MENGENAL SUNNI SYI’AH DAN KITAB TAFSIR
Nabi Muhammad saw. merupakan
Nabi akhiruz zaman sehingga ia
menjadi panutan bagi umat setelahnya. Setelah Nabi saw. wafat, beliau
meninggalkan dua buah kitab yaitu al-Quran dan hadits sebagai pedoman hidup
bagi umat manusia. Walaupun demikian, masih banyak permasalahan dan perbedaan
di antara umat manusia sehingga memunculkan aliran-aliran, seperti Sunni dan
Syi’ah.
Ahlussunnah wal-Jamâ’ah atau Sunni
adalah istilah yang paling populer dalam dunia Islam sekaligus paling ampuh
digunakan untuk menyerang golongan lain sebagai sesat dan tidak selamat.
Golongan ini menyatakan dirinya sebagai golongan yang selamat dari 73 golongan
umat Islam. Bahkan dalam sejarah kelompok ini merupakan kelompok yang mengikuti
Rasulullah saw. dan para sahabat.
Sedangkan di kalangan Syi’ah, mereka
juga meyakini bahwa dirinya adalah benar. Akan tetapi, di kalangan Syi’ah
masalah imamah merupakan hal yang hangat diperbincangkan. Bahkan masalah ini
membuat Syi’ah terpecah menjadi beberapa golongan. Oleh karena itu, perlu
adanya penelitian tentang imamah menurut Sunni dan Syi’ah.
A.
Asal-Usul Kemunculannya Sunni
Pada watu Nabi Muhammad saw. wafat, umat
Islam mulai menemukan kemusykilan-kemusykilan yang belum pernah dialami
sebelumnya. Sedangkan untuk bertanya atau Tokoh yang dapat memecahkan
permasalahan-permasalahan tersebut sulit didapat. Berbeda ketika Nabi saw.
masih hidup, semua permasalahan langsung diserahkan pada Nabi saw. sehingga
tidak ada perbedaan pendapat maupun
perpecahan.[1]
Menurut Al-Amidi setelah Rasulullah wafat timbul perdebatan-perdebatan
mengenai ijtihad seperti masalah hukum furu’, siapa pengganti Nabi
setelah wafat, di mana Nabi akan dimakamkan, dan lain sebagainya.
Perdebatan-perdebatan ini berkembang hingga pada masa sahabat. Dan
perdebatan-perdebatan itu mulai reda pada masa khalifah Abu Bakar. Hal ini
tidak berselang lama, perpecahan itu muncul kembali dari orang-orang murtad,
orang yang mengaku Nabi dan golongan yang tidak membayar zakat. Menurut Abu
Mansur al-Baghdadi yang dikutip oleh Haekal bahwa di antara yang mengaku Nabi
adalah Thuhailah ibn Khulualid al-Asad dan Musailamah al-Kadzdzab di Yaman,
al-Aswad al-Ansy dan Sajah binti al-Harits. Keadaan ini berjalan hingga masa
Umar ibn Khattab.[2]
Pada akhir kekhalifahan Utsman ibn Affan, friksi internal dan gejolak
politik mengenai kebijakan-kebijakan Utsman mulai dipermasalahkan dan menjadi
sasaran kritik sebagian masyarakat. Keadaan ini melibatkan unsur-unsur Majusi
dan Yahudi sehingga terjadi kekacauan dan beragam propaganda dengan tujuan
untuk menggulingkan pemerintahan Utsman. Hal ini kemudian menjadikan khalifah
Utsman ibn Affan terbunuh dan Ali terpilih menjadi khalifah.[3]
Walaupun pemilihan khalifah Ali tanpa suara bulat karena ada golongan yang
tidak setuju. Peristiwa ini merupakan pangkal terpecahnya umat Islam menjadi
berbagai golongan. Di antaranya ada yang setuju dengan Ali, menolak Ali, dan
pertengahan, tidak memihak pada yang dua golongan.[4]
Pada masa pemerintahan Ali ra. kerabat Utsman, Mu’âwiyah, gubernur
Suriah, menuntut agar Ali tetap mengadili pembunuh-pembunuh Utsman dan menolak
mengakuinya sebagai khalifah. Hal ini kemudian menimbulkan perang saudara di
antara mereka yang tiada akhir. Akhirnya sebagian pasukan yang membela Ali
keluar dari barisannya tetapi tetap menentang Mu’awiyah. Kelompok ini disebut
dengan Khawarij. Pada tahun 661, setelah seorang anggota Khawarij membunuh Ali,
Mu’âwiyah diterima menjadi khalifah, memulai dinasti kekhalifahan, Dinasti Umayyah,
yang berlangsung hingga 750. Pada masa ini, muncul permasalahan-permasalahan
mengenai definisi keimanan sejati, status orang yang mengaku Islam tetapi
melakukan dosa besar, kebebasan dan determinisme. Dan pada tahun 750,
kekhalifahan Umayyah ditumbangkan oleh Dinasti Abbasiyah, anak cucu paman Nabi,
al-Abbâs. Pada khalifah al-Abbâs ini, Ahlussunnah Wal-Jamâ’ah menemukan jati
dirinya. Empat madzhab yang dimulai dari Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi’e
dan Ibn Hanbal menjadi terkukuhkan.[5]
Hal ini karena pada masa khalifah al-Makmun yang cukup besar menaruh
minat pada filsafat menjadikan Muktazilah sebagai madzhab resmi negara pada
tahun 827 M. Hal ini karena aliran pertama yang sangat dipengaruhi oleh
filsafat adalah Muktazilah sehingga ajaran tauhidnya cenderung rasional dan
liberal.[6]
Akibatnya semua elemen pemerintahan dan masyarakat dipaksa untuk menganut paham
Muktazilah. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang tetap berpegang teguh pada
hadits Nabi saw. dan tidak mau menerima logika dalam pembuktian masalah aqidah.
Di antara ulama yang tetap berpegang teguh pada hadits Nabi adalah Ahmad ibn
Hanbal. Dan peristiwa ini kemudian dikenal dengan mihnah (ujian aqidah).
Walaupun demikian, ketika al-Mutawakil (233-247 H/647-861 M), penguasa Abbasiyah
di Irak menjadi khalifah, ia memerlukan dukungan dari masyarakat. Sementara
itu, kelompok mayoritas setelah peristiwa mihnah menjadi pengikut Ahmad
ibn Hanbal. Oleh sebab itu, pada tahun 856 khalifah al-Mutawakil membatalkan
paham Muktazilah sebagai madzhab resmi Negara.[7]
Bagi masyarakat awam, paham Muktazilah yang rasional dan filosofis sulit
untuk diterima. Oleh karena itu, masyarakat menginginkan ajaran yang sifatnya
sederhana yang sejalan dengan sunnah Nabi saw. Dengan keadaan yang demikian, muncullah
Abu Hasan al-Asy’ari dengan paham baru yang berusaha menampung aspirasi rakyat
dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi serta tradisi para sahabatnya. Aliran
ini kemudian dikenal dengan nama Asy’ariyah atau Asya’irah. Paham Asy’ariyah
ini banyak yang berbeda dengan Muktazilah, walaupun al-Asy’ari sendiri semula
berpaham Muktazilah.[8]
Selain itu, dalam rangka melawan muktazilah, muncul teologi baru yang
didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 944) yang kemudian dikenal
dengan Aliran al-Maturidiyah. Di Bukhara aliran al-Maturidiyah didirikan dan
dikembangkan oleh Ali Muhammad Bazdawi. Namun kedua aliran ini ada perbedaan
dalam beberapa paham. Aliran al-Maturidiyah di Samarkand agak liberal dan lebih
dekat pada Muktazilah. Sedang al-Maturidiyah di Bukhara bersifat tradisional
dan lebih dekat pada paham teologi Asy'ariyah. Kedua aliran teologi ini,
dikenal dengan golongan Ahlussunnah wal-Jama’ah. Teologi Asy’ariyah dianut oleh
Imam Syafi’e dan Ahmad ibn Hanbal serta para pengikut mereka.[9]
Menurut Tim Saluran Teologi bahwa selain dua tempat tersebut (Samarkhan dan
Bukhara), masih ada tempat yang juga melakukan perlawanan terhadap Muktazilah
dan mengikrarkan diri sebagai pengikut Ahlu al-Hadits (Imam Ahmad bin
Hanbal) yang mewarisi aqidah dari Nabi saw. dan para sahabatnya yaitu Abu
al-Hasan al-Asy’ari di Baghdad.[10]
Adapun Istilah Ahlussunnah wal-Jama’ah dinisbatkan pada teologi
Asy’ariyah dan al-Maturidiyah. Hal ini karena mereka berpegang kuat pada Sunnah
Nabi saw. dan merupakan kelompok mayoritas dalam masyarakat Islam. Oleh karena
itu, Sunnah dalam istilah ini berarti hadits. Ahlussunnah wal-Jama’ah percaya
kuat dan menerima hadits-hadits shahih tanpa memilih dan melakukan
interpretasi. Dengan demikian, istilah Ahlussunnah wal-Jama’ah muncul setelah
munculnya aliran teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah.[11]
Pada masa berikutnya, dua aliran ini mendominasi tauhid umat Islam,
disamping muncul aliran Syi’ah yang sesekali muncul ke permukaan. Akan tetapi,
pada tahun ke-5 Hijriyah, aliran Muktzilah akhirnya lenyap, dan hanya tinggal
Syi’ah dan Sunni yang terus bertahan. Pada abad ini, gerakan kembali ke aliran salaf
yang digelorakan Ibnu Taimiyah beberapa abad sebelumnya, berhasil melahirkan
aliran baru di kalangan Sunni, seperti Wahabi di Saudi Arabia dan Muhammadiyah
di Indonesia. Sementara aliran Sunni lainnya, seperti Asy’ariyah dan
al-Maturidiyah, juga harus bertahan dan bahkan melahirkan aliran baru seperti
Nahdatul Ulama di Indonesia.[12]
B.
Asal-Usul
Kemunculan Syi’ah
Banyak riwayat yang menceritakan asal
usul Syi’ah. Akan tetapi, yang paling populer adalah pendapat yang mengatakan
bahwa Syi’ah lahir setelah perundingan antara pihak Ali bin Abi Thalib dengan
Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin.[13]
Sejarah menceritakan bahwa setelah Ali menerima tawaran damai dari Mu’awiyah,
ternyata hal itu menimbulkan pertentangan yang cukup keras dari pendukungnya
sendiri, terutama bagi mereka yang tidak setuju untuk berdamai dengan Mu’awiyah
dan tidak mau menerima formulasi pengambilan hukum yang diserahkan mutlak
kepada kedua orang yang melakukan tahkim atau arbitrase. Hal ini
membuat Harqus, ketua kelompok yang mendukung Ali bin Abi Thalib untuk membuat
barisan sendiri dan menyatakan keluar dari kepemimpinan Ali. Kemudian kelompok
ini disebut Khawarij.[14]
Sebagai reaksi atas kelompok khawarij,
muncul pula kelompok yang menyatakan setia kepada Sayyidina Ali, siap membela
dan mati bersamanya. Kelompok ini dikenal dengan Syi’atul Ali (pengikut
Ali), dan pada akhirnya menjadi embrio lahirnya Syi’ah. Sebenarnya pendukung
setia Sayyidina Ali sudah ada setelah hari wafatnya Nabi. Ketika pertemuan di
Saqifah Bani Sa’idah[15]
antara golongan Anshor dan Muhajirin, sebagian keturunan Bani Hasyim dan
sebagian kaum muhajirin, sebenarnya menyuarakan Ali sebagai pengganti Nabi.
Namun, suara mereka kalah dengan suara yang memilih Abu Bakar sehingga Abu
Bakarlah yang menjadi khalifah. Di samping itu, Ali sibuk dengan proses
pemakaman jenazah Nabi saw.[16]
Ketika Ali menjadi khalifah setelah
Utsman, baru mereka menguatkan barisannya. Dan menjadi sebuah gerakan ketika
terdapat pembangkangan dari kaum Khawarij dan pemberontakan dari Mu’awiyah yang
menyatakan sebagai orang yang berhak menjadi khalifah setelah Utsman serta
terbunuhnya Husein secara sadis.[17]
Pemberontakan Bani Mu’awiyah terhadap pemerintahan Ali dan putranya, membuat
kaum Syi’ah semangat patriotik untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap
pemerintahan Bani Mu’awiyah.[18]
Sejalan dengan perkembangan zaman,
keyakinan kaum Syi’ah justru beralih menjadi sifat teologis. Pada intinya,
ajaran teologi Syi’ah berpusat pada masalah imamah yang menurut mereka harus
berasal dari keturunan ahlul bait. Karena mereka beralasan bahwa yang dimaksud
dengan ayat 55 dalam surat al-al-Maidah adalah Ali bin Abi Thalib.[19]
Dan juga adanya hadits riwayat Imam Ahmad yang berbunyi: “Barang siapa yang
menganggap Aku (Nabi saw.) sebagai pemimpin, maka Ali adalah pemimpinnya.”[20]
Pada masa berikutnya persoalan imamah
membuat kelompok Syi’ah terpecah dalam sekte-sekte, walaupun pada intinya
mereka tetap menyepakati keimamahan Sayyidina Ali, Hasan dan Husein. Akan
tetapi, yang menjadi masalah adalah pengganti dari Husein. Keadaan ini kemudian
membuat Syi’ah terpecah menjadi dua aliran Syi’ah. Pertama, mereka yang
berkeyakinan bahwa setelah Husein adalah putranya Husein yaitu Ali Zainal
Abidin. Kedua, mereka yang berkeyakinan bahwa setelah Husein adalah
Muhammad bin Hanafiyah, putra Ali dari selain Siti Fatimah. Selanjutnya
perkembangan Syi’ah mengalami perubahan yaitu nuansa teologi semakin kental
daripada politik, sehingga muncul aliran-aliran baru. Di antaranya adalah
Kîsaniyah, Ghullat, Zaidiyah dan Imamiyah.[21]
Sebagian mereka dalam bidang teologi cenderung pada Muktazilah, sebagian lagi
pada Ahlussunnah wal-Jamâ’ah, dan sebagian lagi cenderung pada at-Tasybih
(penyamaan Tuhan dengan makhluk).[22]
C.
Perbedaan Sunni dan Syi’ah
Sebenarnya kelompok Sunni dan Syi’ah
sama-sama berasal dari Islam. Akan tetapi, karena Ali menerima perdamain dengan
Mu’awiyah, sehingga pengikut Ali keluar dari kepemimpinan Ali dan membentuk
suatu gerakan yang disebut Khawarij. Sedangkan yang tetap membela Ali mereka
juga membentuk kelompok yang disebut Syi’ah. Begitu juga, yang tetap bertahan
dengan berpegang pada hadits Nabi dan sahabat disebut Sunni.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan
golongan Sunni atau Ahlussunnah wal-Jamâ’ah adalah mereka yang tetap berpegang
teguh pada hadits Nabi saw. dan sahabatnya. Hal ini sesuai dengan hadits:
رَوَى اَبُوْ دَاوُدْ وَالتِرْمِذِى وَابنُ مَاجَهْ عَنْ
اَبِيْ هُرَيْرة رَضِى الله عَنْهُ ان رَسُول الله صلى الله عليه وسلم,
إقْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَالنَصَارَى عَلَى
اثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.
وَتَفْرِقُت أُمَتِى عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. كُلُها فى النَارِ
اِلَا وَاحِدَةٌ, قالو : ومن هم يا رسول الله؟ قال: هُم الَذِينَ عَلَى الَذِى
أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي[23]
Artinya: Telah meriwayatkan Abu Daud,at-Tirmidzi dan Ibnu Majah
dari Abu Hurairah ra.bahwa sesungguhnya
Nabi saw. bersabda, “Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Umat
Nasrani menjadi 72 golongan. Sedang umatku akan terpecah menjadi 73 golongan.
Semua yang 73 golongan itu adalah di neraka kecuali satu golongan.
Ditanyakan (kepada Nabi), “siapakah
golongan itu?” beliau bersabda,“orang-orang yang aku berada di atasnya saat ini
dan para sahabatku.”
Menurut Syihab al-Khafaji, Abdullah ibn
‘Amr, Umar, Jabir dan Anas bahwa yang dimaksud dengan golongan yang selamat itu
adalah Ahlussunnah wa al-Jamâ’ah.[24]
Dalam Ensiklopedia Tasawuf Ahlussunnah
wa al-Jama’ah adalah golongan umat Islam yang mengikuti jejak Rasulullah saw.
dan mengakui Khalafa’ Ar-Rasyidin.[25]
Menurut kebanyakan Ulama Ahlussunnah wal
Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti pendapatnya Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi di dalam masalah aqidah Islam dan mengikuti pendapat salah satu
imam yang empat (Maliki, Hanafi, Syafi’I dan hambali) di dalam Syari’at Islam
dan mengikuti pendapatnya imam al-Ghazali dan imam al-Junaidi al- Baghdadi di
dalam akhlak atau tasawuf.[26]
Sedangkan golongan Syi’ah adalah mereka
yang bersuara membai’at Sayyidina Ali sebagai khalifah setelah wafatnya Nabi saw.
atau yang setia kepada Sayyidina Ali, siap membela dan mati bersamanya. Mereka
berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah imam dan khalifah yang ditetapkan
melalui nash dan wasiat dari Rasulullah baik secara terang-terangan maupun
implisit.[27]
Akan tetapi, dari dua aliran ini terdapat perbedaan-perbedaan, khususnya di
bidang aqidah[28],
yaitu:
No.
|
Sunni
|
Syi’ah
|
1
|
Khalifah
secara berturut adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali
|
Tiga khalifah
pertama terkutuk karena telah merampas hak Sayyidina Ali
|
2
|
Khalifah tidak
harus dari keturunan ahlul Bait
|
Khalifah harus
dari keturunan ahlul Bait
|
3
|
Khalifah
adalah manusia biasa, tidak ma’shum
|
Khalifah itu
ma’shum
|
4
|
Tidak
mempercayai khalifah Ghaib
|
Mempercayai
khalifah Ghaib yang akan datang di akhir zaman
|
5
|
Kepercayaan
kepada khalifah tidak termasuk rukun iman
|
Kepercayaan
kepada khalifah termasuk salah-satu rukun iman
|
6
|
Kitab kedua
adalah hadits Bukhari
|
Kitab kedua
adalah al-Kafi, karangan Muhammad bin Ya’kub al-Kulaini
|
7
|
Mushhaf yang
sah adalah mushhaf Utsmani
|
Mushhaf yang
sah adalah mushhaf Ali
|
8
|
Ahlul bait
adalah keluarga Nabi termasuk istri Nabi
|
Ahlul bait
adalah hanya keturunan Ali-Fatimah
|
9
|
Tidak menganut
paham Wahdat al-Wujud
|
Menganut paham
Wahdat al-Wujud
|
10
|
Islam telah
sempurana ketika Nabi wafat
|
Islam belum
sempurna ketika itu, karena masih ada wahyu bagi Imam-imam Syi’ah
|
11
|
Taqiyah bukan rukun
Iman
|
Taqiyah termasuk
rukun Iman
|
12
|
Raj’ah tidak ada
|
Percaya
terhadap raj’ah
|
13
|
Dua kalimat
syahadat
|
Tiga kalimat
syahadat (ditambah wa Anna Aliyyun Waliyu Allah)
|
14
|
Lafadz
shalawat terkadang ditambah wa Shahbih
|
Pantang
menyebut wa Shahbih
|
15
|
Penyebutan
nama Imam tidak ditambah ‘alaihi as-Salam
|
Penyebutan
nama Imam ditambah ‘alaihi as-Salam
karena sama dengan Nabi
|
16
|
Mengucapkan
“Amin” dalam shalat
|
Tidak
mengucapkan “Amin” dalam shalat karena dapat membatalkan shalat
|
17
|
Tidak menjama’
shalat kecuali dalam safar atau situasi tertentu
|
Selalu
menjama’ shalat
|
18
|
Tidak boleh
kawin kontrak
|
Boleh kawin
kontrak
|
19
|
Tidak ada khums
kecuali dalam zakat
|
Ada kewajiban khums
(20%) kekayaan penganutan untuk dana dakwah
|
20
|
Tidak ada
sistem imamah
|
Sistem imamah
menjadi syarat muthlaq
|
21
|
Menolak Bada’
|
Meyakini Bada’
yaitu Tuhan tidak mengetahui hal yang akan datang
|
22
|
Haram menyiksa
diri dengan alasan apapun
|
Melakukan
ritual penyiksaan diri
|
23
|
Dll
|
Dll
|
Dari semua perbedaan ini, yang paling
populer adalah masalah Imamah. Dan hal ini kemudian menjadikan Syi’ah berbeda
dari aliran-aliran yang lain.
D.
Tafsir Sunni Syi’ah
Setiap aliran mempunyai pandangan
berbeda dengan aliran yang lain. Bahkan kitab yang digunakan pun berbeda sesuai
dengan keyakinannya masing-masing. Dalam masalah imamah Sunni berbeda dengan
Syi’ah. Hal ini terbukti dengan adanya perbedaan penafsiran dari kedua aliran
ini.
Adapun kitab tafsir di kalangan Sunni
yang digunakan dalam penelitian ini adalah tafsir al-Munîr karya Wahbah
Musthafa Zuhaili. Tafsir ini merupakan tafsir yang mengkombinasikan antara bi
al-Ma’tsur dan bi ar-Ra’yi. Selain itu, corak yang digunakan adalah teologis-filosofis-fiqhi.
Sedangkan tafsir dari kalangan Syi’ah diwakili oleh tafsir al-Mîzân yang
merupakan karya seorang ulama Syi’ah yang memang diakui keilmuannya yaitu
Husein Thabathaba’i. Bahkan karena kepandaiannya ia dijuluki dengan “Allamah”. Selain
itu, tafsir al-Mîzân yang berbentuk tafsir bi al-ra’yi dengan
corak teologis-filosofis dan pengarang yang berlatar belakang
Syi’ah Imamiyah. Hal ini terkait dengan rukun iman yang ketiga dalam madzhab
Syi’ah. Dan juga, Thabathaba’i menggunakan
penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain selama hal tersebut sesuai dengan
mengkaji susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut. Dan menggunakan riwayat-riwayat yang membahas tafsiran suatu ayat selama
riwayat tersebut mutawatir baik yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl
al-Bayt.[29] Selain itu,
Syi’ah sering mengalami ketidakmujuran sejarah politik kaum muslim, sehingga
tafsir mereka selalu mengarah peda pengukuhan Ali dan keturunannya. Hal ini kemudian
sangat mempengaruhi terhadap penafsirannya.
Dengan demikian, kedua tafsir ini sama-sama menggunakan corak
teologis-filosofis. Selain itu, metode yang digunakan oleh keduanya adalah
metode tahlili.
1. Tafsir Al-Munîr fi
al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj
a.
Biografi Wahbah Musthafa Zuhaili
Wahbah Zuhaili merupakan seorang
mufassir dan ahli fiqih yang dilahirkan di desa A’thiyal Damsyiq pada tanggal 6
Maret 1932 M/1351 H. Ayahnya bernama Musthafa Az-Zuhyli yang juga merupakan
seorang yang terkenal dengan keshalihan dan ketakwaannya serta hafidz al-Quran. Wahbah Zuhaili menempuh pendidikan pertamanya di
Madrasah Ibtidaiyyah yang ada di kota kelahirannya sendiri dengan usia yang sangat
muda. Pada tahun 1946 M, ia melanjutkan pada tingkat menengah dan masuk pada
jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun. Pada tahun 1952 M, ia mendapatkan
ijazah menengahnya. Kemudian ia melaujutkan ke al-Azhar di Fakultas Syariah dan
Bahasa Arab, dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain Syam dalam
waktu yang bersamaan. Ketika itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah
antara lain :
1)
Ijazah dari fakultas Syariah
Universitas al-Azhar pada tahun 1956 M
2)
Ijazah Takhasus Pendidikan dari
Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957
3)
Ijazah dari Fakultas Syari’ah
Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957.
Setelah mendapatkan tiga ijazah, ternyata
ia belum puas dengan yang diperolehnya sehingga ia melanjutkan ke tingkat pasca
di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar Magister.
Kemudian untuk menyempurnakan ia melanjutkan ke tingkat tertinggi yaitu program
Doktor dan selesai pada tahun 1963 dengan judul desertasi “Atsar al-Harb fi
al-Fiqh al-Islami”.[30]
Di antara guru-guru Wahbah yang telah
mendidik dan mengajarinya di Syam adalah Syekh Muhammad Hashim al-Khatib
al-Rifa’i, (w. 1958 M) yang merupakan seorang khatib di Masjid Umawi dan Syekh
Abdul Razaq al-Hamas (w. 1969 M), beliau belajar fiqih dari dua ulama ini, ilmu
Hadits dari Syekh Mahmud Yassin (w.1948 M), ilmu faraid dan ahl
asy-Syakhsiyah dari Syekh Hassan al-Shati (w. 1962 M) seorang ahli fiqih
dan guru pertama ketika kuliah di Damaskus, ilmu Tafsir dari Syekh Hassan
Habnakah al-Midani (w. 1978 M), Syekh Shadik Habnakah saudara Hasan Habnakah
belajar darinya ilmu tafsir, ilmu bahasa Arab (Balaghah dan Adab) dari Syekh
Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986M) seorang pendidik dan pengajar al-Barizin;
ilmu Usul Fiqih dan Mustalah Hadits dari Syekh Muhammad Lutfi al-Fayumi
(w. 1990 M), dan ilmu Akidah dan Kalam dari Syekh Mahmud al-Rankusi.[31]
Sedangkan ketika Wahbah tinggal di
Mesir, ia juga belajar kepada beberapa guru. Di antaranya Syek Muhammad Abu
Zuhrah, (w. 1395 H), Syekh Mahmud Shaltut (w. 1963 M), Doktor Abdurrahman Taj
seorang guru al-Azhar tahun 1954-1958 M, Isa Mannun (1376 H) guru al-Azhar
bagian Ushuludddin dan Syari’ah, Muhammad Ali Khafif (w. 1978M), dan lainnya.[32]
Sebagai seseorang yang ahli di bidang
fiqih dan tafsir, ia juga ingin sama dengan yang lain yaitu menyalurkan ilmu
yang telah diperolehnya kepada yang lain lewat tulisan. Di antara karya-karya
yang telah ditulisnya berjumlah 130 buah kitab dan risalah, yaitu al-Harb fi
al-Fiqh al-Islami – Dirasat Muqaranah, Al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid,
Nazariat al-Darurat al-Syar’iyyah, Nazariat al-Daman, Al-Fiqh
al-Islami wa Adilatuh, Usul al-Fiqh al-Islami (dua Jilid), Juhud
Taqnin al-Fiqh al-Islami, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’at
wa al-Manhaj, (16 jilid), tafsir al-Wasîd, tafsir al-Wajîr, Al-Quran
al-Karim al-bunyatuh al-Tasyri’iyyah aw Khasa’isuh al-Hadariah, Al-Dzarâi’ fi
al-Siyasah al-Syar’iyah, al-‘Ilât al-Dauliyah fi al-Islam Muqarana bi al-Qanun
al-Dauli al-Hadits, Al-Wasit fi Usul al-Fiqh, Al-Usul al-Ammah li Wahdah al-Din
al-Haq, Al-Alaqat al-Dawliah fi al-Islam, Fiqh al-Mawaris fi al-Shari’at
al-Islamiah, Al-Wasaya wa al-Waqf fi al-Fiqh al-Islami, Al-Islam Din
al-Jihad La al-Udwan, Persatuan Dakwah Islam Antarabangsa, al-Qisah al-Quraniyyah
Hidayah wa Bayan, al-Rukhsah al-Syari’at – Ahkamuha wa Dawabituha, Khasa’is
al-Kubra li Huquq al-Insan fi al-Islam, Al-Ulum al-Syari’at Bayn
al-Wahdah wa al-Istiqlal, Al-Asas wa al-Masadir al-Ijtihad
al-Musytarikat bayn al-Sunnah wa al-Syiah, Al-Islam wa Tahadiyyat
al-‘Asr, Muwajahat al-Ghazu al-Thaqafi al-Sahyuni wa al-Ajnabi, al-Taqlid
fi al-Madhahib al-Islamiah inda al-Sunnah wa al-Syiah, Al-Ijtihad
al-Fiqhi al-Hadith, Al-Uruf wa al-Adat, Bay al-Asham, Al-Sunnah
al-Nabawiyyah, Idarat al-Waqaf al-Khairi, al-Mujadid
Jamaluddin al-Afghani, Taghyir al-Ijtihad, Tatbiq al-Syari’at
al-Islamiah, Al-Zira’i fi al-Siyasah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami,
Tajdid al-Fiqh al-Islami, Al-Thaqafah wa al-Fikr, Manhaj
al-Da’wah fi al-Sirah al-Nabawiyah, Al-Qayyim al-Insaniah fi al-Quran
al-Karim, Haq al-Hurriah fi al-‘Alam, Al-Insan fi al-Quran, Al-Islam
wa Usul al-Hadarah al-Insaniah, Usul al-Fiqh al-Hanafi, Hadhârah Islam
Adh-Dhimsyaqiyyah, dan lainnya.[33]
b. Karakteristik Tafsir
Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj
Tafsir ini merupakan salah satu tafsir
yang pembahasannya tidak hanya pada penafsiran al-Quran saja. Akan tetapi, juga
membahas masalah-masalah tentang al-Quran. Salah satunya adalah tentang
mengenal al-Quran dan bagaimana al-Quran diturunkan dan lainnya.[34]
Kitab ini terdiri dari 16 jilid yang ditulisnya selama 16 tahun.
Dalam ilmu penafsiran terdapat dua
bentuk (jins) tafsir yaitu Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi
al-Ra’yi. Menurut DR. Rosihon Anwar yang dikutip oleh Ahmad Izzan bahwa tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran al-Quran
berdasarkan penjelasan al-Quran sendiri, penjelasan rasul, penjelasan para
sahabat melalui ijtihadnya dan aqwal tabi’in.[35]
Sedangkan tafsir bi
al-Ra’yi menurut al-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil
berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan
metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti Asbab
an-Nuzul dan Nasikh Mansukh.[36]
Tafsir
al-Munir ini merupakan salah
satu tafsir yang mengggabungkan dua bentuk penafsiran di atas yaitu tafsir
bi al-Ma’tsûr dan tafsir bi al-Ra’yi. Hal ini karena beliau menafsirkan ayat-ayat al-Quran
dengan sunnah Nabi dan perkataan para Salafu
as-Shaleh. Selain itu, beliau juga menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan
menggunakan ijtihad dengan memperhatikan kalimat al-Quran, jumlah, susunan ayat dan sebab turunnya, perbuatan
para mujtahid, kibaru al-Mufassirin wa al-Muhadditsin, dan ketsiqahan
ahl-al-Ilmi. Dan juga, karena
memelihara kandungan al-Quran yang mu’jiz, serta adanya perbedaan
pendapat dalam tafsir terhadap hukum syari’at.[37]
Selain itu, metode (manhaj) penafsiran yang
dipakai dalam menafsirkan kitab ini adalah tahlili, yaitu sebuah metode
yang menyoroti ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan berbagai aspek keilmuan
sesuai urutan bacaan mushhaf ustmani.[38]
Wahbah Zuhaili menafsirkan al-Quran dari surat al-Fatihah sampai dengan
surat an-Nas dari berbagai
sudut pandang seperti dari sudut balaghah, i’rob, qira’at, asbab an-Nuzul dan lainnya.
Walaupun
demikian, dalam pembagian ayat-ayatnya beliau mengelompokkan sesuai tema yang
dikandung oleh masing-masing ayat (tematik),
seperti dalam menafsirkan surat al-Furqan ayat 64-77 tentang sifat-sifat hamba
yang pengasih, dan seterusnya sampai surat an-Nas beliau selalu memberi
tema bahasan di setiap kelompok ayat yang saling berhubungan.
Demkian juga, corak yang digunakan dalam
tafsir al-Munîr adalah ‘adabi ‘ijtima’i dan fiqhi, karena
memang Wahbah Zuhaili mempunyai basik keilmuan Fiqh. Namun dalam
tafsirnya beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti,
penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan
dalam di tengah-tengah masyarakat. Karena memang sudah disebutkan dalam tujuan
penulisan tafsirnya bahwa dia akan mengurangi beberapa penyimpangan tafsir
kontemporer. Akan tetapi, tafsir ini juga memiliki corak teologis-filosofis.
Hal ini juga terlihat dalam perjalanannya ketika mencari ilmu dan
karya-karyanya.
Secara
rinci karakteristik dari tafsir al-Munîr yaitu[39]
1)
Pembagian ayat-ayat sesuai tema,
seperti dalam surat al-Maidah ayat 57-63 menjelaskan tentang larangan al-muwâlah bagi orang-orang kafir dan
sebab-sebab turunnya[40].
2)
Adanya penjelasan mengenai balaghah
dan I’rob, seperti dalam QS. Al-Maidah:69, kata wa ash-Shâbiûna adalah menjadai mubtada’
yang dibuang yang kira-kiraannya adalah kadzâlika.[41]
Khâlidîna fîha adalah menjadi hâl dan
kata Hiwâlan menjadi maful.
3)
Adanya pembahasan mengenai al-Qira’at,
seperti dalam QS. al-Maidah:57 kata wa al-Kuffâra, menurut qira’at Abu ‘Amar,
al-Kisâ-i, dan qira’at al-Nahwiyin membacanya dengan I’rob khofad (kasroh) sedangkan qira’at al-Baqîn membacanya dengan nashob.[42]
4)
Mufradat bahasa, seperti kata ana Basyarun diartikan “Adam”. Dan kata walau ji’na bimitslihi diartikan “seperti
laut”
5)
Adanya penjelasan mengenai Asbab
an-Nuzul, jika ada. Dan kisah-kisah yang diambil dari beberapa kitab tafsir
seperti Tafsir ath-Thabari, Ar-Razi dan lainnya
6)
Adanya Munasabah ayat
7)
Adanya penjelasan mengenai
ayat-ayat al-Quran dan tafsirannya
8)
Adanya pembahasan fiqih atatu
hukumnya bagi kehidupan. Artinya adanya pengambilan hukum dari ayat-ayat al-Quran.
Seperti dalam surat al-Kahfi ayat 107-110 menerang bahwa orang yang beriman
kepada Allah Rasulnya adalah orang yang mengerjakan amal shaleh maka surga
firdaus yang tinggi dan kekal di dalamya.[43]
c. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj
Di
antara kelebihan-kelebihan dari Tafsir Al-Munîr
yaitu:
1)
Adanya pembahasan mengenai ushul
al-Fiqh
2)
Mengakomodir perbedaan pendapat yang
terjadi antar ulama madzhab pada tafsir ayat-ayat ahkam
3)
Mencantumkan catatan kaki (footnote)
dalam pengutipan sehingga memudahkan pembaca untuk mengetahui perbedaan
pendapat
4)
Menjelaskan korelasi (munasabat) antar ayat.
5)
Tafsir ini bahasanya
mudah dicerna bahkan oleh orang asing (a`jami),
karena bahasa yang digunakan sangat sederhana. Dan juga, kitab ini disusun dengan sistematika yang manarik sehingga pembaca dengan mudah mencari apa yang
diingikannya, walaupun tidak membaca secara keseluruhan. Selain itu,
adanya tema pembahasan dari setiap kumpulan ayat-ayat yang ditafsirnya.
6)
Adanya kesimpulan hukum atau hikmah yang dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, karena Wahbah menyimpulkan ayat yang ditafsirkan dengan pembahasan
Fiqh al-Hayah au al-Ahkam.
7)
Tidak menggunakan riwayat israiliyyat
Walaupun banyak kelebihan yang dimiliki
oleh tafsir ini, namun, tafsir ini juga memiliki kekurangan-kekurangan.
Tafsir al-Munîr ini merupakan kumpulan atau ringkasan dari kitab-kitab tafsir
klasik dan kontemporer.
Hal ini karena sulitnya untuk menemukan pendapat pengarang yang terdapat dalam
tafsir ini. Oleh karena itu, menurut penulis tafsir ini merupakan ringkasan-ringkasan
dari tafsir-tafsir yang ada.
2. Tafsir al-Mîzân
a.
Biografi Allamah Husein
Thabathaba’i
Thabathaba’i
dikenal oleh orang-orang pada masanya dengan ‘Allamah Thabathaba’i, seorang
penafsir al-Quran dan pakar filsafat tradisonal Persia abad kedua puluh yang
paling menonjol.[44]
Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad Husein ibn Sayyid Muhammad ibn Sayyid
Muhammad Husein Thabathaba’i. Beliau dilahirkan dari keluarga ulama Syi’ah
terkenal di Tabriz pada 30 bulan 12 tahun 1321 H. atau 17 bulan 3 tahun 1904 M.
Akan tetapi, pada tahun 1912 M. Allah telah mengambil kembali ayahnya sehingga
pada waktu masih kecil ia menjadi yatim.[45]
Pendidikan pertama yang di pelajari
adalah bahasa arab dan pengetahuan-pengetahuan keislaman yang ditempuh di
negaranya sendiri. Dan pada usianya yang sekitar 20 tahun ia melanjutkan
studinya ke Universitas Syi’ah yang besar di An-Najaf al-Asyraf, Iraq.
Kebanyakan murid di madrasah memilih cabang al-Ulum al-naqliah, terutama
Fiqih dan Ushul. Sedangkan Thabathaba’i menguasai kedua pengetahuan tradisional
yakni pengetahuan naqliah dan aqliah.[46]
Di sana kemudian ia bertemu dengan para Syekh yang memang menganut Syi’ah
Imamiyah. Ia belajar fiqih kepada Syekh Muhammad Husein bin Abdurrahim
An-Na’ini al-Gharawi dan Muhammad Husein bin al-Haj Muhammad Hasan
al-Ashfahani. Dan juga, ia bertemu dengan Syekh Dhiyâ’u Al-Din bin Muhammad
Al-‘Iraqi.[47]
Selain itu, ia melakukan studi-studi yang lebih tinggi dalam ilmu-ilmu hukum
dan filsafat, sehingga ia meraih tingkatan tertinggi ijtihad dari kedua bidang
ilmu tersebut. Dan juga ia menjalani latihan spiritual dan mulai memasuki
dimensi batin Islam yang di kalangan Syi’ah
dikaitkan dengan ‘irfân.[48]
Pada tahun 1314 H/1934 M. ia kembali ke
Tabriz dan tinggal di kota itu beberapa tahun. Di samping itu, ia mengajar
sejumlah kecil murid-muridnya. Akan tetapi, ia belum dikenal di kalangan keagamaan
Persia pada umumnya. Pada tahun 1324 H/1945 M, akibat Perang Dunia II dan
pendudukan Rusia ke Persia membuat Thabathaba’i pergi ke Qum, Iran. Ketika itu
Qum menjadi pusat studi keagamaan di Persia. Dengan sederhana ia mulai mengajar
dengan menitik beratkan pada Tafsir al-Quran dan Filsafat serta Teosofi Islam
tradisional yang selama bertahun-tahun tidak diajarkan di Qum.[49]
Di sana ia menajadikan ajaran-ajaran
Mulla Sadra sebagai bagian dari kurikulum tradisional. Selain itu, ia
mempelajari dasar Filsafat komonisme dan
memberikan jawaban terhadap matrialisme dialektika dari sudut pandang
tradisional. Hal ini kemudian ia menghasilkan karya yang berjudul Ushul-I
falsafah wa rawisyi ri’alism. Dab juga, ia mendidik sejumlah murid dengan
pendidikan modern.[50]
Dan di sini pula ia menghabiskan sisa hidupnya sampai ia kembali menghadap Sang
Pencipta pada hari ahad, 15 November 1981 M. atau 18 bulan satu 1402 H.[51]
Setelah wafatnya, Allamah Thabathaba’i
sangat dihormati. Bahkan namanya dijadikan nama sebuah Universitas dan
karya-karyanya terus memperoleh popularitas besar. Dalam abad ini ia dikenal
diseluruh dunia sebagai salah seorang tokoh intelektual dan spiritual, baik
dari kalangan Syi’ah sendiri maupun dari Islam secara keseluruhan.[52]
Sebagai seorang guru, mufassir, pakar
filsafat dan penulis handal, Thabathaba’i menyalurkan hasil belajarnya dalam
bentuk tulisan. Beberapa karyanya ditulis ke dalam bahasa Arab, Persia,
membahas al-Quran dan soal-soal keagamaan pada khususnya. Adapun karyanya yang
paling terkenal adalah al-Mîzân fi tafsir al-Quran. Kitab tafsir ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dengan sebagian besar di bawah arahan
Thabathaba’i.[53]
Dan juga di abad 20-an ini, tafsir ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris.
Selain
itu, karya-karyanya di bidang keagamaan yaitu, Qur’an dar Islâm (al-Quran
dan Islam) dan Syi’ah dar Islâm (Islam Syi’ah) atau dalam bahasa
inggrisnya adalah Shi’ite Islam. Buku
Shi’ite Islam ini berisi tentang
diskusi antara Thabathaba’i dengan Profesor Kenneth Morgan dari Universitas
Colgote. Kedua karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Demikian juga, karyanya di bidang filsafat yaitu Ushûl-i falsafah-yi Ri’alism,
Bidâyah al-Hikmah, Nihâyah al-Hikmah, Asasu al-Falsafah dan Mushâhabât bâ Ustad
Kurbân. Karya terakhir ini memuat beberapa diskusinya dengan Islamis dan
filosof Prancis, Hendri Corbin.[54]
Kontribusi Thabathaba’i di bidang
filsafat adalah pertentangannya terhadap dialektika Marxisme dan
Materialisme-Historis, Ushûl-i falsafah
va ravish-irîalizm (1953-1985). Hal ini terbukti dengan ditujukannya bagi
siswa-siswa madrasah di Qum, yang tertarik pada gagasan radikal dan sekular.[55]
Selain itu, dengan keshalehannya Thabathaba’i mampu menghidupkan kembali ajaran
filsafat Islam, walaupun ia ditentang oleh banyak ulama. Dia mengajarkan
filsafat Ibn Sina dan Mulla Sadra serta ‘Irfan dan memberikan arahan spiritual
kepada sejumlah muridnya. Di antara murid-muridnya adalah Murtadha Muthahhari
(1338/1920-1399/1979 ), Sayyid Jalal al-Din Asytiyani dan Hasan Hasanzadah
Amull. Demikian juga, ia memiliki murid-murid yang belajar di Universitas.[56]
Adapun karya-karya Thabathaba’i yang
lain yaitu Hasyi’ah Dar Asfar (catatan pinggir buku asfar), Mushahabat
dar Ustad Kurban, Risalah Dar Hukumat-i Islam, Hasyiyah-i Kifayah,
Risalah Dar Quwwah wa fi’l, Risalah Dar Ithbat-i Zat, Risalah Dar Sifat,
Risalah Dar Af’al, Risalah Dar Wasa’ith, Risalah Dar Insan Qabl al-Dunya,
Risalah Dar Fi’l, Risalah Dar Nubuwwah, Risalah Dar Walayat, Risalah Dar
Musytaqqat, Risalah Dar Burhan, Risalah Dar Mughalathah, Risalah Dar Tahlil,
Risalah Dar Tarkib, Risalah Dar I’tibaray, Risalah Dar Nubuwwat wa Manamat,
Manzhumah Dar Rasm-i Khathth-i Nastaqliq, dan Ali Wa’l Falsafah al-Ilahiyah. Selain
itu, ada juga artikel-artikel yang memang diterbitkan dalam jurnal-jurnal
Maktab-i Tasyayyu’, Maktab-i Islamai Ma’arif-i Islami dan dalam
koleksi-keleksi seperti The Mulla Shadra Commenaration Volume dan Marja’iyat
wa Ruhaniyat.[57]
b.
Karekteristik Tafsir al-Mîzân
Kitab tafsir al-Mizan ini terdiri dari 20
jilid dengan dua bentuk bahasa, yaitu bahasa arab dan bahasa inggris. Tafsir
ini menggunakan metode penafsiran atas ayat-ayat al-Quran tertentu dengan
bantuan ayat-ayat al-Quran yang lain, seraya mempertimbangkan secara penuh
tafsir-tafsir al-Quran yang klasik maupun yang mutakhir, yang ditulis oleh
orang Sunni maupun Syi’ah.[58]
Sedangkan corak dari kitab tafsir al-Mizân ini adalah teologis-filosofis-fiqhi.
Adapun
karakteristik dari tafsir al-Mîzân adalah
1)
Menyebutkan nama surat dan jumlah
ayatnya.
2)
Membahas asbab al-Nuzul (jika
ada), masalah al-Qira’at dan munasabat.
3)
Adanya pembahasan tentang
masalah-masalah kefilsafatan.
4)
Thabathaba’i menggunakan
penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain selama hal tersebut sesuai dengan
mengkaji susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut.
5)
Pengelompokan ayat sesuai tema
seperti QS. Al-Bqarah ayat 47-48 adalah membahas tentang syafa’at.
6)
Penafsiran terhadap ayat-ayat
ahkam dijelskan secara rinci dengan merujuk pada fiqih.
7)
Mengambil riwayat-riwayat yang
dinukil dari Nabi saw. dan imam Ahl al-Bait, dan mengutip tafsir dari kalangan
sahabat dan Tabi’in.
Di kalangan Syi’ah (Imamiyah), mengklaim
dirinya bahwa mereka memiliki satu keistimewaan berupa pengetahuan dan
pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran dan hadits yang tidak dimiliki oleh
golongan yang lain. Sehingga ini juga berpengaruh terhadap penafsiran kitab
ini.[59]
c.
Kelebihan dan Kekurangan Tafsir al-Mîzân
Dari karakteristik di atas tafsi ini
juga memiliki beberapa kelebihan maupun kekurangan. Di antara
kelebihan-kelebihan yang dimilikinya:
1)
Dalam kitab tafsirnya, Thabathaba’i
memasukkan rujukan-rujukan yang tidak hanya berupa rujukan-rujukan Syi’ah,
tetapi juga menggunakan rujukan-rujukan Sunni, baik berupa kitab-kitab tafsir,
hadits, sejarah, dan tata bahasa, seprti tafsir ‘Iyâsi, al-Qûmî, Ats-Tsa’labi,
al-Burhan, dan lainnya.[60]
2)
Tidak menggunakan riwayat-riwayat
kecuali yang berasal dari Nabi saw. atau para imam Ahl al-Bait. Dan hanya
menggunaan tafsir para sahabat dan Tabi’in
3)
Tidak mengutip kisah-kisah
Israiliyat dalam menafsirkan al-Quran.
Sedangkan kekurangan yang dimiliki
tafsir al-Mizân yaitu tidak adanya sub judul dalam penjelasannya yang panjang,
seperti tentang al-qira’at, asbab an-Nuzul, I’rob dan lainya. Tafsir ini
hanya menyebutkan ayat-ayat yang ingin ditafsirkan kemudian penjelsan secara
panjang dan terakhir pembahasan riwayat. Hal ini kemudian membuat pembaca
kesulitan dalam menemukan hal-hal tersebut sehingga harus membaca secara
keseluruhan.
[1] Tim Penulis Pustaka Sidogiri, Mungkinkah
Sunnah-Syi’ah Dalam Ukhuwah?, (Pasuruan: Pusataka Sidogiri, 2012), hlm.
37-38.
[2] Muhammad Husain Haekal, Umar
bin Khattab, terj. Ali Audah
(Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2010), hlm. 61-66. Bandingkan dengan
Taib Thahir Abdul Mun’im, Ilmu Kalam, (Jakarta: Widjaya, 1981), hlm. 90.
[3] Muhammad Idrus Ramli, Pengantar Sejarah Ahlussunnah wal-Jama’ah,
(Surabaya: Khalista, 2011), hlm. 64.
[4] M. Taib Thahir Abdul Mun’im, Ilmu
... hlm. 90-91.
[5] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern,
Terj. Eva Y. N, dkk (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 260.
[6] Tim Saluran Teologi, Akidah
Kaum Sarungan; Refleksi Mengais Kebeningan Tauhid, (Lirboyo Kediri, 2005), hlm.
156.
[7] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi
Islam 3, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Houve, 1994), hlm. 79-80.
[8] Ibid. 79-80.
[9] Ibid, hlm. 80.
[10] Tim Saluran Teologi, Akidah …
hlm. 156-157.
[11] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi…
hlm. 80.
[12] Tim Saluran Teologi, Akidah…
hlm. 157.
[13] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi
…, hlm. 5.
[14] Tim Saluran Teologi, Akidah...,hlm.
80.
[15] Muhammad Husain Haekal, Abu
Bakr As-Siddiq; Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah
Islam Sepeninggal Nabi, terj. Ali
Audah (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2010), hlm. 32.
[16] Tim Saluran Teologi, Akidah…hlm.
81.
[17] Ibid, hlm. 81.
[18] Ibid, hlm. 99.
[19] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi
...hlm. 6.
[20]
http://shamela.ws. Sunan At-Tirmidzi Basyar 6, hlm. 74. Hadits ke 3713.
[21] Tim Saluran Teologi, Akidah…,
hlm. 100.
[22] Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal jilid 1,
terj. Asyiwadie Syukur (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), hlm. 124.
[23] Syekh Muhammad Hasyim asy-‘Ari, Risalah
Ahlussunnah wa al-Jamâ’ah, (Tebuiring: Maktabah at-Turats al-Islami, 1418),
hlm. 23.
[24] Ibid, hlm. 23-24.
[25] Abdul Mujib, dkk,
Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2009), hlm.
32-33.
[26] Sahid HM, “Penguatan ajaran
Aswaja NU Dalam Konteks Jam’iyah dan Jamâ’ah (Historisitas dan Dialektika
Aswaja di Indonesia)”, makalah di sampaikan pada seminar dengan tema Pemantapan
Ke-Aswajaan Bagi Siswa Kelas Akhir, di selenggarakan oleh MA 1 Putri
Annuqayah 2010, hlm. 2-3.
[27] Muhammad bin Abdul Karim
al-Syahrastani…, hlm. 124.
[28] M. Afif Hasan, Fregmentasi
Ortodoksi Islam Membongkar Akar Sekularisme, (Malang: Pustaka Bayan, 2008),
hlm. 131-132.
[29] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad
Husayn Thabathaba’i, Al-Mizan; An Exegesis Of The Qur’an, translation,
Sayid Saeed Akhtar Rizvi, (Tehran: WOFIS, 1983), hlm. Pendahuluan xvii-xviii.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33]
Ibid.
[34] Wahbah Musthafa al-Zuhaili, Tafsir
al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj juz 1, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), hlm. 15.
[35] Ahmad Izzan, Metode Ilmu
Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), hlm.
182
[36] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2005), cet. III, hlm. 151.
[38] M. Fatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:
PT. Teras, 2010), hlm. 42.
[39] Wahbah Musthafa al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr
juz 1…hlm. 12.
[40] Ibid, hlm. 591
[41] Ibid, hlm. 621.
[42] Ibid, hlm. 591.
[43] Ibid, hlm. 376.
[44] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi
...hlm.. 38.
[45] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad
Husayn Thabathaba’i, Al-Mizan; An Exegesis ... hlm. Pendahuluan x.
[46] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad
Husayn Thabathaba’i, Islam Syi’ah; Asal Usul dan Perkembangannya,
(Jakarta: Pustaka Grafiti), hlm. 22.
[47] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad
Husayn Thabathaba’i, Al-Mizan;An Exegesis…, hlm. Pendahuluan x.
[48] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi
...hlm.. 38.
[49] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad
Husayn Thabathaba’i, Al-Mizan;An Exegesis …hlm. Pendahuluan xi-xii.
[50] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad
Husayn Thabathaba’i, Islam Syi’ah … hlm. 24.
[51] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad
Husayn Thabathaba’i, Al-Mizan;An Exegesis…hlm. Pendahuluan xi-xii.
[52] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi...hlm.
39.
[53] Ibid, hlm. 39.
[54] Ibid, hlm. 39.
[55] Ibid, hlm. 315.
[57] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad
Husayn Thabathaba’i, Islam Syi’ah…hlm.
287-288.
[58] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi...hlm.
38.
[59] Tim Karya Ilmiah Santri Lirboyo
2008, Aliran-Aliran Teologi Islam: Sejarah, Manhaj, dan Pemikiran dari Masa
Klasik Sampai Modern, (Lirboyo:Purna Siswa Aliyah’o8), hlm. 131-132.
[60] Thabathaba’i, Tafsir Al-Mizân
juz 6... hlm. 17-23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar