Era modern ditandai dengan perkembangan dunia
ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi dan bidang lain secara cepat dan
mengglobal sehingga tidak mungkin manusia mampu mencegah apalagi lari dari
kenyataan itu. Perkembangan ini menyebabkan manusia harus berinteraksi dan
menyiasati diri dalam menghadapi kondisi perubahan zaman yang serba tidak
menentu, bahkan keluar dari jalur rel agama. Modernitas seringkali menjadikan atau
menyebabkan manusia dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
tampak, antara lain, dari proses-proses spesialisasi, efisiensi, dan
sebagainya, yang terjadi di sana-sini. Kondisi ini, dengan sendirinya, menuntut
begitu banyak waktu dari manusia. Akibatnya, terjadilah suatu keadaan di mana
manusia merasa asing dengan dirinya sendiri. Dalam istilah ilmu sosial sering
dinamakan alienasi. Menurut Herbert Marcuse, karena adanya industrialisasi dan
penguasaan kepada hidup oleh teknologi melalui industri, maka manusia atau
anggota masyarakat modern tidak lagi menemukan dirinya, kecuali sebagai bagian
dari mesin (industri). Pendeknya, manusia adalah “mesin-mesin” produksi, yang
memakai sistem kerja mekanistik (Syukur, 2006: v).
Kebiasaan manusia yang sudah bergelut dengan
industri, teknologi, dan hal-hal yang mengarahkan kepada materialistik atau
kehidupan hedonisme akan membuat keseimbangan hidupnya, jasmani-ruhani atau
dunia-akhirat menjadi terabaikan dan tidak seimbang. Bahkan kecenderungan malah
mementingkan kepentingan dunia-materialistik an sich. Hal inilah yang
menjadi salah satu sebab hati manusia menjadi hampa atau gersang sehingga jauh
dari jalan Allah SWT.
Untuk itu, meski kita sebagai manusia muslim
yang sudah terlanjur hidup di zaman modern yang serba ilmu pengetahuan,
teknologi dan industri, seharusnya mereorientasikan keseimbangan antara
kehidupan jasmani-ruhani atau dunia-akhirat dengan berpedoman pada prinsip
“dunia adalah ladangnya akhirat”. Dengan demikian, untuk membantu kita menuju
kepada hal-hal tersebut, izinkan kami membahas materi tentang aplikasi sosial
wara’ dan zuhud, karena di dalamnya terdapat upaya-upaya untuk mempersiapkan
diri meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memanfaatkan potensi kehidupan
di dunia sehingga terjadi keseimbangan dalam hidupnya.
A. PEMBAHASAN
I. Wara’
1. Pengertian
Kata wara’ secara harfiah artinya menahan
diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan
(Rakhmat, 2001: 101). Ibn Qayyim Al-Jawzi mengutip Q.S. Al-Muddatstsir ayat 4
sebagai perintah untuk wara’: yang artinya : “Dan pakaian kamu bersihkanlah.”
Ayat di atas oleh Qatadah dan Mujahid dimaknai
“hendaknya kamu membersihkan dirimu dari dosa”. Sedangkan Ibnu Abbas memaknai
ayat itu “Janganlah kamu busanai dirimu dengan kemaksiatan dan pengkhianatan”
(Rakhmat, 2001: 101).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Adapun wara’ adalah menahan diri dari perkara yang
terkadang bisa memudharatkan, termasuk di dalam perkara ini adalah
perkara-perkara yang diharamkan dan yang syubhat, sebab bisa berdampak negatif, dan orang yang menjaga perkara yang syubhat
maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan orang yang terjebak ke
dalam perkara yang syubhat maka dia telah terjatuh pada perkara yang
diharamkan, sama seperti seorang penggembala yang menggembalakan gembalaannya
di sekitar perbatasan, hampir saja dia melewati batasnya”. Syekh Ibnu Utsaimin
berkata, “Wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang membahayakan, hal itu terwujud
dengan meninggalkan segala sesuatu yang hukumnya belum jelas dan belum jelas
pula hakekatnya. Pertama:
sesuatu yang belum jelas hukumnya apakah dia halal atau haram. Dan yang kedua adalah samar dalam keadaannya” (Asy-Syaqawi, 2010: 2).
Menurut Quraisy Shihab (2003: 553-554), wara’
diartikan sebagai nilai kesucian jiwa (hati) maupun pakaian. Orang Islam
mengukur keutamaan, makna, atau keabsahan gagasan dan tindakan, dari sejauhmana
keduanya memproses penyucian diri. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam
Q.S. Asy-Syams ayat 9-10:
Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Sedangkan menurut Hamka (Al-Kumayi, 2004:
245-246), wara’ mencakup kesucian lahiriah (jasmaniah) dan batiniah. Keduanya
tidak bisa dipisahkan. Berbahagialah orang-orang yang membersihkan jiwanya atau
dirinya, gabungan di antara jasmani dan ruhaninya. Jasmani dibersihkan dari
hadas dan najis. Dan jiwanya dibersihkannya pula dari penyakit-penyakit yang
mengancam kemurniannya. Penyakit bagi jiwa adalah mempersekutukan Tuhan dengan
yang lain, mendustakan kebenaran yang dibawa Rasul, atau bersifat hasad dengki
kepada sesama manusia, benci, dendam, sombong, angkuh dan lain-lain. Juga,
kebersihan jasmaniah berupa kebersihan pakaian harus dibersihkan karena ia
mempengaruhi pikiran.
2. Aplikasi Sosial Wara’
Islam menyeru semua umatnya untuk
berlomba-lomba menyucikan dirinya (wara’). Pada prinsipnya, bersuci dalam Islam
tidak hanya dalam rangkaian ibadah saja, namun dapat ditemukan juga dalam
kehidupan sosial sehari-hari, dalam berniaga, berumah-tangga, bergaul, bekerja,
belajar, dan lain-lain. Di tempat-tempat tersebut, umat Islam diajarkan
bersikap hidup suci, seperti menjauhkan diri dari dusta, kezaliman, menipu,
khianat, atau bahkan sikap bermuka dua (munafik).
Meskipun secara harfiah wara’ artinya menahan
diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan. Tetapi
hal ini bukan menjadi perintah atau anjuran bahwa wira’i harus mengenakan
pakaian atau busana yang jelek. Pengertian ini justru akan menciderai umat
Islam sendiri karena menimbulkan image atau pandangan dari dunia di luar
Islam bahwa umat Islam adalah umat yang terbelakang, tidak mau mengikuti
perkembangan zaman, kolot dan berbagai cap jelek lainnya. Dengan demikian, arti
wara’ harus dimaknai secara arif dan bijaksana, yaitu menjaga kesucian lahir
dan batin serta kemampuan menghindari persoalan yang haram atau syubhat.
Sikap wara’ memiliki jangkauan yang cukup
luas, yaitu meliputi pandangan, pendengaran, lisan, perut, kemaluan, jual beli dan
lain-lain. Banyak orang yang terjebak ke dalam
perkara-perkara yang diharamkan dan syubhat karena meremehkan tiga perkara ini,
yaitu bersikap wara’ dalam menjaga lisan, perut dan pandangan. Untuk menjaga lisan,
perut dan pandangan ini harus berbekal ilmu pengetahuan yang mapan yang
disertai landasan iman dan takwa. Hal ini sangat penting karena ketiga perkara
tersebut akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak di akhirat. Kemudian
yang perlu dilakukan adalah menempatkan ketiga perkara itu sesuai dengan
fungsinya yang proporsional dalam rangka menggunakannya untuk melakukan
kebaikan dan kebermanfaatan bagi kepentingan umat manusia. Secara sederhana,
dapat dijaga dengan tidak berlebih-lebihan dalam memenuhi keinginan yang
berasal dari lisan, perat dan pandangan. Allah SWT berfirman dalam QS. al-Isro' ayat 36:
Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(Q.S. Al-Isra’ : 36)
Syaikh
al-Qubbari rahimahullah mengisyaratkan bahwa: “Yang makruh adalah dinding penghalang di antara
hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan yang
makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan dinding
pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang memperbanyak
yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh.” Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik
perkataannya ini dan ia menambahkan: “Sesungguhnya
yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa
menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti
memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang
dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa
kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah
(maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah).” Hal ini sudah
diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dengan pandangan mata (www.islam-center.net/id/ prinsip-prinsip-keislaman/ pengertian-islam/ 125-sifat-wara.html).
Manusia dipersilakan mencari kekayaan
sebanyak-banyaknya, selama kekayaan itu tidak mencari diri mereka sendiri, dan
selama mampu menggunakannya untuk menyucikannya. Misalnya, Ketika Salman
Al-Farisi diangkat menjadi gubernur pada zaman pemerintahan Umar, ia ditemukan
orang sedang memikul barang untuk yang lain. Ia tidak mau memakan tunjangan
jabatannya. Bukan karena gaji itu haram, tetapi Salam memilih makan dari hasil
keringatnya sendiri. Ia merasa bahwa itulah hartanya yang paling bersih.
Sebenarnya umat Islam saat ini bisa saja
meniru perilaku terpuji Gubernur Salman ar-Farisi dengan cara hanya mau
menerima gaji yang benar-benar merupakan hasil keringatnya sendiri, misalnya
PNS menerima gaji bulanan. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah terkadang
menerima “amplop” yang bukan menjadi hak atau hasil keringatnya sendiri tetapi
sekedar bagi-bagi hasil dari suatu proyek atau penggelembungan anggaran demi
kepentingan pribadi. Dengan demikian, yang terjadi bagi pejabat yang tidak
amanah adalah inginnya gajinya utuh dan masih adanya ambisi yang besar untuk
mendapatkan tunjangan atau proyek-proyek tertentu.
Imam Al-Ghazali (Ahmad, 1993: 56-58) membagi
wara’ menjadi empat golongan berikut:
a) Wara’-nya orang awam, yaitu wara’-nya orang
biasa yang mampu menahan diri dari melakukan sesuatu yang dilarang oleh agama.
b) Wara’-nya orang shalih, yaitu wara’-nya orang
yang mampu menahan diri dari menyentuh atau memakan sesuatu yang mungkin akan
jatuh kepada yang haram, yaitu makan sesuatu yang tidak jelas hukum atas
statusnya (syubhat).
c) Wara’-nya orang bertakwa, yaitu wara’-nya
orang yang mampu menahan diri dari sesuatu yang tidak diharamkan oleh agama,
dan bukan pula termasuk sesuatu yang syubhat, tetapi ia menahan diri dari
perkara tersebut karena takut kepada yang haram, yakni meninggalkan sesuatu
yang tidak ada apa-apa karena takut kepada apa-apa. Pada tingkatan ini, orang
tersebut selalu menjaga dan mengendalikan diri dari keinginan melakukan sesuatu
perbuatan, mengucapkan sesuatu perkataan atapun memakan sesuatu makanan karena
khawatir akan jatuh ke dalam dosa.
d) Wara’-nya orang benar, yaitu wara’-nya orang
yang mampu menahan diri dari dosa karena Allah SWT. Artinya, setiap gerak-gerik
orang ini hanya diperuntukkan beribadah kepada Allah SWT sehingga segala
sesuatu yang tidak diniatkan beribadah, maka hukum bagi dirinya sendiri adalah
haram.
Ibnu Qayyim Al-Jawziyah membagi wara’ dalam
tiga tahap, yaitu tahap meninggalkan kejelekan, tahap menjauhi hal yang
diperbolehkan karena kuatir jatuh pada hal-hal yang dilarang, dan tahap
menjauhi apa saja yang membawa orang kepada selain Dia (Rakhmat, 2001: 104).
Mari kita lihat secara psikologis ketiga
fungsi ini. Setiap kejelekan yang kita lakukan akan berbekas dalam hati. Ia
akan menjadi noktah hitam yang mengotori hati; makin banyak kejelekan, makin
kotor hati; sehingga apabila kejelekan itu dilakukan terus menerus, hati bukan
saja kotor tetapi bahkan telah menjadi kotoran itu sendiri. Sigmund Freud
menemukan hal yang menarik dalam perkembangan manusia. Ia melihat anak kecil
bertindak secara impulsif. Mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan,
tanpa kendali. Mereka hanya mengejar kesenangan. Namun setelah agak besar,
anak-anak mulai memperhatikan hukuman dan ganjaran dari orang-orang dewasa di
sekitarnya. Perilakunya tunduk pada kontrol dari luar. Ia akan melakukan apa
saja yang mendatangkan kesenangan dan menghindari apa saja yang mengakibatkan
kesusahan. Setelah lebih besar lagi, anak-anak mulai mengembangkan kontrol dari
dalam. Ia menyerap nilai moral dan etika masyarakatnya. Ia berperilaku bukan
takut siksaan atau karena mengharapkan ganjaran. Ia berperilaku apa yang
seharusnya dilakukannya.
Untuk tahap perkembangan ini, Freud
menciptakan tiga konsep. Pada tahap pertama, anak sepenuhnya diatur oleh id sumber
hasrat, keinginan, dan nafsu. Pada tahap kedua, ia melihat realitas di
sekitarnya; perilakunya diatur oleh ego. Pada tahap ketiga, ia diatur
oleh hati nuraninya (Freud menyebutnya superego). Setiap kali manusia
menentang superego-nya, setiap kali ia melakukan pelanggaran nilai-nilai
etik atau moral (dalam istilah tasawuf, setiap kali ia melakukan kejelekan atau
dosa), ia akan mengalami kegelisahan (kaum psikoanalisis menyebutnya moral
anxiaty). Konflik dengan superego akan menimbulkan luka psikologis yang
dalam. Mungkin luka itu dibenamkan dalam bawah sadar kita, tetapi ia tidak akan
hilang. Ia akan menghantui seluruh hidup kita. Perasaan berdosa (guilty
feeling) menimbulkan gangguan fisik (jasmani) dan psikologis (jiwa-ruhani) (Rakhmat,
2001: 104-105). Perasaan bersalah timbul bila kita banyak melakukan kesalahan,
kejelekan, atau dosa. Karena itu, menjauhi perbuatan jelek pada hakikatnya
menjaga diri dari kerusakan fisik dan psikologis.
Dari uraian di atas terdapat proses kehidupan
yang secara berkelanjutan dalam menata jasmani dan ruhani menjadi lebih baik.
Secara otomatis usia seseorang dapat mematangkan pemikiran dan penataan hati
mereka dalam mencapai derajat wara’ yang semakin tinggi. Anak kecil mempunyai
gejala psikologis yang labil dan temperamental sehingga mudah
diombang-ambingkan oleh pengaruh lingkungan. Berbeda dengan orang dewasa yang
sudah mapan secara psikolgis sehingga hati dan pikirannya cenderung stabil dan
lebih mampu dalam mensikapi pengaruh lingkungan yang mengglobal bahkan tidak
menentu yang cenderung materialistik.
Seseorang yang telah memiliki sifat wara’ akan
ditandai dengan ciri-ciri berikut:
a) Sangat berhati-hati dari yang haram dan
syubhat. Mereka sangat berhati-hati dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian
untuk mendekat kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Hal ini
sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
إِنَّ
الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ
مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى
الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
Artinya : "Sesungguhnya yang halal dan yang
haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan
orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang
syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya." (HR.
al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan
107.)
Ciri wara’ di atas dapat dilihat dari kisah
tentang kisah Imam Syafi’i yang mana air susu yang sudah diminum dalam perutnya
dikeluarkan lagi melalui muntah-muntah. Perlakuan orang tuanya ini mencerminkan
kehati-hatian beliau dalam menjaga batas-batas yang halal dan haram sehingga
makanan atau minuman yang masuk ke perut anaknya (Imam Syafi’i) tersebut
benar-benar halal semuanya. Dengan demikian dapat mengantarkan anak kecil itu
menjadi ulama besar sepanjang zaman.
b) Membuat pembatas antara yang halal dan yang
haram. Karena kehati-hatian dalam mencermati perkara-perkara yang halal dan
haram, maka orang tersebut akan mengetahui batas-batas kehalalan dan keharaman
sesuatu.
c) Menjauhi semua yang diragukan (syubhat). Hal-hal
yang dapat membuat hati dan pikiran merasa ragu terhadap sesuatu, maka seorang
yang wira’i segera menjauhinya karena dikuatirkan akan merasuk ke dalam dirinya
sehingga membuat kesucian hatinya tercemari oleh sesuatu yang syubhat. Dengan
demikian apabila dalam sistem atau komunitas kerja terdapat hasil-hasil kerja
yang tidak jelas asal-usul pemberian honor atau tunjangan, maka bagi orang yang
wara’ (wira’) dapat menolak dengan halus karena nantinya dikuatirkan mengotori
diri dan hatinya. Agar umat Islam dihargai dalam pemberian hasil yang baik
(berkah) dan terhindar dari pemberian yang syubhat, maka dapat melakukan kerja
tambahan yang jelas hasilnya.
d) Tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh. Hal-hal
yang halal memang dianjurkan untuk dicari dan dimanfaatkan. Akan tetapi bagi
seorang yang wira’i memanfaatkannya secara cukup sesuai kebutuhan dan
kemampuannya. Karena dikuatirkan akan menyebabkan dirinya lupa dengan dirinya
sendiri dan Allah SWT.
e) Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu.
Sifat kehati-hatian inilah yang menyebabkan seorang wira’i selalu menjaga
perkataan lisannya dari kata-kata yang tidak berguna atau bermanfaat bagi kemaslahatan
umat sehingga ia menjaga fatwanya menjadi benar-benar bermakna bagi dirinya
sendiri dan bagi orang lain. Dengan pertimbangan inilah ia biasanya mengambil
referensi dari ulama atau ilmuwan atau hasil ijtihad.
f) Meninggalkan perkara-perkara yang tidak
berguna. Dalam pandangan seorang wira’i, perkara yang kurang berguna kemudian
dibicarakan dan dilakukan justru akan menutup hatinya dalam berkomunikasi
dengan Allah SWT sehingga lama-kelamaan akan jauh dengan-Nya. Untuk itulah, dengan
memanfaatkan waktu setiap saat untuk melakukan perbaikan diri, untuk memberikan
manfaat kepada orang lain dan meninggalkan perkara yang tidak berguna akan
lebih membawa kepada kesucian hati (http://rumahislam.com/akhlak/145-akhlak-terpuji/491-wara.html).
Sifat wara’ dengan ciri-ciri yang diungkapkan
di atas dapat dijadikan sebagai langkah strategis untuk menjadikan perilaku dan
sifat umat Islam dalam mencapai wara’. Perlu dipahami bahwa proses untuk
memiliki sifat wara’ merupakan proses perjalanan hidup dalam mencapai ridlo
Allah melalui salah satu perilaku atau sifat terpuji, salah satunya sifat wara’
ini.
Dalam praktek ekonomi yang berjalan di negara
kita, sikap wara’ dapat pula diterapkan dalam berbagai bidang pekerjaan,
termasuk pula sistem dalam koperasi simpan pinjam atau bank syari’ah. Kedua
lembaga ini mengatur bahwa pekerjaan di dalamnya berasal dari hasil peminjaman
hutang atau kredit kepada nasabah (termasuk PNS atau pihak lainnya) kemudian
dibayar oleh mereka dengan disertai bunga. Dengan demikian dari hasil kajian
ulama ada yang mengharamkan, ada pula yang menghalalkan sehingga akhirnya
menyebabkan perkara yang syubhat. Tetapi ada pula koperasi atau bank syari’ah yang
melakukan sistem simpan pinjam dengan bagi hasil dari hasil usaha. Cara yang
demikian diperbolehkan dalam Islam karena saling menguntungkan melalui usaha.
Untuk itu, bagi orang yang bekerja dalam sistem koperasi simpan pinjam harus
mensikapi dunia kerjanya, apakah termasuk yang menggunakan penggajian dari
sistem bunga ataukah bagi hasil. Dengan demikian akan didapat kejelasan dalam
penerimaan hasil yang digunakan dalam menjaga kelangsungan biaya hidup bagi
dirinya sendiri dan keluarganya.
Lebih lanjut, terkadang kita sering terjebak
dalam sistem kerja yang di sekitar kita terdapat perilaku orang yang tidak
mempedulikan ajaran-ajaran agama sehingga mereka tidak berjalan sesuai dengan
aturan-aturan agama melainkan sesuai kepentingan dan ambisi hawa nafsunya
sehingga dalam menghasilkan pendapatan atau honor seringkali menyalahi aturan
yang berlaku. Bahkan tidak menafikan juga kita seringkali diberi jatah tersebut
sebagai bentuk kesetiakawanan atau pemerataan. Untuk mensikapi perilaku yang
demikian, kita seharusnya berani menolak dan apabila hasil kerja kita masih
belum mencukupi dalam memenuhi kebutuhan hidup, maka kita dapat mencari
tambahan penghasilan melalui kerja yang lebih halal di luar kerja jam kedinasan
yang utama.
II. Zuhud
1. Pengertian
Secara bahasa, zuhud berasal dari kata zahada
(زهد)
yang memiliki makna sama dengan raghiba ‘an (رغب عن), yang artinya tidak tertarik terhadap
sesuatu dan meninggalkannya. Sedangkan secara istilah, pengertian zuhud dapat
dipahami dari pendapat Syekh Al-Junaidi, Abu Sulaiaman Ad-Darani, Sufyan Atsauri dan Hamka. Menurut Syekh
Al-Junaidi, zuhud adalah kosongnya tangan dari memegang harta, dan putusnya
hati dari mengingatnya. Menurut Ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan sesuatu
yang dapat memalingkan dari Allah. Menurut Atsauri, zuhud adalah terputusnya
angan-angan dari dunia. Pendapat-pendapat tersebut pada intinya memberikan
deskripsi bahwa zuhud adalah tidak adanya ketergantungan hati pada harta, bukan
tidak memiliki harta sama sekali (Al-Makki, 1995: 30).
Sedangkan menurut Hamka, zuhud tidak dapat
dilepaskan dari dua hal, yaitu zuhud merupakan bagian tasawuf dan zuhud sebagai
moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Mukti Ali mengartikan zuhud sebagai
bagian dari tasawuf adalah menghindar dari kehendak terhadap hal-hal yang
bersifat duniawi. Hal ini juga selaras dengan penjelasan Abdul Hakim Hasan,
yaitu zuhud diartikan berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk
beribadah. Melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan
khalwat, berkelana, puasa, mengurangi makan, dan memperbanyak dzikir. Zuhud di
sini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan
itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa. Semuanya itu dimaksudkan untuk
meraih keuntungan akhirat dan tercapai tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan
ma’rifat kepada Allah SWT (Syukur, 2004: 1-2).
Sedangkan zuhud sebagai moral (akhlak) Islam
dan gerakan protes, adalah sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang
muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah
untuk meraih ridla Allah SWT. Hal ini berarti zuhud diartikan tidak merasa
bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih
karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya (Syukur, 2004: 3). Pengertian ini
senada dengan pengertian yang diutarakan oleh Hamka (1993: 194) yang menyatakan
bahwa zuhud adalah tidak ada perhatian kepada yang lain, kecuali kepada Allah
sehingga orang zuhud merasai: la yamliku syai’an wa la yamlikuhu syai’un (tidak
mempunyai apa-apa, dan tidak dipunyai oleh apa-apa). Hal ini dimaknai bahwa
zuhud adalah dinamis, bekerja keras untuk memperoleh kenikmatan dunia dengan
tidak melupakan Allah SWT. Mencari harta untuk kesempurnaan jiwanya, bukan
untuk kesempurnaan harta benda itu sendiri (Syukur, 2004: 133). Seorang yang
zuhud hatinya tidak terbelenggu atau tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat
duniawi dan tidak menjadikannya sebagai tujuan, tetapi hanya sebagai sarana
untuk mencapai derajat ketakwaan yang merupakan bekal untuk akhirat (Syukur,
2003: 14). Pendapat dan penjelasan Hamka dan Amin Syukur ini selaras dengan
pendapat Syekh al-Junaidi yang berpendapat bahwa bahwa zuhud adalah kosongnya
tangan dari memegang harta dan putusnya hati dari mengingat harta tersebut. Dari
pengertian seperti inilah sebagai dasar untuk menata hati dalam menerapkan
sifat zuhud, terutama dalam memanfaatkan harta yang telah diamanatkan kepada
seseorang. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 77
dan al-Hadid ayat 23 berikut:
Artinya: Katakanlah: "Kesenangan dunia ini
hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan
kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.”(An-Nisa”: 77)
Artinya : (Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan
diri.” (Q.S. al-Hadid : 23)
2. Aplikasi Sosial Zuhud
Masyarakat sosial modern menurut Atho’ Mudzhar
(Syukur, 2004: 177) ditandai oleh lima ciri: Pertama, berkembangnya mass
culture karena pengaruh kemajuan mass media sehingga kultur tidak lagi
bersifat lokal, melainkan nasional atau bahkan global. Kedua, tumbuhnya
sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak manusia menuju perubahan
masa depan. Dengan demikian, alam dapat ditaklukkan, manusia merasa lebih
leluasa kalau bukan merasa lebih berkuasa. Ketiga, tumbuhnya berpikir
rasional, sebagian besar kehidupan umat manusia ini semakin diatur oleh
aturan-aturan rasional. Keempat, tumbuhnya sikap hidup yang
materialistik, artinya semua hal diukur oleh nilai kebendaan dan ekonomi. Kelima,
meningkatnya laju urbanisasi.
Indikasi di atas yang menandakan masyarakat
modern yang merasa bebas dan terkadang lepas kontrol dari nilai-nilai agama dan
pandangan dunia metafisis, berlanjut pada penghilangan nilai-nilai sakral
terhadap dunia, meletakkan hidup manusia dalam konteks kenyataan sejarah dan
penisbian nilai-nilai (Syukur, 2004: 177). Kenyataan seperti ini ternyata
menyimpan problema hidup pelik yang sulit dipecahkan. Rasionalisme,
sekularisme, materialisme ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketenteraman
hidup manusia, akan tetapi seringkali menimbulkan kegelisahan hidup mereka.
Menurut Abu al-Wafa al-Taftazani (Syukur,
2004: 178), kegelisahan ini disebabkan karena: Pertama, takut kehilangan
apa yang dimiliki, seperti uang atau jabatan; Kedua, takut terhadap masa
depan yang tidak disukai (trauma imajinasi masa depan); Ketiga, rasa
kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan kepuasaan
spiritual; dan Keempat, dirinya banyak melakukan pelanggaran dan dosa. Pada
intinya al-Taftazani menyimpulkan bahwa kegelisahan ini disebabkan karena
hilangnya keimanan dalam hatinya, menyembah kepada selain Allah SWT dalam arti
yang bersangkutan mendewa-dewakan benda, ketergantungan bukan kepada Allah SWT,
seperti atasannya dan materi, serta banyak menyimpang dari norma dan nilai
agama. Cara-cara yang diungkapkan Abu al-Wafa al-Taftani adalah merupakan
langkah-langkah yang baik dalam rangka mencapai derajat kezuhudan. Jelas bahwa
pencapaian derajat ini tidak hanya berproses secara pribadi ekslusif melainkan
juga harus dapat dilakukan dalam kehidupan sosial.
Hal yang bisa berbahaya secara sosial atau
meluas dari pelanggaran norma dan nilai agama berupa membuat kerusakan secara
materiil, maksudnya bukan saja dalam bentuk eksploitasi sumber-sumber alam
seperti flora, fauna, air, energi, mineral, barang tambang, dan lain-lain
secara semena-mena, tetapi juga membiarkan sumber-sumber alam itu tercemar
racun, terserang hama, terbakar hangus, tertimbun lahar, dengan alasan bahwa
sumber-sumber alam atau hal-hal yang bersifat dunia tidak ada gunanya dan kita
harus membencinya (Djaelani, 1996: 134).
Aplikasi zuhud secara sederhana dapat dimaknai
sebagai usaha untuk tidak mengikatkan diri pada harta duniawi atau kepentingan
duniawi. Meskipun seseorang mempunyai harta yang melimpah, tetapi harta
tersebut digunakan sebagai sarana untuk berbuat kebaikan dalam rangka mencapai
ridlo Allah SWT dengan berbagai aktivitas atau perilaku yang bermanfaat bagi
kepentingan umat.
Cara-cara di atas merupakan aplikasi dari sikap
zuhud yang berusaha merealisasikan keseimbangan jiwanya dari problem hidup dan
kehidupan yang serba materialistik sehingga timbullah kemampuan untuk
menghadapinya dengan arif dan bijaksana. Seorang zahid menganggap bahwa
kehidupan di dunia ini hanyalah sekedar sarana, bukan tujuan. Ia mengambil
dunia atau materi secukupnya, tidak terjerat cinta padanya. Dunia atau materi
itu disiasatinya agar keduanya bernilai akhirat, semuanya dijadikan sarana
beribadah kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Qashas ayat 77 :
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.
Zuhud tidak berarti jalan menuju pemiskinan
duniawi melainkan disikapi dengan hidup sederhana berdasarkan motif agama
sehingga berdampak pada kemampuan menanggulangi sifat tamak dan al-hirs (keinginan
yang berlebih-lebihan terhadap materi). Dalam menginterpretasikan zuhud ini,
Imam ibn Hanbal (Syukur, 2004: 182) membagi ke dalam tiga tahap, yaitu: Pertama,
zuhudnya orang awam dalam arti meninggalkan yang haram. Hal ini mengandung
nilai bahwa seseorang dituntut untuk mencari kekayaan dengan tulus melalui kerja
keras dan profesional, meninggalkan suap, manipulasi, korupsi, menindas yang
lain, dan sebagainya. Kedua, zuhudnya orang khawas (isitimewa) dalam
arti meninggalkan hal-hal yang berlebih-lebihan dalam perkara halal. Hal ini
menunjukkan sikap hemat, hidup sederhana, serta menghindari sikap
berlebih-lebihan, kemewahan atau pemilikan harta yang lebih bernilai sebagai
promotor status daripada sebagai harta kekayaan yang produktif. Di sini zuhud
akan melahirkan sikap menahan diri dan memanfaatkan harta untuk kepentingan
produktif. Sikap zuhud yang demikian akan mendorong seseorang untuk mengubah
harta bukan saja sebagai aset ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi
juga sebagai aset sosial dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap
pemanfaatan harta dalam masyarakat. Ketiga, zuhudnya orang arif (orang
yang telah mengenal Tuhan) dalam arti meninggalkan apa saja yang memalingkan
diri dari Allah SWT.
Penggolongan zuhud ini yang dinyatakan oleh
Imam Ibn Hanbal didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman pribadi bersama
orang-orang di sekitarnya dalam mencermati perilaku zuhud sehingga didapat
pentahapan atau penggolongan zuhud, mulai dari orang awam, khawas (istimewa),
dan orang arif. Tetapi umat Islam sendiri tidak bisa memaknai dirinya dalam posisi
satu, dua atau tiga. Semua itu diserahkan kepada Allah SWT.
Sedangkan menurut Sayyid Abdullah Al-Haddad
(2003: 94), seseorang yang memiliki sifat zuhud akan ditandai dengan: a) tidak
bergembira dengan adanya perkara yang ada; b) tidak susah karena ditiadakan
perkara dari dunia; c) tidak disibukkan mencari dunia; dan d) tidak disibukkan
untuk bermesraan dengan dunia.
Dengan demikian, zuhud dapat dijadikan benteng
untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam menghadapi
gemerlapnya materi. Hal ini bukan berarti akan menjadikan seseorang menjadi
pasif, seperti tidak mau mencari nafkah, eksklusif, dan menarik diri dari
keramaian dunia, tetapi sebaliknya, sebab seorang muslim hidup di dunia ini
membawa amanah kekhalifahan, yang berarti sebagai wakil Tuhan, pengelola,
pemakmur, dan yang meramaikan dunia ini.
Islam menggabungkan antara tuntutan ruhani dan
jasmani dengan nilai keadilan dan kebenaran. Maksudnya, apabila Islam
menggariskan jalan keberuntungan bagi ruhani, maka Islam juga menggariskan pula
jalan keberuntungan bagi kehidupan kebendaan, dan memerintahkan agar dalam
perolehannya menggunakan cara-cara yang baik dan bermanfaat. Untuk itu, Islam
memerintahkan pencarian dan pengumpulan harta benda harus melalui jalan yang
bisa mendatangkan kebaikan dan keberuntungan bagi manusia, membangkitkan
kegiatan dan kegairahan kerja, memakmurkan alam, serta menciptakan perubahan di
dunia (Djaelani, 1996: 129-130).
Apabila seseorang telah mampu menguasai
dirinya, maka sudah barang tentu hatinya menjadi jernih, ketenangan dan
ketentraman memancar dari hatinya. Dalam keadaan yang demikian ini, seseorang
bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang bathil dan mana
yang haq.
Perkembangan dunia secara otomatis disertai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Pesatnya perkembangan ini
apabila tidak disertai dengan kekuatan landasan iman dan takwa (IMTAQ) akan
membuat hidup menjadi tidak seimbang, bahkan mungkin sering terjadi
penyimpangan atau penyelewengan dan kerusuhan. Dengan demikian harus adanya
keseimbangan dan perpaduan yang sinergis antara IPTEK dan IMTAQ sehingga mampu
memberikan nuansa dan pengantar hidup yang lebih sejahtera lahir dan batin.
IPTEK dan IMTAQ inilah yang dijadikan landasan dalam menerapkan perilaku hidup
wara’ dan zuhud sehingga dalam hal apapun umat Islam tidak menjadi ketinggalan
zaman, tetap eksis dan masih dalam kerangkan kebaikan ajaran Islam secara kaffah.
B. KESIMPULAN
Kehidupan era
modern melibatkan manusia harus berinteraksi dengan dirinya sendiri, orang lain
dan dengan Allah SWT. Untuk itu mereka tidak dapat lepas dari sistem tersebut. Sistem
itu harus disikapi dengan baik dalam rangka memperbaiki jalan untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Semua hubungan dapat dimanifestasikan dalam
sifat atau sikap wara’ dan zuhud karena keduanya melibatkan kepentingan dalam
dan luar diri manusia, jasmani-ruhani dalam menyeimbangkan dunia dan
akhiratnya.
Seorang yang
wira’i akan mengaplikasikan kehidupannya dengan cara : berhati-hati dari yang
haram dan syubhat, membuat pembatas antara yang halal dan yang haram, menjauhi
semua yang diragukan (syubhat), tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh,
tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu, dan berkenan meninggalkan
perkara-perkara yang tidak berguna.
Sedangkan
seorang yang zuhud akan mengaplikasikan kehidupannya melalui cara : tidak
mengikatkan dirinya terbelenggu oleh harta yang dimilikinya, dengan berkenan
memanfaatkan untuk kepentingan dirinya secara cukup dan kepentingan
kemaslahatan umat. Seorang zahid biasanya berprinsip harta hanya sebatas di
tangan dan tidak terikat di hati. Dengan sikap seperti inilah akan menimbulkan
kehidupan yang baik, seperti menghindari penindasan, tamak, al-hirs, korupsi,
eksploitasi sumber daya alam dan manusia secara berlebihan dan
tindakan-tindakan merugikan lainnya.
C. PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan
keterbatasan ilmu pengetahuan dan sumber rujukan atau referensi sehingga kami
berharap atas kekurangan ini mendapat masukan, saran dan kritik konstruktif
dari para pembaca, khususnya Bapak Prof. Dr. H. Amin Syukur, MA. Sehingga
menjadikan makalah ini lebih sempurna dari sebelumnya.
Semoga melalui penyusunan makalah ini dapat
memberikan manfaat dan menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan petunjuk dan
ridlo dari Allah SWT. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Haddad, Sayyid Abdullah, 2003, Jalan
Para Nabi Menuju Surga, Terj. Ahmad Nashirin, Jakarta: Hikmah.
Al-Kumayi, Sulaiman, 2004, Kearifan
Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, Semarang: Pustaka Nuun
Al-Makki, As-Sayyid Bakri, 1995, Merambah
Jalan Sufi, Terj. A. Wahid Sy., Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Asy-Syauki, Amin bin Abdullah, 2010, Wara’,
Terj. Muzaffar Sahidu, Islamhouse.com
Djaelani, Abdul Qadir, 1996, Koreksi
Terhadao Ajaran Tasawuf, Jakarta: Gema Insani Press.
Faried, Ahmad, 1993, Menyucikan Jiwa :
Konsep Ulama Salaf, Risalah Gusti: Surabaya.
Hamka, 1993, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya,
Jakarta: Pustaka Panjimas.
Rakhmat, Jalaluddin, 2001, Membuka Tirai
Kegaiban: Renungan-Renungan Sufistik, Bandung: Mizan.
Shihab, Quraisy, 2003, Tafsir Al-Mishbah:
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati.
Syukur, Amin, 2003, Tasawuf Kontekstual, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Syukur, Amin, 2004, Zuhud di Abad Modern,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syukur, Amin, 2006, Tasawuf Bagi Orang Awam
: Menjawab Problema Kehidupan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://rumahislam.com/akhlak/145-akhlak-terpuji/491-wara.html diunduh pada tanggal 11 September 2011
http://www.islam-center.net/id/prinsip-prinsip-keislaman/pengertian-islam/125-sifat-wara.html diunduh pada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar