Minggu, 12 Januari 2014

Hukum Menggabung Niat Qadla Puasa Ramadhan Dengan Puasa Syawal


Mengenai keutamaan puasa Syawal (puasa 6 hari di bulan Syawal, selain tanggal 1 Syawal) antara lain sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh al-Jama’ah (banyak ahli hadits) kecuali al-Bukhari dan an-Nasai’i, bahwa Rasulullah Saw bersabda yang maknanya: “Siapa yang berpuasa Ramadlan kemudian dikuti dengan puasa 6 hari bulan Syawal, maka sama dengan berpuasa setahun penuh”. Adapun pelaksana-annya, maka boleh dilakukan pada awal Syawal setelah tanggal 1, di tengah atau di akhir bulan: sebaiknya berturut-turut 6 hari, tapi boleh juga tidak berturut-turut, yang penting jumlahnya 6 hari. Bahwa Nabi Saw selalu berpuasa tanggal 2 sampai dengan 7 Syawal karena memang beliau tidak pernah punya hutang puasa, sehingga setelah tanggal 1 Syawal (yang memang haram puasa) maka beliau langsung berpuasa sunnah Syawal. Sedang hampir semua wanita usia produktif umumnya kan mempunyai hutang puasa Ramadlan, begitu juga siapapun yang masih punya hutang puasa ramadlan, maka harus mengqadla’ (mengganti) hutangnya terlebih dahulu baru kemudian berpuasa Syawal. Hal ini karena komposisi dan hirarki hukum Islam (fiqh) adalah, bahwa yang fardlu/wajib itu pasti lebih urgen dan harus didahulukan dibanding yang sunnah/anjuran. Hukum mengqadla’ puasa Ramadlan adalah fardlu, sedang hukum puasa 6 hari di bulan Syawal adalah sunnah. Karena itu, terkait dengan pelaksanaan qadla puasa Ramadlan dan puasa Syawal, apapun alasannya harus didahulukan mengqadla’ puasa Ramadlan pada kesempatan dan kemungkinan pertama.
Logika sederhananya begini, kalau anda sudah mengqadla puasa Ramadlan dan belum sempat puasa Syawal lalu meninggal (misalnya, maaf), maka anda sudah terbebas dari tanggungan “hutang” puasa, dan tidak berdosa lantaran tidak puasa Syawal. Tapi sebaliknya kalau demi puasa Syawal anda menunda puasa qadla’ Ramdhan lalu tiba-tiba meniggal, maka anda berdosa lantaran sudah ada kesempatan mengqadla’ tidak dimanfaatkan, padahal pahala puasa Syawal tidak sebanding dengan dosa ketelodaran menqadla’ puasa Ramadlan. Akan lain halnya bila seseorang punya “hutang” puasa Ramadlan dan belum sempat mengqadla’ lalu meninggal, maka dia tidak berdosa; hanya sebagian harta tinggalannya harus diambil untuk membayar fidyah sejumlah puasa yang ter”hutang”.
Hutang apapun harus segera dibayar manakala sudah memungkinkan, apalagi hutang puasa yang masa pembayarannya cukup panjang (hampir 11 bulan), sehingga pada bulan Ramadlan berikutnya sudah tidak punya tanggungan lagi. Allah Swt berfirman yang maknanya: “... maka barangsiapa di antara kamu yang sakit atau sedang bepergian (lalu berbuka) maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain..” (al-baqarah: 184).
Nah, bagaimana halnya dengan orang yang masih punya hutang puasa Ramadlan, tetapi juga amat ingin berpuasa Syawal, kemudian menggabungkannya menjadi satu puasa dalam dua niat (two in one), yakni qadla’ (mengganti) Ramadlan dan puasa Syawal sekaligus?
Dalam sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan al-Muslim, Rasulullah Saw bersabda yang maknanya “Sungguh, semua perbuatan itu terkait/tergantung niatnya..
Dalam perspektif fiqh, hadits ini menjadi primadona bagi para Fuqaha’ (ahli fiqh) untuk menjustifikasi, bahwa niat itu menjadi penentu sah atau tidaknya suatu ibadah. Artinya, untuk sahnya suatu ibadah itu harus disertai niat. Sedang dalam perpektif tasawuf difahami, bahwa niat itu menjadi penentu berpahala atau tidaknya suatu ibadah. Artinya, sama-sama berpuasa bila niatnya berbeda, maka berbeda pula pahalanya. Ada juga yang secara “liberal” memahami, bahwa pahala ibadah itu tergantung niatnya, artinya sama-sama berpuasa satu hari (misalnya) jika yang seorang hanya berniat mengqadla’ puasa, maka dia juga hanya mendapat pahala puasa qadla’ tersebut. Sedang jika yang lain juga meniatkannya untuk puasa qadla’ Ramadlan dan sunnah Syawal, maka dia akan mendapatkan pahala semuanya.
Menurut saya yang benar dan wajar adalah, bahwa niat itu menjadi penentu sahnya hanya satu ibadah, sehingga pahalanya juga hanya terkait dengan satu ibadah saja. Bahkan dalam perspektif fiqh, satu amalan yang diniatkan untuk banyak hal menjadi tidak sah karena tidak jelasnya niat, sehingga dianggap belum berniat. Sebagai gambaran, orang yang shalat shubuh tidak sah jika dibarengi dengan niat shalat sunnah fajar (misalnya); begitu juga tidak sah orang yang melakukan shalat hanya 2 rakaat tapi dengan niat shalat sunnah wudlu, tahiyyat masjid dan qabliyah dhuhur (misalnya).
Apalagi hal ini menyangkut ibadah yang harus ada tuntunannya dari Rasulullah Saw. Sepanjang pelacakan saya, tidak ada hadits yang dapat dijadikan dasar kuat untuk membenarkan, bahwa satu jenis ibadah dalam waktu yang sama dapat diniatkan untuk banyak tujuan. Secara logikapun tidak masuk akal tatkala ada orang yang berpuasa hanya satu hari, lantaran diniatkan empat (qadla’, senin, Syawal dan Daud) lalu mendapat empat kali lipat dibanding orang yang hanya meniatkannya untuk satu (qadla’ puasa, misalnya). Dalam hal ini ada kata hikmah (mutiara) yang patut direnungkan yaitu: ats-Tsawab Biqadri Ta’ab (pahala suatu amalan itu terkait dengan tingkat kesulitannya).
Karena itu jika seseorang masih punya “hutang” puasa Ramadlan, berpuasalah untuk mengqadla’nya, baru kemudian kalau ada kemauan dan kemampuan silahkan berpuasa sunnah Syawal pada hari yang lain, karena puasa Syawal boleh tanggal berapa saja asal masih dalam bulan Syawal. Hal ini berdasar keumuman pernyataan Nabi “enam hari” dalam hadits di atas, yang tidak ada batasan tanggalnya, juga tidak ada ketentuan harus urut atau tidaknya.
Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar