Sabtu, 12 Juli 2014

Mengenal Lebih Dekat Abuya Dimyati Pandeglang Banten


Alhamdulillah, pada sore malam hari ini blog jagad kawula akan kembali berbagi kepada para sahabat. Kali ini yang akan dibagi adalah biografi KH. Muhammad Dimyati atau lebih dikenal dengan mbah Dim atau Abuya Dimyati. 
Sosok satu ini bisa dibilang sebagai sosok "keramat dari barat". Karismanya sangat terasa, dan bahkan semasa hidupnya beliau dikenal sebagai waliyullah yang wajahnya sangat menentramkan bagi setiap orang yang melihatnya. Penampilannya bersahaja dan penuh karisma, membuat setiap orang sungkan dan segakn kepada beliau. Dan berikut ini blog jagad kawula akan berbagi mengenai biografi beliau.
Nama lengkapnya adalah KH. Muhammad Dimyati bin Muhammad Amin al-Banteni yang biasa dipanggil dengan Abuya Dimyati, atau oleh kalangan santri Jawa akrab dipanggil “Mbah Dim”. Beliau dikenal sebagai ulama dan guru tarekat yang alim nan wara' di Banten. Beliau lahir sekitar tahun 1925 dari pasangan H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyati sudah menampakan kecerdasan dan keshalihannya.
Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya, menjelajah tanah Jawa hingga ke pulau Lombok demi memenuhi pundi-pundi keilmuannya.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam, Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh. 
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH.Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH.Baidlowi pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thoriqot Asy-Syadziliyah.
Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh datang kesini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok disini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.” Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang? Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada disini dan sampeyan jangan punya teman. Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah thoriqot Syadziliyah kepada Abuya.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.
Kekuatan hati dan ketekunan beliau akhirnya mengantarkan beliau menjadi seorang ulama besar nan shalih dan disegani para ulama di seluruh nuswantara. Karena itu tidak berlebihan apabila kepopuleran Mbah Dim setara dengan Abuya Busthomi (Cisantri) dan kiai Munfasir (Cihomas). Mbah Dim adalah tokoh yang senantiasa menjadi pusat perhatian, yang justru ketika dia lebih ingin “menyedikitkan” bergaul dengan makhluk demi mengisi sebagian besar waktunya dengan ngaji dan ber-tawajjuh ke hadratillah.
Sebagai misal, siapakah yang tidak kecil nyalinya, ketika begitu para santri keluar dari shalat jama’ah shubuh, ternyata di luar telah menanti dan berdesak-desakan para tamu (sepanjang 100 meter lebih) yang ingin bertemu Mbah Dim. Hal ini terjadi hampir setiap hari.
Para peziarah Walisanga yang tour keliling Jawa, semisal para peziarah dari Malang, Jember, ataupun Madura, merasa seakan belum lengkap jika belum mengunjungi ulama Cidahu ini, untuk sekadar melihat wajah Mbah Dim untuk sekadar ber-mushafahah (bersalaman), atau meminta air dan berkah doa.
Mbah Dim menekankan pada pentingnya ngaji dan belajar, yang itu sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim kepada para santri dan kiai adalah jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain ataupun karena umur. Sebab, ngaji tidak dibatasi umur. Sampai-sampai, kata Mbah Dim, thariqah aing mah ngaji!, yang artinya ngaji dan belajar adalah thariqahku.
Bahkan kepada putera-puterinya (termasuk juga kepada santri-santrinya) Mbah Dim menekankan arti penting jama’ah dan ngaji sehingga seakan-akan mencapai derajat wajib. Artinya, tidak boleh ditawar bagi santri, apalagi putera-puterinya.
Mbah Dim tidak akan memulai shalat dan ngaji, kecuali putera-puterinya—yang seluruhnya adalah seorang hafidz (hafal Al-Qur’an) itu sudah berada rapi, berjajar di barisan (shaf) shalat. Jika belum dating, maka kentongan sebagai isyarat waktu shalat pun dipukul lagi bertalu-talu. Sampai semua hadir, dan shalat jama’ah pun dimulai.
Mbah Dim merintis pesantren di desa Cidahu Pandeglang sekitar tahun 1965, dan telah banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin Ja’far Assegaf yang sekarang memimpin Majelis Nurul Musthofa di Jakarta. Dalam bidang tasawuf, Mbah Dim menganut tarekat Qodiriyyah-Naqsabandiyyah dari Syeikh Abdul Halim Kalahan. Tetapi praktik suluk dan tarekat, kepada jama’ah-jama’ah Mbah Dim hanya mengajarkan Thariqah Syadziliyah dari syekh Dalhar.
Itu sebabnya, dalam perilaku sehari-hari ia tampak tawadhu’, zuhud dan ikhlas. Banyak dari beberapa pihak maupun wartawan yang coba untuk mempublikasikan kegiatannya di pesantren selalu di tolak dengan halus oleh Mbah Dim, begitu pun ketika ia diberi sumbangan oleh para pejabat selalu ditolak dan dikembalikan sumbangan tersebut. Hal ini pernah menimpa Mbak Tutut (Anak Mantan presiden Soeharto) yang member sumbangan sebesar 1 milyar, tetapi oleh Mbah Dim dikembalikan.
Tanggal 3 Oktober 2003 tepat hari Jum’at dini hari Mbah Dim dipanggil oleh Allah SWT ke haribaan-Nya. Banten telah kehilangan sosok ulama kharismatik dan tawadhu’ yang menjadi tumpuan berbagai kalangan masyarakat untuk dimintai nasihat. 
Bukan hanya masyarakat Banten, tapi juga umat Islam pada umumnya merasa kehilangan. Ia di makamkan tidak jauh dari rumahnya di Cidahu Pandeglang, dan hingga kini makamnya selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah di Tanah Air. 
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati, Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr. Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang thoriqot Syadziliyyah.


====Semoga Bermanfaat==== 

Siapa dan Bagaimana Syarat Mustauthin



1.      Dalam kitab-kitab banyak disendirikan antara hukum mereka yang hurri dan mereka yang abdi. Baik laki-laki ataupun perempuan. Timbul pertanyaan, apakah Islam mengakui adanya perbudakan? Bagaimana cara merefleksikan hukum tersebut pada masa-masa sekarang ini?
2.      Apakah pelajar, mahasiswa atau karyawan pabrik/perusahaan itu dapat digolongkan mustautin? Bagaimanakah batasan mustauthin itu? sahkah salat Jumat yang mereka laksanakan di sekolah, kampus/perusahaan? Kalau saya mengambil ibarah dari kitab I’anah juz 2 halaman 54 mereka ini termasuk golongan yang mana?
3.      Bolehkah seseorang hilah dengan mengambil hukum dari beberapa imam madzhab, padahal dia tudak dalam posisi terpaksa? Bukankah keempat imam tersebut tidak diragukan lagi keilmuannya bahkan kebenarannya? dan bukankah sesuatu yang bernama kebenaran itu harus dapat digunakan semua golongan- seperti Islam-?

Jawaban:
1.      Pada waktu agama Islam datang, di seluruh dunia ini sudah ada sistem perbudakan dan keadaan/wujud para budak itu tidak dapat dipungkiri. Kemudian Islam datang dengan keinginan agar para pemilik budak yang dapat diperjual belikan itu mau memerdekakan para budak dengan sukarela, antara lain dengan jalan kewajiban memerdekakan budak sebagai denda dari orang yang melakukan hubungan seksual dengan isterinya disiang hari pada bulan Ramadan dan lainnya. Sedang perbedaan hukuman bagi budak sebanyak setengah dari hukuman bagi orang merdeka adalah salah satu bukti perhatian Islam terhadap para budak.
      Budak belian itu sekarang ini tidak kita dapati di negeri-negeri Islam, sehingga perbedaan hukum antar orang merdeka (hurri) dan budak (abdi) sudah tidak ada lagi.
2.      Para pelajar dan mahasiswa yang rumahnya berdekatan dengan sekolah atau kampus termasuk golongan mustautin sedangkan yang rumahnya jauh dari sekolah atau kampus tidak termasuk golongan mustautin. Demikian pula karyawan yang rumahnya dekat dengan pabrik/perusahaan termasuk golongan mustautin, sedang yang jauh tidak termasuk golongan mustautin. Yang dimaksud dekat disini adalah dapat mendengarkan adzan dari tempat mendirikan salat Jumat yang dilakukan di atas menara tanpa pengeras suara dari muadzin yang suaranya normal pada saat yang hening tanpa kebisingan.
Yang dimaksud dengan mustautin adalah orang yang bertempat tinggal menetap di suatu tempat, tanpa ada keinginan pulang kembali ke kampung halamannya manakala tujuannya telah tercapai sebagaimana pelajar atau mahasiswa yang kost dikota lain dengan tujuan mencari ilmu yang apabila setelah lulus dai akan pulang ke kampungnya atau pindah ketempat lain. Maka mereka ini meskipun menetap sampai 5 tahun menuntut ilmu, tidak dapat digolongkan mustautin, tetapi hanya digolongkan mukimin saja.
Salat Jumat yang dilakukan oleh orang-orang yang mukim atau musafir seperti karyawan pabrik/ perusahaan adalah sah jika tempat melakukan salat Jumat tersebut sah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Akan tetapi mereka ini tidak sah dijadikan hitungan sebagai ahli Juamat di tempat melakukan salat Jumat tersebut.
Mengenai salat Jumat yang diadakan di sekolah/kampus atau di lingkungan pabrik, selama ahli Jumatnya yang terdiri dari orang-orang yang mustautin ada sejumlah 40 orang (menurut madzhab Syafii) laki-laki, orang merdeka bukan budak, sehat pendengarannya dan semuanya dapat membaca al Quran dengan benar, dan meskipun hari libur bertepatan dengan hari Jumat salat Jumat ditempat tersebut tetap ada (tidak diliburkan). Sedang tempatnya cukup jauh dengan tempat mendirikan salat Jumat yang lain (minimal 1666 m, menurut keputusan Muktamar NU), maka mendirikan salat Jumat ditempat tersebut adalah sah.
Menurut ibarat dari kitab I’anatut Thalibin juz 2 halaman 54, para murid sekolah, mahasiswa dan para karyawan yang tidak berdomisili di sekitar tempat mendirikan salat Jumat tidaklah termasuk golongan mustautin.
Dasar pengambilan Kitab Tausyih ala ibn Qosim halaman 78:
(وَ) السَّابِعُ (الإسْتِيْطَانُ) بِمَحَلِّ إِقَامَةِ الجُمُعَةِ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِمَنْ يَلْزَمُهُ حُضُورُهَا مِنْ غَيْرِ المُسْتَوْطِنش وَهُوَ المُقِيْمُ بِمَحَلِّهَا أرْبَعَةَ أيَّامِ صِحَاحٍ أو بِمضا يُسْمَعُ مِنْهُالنِّدَاءُ. وَلاَ تَنْعَقِدُ بِمُسافِرٍ وَمُقِيْمٍ عَزَمَ عَلَى عَوْدِهِ لِوَطَنِهِ وَلَو بَعْدَ مُدَّةٍ طَوِيْلَةٍ. وَالمُسْتَوطِنُ مَنْ لاَيُسَافِرُ مِنْ مَحَلِّ فَغَيْرُ المُسْتَوطِنِ إنْ كَانَ مُسَافِرًا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَإنْ كَانَ مُقِيْمًا وَلَوْ أربَعَةَ أيَّامِ صِحَاحٍ وَجَبَتْ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ.
“Dan yang ketujuh (dari syarat-syarat mendirikan salat Jumat) adalah istitan (bertempat tinggal menetap) di tempat mendirikan salat Jumat. Sehingga salat Jumat itu tidak sah (apabila ahli Jumatnya paling sedikit 40 orang itu digenapi jumlahnya) dengan orang yang wajib menghadiri salat Jumat dan ia bukan mustautin, yaitu orang yang bertempat tinggal ditempat mendirikan salat Jumat selama empat hari penuh, atau digenapi dengan orang yang mendengar adzan melalui pengeras suara atau radio tetapi rumahnya sangat jauh dari tempat mendirikan salat Juamat. Salat Jumat tidak sah dengan ahli Jumat (jamaah tetap) orang musagir atau orang mukim yang bercita-cita kembali kenegerinya meskipun sesudah jangka waktu yang lama. Mustautin itu adalah orang yang tidak bepergian dari tempat tinggalnya pada musim hujan atau musim lainnya, kecuali karena ada keperluan. Orang yang tidak mustautin, jika dia bepergian, maka dia tidak wajib melakukan salat Jumat dan salat Jumat itupun tidak sah jika ahli Jumatnya digenapi dengan dia, dan jika musafir ini melakukan salat Jumat, maka salat Jumatnya sah. Jika musafir itu tinggal di suatu tempat, meskipun selama empat hari penuh, maka dia wajib melakukan salat Jumat dan salat Jumat tidak sah jika ahli Jumatnya digenapi hitungannya dengan dia, dan salat Jumat yang dilakukan olehnya sah. ”
3.      Perlu anda ketahui bahwa perbedaan pendapat diantara para imam madzhab itu adalah disebabkan oleh perbedaan ushul dan pendangan mereka terhadap dalil-dalil nash. Sebagai contoh, madzhab Hanafi tidak mau menggunakan hadist ahad (hadist yang dalam satu stadium hanya diriwayatkan oleh satu orang) meskipun sahih sebagai dasar pengambilan hukum. Bagi madzhab Hanafi hadist yang dapat dijadikan dasar hukum itu paling tidak adalah Hadist Mashur (hadist yang dalam satu stadium diriwayatkan oleh paling sedikit dua orang).
Sebaliknya madzhab Maliki mau menggunakan hadist dlaif asal tidak terlalu dlaif sebagai dasar pengambilan hukum. Sedang madzhab Syafii hanya mau menggunakan hadist sahih meskipun hadist tersebut adalah hadist ahad.
Terhadap ayat-ayat al Quran serta perbedaan ushul diantara mereka, maka hasil ijtihad mereka menjadi berbeda-beda. Jadi jika dalam satu masalah, misalnya fardlu wudlu, kita setuju pendapat madzhab Syafii, yaitu enam, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Syafii bahwa hadist yang dapat dijadikan dasr hukum adalah hadist sahih meskipun ahad. Jika kita setuju pendapat madzhab Hanafi, yatiu empat, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Abu Hanifah bahwa hadist yang dapat dijadikan dasar hukum adalah hadist masyhur. Kemudian jika kita setuju pendapat madzhab Maliki, yaitu delapan, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Malik bin Anas bahwa hadist dlaif itu dapat dijadikan dasar hukum.
Dengan demikian, maka dapat kita ketahui bahwa jika seseorang dalam keadaan tidak terpaksa memiliki pendapat yang ada diantara para Imam Madzhab dengan alasan sama benarnya (melakukan talfiq) , maka berarti orang tersebut tidak mengetahui dan tidak memiliki pendirian yang tetap (consist) terhadap pokok masalah yang menjadi landasan dan dasar hukum. Terlebih hal itu tidak diperkenankan oleh agama.
Dasar pengambilan Kitab I’anatut Thalibin juz 4 halaman 217-218:
(فَائِدَةٌ) إِذَا تَمَسَّكَ العَامِى بِمَذْهَبٍ لَزِمَهُ مُوَافَقَتُهُ وَإلاَّ لَزِمَهُ التَمَذْهَبُ بَمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ مِنَ الأرْبَعَةٍ لاَغَيْرِهَا وَإنْ عَمَلَ بِالأوَّلِ. الإنْتِقَالُ الَى غَيْرِهِ بِالكُلِّيَّةِ أوْ فِى المَسَائِلِ بِشَرْطِ أَنْ لاَ يَتَتَبَّعَ الرُخَصُ بِأنْ يَأخُذَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ بِالأَسْهُلِ مِنْهُ فَيَفْسُقُ بِهِ عَلَى الأوجَة.
(faedah) apabila ada seorang yang awam berpegang teguh pada satu mazhab, maka wajib baginya untuk menyesuaikan diri dengan mazhab tersebut. Jika tidakdemikian, maka wajib baginya bermazhab dengan mazhab yang tertentu dari empat mazhab, bukan dengan selainya. Kemudian jika dia mengamalkan dengan mazhab yang pertama, dia boleh pindah ke mazhab lainya secara keseluruhan atau dalam masalah tertentu dengan syarat tidak mengikuti keringanan-keringanan, seperti apabila dia mengambil dari mazhab yang paling ringan dari mazhab tersebut, sehingga karenaya, menurut pendapat yang paling kuat, dia menjadi orang yang fasik.

KUMPULAN BAHTSUL MASAAIL
Koleksi Bahtsul Masail yang dimiliki oleh KH. A. Masduqi Machfudh, termasuk arsip Kolom Bahtsul Masail dari majalah PWNU Jawa Timur Aula, Bahtsul Masail Wilayah (PWNU) Jawa Timur, dan Bahtsul Masail pada muktamar maupun pra-muktamar NU.



PERISTIWA PENTING DAN KEUTAMAAN BULAN RAMADLAN



A. Peristiwa Penting di Bulan Ramadlan
Pada bulan Ramadlan[1] terjadi berbagai peristiwa penting ber-kaitan dengan pergerakan kebangkitan Islam, diantaranya adalah:
1.    Nuzulul Qur’an[2] (diturunkannya Al Qur’an) dari Lauhul Mahfudh ke Baitul Izzah di langit dunia secara jumlatan wahidah (sekaligus) pada malam Lailatul Qodar di bulan Ramadlan
2. Fathu Makkah[3] (terbukanya kota Mekkah) yang menjadi asas bagi kemenangan-kemenangan Islam di seluruh belahan bumi kemudian
3.    Ghozlul Badr[4] (Perang badar) yang menjadi tonggak kemena-ngan Islam berikutnya
4.    Lailatul Qodr[5] (malam kemuliaan), amal shalih di dalamnya lebih baik dari seribu bulan
5.  Gema shalat tarawih dan tadarus al Qur’an semarak dilakukan di bulan Ramadlan, begitu juga kegiatan ibadah dan kegiatan sosial yang lainnya.[6] 
B. Keutamaan Bulan Ramadlan

Bulan Ramadlan memiliki keuatamaan-keutamaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya. Adapun keutamaan-keutamaan yang dimaksud diantaranya adalah:
1.    Pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syaithan-syaithan di belenggu[7]
2.    Besarnya potensi terkabulnya do’a di bulan Ramadlan[8]
3.  Terdapat malam Lailatul Qadr, malam kemuliaan yang fadilah-nya lebih baik dari seribu bulan. (QS. Al Qadr: 3)
4.    Malam pembebasan dari siksa api neraka[9]
5.   Bulan Ramadlan awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah maghfiroh (ampunan), dan penutupnya adalah itqun min annar (pembebasan dari api neraka)
6. Melakukan ibadah sunnah di bulan Ramadlan sama dengan melakukan ibadah fardu di selain bulan Ramadlan. sedangkan melakukan ibadah fardu dilipatgandakan menjadi 70 kali di luar bulan Ramadlan.
Dengan berbagai keutamaan bulan Ramadlan di atas, adalah suatu kerugian bagi orang manakala keberadaan bulan Ramadlan itu tidak dimanfaatkan sebaik mungkin. Rasulullah SAW bersabda:
بَعُدَ (اَيْ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ) مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُــغْــفَرْ لَهُ (رواه الحاكم)
Jauh (dari rahmat Allah SWT) orang yang menjumpai bulan Ramadlan sedang dosanya tidak sampai diampuni”. (HR. Hakim)

C. Amalan-amalan sunnah di Bulan Ramadlan
Amalan penting yang perlu diperhatikan di bulan Ramadlan, selain puasa yang harus memperhatikan syarat, rukun dan hal-hal yang dapat membatalkan puasa, adalah sebagai berikut:
1.    Menghidupkan malam hari bulan Ramadlan dengan qiyamu Ramadlan (shalat malam, tarawih, tasbih, hajat, dan witir)
2.    Melakukan i’tikaf[10] di masjid[11] terutama di sepuluh akhir bulan Ramadlan dan mencari lailatul qadar di malam ganjil minimal aktif mengikuti shalat jama’ah isya’ dan shubuh selama bulan Ramadlan
3.    Memperbanyak membaca atau tadarus al Qur’an dan diusaha-kan sampai khatam 30 juz selama bulan Ramadlan
4.    Muhasabatun nafs (introspeksi diri) atas kelalaian melanggar hukum-hukum Allah SWT dengan memperbanyak taubat dan mengharap pengampunan dari Allah SWT
5.    Memperbanyak membaca syahadat, istighfar, dan memohon surga dan dijauhkan dari neraka dalam bentuk do’a;

أَشْهَدُ أَنْ لَّا اِلَهَ اِلَّا اللهُ أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْئَلُكَ رِضَاكَ وَاْلجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَتِكَ وَالنَّارِ
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah. Aku beristighfar kepada Allah, aku memohon kepadaMu akan ridloMu dan surga dan aku berlindung kepadaMu dari mjurkaMu dan neraka
Dan memperbanyak membaca do’a;
اَلَّلهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Mengampuni. Engkau menyukai pengampunan maka berikanlah pengampu-nan kepadaku
6.    Memperbanyak infaq dan sedekah kepada fakir miskin atau orang-orang sekitar kita yang sangat membutuhkan
7.    Memberikan bekal makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa
8.    Menunaikan ibadah umroh[12] dan thowaf di Baitullah. Ibadah ini jika dilaksanakan pada bulan Ramadlan pahalanya laksana pahala ibadah haji
9.    Membayar zakat fitrah. Hal ini penting karena salah satu hikmah dari zakat fitrah adalah untuk membersihkan kesala-han yang dilakukan sewaktu puasa
10. Menyibukkan diri dengan mencari aktifitas di majlis-majlis ilmu dan sebagainya[13]

***Semoga Bermanfaat***





  [1] Istilah “Ramadlan” berasal dari akar kata; Ramidla – Yarmadlu – Ramadlan, artinya terik, sangat panas. Nama Ramadlan digunakan karena pada bulan ini terik matahari sangat panas (khusus di Timur Tengah) sehingga menyebabkan kaki orang-orang yang berjalan kaki terasa panas. Pada bulan ini juga perut orang-orang yang berpuasa juga merasa panas karena menahan lapar dan dahaga, serta di bulan ini dosa-dosa tengah terbakar atau diampuni bagi orang yang sungguh-sungguh bertaubat. Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 533. Lihat juga Muhammad Ali as Shobuni, Rowa’i’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min al Qur’an, (Damaskus: Maktabah al Ghozali, 1980), Juz. I, hlm. 190.     
  [2] Nuzulul Qur’an mengalami dua proses; Inzal dan Tanzil. Pertama, Inzal adalah turunnya al Qur’an dari Lauhul Mahfudh ke Baitul Izzah di langit dunia. Kedua, Tanzil adalah turunnya al Qur’an dari Baitul Izzah di langit dunia secara berangsur-angsur (tadrij) ke dunia, melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun hikmah al Qur’an diturunkan secara tadrij diantara; untuk menghilangkan keraguan, menambah keimanan dan menumbuhkan kepercayaan dalam hati Rasulullah. Sebab, tiap ucapan yang dicatat berulang-ulang dan dibuktikan kebena-rannya oleh banyak fakta pasti lebih dapat menghilangkan keraguan dan lebih mantapSelengkapnya baca Subhi as Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al Qur’an, (terj.) dari “Mabahits fiy Ulum al Qur’an”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 55-57.  
[3] Fathu Makkah terjadi pada tanggal 20 Ramadlan 8 H. Berikutnya juga terjadi pada tanggal 28 Ramadlan 92 H./19 Juli 711 M. Kaum muslimin mulai melakukan ekspansi dakwah ke daerah-daerah di semenangjung Liberia, yaitu spanyol dan Portugis dipimpin oleh thoriq bin Ziyad.
[4] Peperangan yang dahsyat pula terjadi antara kaum muslimin dengan tentara Tartar pada tanggal 25 Ramadlan 658 H. Pasukan Islam di bawah pimpinan Sultan Saifuddin Qutuz. Perang ini juga disebut perang Ainjalut karena lokasinya di kota Ainjalut Palestina.
 [5] Malam Lailatul Qadar adalah malam paling utama sepanjang tahun, dimana suatu amal kebaikan, baik shalat, membaca al Qur’an, dzikir ataupun amal sholih yang lain pada malam Lailatul Qadar lebih baik dari pada seribu bulan (baca: QS. al Qadr: 3). Diantara keutamaan Lailatul Qadar sebagaimana dijelaskan dalan hadits Nabi SAW:  مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيـْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخاري) 
Barangsiapa yang melakukan sholat pada malam lailatul qadar, karena iman dan mengharap ridla Allah SWT, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
Malam Lailatul Qadar diperkirakan terjadi pada malam ganjil di sepuluh akhir bulan Ramadlan. Adapun penentuan kapan terjadinya Lailatul Qadar? ulama berbeda pendapat disebabkan adanya beberapa keterangan hadits yang berbeda-beda. Sebagian ulama mengatakan bahwa Lailatul Qadar terjadi pada tanggal 21, ada juga mengatakan tanggal 23, sebagian yang lain mengatakan tanggal 25 atau bahkan tanggal 29 Ramadlan. Akan tetapi kebanyakan ulama mengatakan bahwa Lailatul Qadar itu terjadi pada tanggal 27 Ramadlan. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, (Beirut: Dar al Fikr, 1983), Jld. I, hlm. 399. Terlepas dari prediksi ulama tentang terjadinya Lailatul Qodar di atas, Imam al Ghazali memberikan rumusan yang menarik dalam hal prediksi terjadinya Lailatul Qodar, yaitu dengan melihat hari pertama bulan Ramadlan. Jika awal Ramadlan jatuh pada hari Ahad atau Rabu, maka Lailatul Qodar jatuh pada malam tanggal 29 Ramadlan. Jika awal Ramadlan jatuh pada hari Senin, maka Lailatul Qodar jatuh pada malam tanggal malam 21 Ramadlan. Jika awal Ramadlan jatuh pada hari Selasa atau Jum’at, maka Lailatul Qodar jatuh pada malam tanggal malam 27 Ramadlan. Jika awal Ramadlan jatuh pada hari Kamis, maka Lailatul Qodar jatuh pada malam tanggal malam 25 Ramadlan. Jika awal Ramadlan jatuh pada hari Sabtu, maka Lailatul Qodar jatuh pada malam tanggal malam 23 Ramadlan. Baca Bandingkan dengan Sayyid Abu Bakar, I’anah at Tholibin, (Surabaya: al Hidayah, tth), Juz. II, hlm. 257-258.      
 [6] Selengkapnya bisa dibaca M. Ihya’ Ulumiddin, Risalah Ringkas Puasa Romadlon, (Surabaya: Vde Press, 1428), hlm. 1-2.
[7] Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَآءِ وّغُلِّقَتْ أَبْوَابَ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِيْنُ
Apabila masuk bulan Ramadlan maka dibukalah pintu-pintu langit (surga), ditutuplah pintu-pintu neraka Jahannam, dan syaithan-syaithan dirantai semua”. (HR. Bukhari)
Dalam hadis yang lebih panjang juga dijelaskan bahwa Rasulullah SAW memberikan berita gembira kepada para sahabatnya, ketika datang bulan Ramadlan seraya bersabda:    
قَدْ جَآئَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ كَتَبَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ فِيْهِ تُفْتَهُ أَبْوَابُ الْـجِنَانِ وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ وَتُغَلُّ فِيْهِ الشَّيَاطِيْنُ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حَرُمَ خَيْرَهَا فَقَدْ خُرِمَ
Telah tiba kepada kalian bulan Ramadlan, bulan yang penuh berkah, Allah telah mewajibkan puasa atas kalian, di dalamnya dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka jahim, diborgol dedengkot syaithan, dan di dalamnya ada semalam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa terhalang kebaikan bulan itu maka ia terhalang dari rahmat Allah”. (HR. Ahmad dan an Nasa’i)
[8] Rasulullah SAW bersabda:                 لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ يَدْعُوْبِـهَا فِيْ رَمَضَانَ
Bagi setiap muslim ada do’a yang terkabul yang dilakukan pada bulan Ramadlan”. (HR. Malik dan Ahmad).
Dalam hadis lain juga dijelaskan bahwa:
ثَلاَ ثَـــةٌ لَاتُـــرَدُّ دَعْوَتُـهُمْ: اَلصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرُ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَالْـمَظْلُوْمُ
Ada tiga (golongan) do’anya tidak akan tertolak (diterima), yaitu do’anya orang yang berpuasa sampai berbuka, seorang imam yang adil, dan orang yang didhalimi”. (HR. At Tirmidzi)
[9] Rasulullah SAW bersabda:                 إِنَّ للهِ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ عِتْقَاءً مِنَ النَّارِ 
Pada setiap malam bulan Ramadlan Allah membebaskan orang-orang dari siksa api neraka”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
 [10] I’tikaf adalah berdiam di masjid pada waktu tertentu dengan niat taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. I’tikaf hukumnya adalah sunnah mu’akkad, lebih-lebih sepuluh terakhir bulam Ramadlan. Syarat i’tikaf yaitu, 1] orang Islam, 2] mumayyiz (orang yang telah bisa membedakan antara yang haq dan bathil), 3] suci dari janabah (junub) bagi laki-laki, dan 4] suci dari haidl dan nifas bagi wanita. Rukun-rukun i’tikaf yaitu, 1] niat yang ikhlash, 2] berdiam di masjid, 3] orang yang beri’tikaf, dan 4] tempat untuk beri’tikaf (masjid). Hal-hal yang membatalkan i’tikaf adalah: 1] meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa ada keperluan yang mende-sak, 2] hilang akal (karena tidur atau pingsan), 3] murtad, 4] haidl atau nifas, 5] ber-hubungan suami istri (jima’), 6] pergi sholat jum’at (bagi orang yang membolehkan i’tikaf di musholla). I’tikaf terbagi menjadi dua macam; 1] Sunnah, yaitu i’tikaf yang dilakukan karena semata-mata ingin bertaqorrub kepada Allah SWT seperti i’tikaf sepuluh hari terakhir Ramadlan, 2] Wajib, yaitu i’tikaf yang didahului dengan nadzar atau janji, seperti jika saya sembuh dari sakit maka saya akan beri’tikaf di masjidil haram. Jika nanti benar-benar sembuh maka ia wajib melakukan i’tikaf di masjidil haram. Selengkapnya baca Abu Abdullah Muhammad bin Qosim asy Syafi’i, Tausyeh ala Ibn Qasim; Qutu al habib al Ghorib, (Surabaya, Maktabah al Hidayah, tth), hlm. 116-117. Bandingkan dengan Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Jld. I, hlm. 400-401. Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah al Akhyar fiy Ghoyah al Ikhtishar, juz, I, hlm. 215-218.          
    [11] Dalam masalah tempat i’tikaf (masjid) yang boleh dibuat beri’tikaf, ulama masih terjadi ikhtilaf, setidaknya ada 3 versi, yaitu; 1] I’tikaf hanya sah (boleh) dilakukan di tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Ini pendapat Hudzaifah bin Yaman, 2] I’tikaf hanya sah dilakukan di masjid yang di dalamnya dilakukan shalat lima waktu dan shalat Jum’at (masjid jami’). Inilah pendapat imam Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsauri, dan 3] I’tikaf sah di lakukan di semua masjid, termasuk masjid yang tidak didirikan shalat Jum’at (masjid ghairu Jami’ atau musholla/surau), inilah pendapat, Imam Malik, Syafi’i, Daud. Pendapat yang terakhir ini adalah pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Dari tiga pendapat ulama tentang masjid yang dapat dijadikan tempat beri’tikaf di atas, disikapi dengan arif dan bijaksana oleh ulama mazhab syafi’iyah yang berpendapat bahwa melakukan i’tikaf yang afdlol (lebih utama) dilakukan di masjid jami’ lebih-lebih di tiga masjid yaitu; Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Selengkapnya baca Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Jld. I, hlm. 402.
[12] Rasulullah SAW bersabda:   عُمْرَةٌ فِيْ رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً                             Umroh di bulan Ramadlan sebanding dengan ibadah haji”. (HR. Tirmidzi)
Dalam redaksi yang sedikit berbeda juga dijelaskan:عُمْرَةٌ فِيْ رَمَضَانَ كَحَجَّةٍ مَعِي     Umroh di bulan Ramadlan sebanding dengan ibadah haji”. (HR. Tirmidzi)
[13] Selengkapnya baca M. Ihya’ Ulumiddin, Risalah Ringkas Puasa Romadlon, hlm. 9-10.