ayat-ayat al-Quran yang lain, seraya mempertimbangkan secara penuh tafsir-tafsir al-Quran yang klasik maupun yang mutakhir, yang ditulis oleh orang Sunni maupun Syi’ah.[58] Sedangkan corak dari kitab tafsir al-Mizân ini adalah teologis-filosofis-fiqhi.
       Adapun karakteristik dari tafsir al-Mîzân adalah
1)          Menyebutkan nama surat dan jumlah ayatnya.
2)          Membahas asbab al-Nuzul (jika ada), masalah al-Qira’at dan munasabat.
3)          Adanya pembahasan tentang masalah-masalah kefilsafatan.
4)          Thabathaba’i menggunakan penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain selama hal tersebut sesuai dengan mengkaji susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut.
5)          Pengelompokan ayat sesuai tema seperti QS. Al-Bqarah ayat 47-48 adalah membahas tentang syafa’at.
6)          Penafsiran terhadap ayat-ayat ahkam dijelskan secara rinci dengan merujuk pada fiqih.
7)          Mengambil riwayat-riwayat yang dinukil dari Nabi saw. dan imam Ahl al-Bait, dan mengutip tafsir dari kalangan sahabat dan Tabi’in.
       Di kalangan Syi’ah (Imamiyah), mengklaim dirinya bahwa mereka memiliki satu keistimewaan berupa pengetahuan dan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran dan hadits yang tidak dimiliki oleh golongan yang lain. Sehingga ini juga berpengaruh terhadap penafsiran kitab ini.[59]
c.    Kelebihan dan Kekurangan Tafsir al-Mîzân
       Dari karakteristik di atas tafsi ini juga memiliki beberapa kelebihan maupun kekurangan. Di antara kelebihan-kelebihan yang dimilikinya:
1)        Dalam kitab tafsirnya, Thabathaba’i memasukkan rujukan-rujukan yang tidak hanya berupa rujukan-rujukan Syi’ah, tetapi juga menggunakan rujukan-rujukan Sunni, baik berupa kitab-kitab tafsir, hadits, sejarah, dan tata bahasa, seprti tafsir ‘Iyâsi, al-Qûmî, Ats-Tsa’labi, al-Burhan, dan lainnya.[60]
2)        Tidak menggunakan riwayat-riwayat kecuali yang berasal dari Nabi saw. atau para imam Ahl al-Bait. Dan hanya menggunaan tafsir para sahabat dan Tabi’in
3)        Tidak mengutip kisah-kisah Israiliyat dalam menafsirkan al-Quran.
       Sedangkan kekurangan yang dimiliki tafsir al-Mizân yaitu tidak adanya sub judul dalam penjelasannya yang panjang, seperti tentang al-qira’at, asbab an-Nuzul, I’rob dan lainya. Tafsir ini hanya menyebutkan ayat-ayat yang ingin ditafsirkan kemudian penjelsan secara panjang dan terakhir pembahasan riwayat. Hal ini kemudian membuat pembaca kesulitan dalam menemukan hal-hal tersebut sehingga harus membaca secara keseluruhan.



















[1] Tim Penulis Pustaka Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah Dalam Ukhuwah?, (Pasuruan: Pusataka Sidogiri, 2012), hlm. 37-38.
[2] Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, terj. Ali Audah (Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2010), hlm. 61-66. Bandingkan dengan Taib Thahir Abdul Mun’im, Ilmu Kalam, (Jakarta: Widjaya, 1981), hlm. 90.
[3] Muhammad Idrus Ramli, Pengantar Sejarah Ahlussunnah wal-Jama’ah, (Surabaya: Khalista, 2011), hlm. 64.
[4] M. Taib Thahir Abdul Mun’im, Ilmu ... hlm. 90-91.
[5] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern, Terj. Eva Y. N, dkk (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 260.
[6] Tim Saluran Teologi, Akidah Kaum Sarungan; Refleksi Mengais Kebeningan Tauhid, (Lirboyo Kediri, 2005), hlm. 156.
[7] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam 3, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Houve, 1994), hlm. 79-80.
[8] Ibid. 79-80.
[9] Ibid, hlm. 80.
[10] Tim Saluran Teologi, Akidah … hlm. 156-157.
[11] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi… hlm. 80.
[12] Tim Saluran Teologi, Akidah… hlm. 157.
[13] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi …, hlm. 5.
[14] Tim Saluran Teologi, Akidah...,hlm. 80.
[15] Muhammad Husain Haekal, Abu Bakr As-Siddiq; Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, terj. Ali Audah (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2010),  hlm. 32.
[16] Tim Saluran Teologi, Akidah…hlm. 81.
[17] Ibid, hlm. 81.
[18] Ibid, hlm. 99.
[19] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi ...hlm. 6.
[20] http://shamela.ws. Sunan At-Tirmidzi Basyar 6, hlm. 74. Hadits ke 3713.
[21] Tim Saluran Teologi, Akidah…, hlm. 100.
[22] Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal jilid 1, terj. Asyiwadie Syukur (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), hlm. 124.
[23] Syekh Muhammad Hasyim asy-‘Ari, Risalah Ahlussunnah wa al-Jamâ’ah, (Tebuiring: Maktabah at-Turats al-Islami, 1418), hlm. 23.
[24] Ibid, hlm. 23-24.
[25] Abdul Mujib, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2009), hlm. 32-33.
[26] Sahid HM, “Penguatan ajaran Aswaja NU Dalam Konteks Jam’iyah dan Jamâ’ah (Historisitas dan Dialektika Aswaja di Indonesia), makalah di sampaikan pada seminar dengan tema Pemantapan Ke-Aswajaan Bagi Siswa Kelas Akhir, di selenggarakan oleh MA 1 Putri Annuqayah 2010, hlm. 2-3.
[27] Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani…, hlm. 124.
[28] M. Afif Hasan, Fregmentasi Ortodoksi Islam Membongkar Akar Sekularisme, (Malang: Pustaka Bayan, 2008), hlm. 131-132.
[29] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Al-Mizan; An Exegesis Of The Qur’an, translation, Sayid Saeed Akhtar Rizvi, (Tehran: WOFIS, 1983), hlm. Pendahuluan xvii-xviii.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34]  Wahbah Musthafa al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj juz 1, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), hlm. 15.
[35] Ahmad Izzan, Metode Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), hlm. 182
[36] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), cet. III, hlm. 151.
[37] Wahbah Musthafa al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr juz 1hlm. 6.
[38] M. Fatih Suryadilaga, dkk,  Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: PT. Teras,  2010), hlm. 42.
[39] Wahbah Musthafa al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr juz 1…hlm. 12.
[40] Ibid, hlm. 591
[41] Ibid, hlm. 621.
[42] Ibid, hlm. 591.
[43] Ibid, hlm. 376.
[44] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi ...hlm.. 38.
[45] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Al-Mizan; An Exegesis ... hlm. Pendahuluan x.
[46] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Islam Syi’ah; Asal Usul dan Perkembangannya, (Jakarta: Pustaka Grafiti), hlm. 22.
[47] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Al-Mizan;An Exegesis…, hlm. Pendahuluan x.
[48] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi ...hlm.. 38.
[49] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Al-Mizan;An Exegesis …hlm. Pendahuluan xi-xii.
[50] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Islam Syi’ah … hlm. 24.
[51] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Al-Mizan;An Exegesis…hlm. Pendahuluan xi-xii.
[52] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi...hlm. 39.
[53] Ibid, hlm. 39.          
[54] Ibid, hlm. 39.
[55] Ibid, hlm. 315.
                [56] Ibid, ,hlm. 39.
[57] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Islam Syi’ah…hlm. 287-288.
[58] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi...hlm. 38.
[59] Tim Karya Ilmiah Santri Lirboyo 2008, Aliran-Aliran Teologi Islam: Sejarah, Manhaj, dan Pemikiran dari Masa Klasik Sampai Modern, (Lirboyo:Purna Siswa Aliyah’o8), hlm. 131-132.
[60] Thabathaba’i, Tafsir Al-Mizân juz 6... hlm. 17-23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar