Kamis, 23 Januari 2014

Aplikasi Sosial Wara' dan Zuhud

 
Era modern ditandai dengan perkembangan dunia ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi dan bidang lain secara cepat dan mengglobal sehingga tidak mungkin manusia mampu mencegah apalagi lari dari kenyataan itu. Perkembangan ini menyebabkan manusia harus berinteraksi dan menyiasati diri dalam menghadapi kondisi perubahan zaman yang serba tidak menentu, bahkan keluar dari jalur rel agama. Modernitas seringkali menjadikan atau menyebabkan manusia dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini tampak, antara lain, dari proses-proses spesialisasi, efisiensi, dan sebagainya, yang terjadi di sana-sini. Kondisi ini, dengan sendirinya, menuntut begitu banyak waktu dari manusia. Akibatnya, terjadilah suatu keadaan di mana manusia merasa asing dengan dirinya sendiri. Dalam istilah ilmu sosial sering dinamakan alienasi. Menurut Herbert Marcuse, karena adanya industrialisasi dan penguasaan kepada hidup oleh teknologi melalui industri, maka manusia atau anggota masyarakat modern tidak lagi menemukan dirinya, kecuali sebagai bagian dari mesin (industri). Pendeknya, manusia adalah “mesin-mesin” produksi, yang memakai sistem kerja mekanistik (Syukur, 2006: v).
Kebiasaan manusia yang sudah bergelut dengan industri, teknologi, dan hal-hal yang mengarahkan kepada materialistik atau kehidupan hedonisme akan membuat keseimbangan hidupnya, jasmani-ruhani atau dunia-akhirat menjadi terabaikan dan tidak seimbang. Bahkan kecenderungan malah mementingkan kepentingan dunia-materialistik an sich. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab hati manusia menjadi hampa atau gersang sehingga jauh dari jalan Allah SWT.
Untuk itu, meski kita sebagai manusia muslim yang sudah terlanjur hidup di zaman modern yang serba ilmu pengetahuan, teknologi dan industri, seharusnya mereorientasikan keseimbangan antara kehidupan jasmani-ruhani atau dunia-akhirat dengan berpedoman pada prinsip “dunia adalah ladangnya akhirat”. Dengan demikian, untuk membantu kita menuju kepada hal-hal tersebut, izinkan kami membahas materi tentang aplikasi sosial wara’ dan zuhud, karena di dalamnya terdapat upaya-upaya untuk mempersiapkan diri meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memanfaatkan potensi kehidupan di dunia sehingga terjadi keseimbangan dalam hidupnya.

   A.  PEMBAHASAN
I.     Wara’
 
1.      Pengertian
Kata wara’ secara harfiah artinya menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan (Rakhmat, 2001: 101). Ibn Qayyim Al-Jawzi mengutip Q.S. Al-Muddatstsir ayat 4 sebagai perintah untuk wara’: yang artinya : “Dan pakaian kamu bersihkanlah.”
Ayat di atas oleh Qatadah dan Mujahid dimaknai “hendaknya kamu membersihkan dirimu dari dosa”. Sedangkan Ibnu Abbas memaknai ayat itu “Janganlah kamu busanai dirimu dengan kemaksiatan dan pengkhianatan” (Rakhmat, 2001: 101).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun wara’ adalah menahan diri dari perkara yang terkadang bisa memudharatkan, termasuk di dalam perkara ini adalah perkara-perkara yang diharamkan dan yang syubhat, sebab bisa berdampak negatif, dan orang yang menjaga perkara yang syubhat maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan orang yang terjebak ke dalam perkara yang syubhat maka dia telah terjatuh pada perkara yang diharamkan, sama seperti seorang penggembala yang menggembalakan gembalaannya di sekitar perbatasan, hampir saja dia melewati batasnya”. Syekh Ibnu Utsaimin berkata, “Wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang membahayakan, hal itu terwujud dengan meninggalkan segala sesuatu yang hukumnya belum jelas dan belum jelas pula hakekatnya. Pertama: sesuatu yang belum jelas hukumnya apakah dia halal atau haram. Dan yang kedua adalah samar dalam keadaannya” (Asy-Syaqawi, 2010: 2).
Menurut Quraisy Shihab (2003: 553-554), wara’ diartikan sebagai nilai kesucian jiwa (hati) maupun pakaian. Orang Islam mengukur keutamaan, makna, atau keabsahan gagasan dan tindakan, dari sejauhmana keduanya memproses penyucian diri. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Asy-Syams ayat 9-10:
Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Sedangkan menurut Hamka (Al-Kumayi, 2004: 245-246), wara’ mencakup kesucian lahiriah (jasmaniah) dan batiniah. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Berbahagialah orang-orang yang membersihkan jiwanya atau dirinya, gabungan di antara jasmani dan ruhaninya. Jasmani dibersihkan dari hadas dan najis. Dan jiwanya dibersihkannya pula dari penyakit-penyakit yang mengancam kemurniannya. Penyakit bagi jiwa adalah mempersekutukan Tuhan dengan yang lain, mendustakan kebenaran yang dibawa Rasul, atau bersifat hasad dengki kepada sesama manusia, benci, dendam, sombong, angkuh dan lain-lain. Juga, kebersihan jasmaniah berupa kebersihan pakaian harus dibersihkan karena ia mempengaruhi pikiran.

2.      Aplikasi Sosial Wara’
Islam menyeru semua umatnya untuk berlomba-lomba menyucikan dirinya (wara’). Pada prinsipnya, bersuci dalam Islam tidak hanya dalam rangkaian ibadah saja, namun dapat ditemukan juga dalam kehidupan sosial sehari-hari, dalam berniaga, berumah-tangga, bergaul, bekerja, belajar, dan lain-lain. Di tempat-tempat tersebut, umat Islam diajarkan bersikap hidup suci, seperti menjauhkan diri dari dusta, kezaliman, menipu, khianat, atau bahkan sikap bermuka dua (munafik).
Meskipun secara harfiah wara’ artinya menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan. Tetapi hal ini bukan menjadi perintah atau anjuran bahwa wira’i harus mengenakan pakaian atau busana yang jelek. Pengertian ini justru akan menciderai umat Islam sendiri karena menimbulkan image atau pandangan dari dunia di luar Islam bahwa umat Islam adalah umat yang terbelakang, tidak mau mengikuti perkembangan zaman, kolot dan berbagai cap jelek lainnya. Dengan demikian, arti wara’ harus dimaknai secara arif dan bijaksana, yaitu menjaga kesucian lahir dan batin serta kemampuan menghindari persoalan yang haram atau syubhat.
Sikap wara’ memiliki jangkauan yang cukup luas, yaitu meliputi pandangan, pendengaran, lisan, perut, kemaluan, jual beli dan lain-lain. Banyak orang yang terjebak ke dalam perkara-perkara yang diharamkan dan syubhat karena meremehkan tiga perkara ini, yaitu bersikap wara’ dalam menjaga lisan, perut dan pandangan. Untuk menjaga lisan, perut dan pandangan ini harus berbekal ilmu pengetahuan yang mapan yang disertai landasan iman dan takwa. Hal ini sangat penting karena ketiga perkara tersebut akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak di akhirat. Kemudian yang perlu dilakukan adalah menempatkan ketiga perkara itu sesuai dengan fungsinya yang proporsional dalam rangka menggunakannya untuk melakukan kebaikan dan kebermanfaatan bagi kepentingan umat manusia. Secara sederhana, dapat dijaga dengan tidak berlebih-lebihan dalam memenuhi keinginan yang berasal dari lisan, perat dan pandangan. Allah SWT berfirman dalam QS. al-Isro' ayat 36:
Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(Q.S. Al-Isra’ : 36)
Syaikh al-Qubbari rahimahullah mengisyaratkan bahwa: Yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh. Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan: Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dengan pandangan mata  (www.islam-center.net/id/ prinsip-prinsip-keislaman/ pengertian-islam/ 125-sifat-wara.html).
Manusia dipersilakan mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, selama kekayaan itu tidak mencari diri mereka sendiri, dan selama mampu menggunakannya untuk menyucikannya. Misalnya, Ketika Salman Al-Farisi diangkat menjadi gubernur pada zaman pemerintahan Umar, ia ditemukan orang sedang memikul barang untuk yang lain. Ia tidak mau memakan tunjangan jabatannya. Bukan karena gaji itu haram, tetapi Salam memilih makan dari hasil keringatnya sendiri. Ia merasa bahwa itulah hartanya yang paling bersih.
Sebenarnya umat Islam saat ini bisa saja meniru perilaku terpuji Gubernur Salman ar-Farisi dengan cara hanya mau menerima gaji yang benar-benar merupakan hasil keringatnya sendiri, misalnya PNS menerima gaji bulanan. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah terkadang menerima “amplop” yang bukan menjadi hak atau hasil keringatnya sendiri tetapi sekedar bagi-bagi hasil dari suatu proyek atau penggelembungan anggaran demi kepentingan pribadi. Dengan demikian, yang terjadi bagi pejabat yang tidak amanah adalah inginnya gajinya utuh dan masih adanya ambisi yang besar untuk mendapatkan tunjangan atau proyek-proyek tertentu.
Imam Al-Ghazali (Ahmad, 1993: 56-58) membagi wara’ menjadi empat golongan berikut:
a)   Wara’-nya orang awam, yaitu wara’-nya orang biasa yang mampu menahan diri dari melakukan sesuatu yang dilarang oleh agama.
b)   Wara’-nya orang shalih, yaitu wara’-nya orang yang mampu menahan diri dari menyentuh atau memakan sesuatu yang mungkin akan jatuh kepada yang haram, yaitu makan sesuatu yang tidak jelas hukum atas statusnya (syubhat).
c)   Wara’-nya orang bertakwa, yaitu wara’-nya orang yang mampu menahan diri dari sesuatu yang tidak diharamkan oleh agama, dan bukan pula termasuk sesuatu yang syubhat, tetapi ia menahan diri dari perkara tersebut karena takut kepada yang haram, yakni meninggalkan sesuatu yang tidak ada apa-apa karena takut kepada apa-apa. Pada tingkatan ini, orang tersebut selalu menjaga dan mengendalikan diri dari keinginan melakukan sesuatu perbuatan, mengucapkan sesuatu perkataan atapun memakan sesuatu makanan karena khawatir akan jatuh ke dalam dosa.
d)   Wara’-nya orang benar, yaitu wara’-nya orang yang mampu menahan diri dari dosa karena Allah SWT. Artinya, setiap gerak-gerik orang ini hanya diperuntukkan beribadah kepada Allah SWT sehingga segala sesuatu yang tidak diniatkan beribadah, maka hukum bagi dirinya sendiri adalah haram.
Ibnu Qayyim Al-Jawziyah membagi wara’ dalam tiga tahap, yaitu tahap meninggalkan kejelekan, tahap menjauhi hal yang diperbolehkan karena kuatir jatuh pada hal-hal yang dilarang, dan tahap menjauhi apa saja yang membawa orang kepada selain Dia (Rakhmat, 2001: 104).
Mari kita lihat secara psikologis ketiga fungsi ini. Setiap kejelekan yang kita lakukan akan berbekas dalam hati. Ia akan menjadi noktah hitam yang mengotori hati; makin banyak kejelekan, makin kotor hati; sehingga apabila kejelekan itu dilakukan terus menerus, hati bukan saja kotor tetapi bahkan telah menjadi kotoran itu sendiri. Sigmund Freud menemukan hal yang menarik dalam perkembangan manusia. Ia melihat anak kecil bertindak secara impulsif. Mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan, tanpa kendali. Mereka hanya mengejar kesenangan. Namun setelah agak besar, anak-anak mulai memperhatikan hukuman dan ganjaran dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Perilakunya tunduk pada kontrol dari luar. Ia akan melakukan apa saja yang mendatangkan kesenangan dan menghindari apa saja yang mengakibatkan kesusahan. Setelah lebih besar lagi, anak-anak mulai mengembangkan kontrol dari dalam. Ia menyerap nilai moral dan etika masyarakatnya. Ia berperilaku bukan takut siksaan atau karena mengharapkan ganjaran. Ia berperilaku apa yang seharusnya dilakukannya.
Untuk tahap perkembangan ini, Freud menciptakan tiga konsep. Pada tahap pertama, anak sepenuhnya diatur oleh id sumber hasrat, keinginan, dan nafsu. Pada tahap kedua, ia melihat realitas di sekitarnya; perilakunya diatur oleh ego. Pada tahap ketiga, ia diatur oleh hati nuraninya (Freud menyebutnya superego). Setiap kali manusia menentang superego-nya, setiap kali ia melakukan pelanggaran nilai-nilai etik atau moral (dalam istilah tasawuf, setiap kali ia melakukan kejelekan atau dosa), ia akan mengalami kegelisahan (kaum psikoanalisis menyebutnya moral anxiaty). Konflik dengan superego akan menimbulkan luka psikologis yang dalam. Mungkin luka itu dibenamkan dalam bawah sadar kita, tetapi ia tidak akan hilang. Ia akan menghantui seluruh hidup kita. Perasaan berdosa (guilty feeling) menimbulkan gangguan fisik (jasmani) dan psikologis (jiwa-ruhani) (Rakhmat, 2001: 104-105). Perasaan bersalah timbul bila kita banyak melakukan kesalahan, kejelekan, atau dosa. Karena itu, menjauhi perbuatan jelek pada hakikatnya menjaga diri dari kerusakan fisik dan psikologis.
Dari uraian di atas terdapat proses kehidupan yang secara berkelanjutan dalam menata jasmani dan ruhani menjadi lebih baik. Secara otomatis usia seseorang dapat mematangkan pemikiran dan penataan hati mereka dalam mencapai derajat wara’ yang semakin tinggi. Anak kecil mempunyai gejala psikologis yang labil dan temperamental sehingga mudah diombang-ambingkan oleh pengaruh lingkungan. Berbeda dengan orang dewasa yang sudah mapan secara psikolgis sehingga hati dan pikirannya cenderung stabil dan lebih mampu dalam mensikapi pengaruh lingkungan yang mengglobal bahkan tidak menentu yang cenderung materialistik.
Seseorang yang telah memiliki sifat wara’ akan ditandai dengan ciri-ciri berikut:
a)      Sangat berhati-hati dari yang haram dan syubhat. Mereka sangat berhati-hati dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian untuk mendekat kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
Artinya : "Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya." (HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107.)
Ciri wara’ di atas dapat dilihat dari kisah tentang kisah Imam Syafi’i yang mana air susu yang sudah diminum dalam perutnya dikeluarkan lagi melalui muntah-muntah. Perlakuan orang tuanya ini mencerminkan kehati-hatian beliau dalam menjaga batas-batas yang halal dan haram sehingga makanan atau minuman yang masuk ke perut anaknya (Imam Syafi’i) tersebut benar-benar halal semuanya. Dengan demikian dapat mengantarkan anak kecil itu menjadi ulama besar sepanjang zaman.
b)   Membuat pembatas antara yang halal dan yang haram. Karena kehati-hatian dalam mencermati perkara-perkara yang halal dan haram, maka orang tersebut akan mengetahui batas-batas kehalalan dan keharaman sesuatu.
c)   Menjauhi semua yang diragukan (syubhat). Hal-hal yang dapat membuat hati dan pikiran merasa ragu terhadap sesuatu, maka seorang yang wira’i segera menjauhinya karena dikuatirkan akan merasuk ke dalam dirinya sehingga membuat kesucian hatinya tercemari oleh sesuatu yang syubhat. Dengan demikian apabila dalam sistem atau komunitas kerja terdapat hasil-hasil kerja yang tidak jelas asal-usul pemberian honor atau tunjangan, maka bagi orang yang wara’ (wira’) dapat menolak dengan halus karena nantinya dikuatirkan mengotori diri dan hatinya. Agar umat Islam dihargai dalam pemberian hasil yang baik (berkah) dan terhindar dari pemberian yang syubhat, maka dapat melakukan kerja tambahan yang jelas hasilnya.
d)   Tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh. Hal-hal yang halal memang dianjurkan untuk dicari dan dimanfaatkan. Akan tetapi bagi seorang yang wira’i memanfaatkannya secara cukup sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Karena dikuatirkan akan menyebabkan dirinya lupa dengan dirinya sendiri dan Allah SWT.
e)    Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu. Sifat kehati-hatian inilah yang menyebabkan seorang wira’i selalu menjaga perkataan lisannya dari kata-kata yang tidak berguna atau bermanfaat bagi kemaslahatan umat sehingga ia menjaga fatwanya menjadi benar-benar bermakna bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Dengan pertimbangan inilah ia biasanya mengambil referensi dari ulama atau ilmuwan atau hasil ijtihad.
f)   Meninggalkan perkara-perkara yang tidak berguna. Dalam pandangan seorang wira’i, perkara yang kurang berguna kemudian dibicarakan dan dilakukan justru akan menutup hatinya dalam berkomunikasi dengan Allah SWT sehingga lama-kelamaan akan jauh dengan-Nya. Untuk itulah, dengan memanfaatkan waktu setiap saat untuk melakukan perbaikan diri, untuk memberikan manfaat kepada orang lain dan meninggalkan perkara yang tidak berguna akan lebih membawa kepada kesucian hati (http://rumahislam.com/akhlak/145-akhlak-terpuji/491-wara.html).
Sifat wara’ dengan ciri-ciri yang diungkapkan di atas dapat dijadikan sebagai langkah strategis untuk menjadikan perilaku dan sifat umat Islam dalam mencapai wara’. Perlu dipahami bahwa proses untuk memiliki sifat wara’ merupakan proses perjalanan hidup dalam mencapai ridlo Allah melalui salah satu perilaku atau sifat terpuji, salah satunya sifat wara’ ini.
Dalam praktek ekonomi yang berjalan di negara kita, sikap wara’ dapat pula diterapkan dalam berbagai bidang pekerjaan, termasuk pula sistem dalam koperasi simpan pinjam atau bank syari’ah. Kedua lembaga ini mengatur bahwa pekerjaan di dalamnya berasal dari hasil peminjaman hutang atau kredit kepada nasabah (termasuk PNS atau pihak lainnya) kemudian dibayar oleh mereka dengan disertai bunga. Dengan demikian dari hasil kajian ulama ada yang mengharamkan, ada pula yang menghalalkan sehingga akhirnya menyebabkan perkara yang syubhat. Tetapi ada pula koperasi atau bank syari’ah yang melakukan sistem simpan pinjam dengan bagi hasil dari hasil usaha. Cara yang demikian diperbolehkan dalam Islam karena saling menguntungkan melalui usaha. Untuk itu, bagi orang yang bekerja dalam sistem koperasi simpan pinjam harus mensikapi dunia kerjanya, apakah termasuk yang menggunakan penggajian dari sistem bunga ataukah bagi hasil. Dengan demikian akan didapat kejelasan dalam penerimaan hasil yang digunakan dalam menjaga kelangsungan biaya hidup bagi dirinya sendiri dan keluarganya.
Lebih lanjut, terkadang kita sering terjebak dalam sistem kerja yang di sekitar kita terdapat perilaku orang yang tidak mempedulikan ajaran-ajaran agama sehingga mereka tidak berjalan sesuai dengan aturan-aturan agama melainkan sesuai kepentingan dan ambisi hawa nafsunya sehingga dalam menghasilkan pendapatan atau honor seringkali menyalahi aturan yang berlaku. Bahkan tidak menafikan juga kita seringkali diberi jatah tersebut sebagai bentuk kesetiakawanan atau pemerataan. Untuk mensikapi perilaku yang demikian, kita seharusnya berani menolak dan apabila hasil kerja kita masih belum mencukupi dalam memenuhi kebutuhan hidup, maka kita dapat mencari tambahan penghasilan melalui kerja yang lebih halal di luar kerja jam kedinasan yang utama.
 
II.  Zuhud
 
1.      Pengertian
Secara bahasa, zuhud berasal dari kata zahada (زهد) yang memiliki makna sama dengan raghiba ‘an (رغب عن), yang artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Sedangkan secara istilah, pengertian zuhud dapat dipahami dari pendapat Syekh Al-Junaidi, Abu Sulaiaman Ad-Darani,  Sufyan Atsauri dan Hamka. Menurut Syekh Al-Junaidi, zuhud adalah kosongnya tangan dari memegang harta, dan putusnya hati dari mengingatnya. Menurut Ad-Darani, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan dari Allah. Menurut Atsauri, zuhud adalah terputusnya angan-angan dari dunia. Pendapat-pendapat tersebut pada intinya memberikan deskripsi bahwa zuhud adalah tidak adanya ketergantungan hati pada harta, bukan tidak memiliki harta sama sekali (Al-Makki, 1995: 30).
Sedangkan menurut Hamka, zuhud tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu zuhud merupakan bagian tasawuf dan zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Mukti Ali mengartikan zuhud sebagai bagian dari tasawuf adalah menghindar dari kehendak terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Hal ini juga selaras dengan penjelasan Abdul Hakim Hasan, yaitu zuhud diartikan berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah. Melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan khalwat, berkelana, puasa, mengurangi makan, dan memperbanyak dzikir. Zuhud di sini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa. Semuanya itu dimaksudkan untuk meraih keuntungan akhirat dan tercapai tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat kepada Allah SWT (Syukur, 2004: 1-2).
Sedangkan zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes, adalah sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah untuk meraih ridla Allah SWT. Hal ini berarti zuhud diartikan tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya (Syukur, 2004: 3). Pengertian ini senada dengan pengertian yang diutarakan oleh Hamka (1993: 194) yang menyatakan bahwa zuhud adalah tidak ada perhatian kepada yang lain, kecuali kepada Allah sehingga orang zuhud merasai: la yamliku syai’an wa la yamlikuhu syai’un (tidak mempunyai apa-apa, dan tidak dipunyai oleh apa-apa). Hal ini dimaknai bahwa zuhud adalah dinamis, bekerja keras untuk memperoleh kenikmatan dunia dengan tidak melupakan Allah SWT. Mencari harta untuk kesempurnaan jiwanya, bukan untuk kesempurnaan harta benda itu sendiri (Syukur, 2004: 133). Seorang yang zuhud hatinya tidak terbelenggu atau tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi dan tidak menjadikannya sebagai tujuan, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai derajat ketakwaan yang merupakan bekal untuk akhirat (Syukur, 2003: 14). Pendapat dan penjelasan Hamka dan Amin Syukur ini selaras dengan pendapat Syekh al-Junaidi yang berpendapat bahwa bahwa zuhud adalah kosongnya tangan dari memegang harta dan putusnya hati dari mengingat harta tersebut. Dari pengertian seperti inilah sebagai dasar untuk menata hati dalam menerapkan sifat zuhud, terutama dalam memanfaatkan harta yang telah diamanatkan kepada seseorang. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 77 dan al-Hadid ayat 23 berikut:
Artinya: Katakanlah: "Kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.”(An-Nisa”: 77)
Artinya : (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. al-Hadid : 23)

2.      Aplikasi Sosial Zuhud
 
Masyarakat sosial modern menurut Atho’ Mudzhar (Syukur, 2004: 177) ditandai oleh lima ciri: Pertama, berkembangnya mass culture karena pengaruh kemajuan mass media sehingga kultur tidak lagi bersifat lokal, melainkan nasional atau bahkan global. Kedua, tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak manusia menuju perubahan masa depan. Dengan demikian, alam dapat ditaklukkan, manusia merasa lebih leluasa kalau bukan merasa lebih berkuasa. Ketiga, tumbuhnya berpikir rasional, sebagian besar kehidupan umat manusia ini semakin diatur oleh aturan-aturan rasional. Keempat, tumbuhnya sikap hidup yang materialistik, artinya semua hal diukur oleh nilai kebendaan dan ekonomi. Kelima, meningkatnya laju urbanisasi.
Indikasi di atas yang menandakan masyarakat modern yang merasa bebas dan terkadang lepas kontrol dari nilai-nilai agama dan pandangan dunia metafisis, berlanjut pada penghilangan nilai-nilai sakral terhadap dunia, meletakkan hidup manusia dalam konteks kenyataan sejarah dan penisbian nilai-nilai (Syukur, 2004: 177). Kenyataan seperti ini ternyata menyimpan problema hidup pelik yang sulit dipecahkan. Rasionalisme, sekularisme, materialisme ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketenteraman hidup manusia, akan tetapi seringkali menimbulkan kegelisahan hidup mereka.
Menurut Abu al-Wafa al-Taftazani (Syukur, 2004: 178), kegelisahan ini disebabkan karena: Pertama, takut kehilangan apa yang dimiliki, seperti uang atau jabatan; Kedua, takut terhadap masa depan yang tidak disukai (trauma imajinasi masa depan); Ketiga, rasa kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan kepuasaan spiritual; dan Keempat, dirinya banyak melakukan pelanggaran dan dosa. Pada intinya al-Taftazani menyimpulkan bahwa kegelisahan ini disebabkan karena hilangnya keimanan dalam hatinya, menyembah kepada selain Allah SWT dalam arti yang bersangkutan mendewa-dewakan benda, ketergantungan bukan kepada Allah SWT, seperti atasannya dan materi, serta banyak menyimpang dari norma dan nilai agama. Cara-cara yang diungkapkan Abu al-Wafa al-Taftani adalah merupakan langkah-langkah yang baik dalam rangka mencapai derajat kezuhudan. Jelas bahwa pencapaian derajat ini tidak hanya berproses secara pribadi ekslusif melainkan juga harus dapat dilakukan dalam kehidupan sosial.
Hal yang bisa berbahaya secara sosial atau meluas dari pelanggaran norma dan nilai agama berupa membuat kerusakan secara materiil, maksudnya bukan saja dalam bentuk eksploitasi sumber-sumber alam seperti flora, fauna, air, energi, mineral, barang tambang, dan lain-lain secara semena-mena, tetapi juga membiarkan sumber-sumber alam itu tercemar racun, terserang hama, terbakar hangus, tertimbun lahar, dengan alasan bahwa sumber-sumber alam atau hal-hal yang bersifat dunia tidak ada gunanya dan kita harus membencinya (Djaelani, 1996: 134).
Aplikasi zuhud secara sederhana dapat dimaknai sebagai usaha untuk tidak mengikatkan diri pada harta duniawi atau kepentingan duniawi. Meskipun seseorang mempunyai harta yang melimpah, tetapi harta tersebut digunakan sebagai sarana untuk berbuat kebaikan dalam rangka mencapai ridlo Allah SWT dengan berbagai aktivitas atau perilaku yang bermanfaat bagi kepentingan umat.
Cara-cara di atas merupakan aplikasi dari sikap zuhud yang berusaha merealisasikan keseimbangan jiwanya dari problem hidup dan kehidupan yang serba materialistik sehingga timbullah kemampuan untuk menghadapinya dengan arif dan bijaksana. Seorang zahid menganggap bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sekedar sarana, bukan tujuan. Ia mengambil dunia atau materi secukupnya, tidak terjerat cinta padanya. Dunia atau materi itu disiasatinya agar keduanya bernilai akhirat, semuanya dijadikan sarana beribadah kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Qashas ayat 77 :
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Zuhud tidak berarti jalan menuju pemiskinan duniawi melainkan disikapi dengan hidup sederhana berdasarkan motif agama sehingga berdampak pada kemampuan menanggulangi sifat tamak dan al-hirs (keinginan yang berlebih-lebihan terhadap materi). Dalam menginterpretasikan zuhud ini, Imam ibn Hanbal (Syukur, 2004: 182) membagi ke dalam tiga tahap, yaitu: Pertama, zuhudnya orang awam dalam arti meninggalkan yang haram. Hal ini mengandung nilai bahwa seseorang dituntut untuk mencari kekayaan dengan tulus melalui kerja keras dan profesional, meninggalkan suap, manipulasi, korupsi, menindas yang lain, dan sebagainya. Kedua, zuhudnya orang khawas (isitimewa) dalam arti meninggalkan hal-hal yang berlebih-lebihan dalam perkara halal. Hal ini menunjukkan sikap hemat, hidup sederhana, serta menghindari sikap berlebih-lebihan, kemewahan atau pemilikan harta yang lebih bernilai sebagai promotor status daripada sebagai harta kekayaan yang produktif. Di sini zuhud akan melahirkan sikap menahan diri dan memanfaatkan harta untuk kepentingan produktif. Sikap zuhud yang demikian akan mendorong seseorang untuk mengubah harta bukan saja sebagai aset ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan harta dalam masyarakat. Ketiga, zuhudnya orang arif (orang yang telah mengenal Tuhan) dalam arti meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah SWT.
Penggolongan zuhud ini yang dinyatakan oleh Imam Ibn Hanbal didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman pribadi bersama orang-orang di sekitarnya dalam mencermati perilaku zuhud sehingga didapat pentahapan atau penggolongan zuhud, mulai dari orang awam, khawas (istimewa), dan orang arif. Tetapi umat Islam sendiri tidak bisa memaknai dirinya dalam posisi satu, dua atau tiga. Semua itu diserahkan kepada Allah SWT.
Sedangkan menurut Sayyid Abdullah Al-Haddad (2003: 94), seseorang yang memiliki sifat zuhud akan ditandai dengan: a) tidak bergembira dengan adanya perkara yang ada; b) tidak susah karena ditiadakan perkara dari dunia; c) tidak disibukkan mencari dunia; dan d) tidak disibukkan untuk bermesraan dengan dunia.
Dengan demikian, zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Hal ini bukan berarti akan menjadikan seseorang menjadi pasif, seperti tidak mau mencari nafkah, eksklusif, dan menarik diri dari keramaian dunia, tetapi sebaliknya, sebab seorang muslim hidup di dunia ini membawa amanah kekhalifahan, yang berarti sebagai wakil Tuhan, pengelola, pemakmur, dan yang meramaikan dunia ini.
Islam menggabungkan antara tuntutan ruhani dan jasmani dengan nilai keadilan dan kebenaran. Maksudnya, apabila Islam menggariskan jalan keberuntungan bagi ruhani, maka Islam juga menggariskan pula jalan keberuntungan bagi kehidupan kebendaan, dan memerintahkan agar dalam perolehannya menggunakan cara-cara yang baik dan bermanfaat. Untuk itu, Islam memerintahkan pencarian dan pengumpulan harta benda harus melalui jalan yang bisa mendatangkan kebaikan dan keberuntungan bagi manusia, membangkitkan kegiatan dan kegairahan kerja, memakmurkan alam, serta menciptakan perubahan di dunia (Djaelani, 1996: 129-130).
Apabila seseorang telah mampu menguasai dirinya, maka sudah barang tentu hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketentraman memancar dari hatinya. Dalam keadaan yang demikian ini, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang bathil dan mana yang haq.
Perkembangan dunia secara otomatis disertai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Pesatnya perkembangan ini apabila tidak disertai dengan kekuatan landasan iman dan takwa (IMTAQ) akan membuat hidup menjadi tidak seimbang, bahkan mungkin sering terjadi penyimpangan atau penyelewengan dan kerusuhan. Dengan demikian harus adanya keseimbangan dan perpaduan yang sinergis antara IPTEK dan IMTAQ sehingga mampu memberikan nuansa dan pengantar hidup yang lebih sejahtera lahir dan batin. IPTEK dan IMTAQ inilah yang dijadikan landasan dalam menerapkan perilaku hidup wara’ dan zuhud sehingga dalam hal apapun umat Islam tidak menjadi ketinggalan zaman, tetap eksis dan masih dalam kerangkan kebaikan ajaran Islam secara kaffah.

  B.    KESIMPULAN
Kehidupan era modern melibatkan manusia harus berinteraksi dengan dirinya sendiri, orang lain dan dengan Allah SWT. Untuk itu mereka tidak dapat lepas dari sistem tersebut. Sistem itu harus disikapi dengan baik dalam rangka memperbaiki jalan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Semua hubungan dapat dimanifestasikan dalam sifat atau sikap wara’ dan zuhud karena keduanya melibatkan kepentingan dalam dan luar diri manusia, jasmani-ruhani dalam menyeimbangkan dunia dan akhiratnya.
Seorang yang wira’i akan mengaplikasikan kehidupannya dengan cara : berhati-hati dari yang haram dan syubhat, membuat pembatas antara yang halal dan yang haram, menjauhi semua yang diragukan (syubhat), tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh, tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu, dan berkenan meninggalkan perkara-perkara yang tidak berguna.
Sedangkan seorang yang zuhud akan mengaplikasikan kehidupannya melalui cara : tidak mengikatkan dirinya terbelenggu oleh harta yang dimilikinya, dengan berkenan memanfaatkan untuk kepentingan dirinya secara cukup dan kepentingan kemaslahatan umat. Seorang zahid biasanya berprinsip harta hanya sebatas di tangan dan tidak terikat di hati. Dengan sikap seperti inilah akan menimbulkan kehidupan yang baik, seperti menghindari penindasan, tamak, al-hirs, korupsi, eksploitasi sumber daya alam dan manusia secara berlebihan dan tindakan-tindakan merugikan lainnya.

  C.    PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan keterbatasan ilmu pengetahuan dan sumber rujukan atau referensi sehingga kami berharap atas kekurangan ini mendapat masukan, saran dan kritik konstruktif dari para pembaca, khususnya Bapak Prof. Dr. H. Amin Syukur, MA. Sehingga menjadikan makalah ini lebih sempurna dari sebelumnya.
Semoga melalui penyusunan makalah ini dapat memberikan manfaat dan menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan petunjuk dan ridlo dari Allah SWT. Amiin.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Haddad, Sayyid Abdullah, 2003, Jalan Para Nabi Menuju Surga, Terj. Ahmad Nashirin, Jakarta: Hikmah.
Al-Kumayi, Sulaiman, 2004, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, Semarang: Pustaka Nuun
Al-Makki, As-Sayyid Bakri, 1995, Merambah Jalan Sufi, Terj. A. Wahid Sy., Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Asy-Syauki, Amin bin Abdullah, 2010, Wara’, Terj. Muzaffar Sahidu, Islamhouse.com
Djaelani, Abdul Qadir, 1996, Koreksi Terhadao Ajaran Tasawuf, Jakarta: Gema Insani Press.
Faried, Ahmad, 1993, Menyucikan Jiwa : Konsep Ulama Salaf, Risalah Gusti: Surabaya.
Hamka, 1993, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Rakhmat, Jalaluddin, 2001, Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-Renungan Sufistik, Bandung: Mizan.
Shihab, Quraisy, 2003, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati.
Syukur, Amin, 2003, Tasawuf Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syukur, Amin, 2004, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syukur, Amin, 2006, Tasawuf Bagi Orang Awam : Menjawab Problema Kehidupan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.islam-center.net/id/prinsip-prinsip-keislaman/pengertian-islam/125-sifat-wara.html diunduh pada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar