1.
Dalam
kitab-kitab banyak disendirikan antara hukum mereka yang hurri dan mereka yang abdi.
Baik laki-laki ataupun perempuan. Timbul pertanyaan, apakah Islam mengakui
adanya perbudakan? Bagaimana cara merefleksikan hukum tersebut pada masa-masa
sekarang ini?
2.
Apakah
pelajar, mahasiswa atau karyawan pabrik/perusahaan itu dapat digolongkan
mustautin? Bagaimanakah batasan mustauthin itu? sahkah salat Jumat yang mereka
laksanakan di sekolah, kampus/perusahaan? Kalau saya mengambil ibarah dari
kitab I’anah juz 2 halaman 54 mereka ini termasuk golongan yang mana?
3.
Bolehkah
seseorang hilah dengan mengambil hukum dari beberapa imam madzhab, padahal dia
tudak dalam posisi terpaksa? Bukankah keempat imam tersebut tidak diragukan
lagi keilmuannya bahkan kebenarannya? dan bukankah sesuatu yang bernama kebenaran
itu harus dapat digunakan semua golongan- seperti Islam-?
Jawaban:
1.
Pada waktu
agama Islam datang, di seluruh dunia ini sudah ada sistem perbudakan dan
keadaan/wujud para budak itu tidak dapat dipungkiri. Kemudian Islam datang
dengan keinginan agar para pemilik budak yang dapat diperjual belikan itu mau
memerdekakan para budak dengan sukarela, antara lain dengan jalan kewajiban
memerdekakan budak sebagai denda dari orang yang melakukan hubungan seksual
dengan isterinya disiang hari pada bulan Ramadan dan lainnya. Sedang perbedaan
hukuman bagi budak sebanyak setengah dari hukuman bagi orang merdeka adalah
salah satu bukti perhatian Islam terhadap para budak.
Budak belian itu sekarang ini tidak kita
dapati di negeri-negeri Islam, sehingga perbedaan hukum antar orang merdeka
(hurri) dan budak (abdi) sudah tidak ada lagi.
2.
Para pelajar
dan mahasiswa yang rumahnya berdekatan dengan sekolah atau kampus termasuk
golongan mustautin sedangkan yang rumahnya jauh dari sekolah atau kampus tidak
termasuk golongan mustautin. Demikian pula karyawan yang rumahnya dekat dengan
pabrik/perusahaan termasuk golongan mustautin, sedang yang jauh tidak termasuk
golongan mustautin. Yang dimaksud dekat disini adalah dapat mendengarkan adzan
dari tempat mendirikan salat Jumat yang dilakukan di atas menara tanpa pengeras
suara dari muadzin yang suaranya normal pada saat yang hening tanpa kebisingan.
Yang dimaksud dengan mustautin adalah orang yang bertempat tinggal
menetap di suatu tempat, tanpa ada keinginan pulang kembali ke kampung
halamannya manakala tujuannya telah tercapai sebagaimana pelajar atau mahasiswa
yang kost dikota lain dengan tujuan mencari ilmu yang apabila setelah lulus dai
akan pulang ke kampungnya atau pindah ketempat lain. Maka mereka ini meskipun
menetap sampai 5 tahun menuntut ilmu, tidak dapat digolongkan mustautin, tetapi
hanya digolongkan mukimin saja.
Salat Jumat yang dilakukan oleh orang-orang yang mukim atau
musafir seperti karyawan pabrik/ perusahaan adalah sah jika tempat melakukan
salat Jumat tersebut sah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
syariat Islam. Akan tetapi mereka ini tidak sah dijadikan hitungan sebagai ahli
Juamat di tempat melakukan salat Jumat tersebut.
Mengenai salat Jumat yang diadakan di sekolah/kampus atau di lingkungan
pabrik, selama ahli Jumatnya yang terdiri dari orang-orang yang mustautin ada
sejumlah 40 orang (menurut madzhab Syafii) laki-laki, orang merdeka bukan
budak, sehat pendengarannya dan semuanya dapat membaca al Quran dengan benar,
dan meskipun hari libur bertepatan dengan hari Jumat salat Jumat ditempat
tersebut tetap ada (tidak diliburkan). Sedang tempatnya cukup jauh dengan
tempat mendirikan salat Jumat yang lain (minimal 1666 m, menurut keputusan
Muktamar NU), maka mendirikan salat Jumat ditempat tersebut adalah sah.
Menurut ibarat dari kitab I’anatut Thalibin juz 2 halaman 54, para
murid sekolah, mahasiswa dan para karyawan yang tidak berdomisili di sekitar
tempat mendirikan salat Jumat tidaklah termasuk golongan mustautin.
Dasar pengambilan Kitab Tausyih ala ibn Qosim halaman 78:
(وَ)
السَّابِعُ (الإسْتِيْطَانُ) بِمَحَلِّ إِقَامَةِ الجُمُعَةِ فَلاَ تَنْعَقِدُ
بِمَنْ يَلْزَمُهُ حُضُورُهَا مِنْ غَيْرِ المُسْتَوْطِنش وَهُوَ المُقِيْمُ
بِمَحَلِّهَا أرْبَعَةَ أيَّامِ صِحَاحٍ أو بِمضا يُسْمَعُ مِنْهُالنِّدَاءُ.
وَلاَ تَنْعَقِدُ بِمُسافِرٍ وَمُقِيْمٍ عَزَمَ عَلَى عَوْدِهِ لِوَطَنِهِ وَلَو
بَعْدَ مُدَّةٍ طَوِيْلَةٍ. وَالمُسْتَوطِنُ مَنْ لاَيُسَافِرُ مِنْ مَحَلِّ
فَغَيْرُ المُسْتَوطِنِ إنْ كَانَ مُسَافِرًا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ وَلاَ
تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَإنْ كَانَ مُقِيْمًا وَلَوْ أربَعَةَ أيَّامِ
صِحَاحٍ وَجَبَتْ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ.
“Dan yang ketujuh (dari syarat-syarat
mendirikan salat Jumat) adalah istitan (bertempat tinggal menetap) di tempat
mendirikan salat Jumat. Sehingga salat Jumat itu tidak sah (apabila ahli
Jumatnya paling sedikit 40 orang itu digenapi jumlahnya) dengan orang yang
wajib menghadiri salat Jumat dan ia bukan mustautin, yaitu orang yang bertempat
tinggal ditempat mendirikan salat Jumat selama empat hari penuh, atau digenapi dengan
orang yang mendengar adzan melalui pengeras suara atau radio tetapi rumahnya
sangat jauh dari tempat mendirikan salat Juamat. Salat Jumat tidak sah dengan
ahli Jumat (jamaah tetap) orang musagir atau orang mukim yang bercita-cita
kembali kenegerinya meskipun sesudah jangka waktu yang lama. Mustautin itu
adalah orang yang tidak bepergian dari tempat tinggalnya pada musim hujan atau
musim lainnya, kecuali karena ada keperluan. Orang yang tidak mustautin, jika
dia bepergian, maka dia tidak wajib melakukan salat Jumat dan salat Jumat
itupun tidak sah jika ahli Jumatnya digenapi dengan dia, dan jika musafir ini
melakukan salat Jumat, maka salat Jumatnya sah. Jika musafir itu tinggal di
suatu tempat, meskipun selama empat hari penuh, maka dia wajib melakukan salat
Jumat dan salat Jumat tidak sah jika ahli Jumatnya digenapi hitungannya dengan
dia, dan salat Jumat yang dilakukan olehnya sah. ”
3.
Perlu anda
ketahui bahwa perbedaan pendapat diantara para imam madzhab itu adalah
disebabkan oleh perbedaan ushul dan pendangan mereka terhadap dalil-dalil nash.
Sebagai contoh, madzhab Hanafi tidak mau menggunakan hadist ahad (hadist yang
dalam satu stadium hanya diriwayatkan oleh satu orang) meskipun sahih sebagai
dasar pengambilan hukum. Bagi madzhab Hanafi hadist yang dapat dijadikan dasar
hukum itu paling tidak adalah Hadist Mashur (hadist yang dalam satu stadium
diriwayatkan oleh paling sedikit dua orang).
Sebaliknya madzhab Maliki mau menggunakan hadist dlaif asal tidak
terlalu dlaif sebagai dasar pengambilan hukum. Sedang madzhab Syafii hanya mau
menggunakan hadist sahih meskipun hadist tersebut adalah hadist ahad.
Terhadap ayat-ayat al Quran serta perbedaan ushul diantara mereka,
maka hasil ijtihad mereka menjadi berbeda-beda. Jadi jika dalam satu masalah,
misalnya fardlu wudlu, kita setuju pendapat madzhab Syafii, yaitu enam, maka
hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Syafii bahwa hadist yang dapat
dijadikan dasr hukum adalah hadist sahih meskipun ahad. Jika kita setuju
pendapat madzhab Hanafi, yatiu empat, maka hal itu berarti kita setuju pendapat
Imam Abu Hanifah bahwa hadist yang dapat dijadikan dasar hukum adalah hadist
masyhur. Kemudian jika kita setuju pendapat madzhab Maliki, yaitu delapan, maka
hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Malik bin Anas bahwa hadist dlaif itu
dapat dijadikan dasar hukum.
Dengan demikian, maka dapat kita ketahui bahwa jika seseorang
dalam keadaan tidak terpaksa memiliki pendapat yang ada diantara para Imam
Madzhab dengan alasan sama benarnya (melakukan talfiq) , maka berarti orang
tersebut tidak mengetahui dan tidak memiliki pendirian yang tetap (consist)
terhadap pokok masalah yang menjadi landasan dan dasar hukum. Terlebih hal itu
tidak diperkenankan oleh agama.
Dasar pengambilan Kitab I’anatut Thalibin juz 4 halaman 217-218:
(فَائِدَةٌ)
إِذَا تَمَسَّكَ العَامِى بِمَذْهَبٍ لَزِمَهُ مُوَافَقَتُهُ وَإلاَّ لَزِمَهُ
التَمَذْهَبُ بَمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ مِنَ الأرْبَعَةٍ لاَغَيْرِهَا وَإنْ عَمَلَ
بِالأوَّلِ. الإنْتِقَالُ الَى غَيْرِهِ بِالكُلِّيَّةِ أوْ فِى المَسَائِلِ
بِشَرْطِ أَنْ لاَ يَتَتَبَّعَ الرُخَصُ بِأنْ يَأخُذَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ
بِالأَسْهُلِ مِنْهُ فَيَفْسُقُ بِهِ عَلَى الأوجَة.
(faedah) apabila ada seorang yang awam berpegang teguh pada satu
mazhab, maka wajib baginya untuk menyesuaikan diri dengan mazhab tersebut. Jika
tidakdemikian, maka wajib baginya bermazhab dengan mazhab yang tertentu dari
empat mazhab, bukan dengan selainya. Kemudian jika dia mengamalkan dengan
mazhab yang pertama, dia boleh pindah ke mazhab lainya secara keseluruhan atau
dalam masalah tertentu dengan syarat tidak mengikuti keringanan-keringanan,
seperti apabila dia mengambil dari mazhab yang paling ringan dari mazhab
tersebut, sehingga karenaya, menurut pendapat yang paling kuat, dia menjadi
orang yang fasik.
KUMPULAN BAHTSUL
MASAAIL
Koleksi Bahtsul Masail yang
dimiliki oleh KH. A. Masduqi Machfudh, termasuk arsip Kolom Bahtsul Masail dari
majalah PWNU Jawa Timur Aula, Bahtsul Masail Wilayah (PWNU) Jawa Timur,
dan Bahtsul Masail pada muktamar maupun pra-muktamar NU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar