Ketentuan Puasa Ramadlan
A. Pengertian Puasa
Istilah Puasa (اَلصَّوْمُ/اَلصِّيَامُ) secara
bahasa berasal dari akar kata; صَامَ - يَصُوْمُ - صَوْمًا/صِيَامًا, yang
berarti اَلْإِمْسَاكُ (menahan) diri dari sesuatu.[1]
Misalnya, seseorang menahan diri dari berbicara maka ia tidak berbicara dan
apabila seseorang menahan makan maka ia tidak makan. Allah SWT berfirman dalam
surat Maryam ayat 26.
"Sesungguhnya aku (Maryam) bernazar berpuasa (shoum) untuk
Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang
manusiapun pada hari ini". (QS. Maryam: 26)
Adapun pengertian Puasa menurut istilah
adalah menahan diri dari syahwat perut dan farj (makan, minum dan
hal-hal yang berkaitan dengan hubungan biologis) serta hal-hal yang memba-talkan selama satu hari penuh mulai
terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat tertentu.[2]
Allah SWT berfirman dalam surat al Baqarah ayat 187.
“....dan Makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam....” .(QS. Al
Baqarah: 187).
Puasa adalah amalan yang langsung
untuk Allah SWT. dan pahalanya dilipatgandakan dengan iradahNya. Dalam sebuah
hadits Qudsi dijelaskan;
كُلُّ عَمَلِ ابـْنِ أَدَمَ لَهُ إِلاَّ
الصِّيَامَ فَإِنـَّهُ لـِيْ وَأَنَا أَجْـزِيْ بِــهِ وَالصِّيَامُ جُــنَّـةٌ فَإِنْ
كَانَ يَـوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَـرْفُثْ يَوْمَــئِذٍ وَلَا يَـصْخَبْ فَإِنْ
سَابــَّهُ أَحَــدٌ أَوْ قَاتَــلَـهُ فَلْيَقُلْ إِنِّـيْ إِمْــرُؤٌ صَائِـمٌ
(رواه مسلم)
“Semua amal anak adam untuk dirinya sendiri, kecuali puasa.
Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang langsung membalasnya. Puasa itu
adalah perisai. Pada hari kalian puasa janganlah kalian mengucapkan kata-kata
kotor (kurang pantas didengar) dan jangan (pula) bertengkar. Jika ada seseorang
mencacimu atau mengajakmu bertengkar maka katakan kepada-nya; “saya sedang
puasa”. (HR. Muslim)
B. Hukum Puasa Ramadlan
Puasa
Ramadlan[3]
hukumnya wajib sebagai rukun Islam yang keempat yang disyari’atkan (diwajibkan)
di Madinah tepat pada hari Senin tanggal 2 Sya’ban tahun kedua Hijriyah.[4]
Rasulullah Muhammad SAW. selama hidupnya hanya melaksanakan puasa Ramadlan
sebanyak 9 kali; 8 kali diantaranya dilaksanakan secara naqish (29 hari)
dan 1 kali secara sempurna (30 hari).[5]
Namun demikian, puasa naqish pahalanya sama dengan puasa sempurna.
Adapun dasar hukum kewajiban menjalankan
syari’at puasa Ramadlan adalah al Qur’an, Hadits dan ijma’ ulama. Allah SWT.
berfirman dalam surat al Baqarah ayat 183:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,” (QS. al Baqarah: 183)
Dasar hukum kewajiban menjalankan syari’at
puasa Ramadlan dari Hadits diantaranya adalah sabda Rasulullah SWT:
بـُـنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلَى
خَمْـسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَّ إِلــَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ
اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيـْتَاءِ الــزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ،
وَحَجِّ الْبَـيْتِ (رواه متفق عليه)
“Islam dibangun atas lima perkara; bersaksi bahwa tiada Tuhan
yang berhak disembah, kecuali Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan
shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadlan dan haji ke Baitullah”. (HR.
Muttafaqun alaih)
Selain dari dua dasar di atas (al
Qur’an – al Hadits), juga diper-kuat dengan ijma’ ulama
(kesepakatan ulama) bahwa puasa Ramadlan adalah salah satu rukun Islam yang
lima yang wajib dilaksanakan dari agama secara daruri. Kewajiban ini
dibebankan kepada orang Islam yang berakal, baligh, sehat-kuat, tidak beper-gian
dan suci dari haidl dan nifas bagi wanita.[6] Barang siapa yang
mengingkari akan kewajiban syari’at puasa Ramadlan maka dapat dihukumi kafir,
keluar dari Islam.
Kewajiban menjalankan puasa
Ramadlan ini, jika dikaitkan dengan kaum muslimin sebagai golongan yang dikenai
khithab puasa, setidaknya dapat dibagai menjadi tiga kelompok:[7]
1. Orang yang
tidak bepergian, kuat menjalankan puasa, baginya wajib melakukan puasa sebulan
penuh. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. dalam surat al Baqarah ayat 185.
“Barangsiapa di antara kamu menyaksikan
bulan maka hendak-lah ia berpuasa”. (QS. al Baqarah: 185)
Jika dia meninggalkan puasa
sehari tanpa udzur maka gantinya tidak cukup dengan puasa setahun di samping
kelak akan menerima siksaan dari Allah SWT. yang pedih. Hal ini berda-sarkan hadits Nabi SAW:
مَنْ
أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَمَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ
صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ (رواه البخاري)
“Barangsiapa yang berbuka (tidak
berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa ada rukhshoh dan sakit, maka tidak
bisa diqodlo’ dengan melakukan puasa setahun”. (HR.
Bukhari)
2. Orang yang
sakit[8] dan orang yang bepergian.[9] Baginya boleh tidak
berpuasa, namun wajib mengganti di hari yang lain. Termasuk dalam kategori
kelompok ini adalah wanita haidl dan nifas. Hal ini berdasarkan firman Allah
SWT. dalam surat al Baqarah ayat 185.
“Barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan diantara kamu maka wajib baginya berpuas sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. (QS. al Baqarah: 185)
Menurut Dawud ad Dhahiri, orang
yang sakit dan bepergian tidak boleh berpuasa karena keduanya wajib mengqodlo’
puasanya di hari yang lain.
3. Orang yang
bisa menjalankan puasa tetapi sangat berat karena suatu sebab yang tidak dapat
dihilangkan, seperti orang yang sudah tua renta, sakit yang melumpuhkan,
pekerjaan yang sangat berat (seperti memecah batu, sopir truk/bus lintas
propinsi dan tidak ada pekerjaan lain). Baginya boleh tidak berpuasa dan cukup
membayar fidyah, yaitu memberikan makan seorang miskin satu mud (6 ons)
setiap hari. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. surat al Baqarah ayat 184.
”Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu
memberi makan seorang miskin”. (QS. al Baqarah: 184)
C. Penetapan Awal dan Akhir
Ramadlan
Untuk menjalankan kewajiban puasa
Ramadlan maka terlebih dahulu kita harus mengetahui waktu awal dan akhir
Ramadlan. Untuk mengetahui hal tersebut, setidaknya ada dua metode yang dapat
dijadikan dasar oleh para ulama, yaitu:
1. Metode Ru’yatul
Hilal (melihat bulan sabit)
Untuk
menetapkan awal dan akhir Ramadlan maka metode yang paling utama adalah Ru’yatul
Hilal (melihat munculnya bulan sabit secara langsung) atau yang lebih
dikenal dengan sebutan ru’yah. Metode ini telah disepakati oleh seluruh
ulama Islam yang dapat diperangungjawabkan. Ru’yah dilakukan pada
tanggal 29 Sya’ban atau 29 Ramadlan. Jika ru’yah tidak berhasil maka
awal dan akhir Ramadlan ditetapkan dengan cara ikmal sya’ban atau ikmal
Ramadlan (menyempurnakan bulan Sya’ban atau Ramadlan 30 hari). Hal ini
sejalan dengan firman Allah SWT. surat al Baqarah ayat 185, sebagaimana
dijelaskan di atas. Selain firman Allah SWT. di atas juga diperkuat oleh
hadis Nabi SAW bahwa:[10]
صُوْمُوْا
لـِـرُؤْيـَـتِهِ وَأَفْـطِـرُوْا لـِـرُؤْيـَـتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ
فَأَكْـمِلُوْا عِدَّةَ شَـعْــبَانَ ثَلاَثِيْنَ (رواه البخاري ومسلم)
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal (bulan sabit) dan
berbukalah (lebaran) karena melihat hilal, Jika tidak nampak (hilal terhalang
mendung) atas kalian maka sempurnakanlah hitungan hari bulan Sya’ban menjadi
(genap) 30 hari”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam
redaksi hadits yang sedikit berbeda yang diriwayat-kan oleh Imam Muslim
Rasulullah SAW. bersabda:
إِذَا
رَأَيْــتُـمُ الْـهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيـْـتُـمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوْا ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا (أخرجه مسلم)
“Jika kamu melihat bulan maka berpuasalah dan jika melihatnya
pula maka berbukalah (lebaran). Jika terhalang mendung maka berpuasalah (genap)
30 hari”. (HR. Muslim)
Proses ru’yatul
hilal cukup dilakukan dengan mata telanjang dan tidak harus dipaksakan
memakai alat teknologi canggih. Proses ru’yatul hilal itu harus
disaksikan oleh orang muslim, aqil, baligh dan adil. Mengenai berapa banyak
orang yang harus melihat bulan (hilal) secara langsung itu, ulama masih ikhtilaf
(berbeda pendapat). Menurut madzhab Syafi’i, cukup dengan persaksian satu
orang.[11] Pembuktian persaksian
harus dikuat-kan dengan ucapan: “asyhadu ....” (aku bersaksi ....),
sedang menurut Madzhab Maliki tidak harus dikuatkan.[12] Akan tetapi untuk
menentukan akhir bulan Ramadlan minimal harus disaksikan oleh dua orang,[13] untuk lebih hati-hati.
Dalam metode
ru’yatul hilal ini ulama masih terjadi ikhtilaf, setidaknya ada
dua; Pertama, ulama yang memakai prinsip wihdatul matholi’ (kesatuan
tempat munculnya bulan). Artinya bahwa apabila ada seorang muslim melihat bulan
di suatu daerah maka umat Islam di seluruh dunia wajib melaku-kan puasa dan
berlebaran secara serentak. Pendapat ini di dukung oleh jumhur ulama (madzhab
Maliki, Hanafi dan Hambali).[14]
Kedua, ulama
yang memakai ikhtilaful matholi’ (perbedaan tempat munculnya bulan).
Artinya bahwa apabila telah terbukti ada seorang muslim melihat bulan di suatu
daerah maka daerah yang berdekatan dengan yang bersangkutan wajib melakukan
puasa dan berlebaran berdasarkan bukti tersebut. Jarak yang berdekatan itu
dapat diukur dengan ukuran satu mathla’ (tempat terbinya bulan), yaitu
skitar radius 24 farsakh (1 farsakh = 5544 m) x 24 = 133,056 km.
Sedangkan penduduk yang berada di daerah yang jauh, maka tidak wajib berpuasa
dan berlebaran karena perbedaan mathla’. Pendapat ini di dukung oleh
mazhab Syafi’i, Ibnu Taimiyah, Ishaq bin Rohuyah dan al Qasim bin Muhammad.[15]
Dari dua
pendapat ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat pertama
bersandarkan kepada nash[16]
dan qiyas (negeri yang jauh kepada negeri yang dekat dengan ru’yah),
juga mengambil istimbath hukum dari tahqiqul manath (harus
disesuaikan dengan fakta hukum), sedangkan tahqiqul manath memerlukan
pengetahuan tentang hakikat kenyataan masalah ini, bukan hanya terpaku pada nash-nash
yang ada. Sekarang diketahui bahwa munculnya hilal pada waktu yang sama
untuk seluruh daerah di muka bumi, sedangkan ru’yah-nya jelas berbeda
tergantung tempatnya di mana melihat bulan. Pendapat kedua, di samping
bersandar pada nash[17]
dan qiyas (kepada mathla’ matahari dalam penetapan sholat), juga
berdasarkan fakta yang logis bahwa permulaan bulan itu bisa berbeda menurut
perbedaan negeri.
2. Metode Hisab
(perhitungan ilmu falak )
Penetapan awal dan akhir Ramadlan
tidak didasarkan atas ketentuan ilmu hisab (ilmul falak), karena
syara’ telah menentu-kan hukum tersebut dengan ru’yatul hilal, meskipun
disadari bahwa ilmu hisab itu berperan penting dalam membantu proses ru’yatul
hilal. Hal ini karena Islam memberikan alternatif lain yaitu ikmalus
Sya’ban dan ikmalur Ramadlan (menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban
dan Ramadlan menjadi 30 hari). Namun demikian, ada sebagian ulama yang
menggunakan dan mengang-gap sah metode ini untuk digunakan sebagai penetapan
awal dan akhir Ramadlan, diantaranya Imam Ibnu Qutaibah, Imam ad Dawudi, Abul
Abbas bin Syuraih, dan Imam Muthorif bin Abdi (tokoh tabi’in). Mereka
menggunakan metode ini dengan berda-sarkan kepada hadits Nabi SAW:[18]
لَاتَـصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْـهِلاَلَ
وَلَاتُــفْطِـرُوْا حَتَّى تَـرَوْهُ فَإِنْ غُـمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْـدُرُوْا لَهُ
(رواه البخاري ومسلم)
“Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal, dan janganlah
kamu berbuka (lebaran) sebelum melihat hilal, dan jika mendung
menyelimuti kalian, maka perkirakanlah hilal itu”. (HR. Bukhari-Muslim)
Menurut mereka makna lafat فَاقْـدُرُوْا لَهُ (maka
perkirakanlah hilal itu) itu adalah perkirakanlah hilal itu dengan ilmu hisab
atau falak. Akan tetapi, menurut mayoritas ulama atau fuqaha’ yang
dimaksud adalah menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban atau Ramadlan menjadi
genap 30 hari.[19]
Karena menurut mayoritas ulama, ilmu hisab hanya sebagai pelengkap atau
pendukung pada metode ru’yatul hilal saja, bukan sebagai penentu atau
penetap awal dan akhir bulan.[20]
Dari sini dapat timbul perbedaan
antara metode ru’yatul hilal dan metode hisab. Hal ini bisa
dimaklumi karena metode ru’yatul hilal bersandar pada perputaran bulan,
sedangkan metode hisab bersandar pada perputaran matahari. Maka dari
itu, jika terjadi kontradiksi antara hasil ru’yatul hilal atau ikmal Sya’ban
wa Ramadlan (menyempurnakan hitungan genap bulan Sya’ban dan Ramadlan
menjadi 30 hari), maka menurut mayoritas ulama yang diambil dan dapat digunakan
sebagaipenetapan awal dan akhir bulan adalah ru’yatul hilal atau ikmal
Sya’ban wa Ramadlan sesuai dengan hadits Nabi SAW. di atas.
Terlepas dari perbedaan pandangan
ulama tentang penetapan awal da akhir Ramadlan, penting untuk dicatat dan demi
menjaga persatuan ummat Islam, mayoritas ulama tidak menganggap adanya
perbedaan mathla’ (tempat munculnya bulan) yakni, jika salah satu daerah
telah benar-benar melihat bulan maka yang lain juga harus ikut, asalkan berada
di bawah kekuasaan satu hakim (pemerintah yang sah) dan ada pernyataan isbat
(penetapan hukum) dari pemerintahan tersebut, kalau di Indonesia yang
ber-wenang adalah Kemenag.[21] Karena masalah ini untuk
sementara masih belum bisa lepas dari perbedaan, maka hendaknya ada upaya
kesatuan dalam menentukan awal atau akhir Ramadlan.
Terlepas dari perbedaan di atas,
yang bisa berperan dalam penyatuan ummat Islam adalah institusi hakim agama,
setidaknya mewakili umat Islam. Dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan
bahwa:
حُــكْمُ الْحَــاكِــمِ
يَــرْفَــعُ الْخِــلاَفَ
“Keputusan hakim menghilangkan khilaf (perbedaan)”
Bahkan kalau ada khilafah
Islamiyah, maka jika ada satu orang di suatu daerah yang benar-benar dapat
melihat bulan maka seluruh daerah di muka bumi, setelah ada pernyataan isbat
dari khalifah, wajib ikut baik awal puasa (berpuasa) maupun akhir puasa
(lebaran), sehingga tidak akan terjadi perbedaan yang men-jurus pada
pertentangan seperti akhir-akhir ini. Mengupayakan kesatuan dalam mengawali
puasa dan dalam mengakhiri puasa (lebaran) adalah merupakan isyarat dari hadits
Nabi SAW:
اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ
يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ (رواه الترمذى)
“Puasa itu pada hari kalian berpuasa dan hari raya fithri
pada hari kalian berlebaran dan hari raya adlha itu ketika kalian menyem-belih
binatang kurban”. (HR. Tirmidzi)
Dalam hadits lain Rasulullah SAW. juga pernah
bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْجَــمَاعَةِ
فَــإِنَّــمَا يَــأْكُلُ الذِّئْـبُ مِــنَ الْغَــنَمِ الْقَـاصِــيَـةِ
“Kalian harus bersama kaum mayoritas (berjama’ah),
sesungguh-nya serigala akan memakan kambing yang menjauh (menyendiri)
dari kelompoknya”.
Di samping itu, dalam kaidah fiqh juga
dijelaskan bahwa:[22]
دَرْءُ الْمَــفَاسِـدِ أَوْلَى
عَـلَى جَــلْبِ الْمَــصَالِــحِ
“Menolak kerusakan itu adalah lebih utama (didahulukan) dari
pada menarik kebaikan”.
D. Rukun Puasa
Setiap muslim yang menjalankan
puasa, hendaknya mengeta-hui rukun puasa, yaitu hal-hal yang harus dipenuhi
oleh orang yang berpuasa. Jika salah satu rukun tidak terpenuhi maka tidak sah
puasanya. Adapun rukun puasa yang dimaksud adalah seba-gai berikut:
1. Niat
Niat adalah keinginan (maksud)
hati yang kuat untuk melaksa-nakan perintah dan untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ
بِالنِّــيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ إمْرِءٍ مَانَوَى (رواه البخاري ومسلم)
“Segala perbuatan itu hanyalah (tergantung) pada
niatnya dan setiap segala sesuatu (tergantung) pada niatnya”. (HR.
Bukhari-Muslim)
Dalam niat tidak disyaratkan melafatkannya
karena niat tem-patnya di hati. Menurut jumhur ulama (selain madzhab Maliki)
melafatkan niat itu hukumnya
disunnahkan.[23] Sedangkan
niat
puasa dilakukan sebelum terbit
fajar setiap malam sepanjang Ramadlan.[24] Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ
قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ (رواه أحمد)
“Barangsiapa yang tidak mengukuhkan niat dan tujuan puasa
sebelum terbit fajar maka tidak sah puasanya”. (HR. Ahmad)
Untuk lebih berhati-hati,
hendaknya pada awal bulan Ramadlan berniat puasa sebulan penuh, di samping
setiap malam tetap berniat, demi menjaga kemungkinan lupa.
2. Imsak (menahan
diri)
Imsak dalam
istilah puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa (seperti
makan, minum, dan hubungan suami istri/jima’) sejak terbit fajar sampai
terbenam matahari dengan niat yang kuat. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW:[25]
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا اَقْبَلَ اللَّيْلُ وَاَدْبَرَ النَّهَارُ
وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ اَفْطَرَ الصَّائِمُ (رواه مسلم)
“Saya mendengar Nabi SAW. bersabda’ apabila malam datang dan
siang lenyap serta matahari terbenam, sesungguhnya telah datang waktu berbuka
bagi orang yang berpuasa”. (HR. Muslim)
E. Syarat Puasa
Setidaknya ada dua syarat yang
harus dipenuhi dalam melaksa-nakan ibadah puasa. Dua syarat yang dimaksud
adalah syarat wajib puasa dan syarat sah puasa.
1. Syarat Wajib Puasa
Syarat wajib puasa adalah segala
sesuatu yang menyebabkan seseorang wajib berpuasa. Seseorang yang belum
memenuhi syarat wajib puasa maka dia tidak wajib berpuasa, tetapi dia boleh
berpuasa dan mendapatkan pahala puasa. Syarat wajib puasa adalah sebagai
berikut:
a. Islam
Bagi orang kafir tidak wajib
berpuasa. Jika ia mengerjakan puasa maka puasanya tidak sah menurut syara’.
b. Baligh
Anak kecil yang belum berumur baligh
tidak wajib berpuasa.[26] Dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW bersabda:
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَــةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْــقِظَ وَعَنِ
الصَّغِيْرِ حَتَّى يَكْبَرَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيْقَ
(رواه إبن ماجه)
“Ada tiga golongan terlepas
dari khithob hukum, yaitu orang tidur hingga bangun, anak-anak hingga ia besar (baligh),
dan orang gila hingga ia berakal atau sadar”. (HR. Ibnu Majah)
Namun
demikian, sebagai orang tua yang baik hendaknya mau mengajari anak-anaknya
untuk membiasakan diri agar latihan berpuasa sejak kecil, selama dia mampu
mengerjakan-nya. Jika dia merasa belum mampu berpuasa maka sebagai orang tua
tidak perlu memaksanya untuk berpuasa. Jika dia berpuasa, walaupun dia belum
wajib berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala puasanya.[27]
c. Berakal
Orang gila atau hilang ingatan tidak wajib
berpuasa. Sebagai-mana dijelaskan dalam hadits di atas (poin d).
d. Sehat
Orang yang sedang sakit,[28] jika sekiranya dengan
berpuasa akan menambah parah penyakit yang dideritanya maka diper-bolehkan
tidak berpuasa, tetapi wajib mengganti pada lain hari.
e. Mukim
(berada di rumah)
Orang yang melakukan perjalanan jauh (musafir)[29] bukan untuk tujuan
maksiat yang tidak kuat berpuasa diperbolehkan tidak berpuasa, tetapi wajib
mengganti di pada hari lain.
f. Mampu
menjalankannya
Orang lanjut usia yang tidak kuat berpuasa
diperbolehkan tidak berpuasa, tetapi wajib membayar fidyah yang diperuntukan
bagi fakir miskin, setiap orang 1 mud atau sekitar 6 ons.[30]
g. Suci
dari haidl dan nifas bagi wanita
Wanita yang haidl dan nifas
haram melakukan puasa dan ia wajib mengganti puasa sebanyak puasa yang
ditinggalkan pada hari lain.[31] Hal ini berdasarkan
hadits Nabi SAW:
كُنَّا نُحِيْضُ عَلَى عَهْدِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَأْمُرُنَا بِقَضَآءِ الصِّيَامِ وَلَايَأْمُرُنَا بِقَضَآءِ
الصَّلَاةِ (رواه الترمذى)
“Kami haidl pada masa Rasulullah SAW. lalu
beliau menyuruh kami untuk mengganti puasa dan tidak menyuruh kami meng-ganti
shalat”. (HR. At Tirmidzi)
2. Syarat Sah Puasa
Syarat sah puasa adalah
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Sho’im (orang yang berpuasa) agar
puasanya sah menurut syara’. Syarat-syarat sah puasa yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
a. Islam
b. Tamyis (dapat
membedakan mana yang hak dan bathil)
c. Suci dari haidl
dan nifas bagi wanita
d. Dilaksanakan
pada waktu yang diperbolehkan puasa.[32]
F. Perbuatan yang Disunnahkan
dalam Puasa
Sunnah puasa adalah suatu
perintah berkaitan dengan puasa, jika dikerjakan mendapat pahala dan jika
ditinggalkan tidak ber-dosa (sangat rugi, pen). Perbuatan-perbuatan
sunnah dalam puasa sebagai pelengkap dan penyempurna puasa Ramadlan. Untuk mendapatkan kesunnahan puasa maka hendaknya
melakukan adab-adab/tatakrama (aturan main, pen) dalam puasa
adalah: [33]
1. Menyegerakan
berbuka (ta’jilul fithri)[34]
Apabila waktu berbuka telah masuk
maka hendaknya segera berbuka. Dalam berbuka hendaknya mendahukukan kurma, jika
tidak ada maka berbuka dengan air. Nabi
SAW bersabda:
إِذَا
كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلْيُفْطِرْ عَلَى التَّمْرِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ التَّمْرَ
فَعَلَى الْمَاءِ فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ (رواه أحمد والترمذي)
“Apabila salah satu kamu
sekalian berpuasa, hendaknya berbu-ka dengan kurma, jika tidaka ada maka berbukalah
dengan air karena air itu suci”.
2. Membaca do’a
setelah berbuka. Bukan dibaca sebelum atau di tengah-tengah berbuka
اَللَّهُمَّ
لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْــتَلَّتِ
الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى
“Ya Allah, hanya untukMu saya
berpuasa, dengan rizkiMu saya berbuka. Dahaga telah hilang, urat-urat telah
segar, dan mudah-mudahan pahalanya ditetapkan, jika Allah ta’ala menghendaki”
3. Mengakhirkan
sahur (ta’khirus sahur)[35]
Makan sahur adalah makan malam
hari yang disunnahkan dan pada akhir malam menjelang terbit fajar (waktu
subuh). Dalam makan sahur itu adalah suatu berkah, terutama bagi orang yang
berpuasa. Keberkahan tersebut diantaranya adalah ada-nya kekuatan yang ada
dalam tubuh untuk berpuasa sehari penuh. Oleh karena itu, hukum makan sahur
adalah sunnah. Begitu juga mengakhirkan makan sahur termasuk perbuatan yang
disunnahkan. Rasulullah SAW menjelaskan dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim
bahwa:[36]
تَسَحَّرُوْا
فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَركَةً (رواه البخاري ومسلم)
“Makan sahurlah
kamu karena sesungguhnya dalam makan sahur itu ada suatu keberkahan”. (HR.
Bukhori-Muslim)
4. Menjauhkan
diri dari ucapan dan perbuatan yang tidak baik
Puasa bukan hanya menahan makan
dan minum saja, tapi juga menahan diri dari perbuatan yang tidak baik, seperti
ucapan yang keji dan perbuatan yang tidak baik menurut syara’. Dalam
kenyataannya, banyak orang berpuasa tetapi mereka tidak mampu menahan diri dari
perbuatan yang keji. Hal ini dapat mengurangi, untuk tidak mengatakan
menghilangkan sama sekali, akan pahala puasanya. Rasulullah SAW. bersabda:
رُبَّ
صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ
مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ (رواه النسائي وابن ماجة والحاكم)
“Berapa banyak orang yang berpuasa, baginya tidak mendapat-kan
apa-apa (pahala) dari puasanya kecuali lapar, dan berapa banyak orang
qiyamul lail (ibadah di malam hari), baginya tidak mendapatkan apa-apa (pahala)
dari qiyamul lail itu kecuali (sekedar) berjaga malam ”. (HR. An
Nasa’i, Ibn Majah, al Hakim)
5. Mandi janabah,
haidl dan nifas sebelum terbit fajar.
Orang yang berpuasa harus suci dari keadaan junub,
baik karena ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki, haidl dan nifas
bagi wanita maupun karena faktor lain, maka disunnahkan hendaknya segera mandi
atau bersesuci sebelum terbit fajar. Jika belum sempat mandi janabah
sebelum terbit fajar, maka keesokan hari boleh berpuasa dan status puasanya
tetap sah. Hal ini dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW: [37]
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ
يَغْتَسِلُ وَيَصُوْمُ (رواه متفق عليه)
“Adalah
Rasulullah SAW. mendapatkan waktu fajar, padahal beliau masih dalam keadaan
junub dikarenakan berhubungan dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan
berpuasa”
6. Menggosok
gigi pada waktu pagi
Pada waktu puasa disunnahkan
menggosok gigi pada pagi hari dan dimaruhkan pada sore hari ketika berpuasa. Hal ini dijelaskan Rasulullah SAW
dalam sebuah hadits berikut:
إِنْ
صُمْـتُمْ فَاسْتَاكُوْا بِالْغَدَاةِ وَلَاتَسْتَاكُوْا بِالْعَشِيِّ (رواه
الطبراني)
”Jika
kamu berpuasa, bersiwaklah (sikat gigi) pada waktu pagi hari dan jangan
bersiwak pada waktu sore”. (HR. At
Thobrani)
7. Memperbanyak
shadaqoh dan membaca al Qur’an
Bershadaqah dan membaca al Qur’an
disunnahkan untuk dila-kukan setiap waktu. Bershadaqah dan membaca al Qur’an
lebih diutamakan lagi dilakukan pada bulan Ramadlan, sebagaimana dijelaskan
dalam hadis Nabi SAW bahwa:
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ صَدَقَةُ
رَمَضَانَ (رواه البيهقي والطبراني)
”Sebaik-baik
shadaqah adalah shadaqah di bulan Ramadlan”.
Dalam hadits
lain juga dijelaskan bahwa:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فَيْ رَمَضَانَ
حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ
رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ (رواه البخاري)
”Rasulullah SAW. adalah orang
yang paling dermawan dalam kebaikan dan lebih dermawan lagi di bulan Ramadlan
ketika bertemu malaikat Jibril. Rasulullah SAW setiap malam di bulan Ramadlan
selalu bertemu Malaikat Jibril dan bertadarus al Qur’an”. (HR. Bukhori)
8. Bersungguh-sungguh
dalam beribadah, lebih-lebih sepuluh terakhir dari bulan Ramadlan.
Ramadlan adalah bulan baik karena
di dalamnya terdapat malam seribu bulan, yang biasa disebut lailatul qodar.
Oleh karena itu, beribadah di bulan ini
harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, lebih-lebih malam sepuluh terakhir
dari bulan Ramadlan. Rasullullah SAW bersabda:
كَانَ
إِذَا دَخَــلَ الْعَــشْرَ الْأَوَاخِــرَ أَحْــيَ الَّلــيْلَ، وَأَيْــــقَظَ
أَهْــلَهُ, وَشَــدَّ الْمِئْزَرَ (رواه البخاري ومسلم)
“Apabila datang (masuk) sepuluh terakhir dari bulan
Ramadlan, Nabi SAW menghidupkan malam (qiyamu Ramadlan), memba-ngunkan
anggota keluarganya, dan mengencangkan sarung-nya”. (HR. Bukhari-Muslim)
9. Melaksanakan
qiyamul lail (shalat malam atau tarawih)
Pada malam hari di bulan Ramadlan
disunnahkan mengerjakan qiyamul lail yang sering disebut dengan shalat tarawih.[38] Hal ini dijelaskan dalam
hadis Rasulullah SAW bahwa:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِيْ قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأمُرَ فِيْهِ
بِعَزِيْمَةٍ فَيَقُوْلُ مَنْ قَامَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.(رواه مسلم)
”Rasulullah SAW. menganjurkan
sholat waktu malam hari bulan Ramadlan (qiyamu Ramadlan), tetapi tidak
mewajibkannya. Beliau bersabda: ”Barangsiapa yang bangun malam pada
bulan Ramadlan karena iman dan mengharap ridlo Allah semata, maka akan diampuni
dari dosa-dosanya yang telah lalu”.
Dari hadits
di atas dapat difahami bahwa Rasulullah SAW menganjurkan, bukan mewajibkan,
ummatnya agar menghi-dupkan malam bulan Ramadlan dengan memperbanyak sholat,
yang kemudian kita kenal dengan sebutan shalat tarawih.
Waktu
mengerjakan shalat tarawih yaitu antara shalat isya’ sampai menjelang terbit
fajar. Pada awalnya shalat tarawih itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW
secara berjama’ah di masjid Nabawi. Namun setelah berjalan tiga malam secara
terus menerus, malam berikutnya Rasulullah SAW membiarkan para sahabat
melakukan shalat tarawih sendiri-sendiri, sebagaima-na dijelaskan
Rasulullah SAW dalam hadits yang panjang:[39]
“Suatu
malam Rasulullah SAW keluar untuk shalat di masjid, maka ada beberapa shabat
yang bermakmum kepada beliau. Keesokan harinya, berita tersebut menjadi
perbincangan di antara para sahabat, sehingga malam kedua para sahabat yang
ikut berjama’ah bertambah banyak. Berita tersebut bertambah ramai dalam
perbincangan para shahabat, sehingga malam ketiga shahabat yang ikut berjama’ah
bertambah lebih banyak lagi. Malam keempat jama’ah lebih banyak lagi dari malam
ketiga sampai masjid tidak bisa menampung mereka, ternyata Rasulullah SAW tidak
keluar untuk menjadi imam shalat (tarawih) malam itu, dan Rasulullah SAW keluar untuk menjadi imam shalat subuh.
Rasulullah SAW menghadap para sahabat dan bersabda bahwa: ”sesungguhnya tidak
ada yang menghala-ngiku untuk shalat bersama kalian, akan tetapi saya
mengkha-watirkan kalian akan menganggap bahwa shalat (tarawih) ini
sebagai kewajiban dan kalian tidak akan sanggup menjalankan-nya”. (HR.
Bukhori-Muslim)
Hingga di kemudian hari, fenomena shalat tarawih
yang terpencar-pencar (tidak berjam’ah) seperti ini disaksikan oleh kholifah
Umar bin Khotthab di masjid Nabawi, akhirnya beliau terbersit untuk menyatukan
dalam satu imam (berjama’ah). Maka ditunjuklah Ubay bin Ka’ab utuk menjadi imam
shalat tarawih waktu itu, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi SAW sebagai
berikut:[40]
“Abdurrahman
bin Abd al Qori berkata: “pada suatu malam saya keluar bersama Umar bin
Khotthab. Ternyata, orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian
kelompok. Ada yang shalat sendiri, ada juga yang menjadi imam dari beberapa
orang. Lalu Umar bin Khotthab berkata: “saya berpendapat, seandainya mereka
saya kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Kemudian beliau
mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam yang lain, saya pergi ke masjid
lagi bersama Umar bin Khotthab dan mereka melaksanakan shalat secara berjama’ah
kepada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar bin Khotthab berkata:
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini, tetapi menunaikan shalat di akhir malam lebih
baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang mengerjakan shalat
tarawih di awal malam”. (HR. Bukhori, Ibn Khuzaimah, Baihaqi)
Berdasarkan dua hadits di atas, para ulama
sepakat bahwa shalat tarawih boleh dilakukan secara berjama’ah dan boleh
dikerjakan sendiri-sendiri, akan tetapi lebih baik dikerjakan secara berjama’ah
di masjid. Sedangkan hukum shalat tarawih di bulan Ramadlan adalah sunnah.
Namun demikian, para ulama masih ikhtilaf
dalam jumlah raka’at shalat tarawih. Sebagian ulama berpendapat 11
raka’at plus shalat witir, ada juga yang mengatakan 13 raka’at, ada juga yang
berpendapat 23 raka’at plus witir. Bahkan, menurut Imam Malik shalat tarawih
itu ada 36 raka’at.[41] Sedangkan menurut jumhur
ulama, jumlah raka’at shalat tarawih adalah 20 raka’at dengan 10 salam.[42] Dengan kata lain, shalat tarawih
menurut jumhur ulama dikerjakan dengan sepuluh kali salam. Jadi, cara
mengerjakan shalat tarawih dikerjakan dengan dua raka’at dan setiap dua
raka’at ditutup dengan satu salam.
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama
di atas, kita tidak boleh terpancing dengan hal itu seperti saling menyalahkan
satu sama lain, justru kita seyogyanya bisa menerima dengan perbedaan itu
sebagai suatu keleluasaan bagi ummat Islam, untuk dapat memilih mana yang lebih
kondusif baginya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. Hal ini
sejalan dengan maqolah yang berbunyi bahwa: إِخْتِلَافُ
أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
“Perbedaan diantara ummatku adalah sebuah
rahmat”
Oleh karena
itu, semestinya kita lebih fokus kepada saudara-saudara kita yang belum sempat
– untuk tidak menga-takan; tidak
mengerjakan – menjalankan shalat tarawih dengan tertib dan istiqamah,
demi ikut menghidupkan atau meramai-kan malam-malam di bulan Ramadlan dengan
amal shalih.
G. Perbuatan yang Mubah
(Diperbolehkan) dalam Puasa
Perbuatan yang diperbolehkan
dalam puasa jumlahnya banyak sekali, diantaranya adalah sebagai berikut;
1. Mandi dengan
mengguyur kepala, keramas dan menyelam
2. Memakai
siwak, sekalipun setelah matahari condong ke barat, menurut pendapat Imam
Nawawi
3. Suntik
(injeksi) dan donor darah, jika sangat diperlukan. Ada sebagian ulama
menghukumi makruh dalam hal ini.
4. Bercelak,
yaitu menghias pinggiran mata dengan batu celak.
5. Mencium
istri, bersentuhan tangan, dan rangkul-merangkul bagi orang yang bisa menahan
syahwatnya.[43]
Sebagian ulama menetapkan hukum makruh dalam hal ini.
6. Madlmadloh
(berkumur-kumur) atau istinsyaq (menghirup air lewat hidung) asal tidak
keterlaluan. Jika keterlaluan dalam sehingga airnya tertelan sampai
tenggorokan, maka jika dilakukan dengan sengaja maka puasanya batal.[44]
7. Berbekam,
yaitu mengeluarkan darah dari kepala atau dari bagian tubuh yang lain
8. Mencium bahu
yang sedap, menurut Ibnu Taimiyah
9. Mencicipi
masakan bagi wanita, asal tidak ditelan. Sebagian ulama mengatakan makruh
10. Melakukan
hal-hal yang tidak bisa dihindari, seperti menelan ludah (jika masih dalam
mulut), kemasukan debu jalanan atau tepung, memasukkan kembali ingus dan lain
sebagainya[45]
11. Makan,
minum, dan berkumpul suami istri (jima’) hingga terbit fajar. Jika
menjelang terbit fajar, ada sisa makan atau minuman di mulut maka harus
dikeluarkan (dilepeh, jawa). Begitu pula jika berkumpul suami istri
harus dihentikan.
12. Pagi hari di
bulan Ramadlan setelah terbit fajar masih dalam keadaan junub maka
hendaknya mandi dan tetap berpuasa
13. Wanita yang haidl
atau nifas jika telah berhenti darahnya pada waktu malam hari, boleh
mengakhirkan mandi janabah setelah terbit fajar dan tetap berpuasa
14. Mencabut
gigi dan memasukkan obat gigi, asal tidak masuk ke dalam perut.[46]
H. Perbuatan yang Dimakruhkan
dalam Puasa
Makruh puasa adalah suatu
perbuatan yang sangat dianjurkan untuk ditinggalkan bagi orang yang berpuasa,
tetapi tidak berdosa (sangat rugi, pen) jika dikerjakan. Ada beberapa
yang dikategori-kan sebagai perbuatan makruh pada saat orang berpuasa adalah
sebagai berikut:
1. Melakukan
perbuatan yang dapat membangkkitkan syahwat, seperti melihat gambar porno,
lawan jenis yang berpakaian merangsang,
dan film-film yang berbahu porno aksi
2. Mengumpulkan
ludah untuk ditelan dengan disengaja
3. Menelan
dahak setelah keluar dari kerongkongan
4. Berlebihan
dlam madlmadloh (berkumur-kumur), dan istinsyaq (menghirup air lewat hidung)
5. Meninggalkan
sisa-sisa makanan yang terselip pada gigi
6. Memakai
wangi-wangian atau parfum di siang hari (menurut madzhab Maliki)
7. Memperbanyak
tidur di siang hari dalam keadaan berpuasa (menurut madzhab Maliki).[47]
I. Perbuatan yang Membatalkan Puasa
Perbuatan yang membatalkan puasa
setidaknya dapat dibagi menjadi dua bagian:
1. Perbuatan
yang membatalkan puasa sehingga mewajibkan qodlo’[48] (mengganti) saja.
Beberapa perbuatan yang masuk dalam kategori ini adalah sebagai berikut:
a. Makan dan
minum yang disengaja. Jika tidak disengaja maka puasanya tidak batal
b. Masuknya
sesuatu melalui mulut dengan cara menelan walaupun yang ditelan bukan makanan
atau minuman
c. Makan dan
minum karena menganggap masih malam tapi kenyataan telah terbit fajar atau
menganggap maghrib telah tiba tapi kenyatannya masih sore
d. Muntah yang
disengaja. Jika muntah tidak disengaja maka puasanya tetap sah
e. Mengalami haidl
dan nifas di siang hari puasa, walaupun waktunya hampir masuk maghrib
f. Istimna’ (sengaja
mengeluarkan air mani), disebabkan oleh mencium, merangkul istri, onani dan
masturbasi. Sedangkan keluar air mani semata-mata karena melihat lawan jenis di
siang hari atau karena ihtilam (mimpi basah), tidak memba-talkan puasa,
begitu pula keluar air madzi atau air wadzi[49]
g. Berniat
membatalkan puasa maka puasanya secara otomatis dapat dihukumi batal, walaupun
tidak melakukan sesuatu seperti makan, minum, jima’, dan hal-hal yang
membatalkan puasa lainnya.[50]
2. Perbuatan
yang membatalkan puasa sehingga mewajibkan qodlo’ dan kaffarat (denda).
Perbuatan yang masuk dalam hal ini adalah orang yang melakukan jima’
(kumpul suami istri atau bersenggama) di siang hari bulan Ramadlan secara
sengaja maka puasanya menjadi batal dan sekaligus dia diwajibkan mengqodlo’
puasa yang batal tersebut dan membayar kaffarat. Adapun kaffarat
yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:[51]
a. Memerdekakan
budak (hamba sahaya),
b. Bila tidak
mampu, maka berpuasa dua bulan berturut-turut,
c. Bila tidak
mampu, maka memberikan makanan bagi 60 orang miskin dan setiap orang miskin
diberikan 1 mud atau skitar 6 ons, untuk lebih hati-hati bisa
dilebihkan.[52]
Menurut
jumhur ulama (Syafi’i, Abu Hanifah, pendapat yang masyhur dari madzhab Hambali,
as Tsauri, dan al Auza’i), pembayaran kaffarat bagi orang yang melakukan
jima’ di siang hari Ramadlan harus dilakukan secara berurutan
(memerdeka-kan budak, puasa dua bulan, dan memberi makan orang miskin).
Sedangkan menurut Imam Malik dan salah satu dari riwayat imam Ahmad, tidak
harus dilakukan secara berurutan, tetapi cukup memilih salah satu dari tiga
macam kaffarat yang di atas.[53]
J.
Orang-orang yang Mendapat Rukhshoh (keringanan) untuk Tidak
Berpuasa
Puasa Ramadlan merupakan perintah
Allah SWT. yang wajib dikerjakan setiap muslim. Namun demikian, dalam keadaan
ter-tentu seseorang mendapatkan rukhshoh atau keringanan untuk tidak
berpuasa. Dalam hal ini, setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok,[54] yaitu:
1. Boleh tidak
puasa dan wajib qodlo’ (mengganti di lain hari)
a. Orang yang
sakit dan masih ada harapan sembuh
b. Orang yang
bepergian jauh dan bukan untuk tujuan maksiat dalam jarak yang diperbolehkan qashar
shalat[55]
c. Wanita hamil
atau menyusui yang tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi dirinya saja
atau kondisi dirinya dan kondisi janin atau anaknya.
2. Boleh tidak
puasa dan wajib bayar fidyah (tebusan)
a. Orang yang
sudah lanjut usia dan berat untuk puasa
b. Orang yang
sakit dan sudah tidak ada harapan sembuh
c. Orang yang
termasuk pekerja berat yang tidak mampu ber-puasa dan tidak ada alternatif
pekerjaan lain.
3. Boleh tidak
puasa dan wajib qodlo’ sekaligus bayar fidyah
a. Wanita hamil
atau menyusui yang tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi janin dan
anaknya saja.[56]
b. Orang yang
mengakhirkan qodlo’ puasa Ramadlan hingga datang Ramadlan berikutnya.[57]
Berkaitan dengan rukhshoh
bagi wanita hamil atau menyusui untuk tidak berpuasa di bulan Ramadlan
disebabkan oleh suatu kondisi sebagaimana dijelaskan atas, maka dalam menyikapi
hal ini para ulama memberikan tiga opsi sebagai berikut:
a. Apabila dia
wanita yang sering hamil, maka seyogyanya dia cukup membayar fidyah.
Pendapat ini menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
b. Apabila dia
wanita yang tidak terlalu sering hamil dan mampu untuk mengqodlo’, maka
seyogyanya dia mengqodlo’ hutang puasanya. Pendapat ini menurut madzhab
Hanafiyah.
c. Apabila
dengan mengqodlo’, dia juga mempunyai kelebihan harta yang cukup untuk
membayar fidyah, maka seyogyanya dia mengqodlo’ puasa yang
ditinggalkan di hari lain dan juga membayar fidyah. Pendapat ini menurut
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal.[58]
Selain masalah-masalah yang telah
dijelaskan di atas, masih ada satu masalah lagi yang sering terjadi dalam puasa
Ramadlan, yaitu menqodlo’ puasa orang yang meninggal dunia (baca:
mayit). Dalam hal ini, dapat dilihat dari kemungkinan adanya kesempatan mengqodlo’
bagi si mayit sebelum meninggal. Apabila si mayit itu meninggalkan puasaa
karena adanya udzur kemudian mati sebe-lum sempat mengqodlo’nya,
misalnya udzur tersebut tetap ada sampai mati, maka ia tidak wajib mengqodlo’
dan tidak wajib bayar fidyah, kewajibannya gugur.
Namun demikian, apabila si mayit
sebelum mati ada kesempa-tan untuk mengqodlo’ tetapi tidak
mengerjakannya, maka dalam hal ini ulama ikhtilaf. Menurut jumhul ulama
(Abu Hanifah, Malik, pendapat yang masyhur dari Imam Syafi’i) walinya tidak
wajib mengqodlo’ puasanya tetapi cukup membayar fidyah,[59] yaitu memberi makan fakir
miskin sebanyak 1 mud (6 ons) setiap hari, sebanyak hari yang
tinggalkan. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hambal dan pendapat yang dipilih
dari Syafi’iyah adalah di-sunnahkan bagi walinya atau orang terdekat untuk mengqodlo’
puasa yang diting-galkan dan tidak perlu memberi makan fakir miskin. Hal ini
dimaksudkan untuk melepaskan tanggungan si mayit.[60]
K. Hikmah Puasa
Hikmah puasa adalah manfaat yang
dapat diambil dari menger-jakan puasa ditinjau dari segi lahir dan bathin.
Banyak hikmah yang terkandung dalam syari’at puasa kepada umat manusia agar
mencapai derajat takwa. Adapun hikmah puasa yang dimaksud diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT
2. Melatih
kesabaran, disiplin waktu, kuat kemauan, dan menepati janji yaitu aspek
pembinaan kemauan (tarbiyatul iradah)
3. Sebagai
perisai (junnah) dari api neraka[61]
4. Menjadikan
tubuh menjadi sehat dan kuat[62]
5. Meningkatkan
kualitas aspek rohani dan jasmani[63]
6. Sebagai
upaya membersihkan diri (tazkiyatun nafs) dengan manta’ati perintah
Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya serta melatih diri menuju kesempurnaan
beribadah kepada-Nya
7. Menumbuhkan
sikap persamaan derajat, perasaan kasih sayang, dan sikap kepadulian antar
sesama, karena dengan ber-puasa akan merasakan lapar dan haus, akan
mengingatkan kita kepada fakir miskin yang senantiasa hidup dalam serba
kekurangan
8. Menahan diri
dari perbuatan-perbuatan maksiat, khususnya hawa nafsu atau syahwat
berhubungan dengan lawan jenis (jima’).
***Semoga
Bermanfaat***
[1] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, hal.
804
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Jld. I, hlm. 364. Muhammad Ali as
Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min al Qur’an, Juz. I,
hlm. 188.
[3] Puasa bukan ibadah baru karena semenjak dulu kala menusia telah
mengenal puasa. Sebut saja agama Nasrani misalnya, mereka diwajibkan puasa
Ramadlan tetapi mereka merasa keberatan karena tidak kuat dengan kondisi cuaca
yang panas, akhirnya mereka sepakat untuk memindah waktu puasanya pada musim
bunga (Rabie’) dengan menambah 20 hari, sehingga jumlah puasanya menjadi
50 hari dalam setahun. Puasa yang dilakukan oleh mereka (Nasrani) dimulai sejak
tidur malam. Jadi, begitu seseorang bangun tidur maka ia tidak boleh lagi
makan, minum, dan kumpul suami istri (jima’), sekalipun fajar belum
menyingsing. Orang-orang Yahudi juga diwajibkan puasa Ramadlan, tetapi mereka
mengganti dengan puasa satu hari dalam setahun, yaitu puasa Asyuro’.
Selengkapnya silahkan baca Muhammad Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir
Ayat al Ahkam min al Qur’an, hlm. 193 dan 197. Bandingkan dengan Sayyid Abu
Bakar, I’anah at Tholibin, Juz. II, hlm. 215.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh as
Sunnah, hlm. 366.
[5] Sayyid Abu Bakar, I’anah at
Tholibin, Juz. II, hlm. 215.
[6] Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayah al Akhyar fiy
Ghoyah al Ikhtishar, (Semarang: Thaha Putra, tth), Juz. I, hlm. 204.
[7] Lihat M. Ihya’ Ulumiddin, Risalah Ringkas Puasa Romadlon, hlm.
19-20.
[8] Orang sakit yang dimaksud adalah orang yang sakit parah, jika orang
tersebut tetap berpuasa maka akan menambah parah penyakit yang dideritanya atau
dikhawatirkan akan memperlambat kesembuhannya. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh as
Sunnah, hlm. 373.
[9] Orang yang bepergian dalam rangka untuk kebaikan atau hal-hal yang mubah
(boleh) dan dalam jarak yang jauhnya memenuhi persyaratan qoshor dalam sholat,
Adapun jarak tempuh yang diperbolehkan mengqoshor sholat, menurut jumhur ulama
(selain madzhab Hanafi) sejauh 4 barid = 16 farsakh = 48 mil
hasyimi = 88,704 km. Selengkapnya baca Tim Penyusun, Panduan Ibadan Puasa
dan Zakat, (Surabaya: Laziz al Haromain, tth), hlm. 8.
[10] Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, (Damaskus:
Maktab al Fiha’, 1994), Juz. I., hlm. 280.
[11] Sayyid Sabiq,Fiqh as Sunnah,
hlm. 367. Silahkan lihat juga M. Ihya’ Ulumiddin, Risalah Ringkas
Puasa Romadlon, hlm. 24-25.
[12] Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Beirut:
Dar al Fikr, 1989), Juz. I, hlm.598.
[13] Muhammad Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min
al Qur’an, hlm. 210-211. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm.
367-368.
[14] Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 368. Lihat juga Abdullah bin
Abdur Rahman bin Sholih Ali Bassam, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam,
(Riyadl: Dar as Salam, 2000), Juz. I, hlm. 412.
[15] Selengkapnya baca Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa
Adillatuhu, hlm. 610. Muhammad Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir
Ayat al Ahkam min al Qur’an, hlm. 211. Bandingkan dengan Abdullah bin Abdur
Rahman bin Sholih Ali Bassam, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam, hlm.
412.
[16] ......صُوْمُوْا لِــرُؤْيَــتِهِ وَأَفْـطِـرُوْا
لِــرُؤْيَــتِهِ (Berpuasalah kalian karena melihat hilal....)
[17] Ibid.
[18] Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm.
279.
صُوْمُوْا
لِــرُؤْيـَـتِهِ وَأَفْـطِـرُوْا لِــرُؤْيَــتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ
فَأَكْـمِلُوْا عِدَّةَ شَـعْــبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Berpuasalah
kalian karena melihat hilal (bulan sabit) dan berbukalah (lebaran) karena melihat hilal,
Jika tidak nampak (hilal terhalang mendung) atas kalian maka
sempurnakanlah hitungan hari bulan Sya’ban menjadi (genap) 30 hari”.
Abdullah bin
Abdur Rahman, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam, hlm. 411-412.
Bandingkan dengan Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm.
280.
[20] Abdullah bin Abdur Rahman, Taysir al Allam.... hlm. 412. Baca
juga M. Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan, hlm. 210., Muhammad Ali bin
Husain al Makki al Maliki, Inaroh ad Duja; Syarh Tanwir al Hija nadhm
Safinah an Naja, (Beirut: Dar al Fikr, tth), hlm. 166.
[21] Silahkan baca “Perbedaan Awal Ramadlan dan Awal Syawal”, dalam
Majalah al Haromain; Bersama Merajut Kemuliaan, Edisi 71, Juli 2012, hlm. 36.
[22] Ibrahim Muahmmad Mahmud al Hariri, Al Madkhal ila al Qawa’id al
Fiqhiyyah al Kulliyyah, (Oman: Dar Imar, 1998), hlm. 97.
[23] Karena niat itu tidak disyaratkan melafatkan (talaffudz) maka
sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang makan sahur malam hari dengan
maksud berpuasa di hari esok maka dapat menduduki kedudukan niat puasa.
Misalnya niat puasa:
نَوَيْتُ
صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَآءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ فَرْضًا
لِلَّهِ تَعَالَى
“Saya niat puasa esok hari untuk
menunaikan kewajiban bulan Ramadlan tahun ini karena Allah ta’ala”. Selengkapnya baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 370.
[24] Muhammad Ali bin Husain al Makki al Maliki, Inaroh ad Duja; Syarh
Tanwir al Hija nadhm Safinah an Naja, hlm. 170. Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad al Husaini, Kifayah al Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, hlm.
205.
[25] Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm.285-286.
[26] Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayah al Akhyar fiy
Ghoyah al Ikhtishar, hlm. 204.
[27] Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,
hlm. 371.
[28] Menurut Imam al Qurthuby, sebagaimana dikutib oleh Ali as Shobuni
dalam bukunya Tafsir Ahkam, membagi orang sakit menjadi dua macam; 1]
orang sakit yang tidak mampu berpuasa seketika itu, maka dia wajib berbuka
(tidak puasa), 2] orang sakit yang tidak mampu berpuasa karena merasa berat
atau masyaqqat, maka disunnahkan untuk tidak melanjutkan puasanya. M.
Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min al Qur’an, hlm.
203.
[29] Menurut jumhur ulama (selain Ahmad Ibn Hambal), seorang musafir
jika masih kuat untuk berpuasa maka lebih baik tetap berpuasa (QS. Al
Baqarah:183), tetapi jika perjalanan itu membuat musyaqqat maka lebih
baik ifthar atau tidak berpuasa. Sedang menurut Imam as Syaukani, jika
seseorang yang melakukan perjalanan jauh tetap memilih berpuasa akan
menimbulkan ujub dan riya’, maka ia lebih baik ifthar,
jika sepi dari sifat ujub dan riya’ maka lebih baik berpuasa.
Baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,
hlm. 373.
[30] Syarat wajib puasa poin d, e, dan f, berdasarkan QS. Al Baqarah: 184.
[31] Hal-hal yang berkaitan dengan syarat wajib puasa ini silahkan dibaca
pada Muhammad Ali bin Husain, Inaroh ad Duja; Syarh Tanwir al Hija nadhm
Safinah an Naja, hlm. 179. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 370. Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah
al Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, hlm. 204.
[32] Artinya waktu melakukan puasa tidak bertepatan dengan hari-hari yang
diharamkan berpuasa seperti, puasa pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul
adha), puasa pada hari tasyrik yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah dan
lain-lain. Baca Muhammad Ali bin Husain al Makki al Maliki, Inaroh ad Duja;
Syarh Tanwir al Hija nadhm Safinah an Naja, (Beirut: Dar al Fikr, tth),
hlm. 168-169.
[33] Perbuatan-perbuatan yang disunnahkan (adab) dalam puasa
selengkapnya baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 385-388.
“Manusia
senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”
Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah al
Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, Juz. I, hlm. 207.
[35] Berdasarkan hadis: لَايَزَالُ النَّاسُ بـِخَيْرٍ مَاعَجَّلُوا
الْفِطْرَ وَأَخَّرُوا السُّحُوْرَ (رواه أحمد)
“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama
mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan makan sahur”.
Abdullah bin
Abdur Rahman, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam, hlm. 437. Lihat juga Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah
al Akhyar ..., hlm. 208.
[36] Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm.
283
[37] Abdullah bin Abdur Rahman, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam,
hlm. 416. Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm.
288. M. Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam, hlm. 212.
[38] Kata “Tarawih” adalah jama’ dari tarwihatun yang
berarti istirahat. Penggu-naan kata ini sebagai istilah dalam qiyamu
Ramadlan karena setiap empat raka’at dan dua salam, para jama’ah melakukan
istirahat sejenak kemudian melanjutkan kembali sampai selesai.
[39] Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm.
179. Bandingkan dengan Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 174.
[40] Silahkan lihat Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 175.
[41] Hal ini khusus bagi penduduk
Madinah, karena mereka ingin menyamakan diri dengan penduduk di Makkah yang
melakukan 20 raka’at, akan tetapi penduduk Makkah shalat tarawih diselingi
dengan thawaf sebanyak 7 kali setiap kali dapat empat raka’at dua salam.
Sedangkan penduduk Madinah untuk melakukan seperti yang ada di Makkah (thawaf 7
kali) tidak bisa karena ka’bah berada di Makkah. Oleh karena itu mereka,
penduduk Madinah, mengganti thawaf 7 kali itu dengan shalat empat raka’at.
Jadi, kalau di Makkah thawaf 38 kali, sedangkan di Madinah menambah jumlah
raka’at shalat sebanyak 16 raka’at, sehingga jumlah keseluruhan shalat tarawih
menjadi 36 raka’at. Sayyid Abu Bakar, I’anah at Tholibin, (Surabaya: al
Hidayah, tth), Juz. I, hlm. 265.
[42] Pada awalnya shalat tarawih itu jumlahnya ada 11 raka’at dan
bacaan suratnya panjang-panjang sehingga shalat itu membutuhkan waktu yang
lama. Kemudian para shahabat mengurangi bacaan yang panjang itu diganti dengan
menambah jumlah raka’at menjadi 20 raka’at dan menambah witir dengan
bacaan yang sedang, tidak terlalu panjang dan tidak juga terlalu pendek. Sebagian
ulama menafsirkan bahwa sholat tarawih yang masuk kategori masnunun
(disunnahkan, yang dikerjakan oleh Nabi SAW) adalah 11 raka’at plus shalat
witir, sedangkan lebihnya termasuk mustahabbun (perbuatan sunnah yang
dilakukan oleh para sahabat dan dibenarkan atau diakui kebenarannya oleh Nabi).
Jadi, shalat tarawih yang masnunun ada 8 raka’at dan mustahabbun
adan 12 raka’at. Selengkapnya Baca Sayyid
Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm.
174-175.
[43] Menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i, mencium istri atau lain jenis dan
hal-hal yang senada dengannya bagi orang yang berpuasa, jika menimbulkan
syahwat maka hukumnya makruh. Jika tidak menimbulkan syahwat maka tidak makruh,
tetapi lebih baik ditinggalkan saja. Baca Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’
wa al Marjan, hlm. 287. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Juz. I, hlm. 388.
[44] Ulama ikhtilaf (berbeda pendapat) dalam hal madlmadloh
atau istinsyaq yang airnya sampai pada tenggorokan dan dilakukan
dengan tanpa sengaja. Menurut imam al Auza’i, Ishaq, dan Syafi’i, tidak
membatalkan puasa. Sedangkan menurut imam Malik dan Abu Hanifah, hal tersebut
membatalkan puasa karena sama dengan sengaja minum. Baca Sayyid Sabiq, Fiqh
as Sunnah, Juz. I, hlm.
390.
[45] Muhammad Ali bin Husain al Makki al Maliki, Inaroh ad Duja; Syarh
Tanwir al Hija nadhm Safinah an Naja, hlm. 177.
[46] Perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan dalam puasa selengkapnya
silahkan baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Juz. I, hlm. 388-392.
Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, hlm. 631-640.
[47] Perbuatan-perbuatan yang dimakruhkan dalam puasa selengkapnya silahkan
baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,
Juz. I, hlm. 388-392.,
Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, hlm. 631-640.
[48] Batas waktu mengqodlo’ atau bayar kaffarat puasa
Ramadlan atas puasa yang ditinggalkan atau pelanggaran yang dilakukan relatif
cukup panjang, yaitu sejak hari kedua bulan Syawal sampai menjelang Ramadlan
berikutnya. Sementara menyege-rakan qodlo’ atau bayar kaffarat
hukumnya sunnah. Dalam hal meng-qodlo’ puasa Ramadlan boleh dilakukan
secara berturut-turut atau secara terputus-putus, yang jelas sebelum Ramadlan
berikutnya hutang puasanya sudah lunas. Silahkan baca Sayyid Sabiq, Fiqh as
Sunnah, Juz. I, hlm. 397.
[49] Air madzi adalah air yang keluar dari jalan depan (qubul)
setelah memuncak-nya syahwat. Sedangkan air wadzi adalah air yang keluar
dari jalan depan akibat kelelahan atau kecapekan. Keduanya mempunyai ciri dan
tanda yang berbeda dengan air mani. Kalau air mani cirinya agak
kentel dan sedikit bau, sedangkan air madzi dan wadzi sebaliknya.
[52] Menurut jumhur ulama, kewajiban membayar kaffarat dibebankan
kepada keduanya, suami istri. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, bayar kaffarat
dibebankan kepada suami saja, tidak kepada istri. Masih menurut jumhur ulama
bahwa kewajiban membayar kaffarat sesuai dengan jumlah pelanggaran karena puasa
yang dilakukan setiap hari itu dikategorikan sebagai ibadah mustaqillah
(berdiri sendiri). Sementara menurut Imam Abu Hanifah, kewajiban membayar
kaffarat cukup satu kali, walaupun pelanggarannya berulang-ulang. Selengkapnya
silahkan baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Juz. I, hlm. 395.
Bandingkan dengan Sayyid Abu Bakar, I’anah at Tholibin, Juz. II, hlm.
239.
[53] Abdullah bin Abdur Rahman, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam,
hlm. 421. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Juz. I, hlm. 395-396.
Sayyid Abu Bakar, I’anah at Tholibin, Juz. II, hlm. 240.
[54] Selengkapnya bisa dibaca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Juz. I,
hlm. 371-375.
[55] Orang yang sakit dan orang bepergian jauh bila tetap menjalankan
puasa, maka puasanya sah, hanya saja terbilang melakukan khilaful aula
(berbeda dengan yang lebih utama) karena tidak menerima rukhshoh yang
diberikan oleh Allah SWT.
[56] Selengkapnya baca M. Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat
al Ahkam min al Qur’an, hlm. 209. Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah al
Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, Juz. I, hlm. 213.
[57] Menurut madzhab Hanafi, orang yang mengakhirkan qodlo’ puasa
Ramadlan sampai masuk bulan Ramadlan berikutnya, baik karena ada udzur syar’i
ataupun tidak, maka cukup mengqodlo’ puasanya saja dan tidak perlu
membayar fidyah. Pendapat ini diikuti oleh Imam Malik, Syafi’i, dan
Ahmad. Akan tetapi mereka (Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad) berbeda pendapat,
jika mengakhirkan qodlo’ puasa itu tidak ada udzur syar’i, maka
menurut mereka wajib membayar fidyah di samping qodlo’. Sayyid
Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 397. Bandingkan dengan Sayyid Abu Bakar, I’anah
at Tholibin, Juz. II, hlm. 242.
[58] Agung Cahyadi, Panduan Ibadah Ramadhan, (Surabaya: CV Ashkaf,
2010), hlm. 15-16. Lebih lengkapnya silahkan baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 372.
[59] Rasulullah SAWbersabda: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ
كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا “Barangsiapa mati dan ia meninggalkan kewajiban puasa
sebulan, hendaklah (wali atau kerabat dekatnya) memberikan makan kepada
orang miskin sebagai gantinya setiap hari”. (HR. Ibnu Majah). Wahbah al
Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, hlm. 681.
[60] Rasulullah SAWbersabda: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ “Barangsiapa mati
meninggalkan kewajiban (qodlo’) puasa, hendaklah walinya berpuasa untuk
meng-gantinya”. (HR. Bukhori-Muslim). Abdullah bin Abdur Rahman, Taysir
al Allam Syarh Umdah al Ahkam, hlm. 432-435. Sayyid Sabiq, Fiqh as
Sunnah, hlm. 398. Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah al Akhyar fiy Ghoyah al
Ikhtishar, Juz. I, hlm. 212.
[61]اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ حَصِيْنَةٌ مِنَ
النَّارِ “Puasa
adalah perisai yang menjaga dari api neraka”
[62] صُوْمُوْا تَصِحُّوْا “Berpuasalah niscaya kamu akan sehat”.
Dengan berpuasa kerja pencernaan bisa istirahat sejenak, lemak-lemak yang tertimbun
bisa terpecahkan, daya tahan tubuh menjadi kuat. Oleh karena itu, puasa
dikatakan bisa mencegah berbagai macam penyakit sebagaimana dikutib oleh banyak
dokter.
[63] Manusia terdiri dari dua unsur: rohani dan jasmani. Jika unsur rohani
lebih kuat maka manusia bisa meningkat seperti posisi malaikat. Sebaliknya,
jika unsur jasma-ni lebih kuat maka manusia akan lebih mendekati posisi
binatang atau bahkan lebih rendah dari binatang, na’udzu billahi min dzalik...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar