Sabtu, 12 Juli 2014

PUASA RAMADLAN



 Ketentuan Puasa Ramadlan
A. Pengertian Puasa
Istilah Puasa (اَلصَّوْمُ/اَلصِّيَامُ) secara bahasa berasal dari akar kata; صَامَ - يَصُوْمُ - صَوْمًا/صِيَامًا, yang berarti اَلْإِمْسَاكُ (menahan) diri dari sesuatu.[1] Misalnya, seseorang menahan diri dari berbicara maka ia tidak berbicara dan apabila seseorang menahan makan maka ia tidak makan. Allah SWT berfirman dalam surat Maryam ayat 26.
"Sesungguhnya aku (Maryam) bernazar berpuasa (shoum) untuk Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (QS. Maryam: 26)
Adapun pengertian Puasa menurut istilah adalah menahan diri dari syahwat perut dan farj (makan, minum dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan biologis) serta hal-hal yang  memba-talkan selama satu hari penuh mulai terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat tertentu.[2] Allah SWT berfirman dalam surat al Baqarah ayat 187.
 “....dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam....” .(QS. Al Baqarah: 187).
Puasa adalah amalan yang langsung untuk Allah SWT. dan pahalanya dilipatgandakan dengan iradahNya. Dalam sebuah hadits Qudsi dijelaskan;
كُلُّ عَمَلِ ابـْنِ أَدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنـَّهُ لـِيْ وَأَنَا أَجْـزِيْ بِــهِ وَالصِّيَامُ جُــنَّـةٌ فَإِنْ كَانَ يَـوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَـرْفُثْ يَوْمَــئِذٍ وَلَا يَـصْخَبْ فَإِنْ سَابــَّهُ أَحَــدٌ أَوْ قَاتَــلَـهُ فَلْيَقُلْ إِنِّـيْ إِمْــرُؤٌ صَائِـمٌ (رواه مسلم)
“Semua amal anak adam untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang langsung membalasnya. Puasa itu adalah perisai. Pada hari kalian puasa janganlah kalian mengucapkan kata-kata kotor (kurang pantas didengar) dan jangan (pula) bertengkar. Jika ada seseorang mencacimu atau mengajakmu bertengkar maka katakan kepada-nya; “saya sedang puasa”. (HR. Muslim)

B. Hukum Puasa Ramadlan
  Puasa Ramadlan[3] hukumnya wajib sebagai rukun Islam yang keempat yang disyari’atkan (diwajibkan) di Madinah tepat pada hari Senin tanggal 2 Sya’ban tahun kedua Hijriyah.[4] Rasulullah Muhammad SAW. selama hidupnya hanya melaksanakan puasa Ramadlan sebanyak 9 kali; 8 kali diantaranya dilaksanakan secara naqish (29 hari) dan 1 kali secara sempurna (30 hari).[5] Namun demikian, puasa naqish pahalanya sama dengan puasa sempurna. 
Adapun dasar hukum kewajiban menjalankan syari’at puasa Ramadlan adalah al Qur’an, Hadits dan ijma’ ulama. Allah SWT. berfirman dalam surat al Baqarah ayat 183:
 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. al Baqarah: 183)
Dasar hukum kewajiban menjalankan syari’at puasa Ramadlan dari Hadits diantaranya adalah sabda Rasulullah SWT:
بـُـنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْـسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَّ إِلــَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيـْتَاءِ الــزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَـيْتِ (رواه متفق عليه) 
“Islam dibangun atas lima perkara; bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadlan dan haji ke Baitullah”. (HR. Muttafaqun alaih)
Selain dari dua dasar di atas (al Qur’an – al Hadits), juga diper-kuat dengan ijma’ ulama (kesepakatan ulama) bahwa puasa Ramadlan adalah salah satu rukun Islam yang lima yang wajib dilaksanakan dari agama secara daruri. Kewajiban ini dibebankan kepada orang Islam yang berakal, baligh, sehat-kuat, tidak beper-gian dan suci dari haidl dan nifas bagi wanita.[6] Barang siapa yang mengingkari akan kewajiban syari’at puasa Ramadlan maka dapat dihukumi kafir, keluar dari Islam.
Kewajiban menjalankan puasa Ramadlan ini, jika dikaitkan dengan kaum muslimin sebagai golongan yang dikenai khithab puasa, setidaknya dapat dibagai menjadi tiga kelompok:[7]
1.    Orang yang tidak bepergian, kuat menjalankan puasa, baginya wajib melakukan puasa sebulan penuh. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. dalam surat al Baqarah ayat 185.
Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan maka hendak-lah ia berpuasa”. (QS. al Baqarah: 185)
Jika dia meninggalkan puasa sehari tanpa udzur maka gantinya tidak cukup dengan puasa setahun di samping kelak akan menerima siksaan dari Allah SWT. yang pedih.  Hal ini berda-sarkan hadits Nabi SAW:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَمَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ (رواه البخاري)
“Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa ada rukhshoh dan sakit, maka tidak bisa diqodlo’ dengan melakukan puasa setahun”. (HR. Bukhari)

2.    Orang yang sakit[8] dan orang yang bepergian.[9] Baginya boleh tidak berpuasa, namun wajib mengganti di hari yang lain. Termasuk dalam kategori kelompok ini adalah wanita haidl dan nifas. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. dalam surat al Baqarah ayat 185.
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan diantara kamu maka wajib baginya berpuas  sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. al Baqarah: 185) 
Menurut Dawud ad Dhahiri, orang yang sakit dan bepergian tidak boleh berpuasa karena keduanya wajib mengqodlo’ puasanya di hari yang lain.
3.    Orang yang bisa menjalankan puasa tetapi sangat berat karena suatu sebab yang tidak dapat dihilangkan, seperti orang yang sudah tua renta, sakit yang melumpuhkan, pekerjaan yang sangat berat (seperti memecah batu, sopir truk/bus lintas propinsi dan tidak ada pekerjaan lain). Baginya boleh tidak berpuasa dan cukup membayar fidyah, yaitu memberikan makan seorang miskin satu mud (6 ons) setiap hari. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. surat al Baqarah ayat 184.
”Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin”. (QS. al Baqarah: 184)



C. Penetapan Awal dan Akhir Ramadlan
Untuk menjalankan kewajiban puasa Ramadlan maka terlebih dahulu kita harus mengetahui waktu awal dan akhir Ramadlan. Untuk mengetahui hal tersebut, setidaknya ada dua metode yang dapat dijadikan dasar oleh para ulama, yaitu:
1.    Metode Ru’yatul Hilal (melihat bulan sabit)
Untuk menetapkan awal dan akhir Ramadlan maka metode yang paling utama adalah Ru’yatul Hilal (melihat munculnya bulan sabit secara langsung) atau yang lebih dikenal dengan sebutan ru’yah. Metode ini telah disepakati oleh seluruh ulama Islam yang dapat diperangungjawabkan. Ru’yah dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban atau 29 Ramadlan. Jika ru’yah tidak berhasil maka awal dan akhir Ramadlan ditetapkan dengan cara ikmal sya’ban atau ikmal Ramadlan (menyempurnakan bulan Sya’ban atau Ramadlan 30 hari). Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT. surat al Baqarah ayat 185, sebagaimana dijelaskan di atas. Selain firman Allah SWT. di atas juga diperkuat oleh hadis  Nabi SAW bahwa:[10]
صُوْمُوْا لـِـرُؤْيـَـتِهِ وَأَفْـطِـرُوْا لـِـرُؤْيـَـتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْـمِلُوْا عِدَّةَ شَـعْــبَانَ ثَلاَثِيْنَ (رواه البخاري ومسلم)
Berpuasalah kalian karena melihat hilal (bulan sabit) dan berbukalah (lebaran) karena melihat hilal, Jika tidak nampak (hilal terhalang mendung) atas kalian maka sempurnakanlah hitungan hari bulan Sya’ban menjadi (genap) 30 hari”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam redaksi hadits yang sedikit berbeda yang diriwayat-kan oleh Imam Muslim Rasulullah SAW. bersabda:
إِذَا رَأَيْــتُـمُ الْـهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيـْـتُـمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوْا ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا (أخرجه مسلم)
Jika kamu melihat bulan maka berpuasalah dan jika melihatnya pula maka berbukalah (lebaran). Jika terhalang mendung maka berpuasalah (genap) 30 hari”. (HR. Muslim)
Proses ru’yatul hilal cukup dilakukan dengan mata telanjang dan tidak harus dipaksakan memakai alat teknologi canggih. Proses ru’yatul hilal itu harus disaksikan oleh orang muslim, aqil, baligh dan adil. Mengenai berapa banyak orang yang harus melihat bulan (hilal) secara langsung itu, ulama masih ikhtilaf (berbeda pendapat). Menurut madzhab Syafi’i, cukup dengan persaksian satu orang.[11] Pembuktian persaksian harus dikuat-kan dengan ucapan: “asyhadu ....” (aku bersaksi ....), sedang menurut Madzhab Maliki tidak harus dikuatkan.[12] Akan tetapi untuk menentukan akhir bulan Ramadlan minimal harus disaksikan oleh dua orang,[13] untuk lebih hati-hati.
Dalam metode ru’yatul hilal ini ulama masih terjadi ikhtilaf, setidaknya ada dua; Pertama, ulama yang memakai prinsip wihdatul matholi’ (kesatuan tempat munculnya bulan). Artinya bahwa apabila ada seorang muslim melihat bulan di suatu daerah maka umat Islam di seluruh dunia wajib melaku-kan puasa dan berlebaran secara serentak. Pendapat ini di dukung oleh jumhur ulama (madzhab Maliki, Hanafi dan Hambali).[14]
Kedua, ulama yang memakai ikhtilaful matholi’ (perbedaan tempat munculnya bulan). Artinya bahwa apabila telah terbukti ada seorang muslim melihat bulan di suatu daerah maka daerah yang berdekatan dengan yang bersangkutan wajib melakukan puasa dan berlebaran berdasarkan bukti tersebut. Jarak yang berdekatan itu dapat diukur dengan ukuran satu mathla’ (tempat terbinya bulan), yaitu skitar radius 24 farsakh (1 farsakh = 5544 m) x 24 = 133,056 km. Sedangkan penduduk yang berada di daerah yang jauh, maka tidak wajib berpuasa dan berlebaran karena perbedaan mathla’. Pendapat ini di dukung oleh mazhab Syafi’i, Ibnu Taimiyah, Ishaq bin Rohuyah dan al Qasim bin Muhammad.[15]
Dari dua pendapat ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat pertama bersandarkan kepada nash[16] dan qiyas (negeri yang jauh kepada negeri yang dekat dengan ru’yah), juga mengambil istimbath hukum dari tahqiqul manath (harus disesuaikan dengan fakta hukum), sedangkan tahqiqul manath memerlukan pengetahuan tentang hakikat kenyataan masalah ini, bukan hanya terpaku pada nash-nash yang ada. Sekarang diketahui bahwa munculnya hilal pada waktu yang sama untuk seluruh daerah di muka bumi, sedangkan ru’yah-nya jelas berbeda tergantung tempatnya di mana melihat bulan. Pendapat kedua, di samping bersandar pada nash[17] dan qiyas (kepada mathla’ matahari dalam penetapan sholat), juga berdasarkan fakta yang logis bahwa permulaan bulan itu bisa berbeda menurut perbedaan negeri.

2.    Metode Hisab (perhitungan ilmu falak )
Penetapan awal dan akhir Ramadlan tidak didasarkan atas ketentuan ilmu hisab (ilmul falak), karena syara’ telah menentu-kan hukum tersebut dengan ru’yatul hilal, meskipun disadari bahwa ilmu hisab itu berperan penting dalam membantu proses ru’yatul hilal. Hal ini karena Islam memberikan alternatif lain yaitu ikmalus Sya’ban dan ikmalur Ramadlan (menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban dan Ramadlan menjadi 30 hari). Namun demikian, ada sebagian ulama yang menggunakan dan mengang-gap sah metode ini untuk digunakan sebagai penetapan awal dan akhir Ramadlan, diantaranya Imam Ibnu Qutaibah, Imam ad Dawudi, Abul Abbas bin Syuraih, dan Imam Muthorif bin Abdi (tokoh tabi’in). Mereka menggunakan metode ini dengan berda-sarkan kepada hadits Nabi SAW:[18]
لَاتَـصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْـهِلاَلَ وَلَاتُــفْطِـرُوْا حَتَّى تَـرَوْهُ فَإِنْ غُـمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْـدُرُوْا لَهُ (رواه البخاري ومسلم)
Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal, dan janganlah kamu berbuka (lebaran) sebelum melihat hilal, dan jika mendung menyelimuti kalian, maka perkirakanlah hilal itu”. (HR. Bukhari-Muslim)
Menurut mereka makna lafat  فَاقْـدُرُوْا لَهُ  (maka perkirakanlah hilal itu) itu adalah perkirakanlah hilal itu dengan ilmu hisab atau falak. Akan tetapi, menurut mayoritas ulama atau fuqaha’ yang dimaksud adalah menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban atau Ramadlan menjadi genap 30 hari.[19] Karena menurut mayoritas ulama, ilmu hisab hanya sebagai pelengkap atau pendukung pada metode ru’yatul hilal saja, bukan sebagai penentu atau penetap awal dan akhir bulan.[20]
Dari sini dapat timbul perbedaan antara metode ru’yatul hilal dan metode hisab. Hal ini bisa dimaklumi karena metode ru’yatul hilal bersandar pada perputaran bulan, sedangkan metode hisab bersandar pada perputaran matahari. Maka dari itu, jika terjadi kontradiksi antara hasil ru’yatul hilal atau ikmal Sya’ban wa Ramadlan (menyempurnakan hitungan genap bulan Sya’ban dan Ramadlan menjadi 30 hari), maka menurut mayoritas ulama yang diambil dan dapat digunakan sebagaipenetapan awal dan akhir bulan adalah ru’yatul hilal atau ikmal Sya’ban wa Ramadlan sesuai dengan hadits Nabi SAW. di atas.
Terlepas dari perbedaan pandangan ulama tentang penetapan awal da akhir Ramadlan, penting untuk dicatat dan demi menjaga persatuan ummat Islam, mayoritas ulama tidak menganggap adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya bulan) yakni, jika salah satu daerah telah benar-benar melihat bulan maka yang lain juga harus ikut, asalkan berada di bawah kekuasaan satu hakim (pemerintah yang sah) dan ada pernyataan isbat (penetapan hukum) dari pemerintahan tersebut, kalau di Indonesia yang ber-wenang adalah Kemenag.[21] Karena masalah ini untuk sementara masih belum bisa lepas dari perbedaan, maka hendaknya ada upaya kesatuan dalam menentukan awal atau akhir Ramadlan.
Terlepas dari perbedaan di atas, yang bisa berperan dalam penyatuan ummat Islam adalah institusi hakim agama, setidaknya mewakili umat Islam. Dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan bahwa:
حُــكْمُ الْحَــاكِــمِ يَــرْفَــعُ الْخِــلاَفَ
Keputusan hakim menghilangkan khilaf (perbedaan)”
Bahkan kalau ada khilafah Islamiyah, maka jika ada satu orang di suatu daerah yang benar-benar dapat melihat bulan maka seluruh daerah di muka bumi, setelah ada pernyataan isbat dari khalifah, wajib ikut baik awal puasa (berpuasa) maupun akhir puasa (lebaran), sehingga tidak akan terjadi perbedaan yang men-jurus pada pertentangan seperti akhir-akhir ini. Mengupayakan kesatuan dalam mengawali puasa dan dalam mengakhiri puasa (lebaran) adalah merupakan isyarat dari hadits Nabi SAW:
اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ (رواه الترمذى)
Puasa itu pada hari kalian berpuasa dan hari raya fithri pada hari kalian berlebaran dan hari raya adlha itu ketika kalian menyem-belih binatang kurban”. (HR. Tirmidzi)
Dalam hadits lain Rasulullah SAW. juga pernah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْجَــمَاعَةِ فَــإِنَّــمَا يَــأْكُلُ الذِّئْـبُ مِــنَ الْغَــنَمِ الْقَـاصِــيَـةِ
Kalian harus bersama kaum mayoritas (berjama’ah), sesungguh-nya serigala akan memakan kambing yang menjauh (menyendiri) dari kelompoknya”.
Di samping itu, dalam kaidah fiqh juga dijelaskan bahwa:[22]
دَرْءُ الْمَــفَاسِـدِ أَوْلَى عَـلَى جَــلْبِ الْمَــصَالِــحِ
Menolak kerusakan itu adalah lebih utama (didahulukan) dari pada menarik kebaikan”.

D. Rukun Puasa
Setiap muslim yang menjalankan puasa, hendaknya mengeta-hui rukun puasa, yaitu hal-hal yang harus dipenuhi oleh orang yang berpuasa. Jika salah satu rukun tidak terpenuhi maka tidak sah puasanya. Adapun rukun puasa yang dimaksud adalah seba-gai berikut:
1.    Niat
Niat adalah keinginan (maksud) hati yang kuat untuk melaksa-nakan perintah dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّــيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ إمْرِءٍ مَانَوَى (رواه البخاري ومسلم)
Segala perbuatan itu hanyalah (tergantung) pada niatnya dan setiap segala sesuatu (tergantung) pada niatnya”. (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam niat tidak disyaratkan melafatkannya karena niat tem-patnya di hati. Menurut jumhur ulama (selain madzhab Maliki) melafatkan niat itu  hukumnya disunnahkan.[23]  Sedangkan  niat
puasa dilakukan sebelum terbit fajar setiap malam sepanjang Ramadlan.[24] Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ (رواه أحمد)
Barangsiapa yang tidak mengukuhkan niat dan tujuan puasa sebelum terbit fajar maka tidak sah puasanya”. (HR. Ahmad)
Untuk lebih berhati-hati, hendaknya pada awal bulan Ramadlan berniat puasa sebulan penuh, di samping setiap malam tetap berniat, demi menjaga kemungkinan lupa.
2.    Imsak (menahan diri)
Imsak dalam istilah puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa (seperti makan, minum, dan hubungan suami istri/jima’) sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat yang kuat. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW:[25]
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا اَقْبَلَ اللَّيْلُ وَاَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ اَفْطَرَ الصَّائِمُ (رواه مسلم)
Saya mendengar Nabi SAW. bersabda’ apabila malam datang dan siang lenyap serta matahari terbenam, sesungguhnya telah datang waktu berbuka bagi orang yang berpuasa”. (HR. Muslim)

E. Syarat Puasa
Setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam melaksa-nakan ibadah puasa. Dua syarat yang dimaksud adalah syarat wajib puasa dan syarat sah puasa.

1. Syarat Wajib Puasa
Syarat wajib puasa adalah segala sesuatu yang menyebabkan seseorang wajib berpuasa. Seseorang yang belum memenuhi syarat wajib puasa maka dia tidak wajib berpuasa, tetapi dia boleh berpuasa dan mendapatkan pahala puasa. Syarat wajib puasa adalah sebagai berikut:
a.  Islam
Bagi orang kafir tidak wajib berpuasa. Jika ia mengerjakan puasa maka puasanya tidak sah menurut syara’.
b.  Baligh
Anak kecil yang belum berumur baligh tidak wajib berpuasa.[26] Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَــةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْــقِظَ وَعَنِ الصَّغِيْرِ حَتَّى يَكْبَرَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيْقَ (رواه إبن ماجه)
Ada tiga golongan terlepas dari khithob hukum, yaitu orang tidur hingga bangun, anak-anak hingga ia besar (baligh), dan orang gila hingga ia berakal atau sadar”. (HR. Ibnu Majah)
Namun demikian, sebagai orang tua yang baik hendaknya mau mengajari anak-anaknya untuk membiasakan diri agar latihan berpuasa sejak kecil, selama dia mampu mengerjakan-nya. Jika dia merasa belum mampu berpuasa maka sebagai orang tua tidak perlu memaksanya untuk berpuasa. Jika dia berpuasa, walaupun dia belum wajib berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala puasanya.[27]
c.  Berakal
Orang gila atau hilang ingatan tidak wajib berpuasa. Sebagai-mana dijelaskan dalam hadits di atas (poin d).
d.  Sehat
Orang yang sedang sakit,[28] jika sekiranya dengan berpuasa akan menambah parah penyakit yang dideritanya maka diper-bolehkan tidak berpuasa, tetapi wajib mengganti pada lain hari.
e.  Mukim (berada di rumah)
Orang yang melakukan perjalanan jauh (musafir)[29] bukan untuk tujuan maksiat yang tidak kuat berpuasa diperbolehkan tidak berpuasa, tetapi wajib mengganti di pada hari lain.  
f.   Mampu menjalankannya
Orang lanjut usia yang tidak kuat berpuasa diperbolehkan tidak berpuasa, tetapi wajib membayar fidyah yang diperuntukan bagi fakir miskin, setiap orang 1 mud atau sekitar 6 ons.[30]
g.  Suci dari haidl dan nifas bagi wanita
Wanita yang haidl dan nifas haram melakukan puasa dan ia wajib mengganti puasa sebanyak puasa yang ditinggalkan pada hari lain.[31] Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW:
كُنَّا نُحِيْضُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَأْمُرُنَا بِقَضَآءِ  الصِّيَامِ وَلَايَأْمُرُنَا بِقَضَآءِ الصَّلَاةِ (رواه الترمذى)
Kami haidl pada masa Rasulullah SAW. lalu beliau menyuruh kami untuk mengganti puasa dan tidak menyuruh kami meng-ganti shalat”. (HR. At Tirmidzi)


2. Syarat Sah Puasa
Syarat sah puasa adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Sho’im (orang yang berpuasa) agar puasanya sah menurut syara’. Syarat-syarat sah puasa yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.    Islam
b.    Tamyis (dapat membedakan mana yang hak dan bathil)
c.     Suci dari haidl dan nifas bagi wanita
d.    Dilaksanakan pada waktu yang diperbolehkan puasa.[32]


F. Perbuatan yang Disunnahkan dalam Puasa
Sunnah puasa adalah suatu perintah berkaitan dengan puasa, jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak ber-dosa (sangat rugi, pen). Perbuatan-perbuatan sunnah dalam puasa sebagai pelengkap dan penyempurna puasa Ramadlan. Untuk  mendapatkan kesunnahan puasa maka hendaknya melakukan adab-adab/tatakrama (aturan main, pen) dalam puasa adalah: [33]
1.    Menyegerakan berbuka (ta’jilul fithri)[34]
Apabila waktu berbuka telah masuk maka hendaknya segera berbuka. Dalam berbuka hendaknya mendahukukan kurma, jika tidak ada maka berbuka dengan air. Nabi  SAW bersabda:
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلْيُفْطِرْ عَلَى التَّمْرِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ التَّمْرَ فَعَلَى الْمَاءِ فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ (رواه أحمد والترمذي)
Apabila salah satu kamu sekalian berpuasa, hendaknya berbu-ka dengan kurma, jika tidaka ada maka berbukalah dengan air karena air itu suci”.
2.    Membaca do’a setelah berbuka. Bukan dibaca sebelum atau di tengah-tengah berbuka
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْــتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى
Ya Allah, hanya untukMu saya berpuasa, dengan rizkiMu saya berbuka. Dahaga telah hilang, urat-urat telah segar, dan mudah-mudahan pahalanya ditetapkan, jika Allah ta’ala menghendaki
3.    Mengakhirkan sahur (ta’khirus sahur)[35]
Makan sahur adalah makan malam hari yang disunnahkan dan pada akhir malam menjelang terbit fajar (waktu subuh). Dalam makan sahur itu adalah suatu berkah, terutama bagi orang yang berpuasa. Keberkahan tersebut diantaranya adalah ada-nya kekuatan yang ada dalam tubuh untuk berpuasa sehari penuh. Oleh karena itu, hukum makan sahur adalah sunnah. Begitu juga mengakhirkan makan sahur termasuk perbuatan yang disunnahkan. Rasulullah SAW menjelaskan dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim bahwa:[36]
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَركَةً (رواه البخاري ومسلم)
Makan sahurlah kamu karena sesungguhnya dalam makan sahur itu ada suatu keberkahan”. (HR. Bukhori-Muslim)
4.    Menjauhkan diri dari ucapan dan perbuatan yang tidak baik
Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja, tapi juga menahan diri dari perbuatan yang tidak baik, seperti ucapan yang keji dan perbuatan yang tidak baik menurut syara’. Dalam kenyataannya, banyak orang berpuasa tetapi mereka tidak mampu menahan diri dari perbuatan yang keji. Hal ini dapat mengurangi, untuk tidak mengatakan menghilangkan sama sekali, akan pahala puasanya. Rasulullah SAW. bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ (رواه النسائي وابن ماجة والحاكم)
Berapa banyak orang yang berpuasa, baginya tidak mendapat-kan apa-apa (pahala) dari puasanya kecuali lapar, dan berapa banyak orang qiyamul lail (ibadah di malam hari), baginya tidak mendapatkan apa-apa (pahala) dari qiyamul lail itu kecuali (sekedar) berjaga malam ”. (HR. An Nasa’i, Ibn Majah, al Hakim)
5.    Mandi janabah, haidl dan nifas sebelum terbit fajar.
Orang yang berpuasa harus suci dari keadaan junub, baik karena ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki, haidl dan nifas bagi wanita maupun karena faktor lain, maka disunnahkan hendaknya segera mandi atau bersesuci sebelum terbit fajar. Jika belum sempat mandi janabah sebelum terbit fajar, maka keesokan hari boleh berpuasa dan status puasanya tetap sah. Hal ini dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW: [37]
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُوْمُ (رواه متفق عليه)
Adalah Rasulullah SAW. mendapatkan waktu fajar, padahal beliau masih dalam keadaan junub dikarenakan berhubungan dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa
6.    Menggosok gigi pada waktu pagi
Pada waktu puasa disunnahkan menggosok gigi pada pagi hari dan dimaruhkan pada sore hari ketika berpuasa. Hal ini dijelaskan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits berikut:
إِنْ صُمْـتُمْ فَاسْتَاكُوْا بِالْغَدَاةِ وَلَاتَسْتَاكُوْا بِالْعَشِيِّ (رواه الطبراني)
Jika kamu berpuasa, bersiwaklah (sikat gigi) pada waktu pagi hari dan jangan bersiwak pada waktu sore”. (HR. At Thobrani)
7.    Memperbanyak shadaqoh dan membaca al Qur’an
Bershadaqah dan membaca al Qur’an disunnahkan untuk dila-kukan setiap waktu. Bershadaqah dan membaca al Qur’an lebih diutamakan lagi dilakukan pada bulan Ramadlan, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi SAW bahwa:
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ صَدَقَةُ رَمَضَانَ (رواه البيهقي والطبراني)
Sebaik-baik shadaqah adalah shadaqah di bulan Ramadlan”.
Dalam hadits lain juga dijelaskan bahwa:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فَيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ (رواه البخاري)
Rasulullah SAW. adalah orang yang paling dermawan dalam kebaikan dan lebih dermawan lagi di bulan Ramadlan ketika bertemu malaikat Jibril. Rasulullah SAW setiap malam di bulan Ramadlan selalu bertemu Malaikat Jibril dan bertadarus al Qur’an”. (HR. Bukhori)
8.    Bersungguh-sungguh dalam beribadah, lebih-lebih sepuluh terakhir dari bulan Ramadlan.
Ramadlan adalah bulan baik karena di dalamnya terdapat malam seribu bulan, yang biasa disebut lailatul qodar. Oleh  karena itu, beribadah di bulan ini harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, lebih-lebih malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadlan. Rasullullah SAW bersabda:
كَانَ إِذَا دَخَــلَ الْعَــشْرَ الْأَوَاخِــرَ أَحْــيَ الَّلــيْلَ، وَأَيْــــقَظَ أَهْــلَهُ, وَشَــدَّ الْمِئْزَرَ (رواه البخاري ومسلم)
Apabila datang (masuk) sepuluh terakhir dari bulan Ramadlan, Nabi SAW menghidupkan malam (qiyamu Ramadlan), memba-ngunkan anggota keluarganya, dan mengencangkan sarung-nya”. (HR. Bukhari-Muslim)
9.    Melaksanakan qiyamul lail (shalat malam atau tarawih)
Pada malam hari di bulan Ramadlan disunnahkan mengerjakan qiyamul lail yang sering disebut dengan shalat tarawih.[38] Hal ini dijelaskan dalam hadis Rasulullah SAW bahwa:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِيْ قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأمُرَ فِيْهِ بِعَزِيْمَةٍ فَيَقُوْلُ مَنْ قَامَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.(رواه مسلم)
Rasulullah SAW. menganjurkan sholat waktu malam hari bulan Ramadlan (qiyamu Ramadlan), tetapi tidak mewajibkannya. Beliau bersabda: ”Barangsiapa yang bangun malam pada bulan Ramadlan karena iman dan mengharap ridlo Allah semata, maka akan diampuni dari dosa-dosanya yang telah lalu”.
Dari hadits di atas dapat difahami bahwa Rasulullah SAW menganjurkan, bukan mewajibkan, ummatnya agar menghi-dupkan malam bulan Ramadlan dengan memperbanyak sholat, yang kemudian kita kenal dengan sebutan shalat tarawih.
Waktu mengerjakan shalat tarawih yaitu antara shalat isya’ sampai menjelang terbit fajar. Pada awalnya shalat tarawih itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW secara berjama’ah di masjid Nabawi. Namun setelah berjalan tiga malam secara terus menerus, malam berikutnya Rasulullah SAW membiarkan para sahabat melakukan shalat tarawih sendiri-sendiri, sebagaima-na dijelaskan Rasulullah SAW dalam hadits yang panjang:[39]
Suatu malam Rasulullah SAW keluar untuk shalat di masjid, maka ada beberapa shabat yang bermakmum kepada beliau. Keesokan harinya, berita tersebut menjadi perbincangan di antara para sahabat, sehingga malam kedua para sahabat yang ikut berjama’ah bertambah banyak. Berita tersebut bertambah ramai dalam perbincangan para shahabat, sehingga malam ketiga shahabat yang ikut berjama’ah bertambah lebih banyak lagi. Malam keempat jama’ah lebih banyak lagi dari malam ketiga sampai masjid tidak bisa menampung mereka, ternyata Rasulullah SAW tidak keluar untuk menjadi imam shalat (tarawih) malam itu, dan Rasulullah SAW  keluar untuk menjadi imam shalat subuh. Rasulullah SAW menghadap para sahabat dan bersabda bahwa: ”sesungguhnya tidak ada yang menghala-ngiku untuk shalat bersama kalian, akan tetapi saya mengkha-watirkan kalian akan menganggap bahwa shalat (tarawih) ini sebagai kewajiban dan kalian tidak akan sanggup menjalankan-nya”. (HR. Bukhori-Muslim)
Hingga di kemudian hari, fenomena shalat tarawih yang terpencar-pencar (tidak berjam’ah) seperti ini disaksikan oleh kholifah Umar bin Khotthab di masjid Nabawi, akhirnya beliau terbersit untuk menyatukan dalam satu imam (berjama’ah). Maka ditunjuklah Ubay bin Ka’ab utuk menjadi imam shalat tarawih waktu itu, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi SAW sebagai berikut:[40]
Abdurrahman bin Abd al Qori berkata: “pada suatu malam saya keluar bersama Umar bin Khotthab. Ternyata, orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendiri, ada juga yang menjadi imam dari beberapa orang. Lalu Umar bin Khotthab berkata: “saya berpendapat, seandainya mereka saya kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik. Kemudian beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam yang lain, saya pergi ke masjid lagi bersama Umar bin Khotthab dan mereka melaksanakan shalat secara berjama’ah kepada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar bin Khotthab berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, tetapi menunaikan shalat di akhir malam lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang mengerjakan shalat tarawih di awal malam”. (HR. Bukhori, Ibn Khuzaimah, Baihaqi)
Berdasarkan dua hadits di atas, para ulama sepakat bahwa shalat tarawih boleh dilakukan secara berjama’ah dan boleh dikerjakan sendiri-sendiri, akan tetapi lebih baik dikerjakan secara berjama’ah di masjid. Sedangkan hukum shalat tarawih di bulan Ramadlan adalah sunnah. 
Namun demikian, para ulama masih ikhtilaf dalam jumlah raka’at shalat tarawih. Sebagian ulama berpendapat 11 raka’at plus shalat witir, ada juga yang mengatakan 13 raka’at, ada juga yang berpendapat 23 raka’at plus witir. Bahkan, menurut Imam Malik shalat tarawih itu ada 36 raka’at.[41] Sedangkan menurut jumhur ulama, jumlah raka’at shalat tarawih adalah 20 raka’at dengan 10 salam.[42] Dengan kata lain, shalat tarawih menurut jumhur ulama dikerjakan dengan sepuluh kali salam. Jadi, cara mengerjakan shalat tarawih dikerjakan dengan dua raka’at dan setiap dua raka’at ditutup dengan satu salam.
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama di atas, kita tidak boleh terpancing dengan hal itu seperti saling menyalahkan satu sama lain, justru kita seyogyanya bisa menerima dengan perbedaan itu sebagai suatu keleluasaan bagi ummat Islam, untuk dapat memilih mana yang lebih kondusif baginya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. Hal ini sejalan dengan maqolah yang berbunyi bahwa:              إِخْتِلَافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Perbedaan diantara ummatku adalah sebuah rahmat
Oleh karena itu, semestinya kita lebih fokus kepada saudara-saudara kita yang belum sempat – untuk  tidak menga-takan; tidak mengerjakan – menjalankan shalat tarawih dengan tertib dan istiqamah, demi ikut menghidupkan atau meramai-kan malam-malam di bulan Ramadlan dengan amal shalih.  

G. Perbuatan yang Mubah (Diperbolehkan) dalam Puasa
Perbuatan yang diperbolehkan dalam puasa jumlahnya banyak sekali, diantaranya adalah sebagai berikut;
1.     Mandi dengan mengguyur kepala, keramas dan menyelam
2.     Memakai siwak, sekalipun setelah matahari condong ke barat, menurut pendapat Imam Nawawi
3.     Suntik (injeksi) dan donor darah, jika sangat diperlukan. Ada sebagian ulama menghukumi makruh dalam hal ini.
4.     Bercelak, yaitu menghias pinggiran mata dengan batu celak.
5.     Mencium istri, bersentuhan tangan, dan rangkul-merangkul bagi orang yang bisa menahan syahwatnya.[43] Sebagian ulama menetapkan hukum makruh dalam hal ini.
6.     Madlmadloh (berkumur-kumur) atau istinsyaq (menghirup air lewat hidung) asal tidak keterlaluan. Jika keterlaluan dalam sehingga airnya tertelan sampai tenggorokan, maka jika dilakukan dengan sengaja maka puasanya batal.[44]
7.     Berbekam, yaitu mengeluarkan darah dari kepala atau dari bagian tubuh yang lain
8.     Mencium bahu yang sedap, menurut Ibnu Taimiyah
9.     Mencicipi masakan bagi wanita, asal tidak ditelan. Sebagian ulama mengatakan makruh
10.    Melakukan hal-hal yang tidak bisa dihindari, seperti menelan ludah (jika masih dalam mulut), kemasukan debu jalanan atau tepung, memasukkan kembali ingus dan lain sebagainya[45]
11.    Makan, minum, dan berkumpul suami istri (jima’) hingga terbit fajar. Jika menjelang terbit fajar, ada sisa makan atau minuman di mulut maka harus dikeluarkan (dilepeh, jawa). Begitu pula jika berkumpul suami istri harus dihentikan.
12.    Pagi hari di bulan Ramadlan setelah terbit fajar masih dalam keadaan junub maka hendaknya mandi dan tetap berpuasa
13.    Wanita yang haidl atau nifas jika telah berhenti darahnya pada waktu malam hari, boleh mengakhirkan mandi janabah setelah terbit fajar dan tetap berpuasa
14.    Mencabut gigi dan memasukkan obat gigi, asal tidak masuk ke dalam perut.[46]

H. Perbuatan yang Dimakruhkan dalam Puasa

Makruh puasa adalah suatu perbuatan yang sangat dianjurkan untuk ditinggalkan bagi orang yang berpuasa, tetapi tidak berdosa (sangat rugi, pen) jika dikerjakan. Ada beberapa yang dikategori-kan sebagai perbuatan makruh pada saat orang berpuasa adalah sebagai berikut:
1.    Melakukan perbuatan yang dapat membangkkitkan syahwat, seperti melihat gambar porno, lawan jenis yang berpakaian  merangsang, dan film-film yang berbahu porno aksi
2.    Mengumpulkan ludah untuk ditelan dengan disengaja
3.    Menelan dahak setelah keluar dari kerongkongan
4.    Berlebihan dlam madlmadloh (berkumur-kumur), dan istinsyaq  (menghirup air lewat hidung)
5.    Meninggalkan sisa-sisa makanan yang terselip pada gigi
6.    Memakai wangi-wangian atau parfum di siang hari (menurut madzhab Maliki)
7.    Memperbanyak tidur di siang hari dalam keadaan berpuasa (menurut madzhab Maliki).[47]

I.  Perbuatan yang Membatalkan Puasa

Perbuatan yang membatalkan puasa setidaknya dapat dibagi menjadi dua bagian:
1.    Perbuatan yang membatalkan puasa sehingga mewajibkan qodlo’[48] (mengganti) saja. Beberapa perbuatan yang masuk dalam kategori ini adalah sebagai berikut:
a.    Makan dan minum yang disengaja. Jika tidak disengaja maka puasanya tidak batal
b.    Masuknya sesuatu melalui mulut dengan cara menelan walaupun yang ditelan bukan makanan atau minuman
c.     Makan dan minum karena menganggap masih malam tapi kenyataan telah terbit fajar atau menganggap maghrib telah tiba tapi kenyatannya masih sore
d.    Muntah yang disengaja. Jika muntah tidak disengaja maka puasanya tetap sah
e.    Mengalami haidl dan nifas di siang hari puasa, walaupun waktunya hampir masuk maghrib
f.      Istimna’ (sengaja mengeluarkan air mani), disebabkan oleh mencium, merangkul istri, onani dan masturbasi. Sedangkan keluar air mani semata-mata karena melihat lawan jenis di siang hari atau karena ihtilam (mimpi basah), tidak memba-talkan puasa, begitu pula keluar air madzi atau air wadzi[49]
g.    Berniat membatalkan puasa maka puasanya secara otomatis dapat dihukumi batal, walaupun tidak melakukan sesuatu seperti makan, minum, jima’, dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya.[50]
2.    Perbuatan yang membatalkan puasa sehingga mewajibkan qodlo’ dan kaffarat (denda). Perbuatan yang masuk dalam hal ini adalah orang yang melakukan jima’ (kumpul suami istri atau bersenggama) di siang hari bulan Ramadlan secara sengaja maka puasanya menjadi batal dan sekaligus dia diwajibkan mengqodlo’ puasa yang batal tersebut dan membayar kaffarat. Adapun kaffarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:[51]
a.       Memerdekakan budak (hamba sahaya),
b.      Bila tidak mampu, maka berpuasa dua bulan berturut-turut,
c.       Bila tidak mampu, maka memberikan makanan bagi 60 orang miskin dan setiap orang miskin diberikan 1 mud atau skitar 6 ons, untuk lebih hati-hati bisa dilebihkan.[52]
Menurut jumhur ulama (Syafi’i, Abu Hanifah, pendapat yang masyhur dari madzhab Hambali, as Tsauri, dan al Auza’i), pembayaran kaffarat bagi orang yang melakukan jima’ di siang hari Ramadlan harus dilakukan secara berurutan (memerdeka-kan budak, puasa dua bulan, dan memberi makan orang miskin). Sedangkan menurut Imam Malik dan salah satu dari riwayat imam Ahmad, tidak harus dilakukan secara berurutan, tetapi cukup memilih salah satu dari tiga macam kaffarat yang di atas.[53]

J.  Orang-orang yang Mendapat Rukhshoh (keringanan) untuk Tidak Berpuasa

Puasa Ramadlan merupakan perintah Allah SWT. yang wajib dikerjakan setiap muslim. Namun demikian, dalam keadaan ter-tentu seseorang mendapatkan rukhshoh atau keringanan untuk tidak berpuasa. Dalam hal ini, setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok,[54] yaitu:
1.    Boleh tidak puasa dan wajib qodlo’ (mengganti di lain hari)
a.       Orang yang sakit dan masih ada harapan sembuh
b.      Orang yang bepergian jauh dan bukan untuk tujuan maksiat dalam jarak yang diperbolehkan qashar shalat[55]
c.       Wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi dirinya saja atau kondisi dirinya dan kondisi janin atau anaknya.
2.    Boleh tidak puasa dan wajib bayar fidyah (tebusan)
a.       Orang yang sudah lanjut usia dan berat untuk puasa
b.      Orang yang sakit dan sudah tidak ada harapan sembuh
c.       Orang yang termasuk pekerja berat yang tidak mampu ber-puasa dan tidak ada alternatif pekerjaan lain.
3.    Boleh tidak puasa dan wajib qodlo’ sekaligus bayar fidyah
a.       Wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi janin dan anaknya saja.[56]
b.      Orang yang mengakhirkan qodlo’ puasa Ramadlan hingga datang Ramadlan berikutnya.[57]
Berkaitan dengan rukhshoh bagi wanita hamil atau menyusui untuk tidak berpuasa di bulan Ramadlan disebabkan oleh suatu kondisi sebagaimana dijelaskan atas, maka dalam menyikapi hal ini para ulama memberikan tiga opsi sebagai berikut:
a.    Apabila dia wanita yang sering hamil, maka seyogyanya dia cukup membayar fidyah. Pendapat ini menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
b.    Apabila dia wanita yang tidak terlalu sering hamil dan mampu untuk mengqodlo’, maka seyogyanya dia mengqodlo’ hutang puasanya. Pendapat ini menurut madzhab Hanafiyah.
c.     Apabila dengan mengqodlo’, dia juga mempunyai kelebihan harta yang cukup untuk membayar fidyah, maka seyogyanya dia mengqodlo’ puasa yang ditinggalkan di hari lain dan juga membayar fidyah. Pendapat ini menurut Imam Syafi’i dan  Imam Ahmad bin Hambal.[58]
Selain masalah-masalah yang telah dijelaskan di atas, masih ada satu masalah lagi yang sering terjadi dalam puasa Ramadlan, yaitu menqodlo’ puasa orang yang meninggal dunia (baca: mayit). Dalam hal ini, dapat dilihat dari kemungkinan adanya kesempatan mengqodlo’ bagi si mayit sebelum meninggal. Apabila si mayit itu meninggalkan puasaa karena adanya udzur kemudian mati sebe-lum sempat mengqodlo’nya, misalnya udzur tersebut tetap ada sampai mati, maka ia tidak wajib mengqodlo’ dan tidak wajib bayar fidyah, kewajibannya gugur.
Namun demikian, apabila si mayit sebelum mati ada kesempa-tan untuk mengqodlo’ tetapi tidak mengerjakannya, maka dalam hal ini ulama ikhtilaf. Menurut jumhul ulama (Abu Hanifah, Malik, pendapat yang masyhur dari Imam Syafi’i) walinya tidak wajib mengqodlo’ puasanya tetapi cukup membayar fidyah,[59] yaitu memberi makan fakir miskin sebanyak 1 mud (6 ons) setiap hari, sebanyak hari yang tinggalkan. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hambal dan pendapat yang dipilih dari Syafi’iyah adalah di-sunnahkan bagi walinya atau orang terdekat untuk mengqodlo’ puasa yang diting-galkan dan tidak perlu memberi makan fakir miskin. Hal ini dimaksudkan untuk melepaskan tanggungan si mayit.[60]    
K. Hikmah Puasa
Hikmah puasa adalah manfaat yang dapat diambil dari menger-jakan puasa ditinjau dari segi lahir dan bathin. Banyak hikmah yang terkandung dalam syari’at puasa kepada umat manusia agar mencapai derajat takwa. Adapun hikmah puasa yang dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT
2.    Melatih kesabaran, disiplin waktu, kuat kemauan, dan menepati janji yaitu aspek pembinaan kemauan (tarbiyatul iradah)
3.    Sebagai perisai (junnah) dari api neraka[61]
4.    Menjadikan tubuh menjadi sehat dan kuat[62]
5.    Meningkatkan kualitas aspek rohani dan jasmani[63]
6.    Sebagai upaya membersihkan diri (tazkiyatun nafs) dengan manta’ati perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya serta melatih diri menuju kesempurnaan beribadah kepada-Nya
7.    Menumbuhkan sikap persamaan derajat, perasaan kasih sayang, dan sikap kepadulian antar sesama, karena dengan ber-puasa akan merasakan lapar dan haus, akan mengingatkan kita kepada fakir miskin yang senantiasa hidup dalam serba kekurangan
8.    Menahan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat, khususnya hawa nafsu atau syahwat berhubungan dengan lawan jenis (jima’).

***Semoga Bermanfaat***



[1] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, hal. 804
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Jld. I, hlm. 364. Muhammad Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min al Qur’an, Juz. I, hlm. 188.
[3] Puasa bukan ibadah baru karena semenjak dulu kala menusia telah mengenal puasa. Sebut saja agama Nasrani misalnya, mereka diwajibkan puasa Ramadlan tetapi mereka merasa keberatan karena tidak kuat dengan kondisi cuaca yang panas, akhirnya mereka sepakat untuk memindah waktu puasanya pada musim bunga (Rabie’) dengan menambah 20 hari, sehingga jumlah puasanya menjadi 50 hari dalam setahun. Puasa yang dilakukan oleh mereka (Nasrani) dimulai sejak tidur malam. Jadi, begitu seseorang bangun tidur maka ia tidak boleh lagi makan, minum, dan kumpul suami istri (jima’), sekalipun fajar belum menyingsing. Orang-orang Yahudi juga diwajibkan puasa Ramadlan, tetapi mereka mengganti dengan puasa satu hari dalam setahun, yaitu puasa Asyuro’. Selengkapnya silahkan baca Muhammad Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min al Qur’an, hlm. 193 dan 197. Bandingkan dengan Sayyid Abu Bakar, I’anah at Tholibin, Juz. II, hlm. 215. 
[4]  Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 366. 
[5]  Sayyid Abu Bakar, I’anah at Tholibin, Juz. II, hlm. 215.
[6] Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayah al Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, (Semarang: Thaha Putra, tth), Juz. I, hlm. 204.
[7] Lihat M. Ihya’ Ulumiddin, Risalah Ringkas Puasa Romadlon, hlm. 19-20.
[8] Orang sakit yang dimaksud adalah orang yang sakit parah, jika orang tersebut tetap berpuasa maka akan menambah parah penyakit yang dideritanya atau dikhawatirkan akan memperlambat kesembuhannya. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 373. 
[9] Orang yang bepergian dalam rangka untuk kebaikan atau hal-hal yang mubah (boleh) dan dalam jarak yang jauhnya memenuhi persyaratan qoshor dalam sholat, Adapun jarak tempuh yang diperbolehkan mengqoshor sholat, menurut jumhur ulama (selain madzhab Hanafi) sejauh 4 barid = 16 farsakh = 48 mil hasyimi = 88,704 km. Selengkapnya baca Tim Penyusun, Panduan Ibadan Puasa dan Zakat, (Surabaya: Laziz al Haromain, tth), hlm. 8.
[10] Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, (Damaskus: Maktab al Fiha’, 1994), Juz. I., hlm. 280.
[11] Sayyid Sabiq,Fiqh as Sunnah,  hlm. 367. Silahkan lihat juga M. Ihya’ Ulumiddin, Risalah Ringkas Puasa Romadlon, hlm. 24-25.
[12] Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al Fikr, 1989), Juz. I, hlm.598.
[13] Muhammad Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min al Qur’an, hlm. 210-211. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 367-368.  
[14] Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 368. Lihat juga Abdullah bin Abdur Rahman bin Sholih Ali Bassam, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam, (Riyadl: Dar as Salam, 2000), Juz. I, hlm. 412.  
[15] Selengkapnya baca Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, hlm. 610. Muhammad Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min al Qur’an, hlm. 211. Bandingkan dengan Abdullah bin Abdur Rahman bin Sholih Ali Bassam, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam, hlm. 412.
[16] ......صُوْمُوْا لِــرُؤْيَــتِهِ وَأَفْـطِـرُوْا لِــرُؤْيَــتِهِ (Berpuasalah kalian karena melihat hilal....)
[17] Ibid.
[18] Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm. 279.
[19] Sesuai dengan hadits Nabi SAW:
صُوْمُوْا لِــرُؤْيـَـتِهِ وَأَفْـطِـرُوْا لِــرُؤْيَــتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْـمِلُوْا عِدَّةَ شَـعْــبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal (bulan sabit) dan berbukalah (lebaran) karena melihat hilal, Jika tidak nampak (hilal terhalang mendung) atas kalian maka sempurnakanlah hitungan hari bulan Sya’ban menjadi (genap) 30 hari”.
Abdullah bin Abdur Rahman, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam, hlm. 411-412. Bandingkan dengan Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm. 280.  
[20] Abdullah bin Abdur Rahman, Taysir al Allam.... hlm. 412. Baca juga M. Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan, hlm. 210., Muhammad Ali bin Husain al Makki al Maliki, Inaroh ad Duja; Syarh Tanwir al Hija nadhm Safinah an Naja, (Beirut: Dar al Fikr, tth), hlm. 166.
[21] Silahkan baca “Perbedaan Awal Ramadlan dan Awal Syawal”, dalam Majalah al Haromain; Bersama Merajut Kemuliaan, Edisi 71, Juli 2012, hlm. 36.
[22] Ibrahim Muahmmad Mahmud al Hariri, Al Madkhal ila al Qawa’id al Fiqhiyyah al Kulliyyah, (Oman: Dar Imar, 1998), hlm. 97.
[23] Karena niat itu tidak disyaratkan melafatkan (talaffudz) maka sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang makan sahur malam hari dengan maksud berpuasa di hari esok maka dapat menduduki kedudukan niat puasa. Misalnya niat puasa:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَآءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى
“Saya niat puasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadlan tahun ini karena Allah ta’ala”. Selengkapnya baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,  hlm. 370.  
[24] Muhammad Ali bin Husain al Makki al Maliki, Inaroh ad Duja; Syarh Tanwir al Hija nadhm Safinah an Naja, hlm. 170. Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayah al Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, hlm. 205.
[25] Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm.285-286.
[26] Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayah al Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, hlm. 204. 
[27] Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,  hlm. 371.  
[28] Menurut Imam al Qurthuby, sebagaimana dikutib oleh Ali as Shobuni dalam bukunya Tafsir Ahkam, membagi orang sakit menjadi dua macam; 1] orang sakit yang tidak mampu berpuasa seketika itu, maka dia wajib berbuka (tidak puasa), 2] orang sakit yang tidak mampu berpuasa karena merasa berat atau masyaqqat, maka disunnahkan untuk tidak melanjutkan puasanya. M. Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min al Qur’an, hlm. 203.
[29] Menurut jumhur ulama (selain Ahmad Ibn Hambal), seorang musafir jika masih kuat untuk berpuasa maka lebih baik tetap berpuasa (QS. Al Baqarah:183), tetapi jika perjalanan itu membuat musyaqqat maka lebih baik ifthar atau tidak berpuasa. Sedang menurut Imam as Syaukani, jika seseorang yang melakukan perjalanan jauh tetap memilih berpuasa akan menimbulkan ujub dan riya’, maka ia lebih baik ifthar, jika sepi dari sifat ujub dan riya’ maka lebih baik berpuasa. Baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,  hlm. 373.   
[30] Syarat wajib puasa poin d, e, dan f, berdasarkan QS. Al Baqarah: 184.
[31] Hal-hal yang berkaitan dengan syarat wajib puasa ini silahkan dibaca pada Muhammad Ali bin Husain, Inaroh ad Duja; Syarh Tanwir al Hija nadhm Safinah an Naja, hlm. 179. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,  hlm. 370. Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah al Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, hlm. 204.   
[32] Artinya waktu melakukan puasa tidak bertepatan dengan hari-hari yang diharamkan berpuasa seperti, puasa pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul adha), puasa pada hari tasyrik yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah dan lain-lain. Baca Muhammad Ali bin Husain al Makki al Maliki, Inaroh ad Duja; Syarh Tanwir al Hija nadhm Safinah an Naja, (Beirut: Dar al Fikr, tth), hlm. 168-169.
[33] Perbuatan-perbuatan yang disunnahkan (adab) dalam puasa selengkapnya baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,  hlm. 385-388. 
[34] Nabi SAW bersabda:        لَايَزَالُ النَّاسُ بـِخَيْرٍ مَاعَجَّلُوا الْفِطْرَ (رواه البخاري ومسلم)
Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka
Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah al Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, Juz. I, hlm. 207.
[35] Berdasarkan hadis:    لَايَزَالُ النَّاسُ بـِخَيْرٍ مَاعَجَّلُوا الْفِطْرَ وَأَخَّرُوا السُّحُوْرَ (رواه أحمد)
Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan makan sahur”.
Abdullah bin Abdur Rahman, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam, hlm. 437.  Lihat juga Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah al Akhyar ..., hlm. 208.
[36] Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm. 283
[37] Abdullah bin Abdur Rahman, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam, hlm. 416. Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm. 288. M. Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam, hlm. 212.
[38] Kata “Tarawih” adalah jama’ dari tarwihatun yang berarti istirahat. Penggu-naan kata ini sebagai istilah dalam qiyamu Ramadlan karena setiap empat raka’at dan dua salam, para jama’ah melakukan istirahat sejenak kemudian melanjutkan kembali sampai selesai. 
[39] Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm. 179. Bandingkan dengan Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 174.
[40] Silahkan lihat Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,  hlm. 175.
[41] Hal ini khusus bagi penduduk Madinah, karena mereka ingin menyamakan diri dengan penduduk di Makkah yang melakukan 20 raka’at, akan tetapi penduduk Makkah shalat tarawih diselingi dengan thawaf sebanyak 7 kali setiap kali dapat empat raka’at dua salam. Sedangkan penduduk Madinah untuk melakukan seperti yang ada di Makkah (thawaf 7 kali) tidak bisa karena ka’bah berada di Makkah. Oleh karena itu mereka, penduduk Madinah, mengganti thawaf 7 kali itu dengan shalat empat raka’at. Jadi, kalau di Makkah thawaf 38 kali, sedangkan di Madinah menambah jumlah raka’at shalat sebanyak 16 raka’at, sehingga jumlah keseluruhan shalat tarawih menjadi 36 raka’at. Sayyid Abu Bakar, I’anah at Tholibin, (Surabaya: al Hidayah, tth), Juz. I, hlm. 265. 
[42] Pada awalnya shalat tarawih itu jumlahnya ada 11 raka’at dan bacaan suratnya panjang-panjang sehingga shalat itu membutuhkan waktu yang lama. Kemudian para shahabat mengurangi bacaan yang panjang itu diganti dengan menambah jumlah raka’at menjadi 20 raka’at dan menambah witir dengan bacaan yang sedang, tidak terlalu panjang dan tidak juga terlalu pendek. Sebagian ulama menafsirkan bahwa sholat tarawih yang masuk kategori masnunun (disunnahkan, yang dikerjakan oleh Nabi SAW) adalah 11 raka’at plus shalat witir, sedangkan lebihnya termasuk mustahabbun (perbuatan sunnah yang dilakukan oleh para sahabat dan dibenarkan atau diakui kebenarannya oleh Nabi). Jadi, shalat tarawih yang masnunun ada 8 raka’at dan mustahabbun adan 12 raka’at. Selengkapnya  Baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,  hlm. 174-175. 
[43] Menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i, mencium istri atau lain jenis dan hal-hal yang senada dengannya bagi orang yang berpuasa, jika menimbulkan syahwat maka hukumnya makruh. Jika tidak menimbulkan syahwat maka tidak makruh, tetapi lebih baik ditinggalkan saja. Baca Muhammad Fu’ad Abd al Baqiy, Lu’lu’ wa al Marjan, hlm. 287. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,  Juz. I, hlm. 388. 
[44] Ulama ikhtilaf (berbeda pendapat) dalam hal madlmadloh atau istinsyaq yang airnya sampai pada tenggorokan dan dilakukan dengan tanpa sengaja. Menurut imam al Auza’i, Ishaq, dan Syafi’i, tidak membatalkan puasa. Sedangkan menurut imam Malik dan Abu Hanifah, hal tersebut membatalkan puasa karena sama dengan sengaja minum. Baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,  Juz. I, hlm. 390.  
[45] Muhammad Ali bin Husain al Makki al Maliki, Inaroh ad Duja; Syarh Tanwir al Hija nadhm Safinah an Naja, hlm. 177.
[46] Perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan dalam puasa selengkapnya silahkan baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Juz. I, hlm. 388-392. Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, hlm. 631-640.
[47] Perbuatan-perbuatan yang dimakruhkan dalam puasa selengkapnya silahkan baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,  Juz. I, hlm. 388-392.,  Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, hlm. 631-640.
[48] Batas waktu mengqodlo’ atau bayar kaffarat puasa Ramadlan atas puasa yang ditinggalkan atau pelanggaran yang dilakukan relatif cukup panjang, yaitu sejak hari kedua bulan Syawal sampai menjelang Ramadlan berikutnya. Sementara menyege-rakan qodlo’ atau bayar kaffarat hukumnya sunnah. Dalam hal meng-qodlo’ puasa Ramadlan boleh dilakukan secara berturut-turut atau secara terputus-putus, yang jelas sebelum Ramadlan berikutnya hutang puasanya sudah lunas. Silahkan baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,  Juz. I, hlm. 397.
[49] Air madzi adalah air yang keluar dari jalan depan (qubul) setelah memuncak-nya syahwat. Sedangkan air wadzi adalah air yang keluar dari jalan depan akibat kelelahan atau kecapekan. Keduanya mempunyai ciri dan tanda yang berbeda dengan air mani. Kalau air mani cirinya agak kentel dan sedikit bau, sedangkan air madzi dan wadzi sebaliknya.
 [50] Perbuatan-perbuatan yang membatalkan puasa selengkapnya silahkan baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Juz. I, hlm. 393-394. Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah al Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, Juz. I, hlm. 207.   
      [51] Muhammad Ali bin Husain al Makki al Maliki, Inaroh ad Duja; Syarh Tanwir al Hija nadhm Safinah an Naja, hlm. 173.
[52] Menurut jumhur ulama, kewajiban membayar kaffarat dibebankan kepada keduanya, suami istri. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, bayar kaffarat dibebankan kepada suami saja, tidak kepada istri. Masih menurut jumhur ulama bahwa kewajiban membayar kaffarat sesuai dengan jumlah pelanggaran karena puasa yang dilakukan setiap hari itu dikategorikan sebagai ibadah mustaqillah (berdiri sendiri). Sementara menurut Imam Abu Hanifah, kewajiban membayar kaffarat cukup satu kali, walaupun pelanggarannya berulang-ulang. Selengkapnya silahkan baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Juz. I, hlm. 395. Bandingkan dengan Sayyid Abu Bakar, I’anah at Tholibin, Juz. II, hlm. 239.  
[53] Abdullah bin Abdur Rahman, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam, hlm. 421. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Juz. I, hlm. 395-396. Sayyid Abu Bakar, I’anah at Tholibin, Juz. II, hlm. 240.  
[54] Selengkapnya bisa dibaca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Juz. I, hlm. 371-375.
[55] Orang yang sakit dan orang bepergian jauh bila tetap menjalankan puasa, maka puasanya sah, hanya saja terbilang melakukan khilaful aula (berbeda dengan yang lebih utama) karena tidak menerima rukhshoh yang diberikan oleh Allah SWT.
[56] Selengkapnya baca M. Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min al Qur’an, hlm. 209. Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah al Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, Juz. I, hlm. 213.
[57] Menurut madzhab Hanafi, orang yang mengakhirkan qodlo’ puasa Ramadlan sampai masuk bulan Ramadlan berikutnya, baik karena ada udzur syar’i ataupun tidak, maka cukup mengqodlo’ puasanya saja dan tidak perlu membayar fidyah. Pendapat ini diikuti oleh Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Akan tetapi mereka (Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad) berbeda pendapat, jika mengakhirkan qodlo’ puasa itu tidak ada udzur syar’i, maka menurut mereka wajib membayar fidyah di samping qodlo’. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 397. Bandingkan dengan Sayyid Abu Bakar, I’anah at Tholibin, Juz. II, hlm. 242.      
[58] Agung Cahyadi, Panduan Ibadah Ramadhan, (Surabaya: CV Ashkaf, 2010), hlm. 15-16. Lebih lengkapnya silahkan baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,  hlm. 372.
[59] Rasulullah SAWbersabda: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًاBarangsiapa mati dan ia meninggalkan kewajiban puasa sebulan, hendaklah (wali atau kerabat dekatnya) memberikan makan kepada orang miskin sebagai gantinya setiap hari”. (HR. Ibnu Majah). Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, hlm. 681.
[60] Rasulullah SAWbersabda: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُBarangsiapa mati meninggalkan kewajiban (qodlo’) puasa, hendaklah walinya berpuasa untuk meng-gantinya”. (HR. Bukhori-Muslim). Abdullah bin Abdur Rahman, Taysir al Allam Syarh Umdah al Ahkam, hlm. 432-435. Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, hlm. 398. Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah al Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, Juz. I, hlm. 212.   
[61]اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ حَصِيْنَةٌ مِنَ النَّارِPuasa adalah perisai yang menjaga dari api neraka
[62]  صُوْمُوْا تَصِحُّوْا  Berpuasalah niscaya kamu akan sehat”. Dengan berpuasa kerja pencernaan bisa istirahat sejenak, lemak-lemak yang tertimbun bisa terpecahkan, daya tahan tubuh menjadi kuat. Oleh karena itu, puasa dikatakan bisa mencegah berbagai macam penyakit sebagaimana dikutib oleh banyak dokter.
[63] Manusia terdiri dari dua unsur: rohani dan jasmani. Jika unsur rohani lebih kuat maka manusia bisa meningkat seperti posisi malaikat. Sebaliknya, jika unsur jasma-ni lebih kuat maka manusia akan lebih mendekati posisi binatang atau bahkan lebih rendah dari binatang, na’udzu billahi min dzalik...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar