Kamis, 30 Januari 2014

Ahlisunnah Wal Jama’ah Adalah Kelompok Yang Benar



MUQADDIMAH
الحمد لله الذي قيض لهذا الدين كل جهبذ نحرير ، ذوّاد عن حياضه بالتحبير والتحرير، مبدّد غياهب الشبه بلألاء الحجج وضاءة لأعشى وضرير، حتى ترتعد فرائص أهل التوى ، ومن نكص والتوى، إذا كان لمهنده ويراعته صليل وصرير، أو جرى على لسانه الحق مستدلا وهو بمحضه جدير، فسبحان من بيده ملكوت كل شىء وهو على كلّ شىء قدير .ثم الصلاة والسلام على من له البلاغة و التبليغ أحمد المظلل بالغمام، النبي الأميّ إمام كلّ إمام، وعلى ءاله وصحبه بدور التمام ، ما لاحت غزالة وفاحت كمام، وطاب بعد نعيب البوم تهدال حمام.
Allah SWT berfirman dalam al Quran:
Maknanya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”. (Q.S al Baqarah: 143).

Sesungguhnya Allah telah menjadikan ummat ini ummat yang moderat dan terpilih. Allah telah mengutus kepadanya Rasul pilihan shallallahu ‘alayhi wasallam yang mengajak kepada keadilan, kebaikan dan menyantuni karib kerabat. Nabi-lah yang mengajarkan kepada ummat ini peradaban, moderasi dan akhlak yang mulia setelah kegelapan zaman jahiliyyah, Zaman yang diwarnai dengan kemaksiatan, keterbelakangan, kezhaliman dan tindakan-tindakan kriminal. Pada gilirannya, para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang diberikan pemahaman dan pengetahuan dan mengikuti mereka, benar-benar mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Sehingga sejarah Islam bersinar dengan tokoh-tokoh yang moderat dan pembawa kebenaran yang suci. Mereka adalah para ulama besar Ahlussunnah Wal Jama’ah yang jauh dari sikap berlebih-lebihan (ekstrimisme) dan sikap teledor, dalam perbuatan, perkataan dan keyakinan.
Akan tetapi dengan berlalunya hari dan perjalanan masa, muncullah orang-orang yang ingin mencoreng dan melakukan distorsi terhadap manhaj moderat yang dibawa oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sudah diketahui bahwa pohon yang berbuah-lah yang dilempar dengan batu, yang mengarahkan kepada Ahlussunnah Wal Jama’ah pukulan-pukulan yang penuh kedengkian dan iri hati. Para ekstrimis sepanjang masa selalu berusaha menjauhkan ummat islam dari manhaj yang benar. Terkadang mereka mengatasnamakan Ahlussunnah Wal Jama’ah secara dusta untuk mengecoh ummat, mengesankan yang moderat sebagai ekstrimis dan ekstrimis sebagai moderat, sehingga merusak pemahaman sebagian ummat, supaya mereka mudah dipengaruhi. Di antara metode yang mereka gunakan adalah melakukan kedustaan (iftira’) terhadap para ulama dan tokoh Ahlussunnah dan menuding mereka telah musyrik dan kafir, untuk menjauhkan orang-orang awam dari para ulama, untuk selanjutnya menghasut mereka untuk membunuh para ulama tersebut dan membunuh siapapun yang menyalahi pemahaman mereka yang menyempal dengan slogan mensucikan Negeri dari syirik dan berbagai bid’ah.
Dengan sebab banyaknya kedustaan terhadap para ulama dan tingginya pekikan suara para pengacau tersebut, banyak masyarakat yang belum diterangi dengan cahaya ilmu dan tidak bersandar kepada pondasi yang kokoh tidak dapat membedakan mana Ahlussunnah Wal Jama’ah dan mana yang mengaku-ngaku secara dusta sebagai Ahlussunnah. Bahkan pemahaman sebagian orang terbalik-balik, mereka menganggap bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang sesat dan menyesatkan, sedangkan orang-orang yang memerangi dan memusuhi Ahlussunnah merekalah golongan yang selamat, orang-orang yang bertakwa dan mendapatkan petunjuk Allah. Dengan demikian ada kebutuhan yang mendesak agar para ulama dan peneliti muslim menjelaskan tentang hakekat kebenaran yang sesungguhnya untuk membela gologan yang benar, memperkuat sikap moderat dan menjelaskan kebohongan mereka para pendusta dan pengecoh yang menyebarkan berbagai kebohongan dan kedustaan terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Sebab- Sebab Pemilihan Tema

Sekarang kita berada pada tahun 1435 H dan permulaan abad XXI, kita berada pada zaman di mana banyak orang sudah menjauh dari prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran agama. Pemahaman-pemahaman banyak orang telah berubah, kebenaran diganti dengan kebatilan, kebaikan dengan keburukan dan ilmu dengan kebodohan. Sungguh kita tengah berada di zaman yang semakin membutuhkan kepada penjelasan tentang hakekat kebenaran islam dan pemaparan tentang ajaran-ajaran dan pemahan-pemahaman yang benar tentang Islam serta penjelasan tentang kebatilan stigma yang dilekatkan kepada Islam dari orang-orang yang menisbatkan diri secara dusta kepada Islam dan berkedok dengan kedok Islam dan dari isu-isu negatif yang dilekatkan oleh musuh-musuh Islam yang nyata. Tidaklah ada yang mampu untuk mengemban tugas yang agung ini kecuali orang yang berilmu, jujur, ikhlas yang mengetahui fakta-fakta kebenaran agama dan mampu menjelaskannya dengan dalil-dalil yang gamblang dan nasehat yang baik. Upaya tersebut telah dilakukan oleh sekian banyak para ulama yang ikhlas sepanjang masa ketika mereka menilai ada kebutuhan untuk itu dan kami sebutkan sebagai contoh tanpa membatasi seperti pakar hadits, al Hafizh, sejarawan negeri Syam; Abul Qasim Ali bin al Hasan bin Hibatullah bin ‘Asakir (W. 571 H ). Beliau mengarang kitab yang dinamai Tabyin kadzib al Muftari Fi ma Nasaba ila al Imam Abi al Hasan al Asy’ari dan telah mematahkan berbagai perkataan para pendusta dan membantahnya satu persatu. Kitabnya tersebut telah berperan dalam menghilangkan kerancuan yang terdapat pada sebagian orang, yaitu prasangka mereka bahwa imam Abul Hasan al Asy’ari adalah seorang yang sesat dan ahli bid’ah, Wal ‘iyadzu billah.

Pertanyaan Seputar Tema
1.      Siapakah Ahlussunnah Wal Jama’ah ?
2.      Siapakah golongan selamat yang dimaksud dalam hadits Iftiraq al Ummah ?
3.      Siapakah al Asya’irah dan al Maturidiyyah dan bagaimana mereka berperan dalam menjaga kesatuan aqidah dan ummat Islam.

Tujuan Pembahasan
1.      Penjelasan tentang siapakah Ahlussunnah Wal Jama’ah sebenarnya.
2.   Penjelasan tentang siapa yang dimaksud dengan al Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat) dalam hadits Iftiraq al ummah, disertai dalil.
3.  Penjelasan tentang keistimewaan al Asya’irah dan al Maturidiyyah dan kebenaran madzhab mereka.
4.    Penjelasan tentang berbagai kontribusi al Asya’irah dan al Maturidiyyah dalam menjaga kesatuan aqidah dan ummat Islam.


Urgensi Pembahasan

Urgensi pembahasan ini akan nampak secara jelas jika kita cermati dan kita lihat realitas ummat Islam di masa sekarang ini dan bahaya yang mengepung ummat dari semua arah. Musuh dari luar selalu mengintai dan berusaha memecah belah kita agar mereka mudah untuk menguasai kekayaan-kekayaan dan mengendalikan kita, maka merekapun menyebarkan di antara kita golongan-golongan dan jama’ah-jama’ah yang membawa pemikiran-pemikiran ekstrim yang merusak, untuk menyebarkan fitnah di pikiran pemuda-pemuda kita dan menyulap mereka menjadi bom waktu yang menghancurkan, membunuh dan merusak negara dengan simbol jihad dan melindungi Islam, padahal Islam tidak ada sangkut pautnya dengan mereka ini. Bukannya mereka menjadi pemuda-pemuda yang produktif yang membangun negeri dan mengangkatnya di atas pondasi dan prinsip dasar yang benar untuk mengiringi modernitas, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Di antara alat dari skenario yang menghancurkan ini adalah kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang menggunakan pemikiran at-Takfir asy-Syumuli (pengkafiran secara mutlak) sebagai sarana untuk meraih kekuasan dan posisi-posisi di pemerintahan. Para pengikut golongan-golongan tersebut mengkafirkan, menghalalkan darah dan harta semua orang di luar golongan mereka atau yang tidak meyakini keyakinan mereka. Bahkan mereka telah berani menyesatkan mayoritas umat, mereka mengkafirkan ratusan juta kaum muslimin, yakni Asya’irah dan Maturidiyyah dengan tudingan bahwa mereka adalah para ahli bid’ah dan penyembah kuburan. Termasuk dalam barisan mereka yang dikafirkan ini, para ulama Islam yang meriwayatkan dan membawa agama kita ini secara turun temurun, generasi khalaf dari generasi salaf dari kalangan para huffazh, para muhadditsin, ahli tafsir, ahli bahasa, ahli teologi; para ulama tauhid, pemuka-pemuka shufi.


Metodologi Pembahasan

Pemateri memanfaatkan metodologi-metodologi sebagai berikut:
1. Al Manhaj al Istiqra-i (Metode Induktif): Dengan membuka referensi-referensi utnuk mendapatkan bahan-bahan yang berhubungan dengan tema dalam buku-buku yang tersedia.
2.     Al Manhaj at-Tahlili (Metode Analitis): Pemateri mengkaji bahan-bahan yang telah diambil dari sumbernya, dengan tujuan memetakan unsur-unsurnya untuk kemudian diuraikan dan dapat ditempatkan sesuai dengan tempat yang semestinya.
3.   Al Manhaj an-Naqdi (Metode Kritis): Dengan mengambil bahan-bahan dari sumbernya lalu dianalisa untuk menjelaskan kesalahan yang barangkali ditemukan.

Pembahasan Pertama: Mengenal Ahlisunnah Wal Jama’ah
Hadits Perpecahan Ummat Menjadi 73 Golongan
Pemateri memandang perlu -sebelum mengenalkan tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah-, untuk menyebutkan hadits tentang Iftiraq al Ummah (perpecahan ummat) dan riwayat-riwayatnya disertai kesimpulan yang bisa diambil dari hadits tersebut untuk menentukan siapakah golongan yang selamat. Ini sebagai pengantar untuk mengenalkan tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Hadits Iftiraq al Ummah telah diriwayatkan oleh para huffazh dalam kitab-kitab mereka dengan berbagai riwayat. Di antaranya riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya, ia berkata: “(1)Telah meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Yahya, Mereka berdua berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Abu al Mughirah dan meriwayatkan kepada kami Shafwan, (2) (Sanad Lain) Telah meriwayatkan kepada kami ‘Amr bin Utsman, telah meriwayatkan kepada kami Baqiyyah, dia berkata: Telah meriwayatkan kepadaku Shafwan bahwasanya Shafwan berkata: Telah meriwayatkan kepadaku Azhar bin Abdillah al Harazi dari Abi ‘Amir al Hauzaniy dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ia berdiri di hadapan kami dan berkata: Ketahuilah bahwa Rasulullah berdiri di hadapan kami dan bersabda:
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْـجَنَّةِ وَهِيَ الْـجَمَاعَةُ” رواه أبو داود
Maknanya: “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari ahlul kitab telah terpecah menjadi 72 golongan dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 masuk neraka dan satu golongan masuk surga, yaitu al jama’ah”. (H.R. Abu Dawud dan al Hafizh Ibnu Hajar menilai riwayat ini hasan dalam kitabnya al Kafi asy-Syaaf)
Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir dengan lafazh:
وَتَـخْتَلِفُ هذِهِ الأُمَّـةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً اثْـنَـتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْـجَنَّةِ”، فَقُلْنَا: انْعَتْهُمْ لَنَا، قَالَ: السَّوَادُ الأَعْظَمُ”. رواه الطبراني
Maknanya: “Dan ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 masuk neraka dan satu golongan masuk surga, kami pun berkata: sifatilah mereka untuk kami, maka beliaupun bersabda: as-Sawad al A’zham (jumlah terbanyak)” (H.R. ath-Thabarani)
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan lafazh:
قَالُوْا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُـوْلَ اللهِ ؟، قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ” رواه التـرمذي
Maknanya: “Siapakah mereka wahai Rasulullah? Beliaupun bersabda: Mereka adalah orang-orang yang memegang teguh ajaranku dan para sahabatku”. (H.R. at-Tirmidzi)
Tiga riwayat dari hadits ini sebetulnya memiliki satu makna, dipahami darinya bahwa golongan yang selamat (al Firqah an-Najiyah) adalah jumlah terbanyak di tengah ummat Muhammad, karena kebanyakan orang yang menisbatkan diri kepada Islam akan tetap berada dalam aqidah yang benar. Meski mereka memiliki beberapa kelalaian dan kemaksiatan, akan tetapi mereka tidak keluar dari lingkaran iman, sesuai kaedah yang disepakati oleh para ulama Ahlussunah Wal Jama’ah: “Seorang muslim tidak dikafirkan karena perbuatan dosa yang dilakukannya selama ia tidak menghalalkannya”. Hal ini berbeda dengan akidah Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Salah satu sub sekte Khawarij; yaitu kelompok al Bayhasiyyah, bahkan mengkafirkan penguasa muslim hanya karena memberlakukan hukum buatan manusia, meski dalam satu permasalahan sekalipun. Dari sini kemudian mereka menuntut rakyat untuk memberontak kepada penguasa tersebut. Jika tidak mau memberontak, maka rakyat -dalam anggapan mereka- telah bekerja sama dengan penguasa mereka dalam kekufuran.
Dengan slogan menerapkan hukum dan Syari’at Islam, kita bisa melihat para ekstrimis melakukan profokasi terhadap masyarakat dan berbagai bangsa agar memberontak kepada para penguasa mereka. Mereka menggunakan berbagai bentuk kekerasan dan ekstrim, cara yang tidak diterima oleh syari’at, yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran negeri-negeri kaum muslimin, dan memecah belah bangsa menjadi kelompok-kelompok yang berikai dan saling memusnahkan. Anehnya, ketika telah mencapai tampuk kekuasaan di suatu negara atau daerah, kelompok-kelompok ekstrim tersebut sangat jauh dari menerapkan hukum syari’at. Ini menambah keyakinan kita bahwa slogan yang mereka teriakkan “menerapkan hukum Islam”, dengan keawaman mereka terhadap hukum-hukum syari’at tidak lain hanyalah cara untuk meraih simpati dan empati kalangan awam untuk mendukung agenda besar mereka, yaitu mencapai tampuk kekuasaan dan posisi-posisi di pemerintahan.
Ringkasnya, sesungguhnya pemikiran at-Takfir asy-Syumuli (pengkafiran secara menyeluruh) yang disuarakan oleh kalangan ekstrimis terbantah dengan hadits di atas yang mengidentifikasi bahwa golongan yang selamat (al Firqah an-Najiyah) adalah as-Sawad al A’zham; jumlah terbanyak dan terbesar di tengah-tengah ummat Muhammad. Oleh karenanya, sangat aneh ketika ada sekelompok orang di masa sekarang yang jumlah mereka tidak lebih dari beberapa juta saja mengklaim dan menganggap bahwa merekalah golongan yang selamat dan selain mereka, yaitu ratusan juta kaum muslimin yang berseberangan dengan mereka dikatakan sesat… ?!!!.
Sifat golongan yang selamat bahwa mereka adalah as-Sawad al A’zham; jumlah terbanyak, membantah klaim dan pengakuan mereka dan menyingkap penyimpangan mereka. Bahkan, sebanyak apapun jumlah kelompok-kelompok sesat yang menisbatkan diri mereka kepada Islam secara dusta, jumlah individu pengikutnya tidak akan melebihi jumlah individu pengikut golongan yang selamat, karena golongan yang selamat akan selalu menjadi jumlah terbanyak sepanjang masa, sebagaimana telah ditetapkan dengan wahyu dari Allah (hadits tersebut).
Jika kita lihat negeri-negeri kaum muslimin sekarang ini, kita akan mendapatkan bahwa as-Sawad al A’zham; jumlah terbanyak di tengah ummat di belahan timur dan barat adalah al Asya’irah dan al Maturidiyyah. Sebagai contoh saja negeri-negeri melayu; Indonesia, Malaysia, Brunei dan Thailand selatan, penduduknya dan para ulamanya, sekarang maupun di masa lalu, adalah penganut akidah Asya’irah sejak kedatangan Islam ke negeri-negeri mereka yang dibawa oleh para ulama Asya’irah, bahkan lembaga-lembaga pendidikan tradisional hingga sekarang yang dikenal dengan “PONDOK” (di sini DAYAH) masih mengajarkan sifat dua puluh. Mereka masih berpedoman dengan kitab-kitab Asya’irah dalam aqidah seperti Jawharah at-Tawhid, as-Sanusiyyah, Sullam al Mubtadiy, ad-Durr ats-Tsamin, Hidayah as-Salikin, Mathla’ al Badrayn, Aqidah an-Naajiin dan kitab-kitab lain yang populer.
Sebagaimana para ulama terkenal di Melayu adalah Asya’irah Maturidiyyah seperti Syekh Muhammad Zain bin Jalaluddin dari Aceh pengarang kitab Bidayah al Hidayah (lahir pada abad 10 H), Syekh Daud bin Abdullah al Fathaniy; pengarang kitab-kitab yang populer yang di antaranya Sullam al Mubtadiy (lahir pada tahun 1183 H), Syekh Abdus Shamad dari Palembang (W. 1206 H), Syekh Abdul Qadir bin Abdurrahim; salah seorang ulama terkenal di Trengganu (wafat sekitar tahun 1280 H), Syekh Tuan Manal Zainal ‘Abidin al Fathaniy; pengarang kitab ‘Aqidah an-Naajin (ulama abad ke 17 H), Syekh Muhammad Umar bin Nawawi al Bantani pengarang Syarah Sullam at-Taufiq (W. 1314 H), K.H. Muhammad Shalih Darat; seorang ulama besar di Jawa dan sahabat Syekh Nawawi al Bantani serta murid Ahmad Zaini Dahlan, yang menulis terjemahan dan penjelasan terhadap Jawharah at-Tawhid (W. 1321 H), Syekh Haji Abdullah Fahim yang terkenal sangat berpegang teguh dengan akidah Asya’irah dan Maturidiyyah (W. 1330 H), Syekh Wan Ali bin Abdurrahman bin Abdul Ghafur kutan al Kelantani (W. 1331 H), Syekh Muhammad bin Isma’il Daud al Fathaniy; pengarang kitab Mathla’ al Badrayn (W. 1333 H), Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau (W. 1334 H), Syekh Husein bin Muhammad Nashir bin Muhammad Thayyib al Mas’udi dari Banjar; pengarang kitab Hidayah al Mutafakkirin (W. 1354 H), Syekh Mukhtar bin ‘Atharid al Bantawi al Bogori; menetap di Makkah dan pengarang kitab Ushuluddin I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Syekh Sirajuddin ‘Abbas; penulis buku I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Syekh Wan Isma’il bin Abdul Qadiir bin Mushthafa al Fathani; pengarang kitab Baakuurah al Amani, al Musnid al Muhaddits Syekh Yasin al Fadani (W. 1410 H), Sultan Selangor ‘Alauddin Sulaiman Syah yang mengarang kitab yang disebutkan di dalamnya akidah Asya’irah, Raja Riau H. Abdullah bin al Malik Ja’far (hidup pada abad 12 H); murid Syekh Daud al Fathani dan Syekh Ahmad al Jabarti al Makki.
Sangat jelas juga bagi siapapun berlangsungnya berbagai tradisi dan syi’ar-syi’ar Ahlussunnah di negeri-negeri tersebut. Cukuplah menjadi contoh atas hal itu, peringatan maulid Nabi yang menghiasi negeri-negeri tersebut dan diikuti oleh para pejabat, orang-orang fakir miskin dan umumnya masyarakat muslimin. Contoh lain bacaan qashidah-qashidah tawassul seperti Burdah-nya al Bushiri dan lainnya. Para ulama di negeri-negeri tersebut tetap konsisten dengan ajaran dan tradisi Ahlussunnah hingga saat ini, meskipun ada sekelompok kecil yang sedikit jumlahnya menyempal dari mayoritas. Lihatlah negeri ini; Indonesia yang penduduknya lebih dari dua ratus juta, para ulama-nya adalah Asya’irah.
Keadaan sebagian besar negeri-negeri kaum muslimin juga sama seperti: Mesir, Irak, Syiria, Lebanon, Palestina, Yordania, Tunisia, Marokko, Hijaz, Libiya, al Jaza-ir, Habasyah, Afrika, Turki, Pakistan, Bangladesh dan lain-lain. Kaum muslimin di Negara-negara tersebut adalah Asya’irah atau Maturidiyyah. Bahkan India dan Cina, kaum muslimin di kedua Negara tersebut mayoritasnya adalah pengikut Maturidiyyah dalam keyakinan dan madzhab Hanafi dalam fiqh. Jadi kesimpulan dari realitas yang nyata ini, bahwa al Asya’irah dan al Maturidiyyah yang berjumlah ratusan juta, mereka-lah jumlah terbesar (mayoritas) yang disampaikan oleh Nabi bahwa mereka-lah al Firqah an-Na-jiyah; golongan yang selamat.


Definisi Ahlussunnah Wal Jama’ah

Nama Ahlussunnah Wal Jama’ah telah digunakan oleh para ulama untuk menyebut al Firqah an-Na-jiyah; golongan yang selamat yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam dalam hadits yang telah disebutkan. Al Firqah an-Na-jiyah; golongan yang selamat telah dikenal dengan nama tersebut (Ahlussunnah Wal Jama’ah) dari masa generasi Salaf dan nama tersebut bertahan hingga sekarang. Salah satu contoh, perkataan al Imam Abu Ja’far Ahmad bin Salamah ath-Thahawi (227-331 H) yang merupakan salah seorang imam besar generasi as-Salaf ash-Shalih. Beliau berkata di bagian pendahuluan aqidahnya yang populer:
هذَا ذِكْرُ بَيَانِ عَقِيْدَةِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْـجَمَاعَةِ”.
“Ini adalah penuturan penjelasan tentang akidah (keyakinan) Ahlussunnah Wal Jama’ah”.
Nama Ahlussunnah Wal Jama’ah ini diambil oleh para ulama dari hadits-hadits Nabi yang mulia. Penamaan golongan yang selamat dengan “Ahlussunnah” diambil dari hadits-hadits Nabi seperti hadits:
اَلْمُتَمَسِّكُ بِسُنَّتِـيْ عِنْدَ فَسَادِ أُمَّتِـيْ لَـهُ أَجْرُ شَهِيْدٍ” رواه الطبراني في المعجم الأوسط
Maknanya: “Orang yang berpegang teguh dengan sunnahku (syari’atku) di saat rusaknya ummatku maka baginya (ia memperoleh) pahala (yang menyerupai pahala orang yang mati) syahid”. (H.R ath-Thabarani dalam kitabnya al Mu’jam al Awsath)
Maksud (سُنَّتِـيْ) dalam hadits ini adalah keyakinan dan hukum-hukum yang diajarkan oleh Nabi. Karena al Firqah an-Na-jiyah; golongan yang selamat, mereka-lah yang berpegang teguh dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya, maka mereka dinamakan Ahlusunnah.
Sedangkan sebutan “al Jama’ah” diambil dari beberapa hadits, di antaranya hadits:
عَلَيْكُمْ بِالْـجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاثْنَيْنِ أَبْعَدُ، مَنْ أَرَادَ بُـحْبُوْحَةَ الْـجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْـجَمَاعَةَ” رواه التـرمذي وغيره
Maknanya : “Bergabunglah selalu dengan al Jama’ah dan janganlah kalian berpecah belah (memisahkan diri), karena sesungguhnya setan itu lebih dekat dengan orang yang menyendiri dan dia dari dua orang akan lebih jauh, barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga maka hendaklah ia menetapi (mengikuti) al Jama’ah” (H.R. at- Tirmidzi10 dan lainnya)
Maksud ”al Jama’ah” dalam hadits ini adalah Jama’ah al Muslimin; yakni mayoritas ummat Islam.
Dari hadits-hadits yang telah disebutkan menjadi jelas bahwa Ahlusunnah Wal Jama’ah adalah al Firqah an-Na-jiyah; golongan yang selamat dan mereka adalah mayoritas (jumlah terbanyak) ummat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip keyakinan (Ushul al I’tiqad) yang disebutkan dalam hadits Jibril bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
الإِيـْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ” رواه مسلم
Maknanya: “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan qadar Allah (serta al maqdur) yang baik dan buruk” (H.R. Muslim11)
Generasi terbaik Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah mereka yang hidup pada tiga abad pertama hijriyyah, mereka-lah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:
خَيْرُ القُرُوْنِ قَرْنِي ثُـمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ ثُـمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ” رواه الترمذي
Maknanya: “Abad (generasi) terbaik adalah (generasi) abad di mana aku hidup, kemudian orang-orang yang hidup satu abad setelah-ku, kemudian orang-orang yang hidup satu abad setelahnya”. (H.R. at-Tirmidzi)
Kata (القَرْنُ) maknanya adalah seratus tahun, pendapat ini yang dinilai kuat (rajih) oleh al Hafizh Abu al Qasim ibn ‘Asa-kir dan lainnya.
Dikarenakan al Asya’irah dan al Maturidiyyah adalah mayoritas ummat yang berpegang teguh dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya, maka para ulama menegaskan:
·           al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin pada Fashl ke dua menegaskan:
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْـجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُ بِـهِمْ الأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ“.
“Jika disebut Ahlusunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud dengan mereka ini adalah al Asya’irah dan al Maturidiyyah14 “.
·           Ibnu ‘Abidin, seorang ulama fiqh madzhab Hanafi dalam Hasyiyah-nya mengatakan:
أَهْل السُّنَّةِ وَالْـجَمَاعَةِ وَهُمُ الأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ“.
“Ahlusunnah Wal Jama’ah dan mereka adalah al Asya’irah dan al Maturidiyyah”
·           Syekh Tajuddin as-Subki mengatakan:
وَهذِهِ الْمَذَاهِبُ الأَرْبَعَةُ وَللهِ الْـحَمْدُ فِي العَقَائِدِ وَاحِدَةٌ إِلاَّ مَنْ لَـحِقَ مِنْهَا بِأَهْلِ الاعْتِـزَالِ وَالتَّجْسِيْمِ، وَإِلاَّ فَجُمْهُوْرُهَا عَلَى الْـحَقِّ، يُقِرُّوْنَ عَقِيْدَةَ أَبِيْ جَعْفَرٍ الطَّحَاوِيِّ الَّتِيْ تَلَقَّاهَا العُلَمَاءُ سَلَفًا وَخَلَفًا بِالْقَبُوْلِ، وَيَدِيْنُوْنَ للهِ بِرَأْيِ شَيْخِ السُّنَّةِ أَبِيْ الْـحَسَنِ الأَشْعَرِيِّ الَّذِي لَـمْ يُعَارِضْهُ إِلاَّ مُبْتَدِعٌ“.
“Dan keempat madzhab ini –Alhamdulillah- dalam aqidah yang sama, kecuali oknum-oknum yang mengikuti pembawa aqidah I’tizal dan tajsim. Kecuali oknum-oknum tersebut, maka mayoritas pengikut madzhab empat berada dalam kebenaran. Mereka mengakui kebenaran aqidah Abu Ja’far ath-Thahawi yang diterima oleh para ulama salaf maupun khalaf. Mereka beragama kepada Allah dengan rumusan akidah yang disusun oleh Syaikh as-Sunnah Abu al Hasan al Asy’ari, tidak akan menentang beliau kecuali ahli bid’ah”.
Ini adalah penegasan dari Ibnu as-Subki, bahwa al Asya’irah adalah pengikut salaf yang sebenarnya. Mereka mengakui kebenaran al ‘Aqidah ath-Thahawiyyah yang merupakan kesimpulan keyakinan as-Salaf ash-Shaleh. Al Asya’irah tidak memunculkan akidah baru yang menyalahi akidah para ulama salaf. Al Asya’irah tidaklah seperti yang dikesankan oleh sebagian orang, bahwa Asya’irah mengikuti para ulama khalaf dan tidak mengikuti para ulama salaf. Al Asya’irah bukanlah seperti mereka yang mengaku-ngaku sebagai pengikut para ulama Salaf (Salafiyyah), mereka mengklaim mengikuti aqidah ath-Thahawi namun mereka membantah pengarangnya dalam hasyiyah-hasyiyah mereka, dan mereka juga mencaci ath-Thahawi karena perkataannya:
تَعَالَى (أي الله) عَنِ الْـحُدُوْدِ وَالغَايَاتِ وَالأَرْكَانِ وَالأَعْضَاءِ وَالأَدَوَاتِ، لاَ تَـحْوِيْهِ الْـجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ“.
“Allah Maha suci dari ukuran-ukuran, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar, anggota badan yang kecil, yang tidak diliputi salah satu di antara enam arah penjuru maupun semua arah penjuru”.
Dalam pernyataan ini al Imam ath-Thahawi menegaskan akidah para ulama Salaf yang mensucikan Allah dari benda, anggota-anggota badan dan menempati tempat dan arah.


Karakteristik dan Prinsip- Prinsip Ajaran Golongan Yang Selamat

Salah seorang ulama paling terkenal yang membahas tentang ciri-ciri dan karakteristik al Firqah an-Na-jiyah; golongan yang selamat adalah seorang ulama, ahli fiqh dan ushuluddin; Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir at-Tamimi al Baghdadi dan merupakan salah seorang pemuka Asya’irah dalam kitabnya yang masyhur; al Farq bayn al Firaq. Buku ini sesungguhnya adalah penjelasan tentang hadits iftiraq al Ummah, dalam buku ini beliau menjelaskan tentang golongan-golongan yang menyempal dari mayoritas kaum muslimin, mematahkan pendapat-pendapat mereka dan membantah mereka secara ringkas. Al Baghdadi kemudian membuat bab khusus untuk menjelasan siapakah al Firqah an-Na-jiyah; golongan yang selamat. Dalam makalah yang singkat ini, tidak mungkin dituturkan semua apa yang disebutkan oleh al Baghdadi. Hanya saja salah satu hal terpenting yang disampaikan dalam kitab ini tentang sifat-sifat dan ciri-ciri al Firqah an-Na-jiyah; golongan yang selamat:
قَدْ ذَكَرْنَا فِي البَابِ الأَوَّلِ مِنْ هذَا الكِتَابِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَـمَّا ذَكَرَ افْتِرَاقَ أُمَّتِهِ بَعْدَهُ ثَلاَثًا وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَأَخْبَرَ أَنَّ فِرْقَةً وَاحِدَةً مِنْهَا نَاجِيَةٌ سُئِلَ عَنِ الفِرْقَةِ النَّاجِيَةِ وَعَنْ صِفَتِهَا فَأَشَارَ إِلَى الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى مَا عَلَيْهِ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَلَسْنَا نَجِدُ اليَوْمَ مِنْ فِرَقِ الأُمَّةِ مَنْ هُمْ عَلَى مُوَافَقَةِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ غَيْرَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْـجَمَاعَةِ مِنْ فُقَهَاءِ الأُمَّةِ وَمُتَكَلِّمِيْهِمْ الصِّفَاتِيَّةِ“.
“Kami telah menyebutkan pada bab pertama dari kitab ini bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam ketika menyebutkan tentang perpecahan ummatnya setelahnya menjadi 73 golongan, beliau juga mengabarkan bahwa satu dari golongan-golongan tersebut akan selamat. Ketika itu beliau ditanya tentang al Firqah an-Na-jiyah dan sifat-sifatnya, beliaupun menyifati mereka dengan sifat bahwa mereka adalah orang-orang yang mengikuti ajaran Nabi dan para sahabatnya. Sekarang ini, kita tidak mendapatkan firqah yang sesuai dengan ajaran para sahabat kecuali Ahlusunnah Wal Jama’ah dari kalangan ahli fiqh ummat Muhammad dan ahli kalam yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah (ash-Shifa-tiyyah)”.
Kemudian Abu Manshur menyusun bab dengan judul (بَيَانُ الأُصُوْلِ الَّتِيْ اجْتَمَعَتْ عَلَيْهَا أَهْلُ السُّنَّةِ) “Penjelasan tentang prinsip-prinsip akidah yang disepakati oleh Ahlussunnah”. Beliau berbicara panjang lebar dalam menjelaskan hal-hal tersebut. Pemateri akan mencoba meringkas sebagian prinsip-prinsip akidah tersebut dalam beberapa poin, sehingga dari poin-poin tersebut dapat diperjelas siapakah al Firqah an-Na-jiyah; golongan yang selamat di masa sekarang ini:
1.  Ahlusunnah Wal Jama’ah bersepakat untuk menetapkan adanya hakekat segala sesuatu dan hakekat ilmu, berbeda dengan kalangan Sofis (السُّوْفْسْطَائِيَّةُ).
2.    Ahlusunnah Wal Jama’ah bersepakat bahwa alam seluruhnya adalah baharu dan alam bukanlah Allah dan bukan pula sifat-sifat Allah, berbeda dengan para filsuf, kalangan Bathiniyyah dan golongan semacamnya seperti orang-orang yang menganut paham Wahdatul Wujud yang disepakati oleh kaum muslimin untuk menyesatkan mereka dan pengikut-pengikut mereka, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Ahlusunnah dari kalangan para ulama Sufi seperti al Junaid al Baghdadi, as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i dan lainnya.
3.  Ahlusunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa Allah-lah Pencipta segala sesuatu, Allah yang menciptakan para hamba dan perbuatan-perbuatan mereka, berbeda dengan golongan Mu’tazilah.
4.  Ahlusunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa Allah tidak memiliki permulaan ada-Nya. Allah maha suci dari ukuran, batas akhir dan jism serta sifat-sifat jism, berbeda dengan golongan Karramiyyah.
5.   Ahlusunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa Allah mustahil disifati dengan bentuk, gambar dan anggota badan, berbeda dengan Dawud al Hawwal dan para pengikutnya.
6.    Ahlusunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh perjalanan waktu, berbeda dengan perkataan sebagian dari golongan Karramiyyah yang mengatakan bahwa Allah menempel dan menyentuh ‘Arsy.
7.  Ahlus unnah Wal Jama’ah sepakat mensucikan Allah dari sifat bergerak dan diam, berbeda dengan golongan Hisyamiyyah.
8.   Ahlusunnah Wal Jama’ah sepakat bahwa Allah tidak membutuhkan makhluk, tidak mengambil manfaat dari makhluk dan tidak menjauhkan marabahaya dari Dzat-Nya dengan makhluk, berbeda dengan perkataan orang-orang Majusi.
9.   Ahlusunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa Allah satu (bukan dari segi bilangan), tidak ada sekutu bagi-Nya, berbeda dengan golongan ats-Tsanawiyyah dari kalangan Majusi.
10.Ahlusunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, hidup-Nya, kehendak-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya dan kalam-Nya adalah sifat-sifat Allah yang azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berpenghabisan), berbeda dengan golongan Muta’zilah yang menafikan sifat-sifat Allah.
11.  Ahlusunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa Allah akan dilihat oleh orang-orang mukmin di akhirat tanpa disifati dengan sifat-sifat makhluk, tanpa tempat dan tanpa arah, berbeda dengan golongan Qadariyyah dan Jahmiyyah.
12.  Ahlusunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa kalam Allah ‘azza wa jalla adalah sifat Allah yang azali, bukan makhluk dan tidak diciptakan dan bukan baharu, berbeda dengan perkataan Qadariyyah yang mengklaim bahwa Allah menciptakan kalam-Nya pada jism (benda) tertentu, berbeda dengan perkataan Karramiyyah bahwa kalam Allah baharu (muncul) pada dzat-Nya.
13.Ahlusunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa Allah mengutus para rasul kepada para hamba-Nya, berbeda dengan golongan Barahimah. Rasul pertama adalah Adam dan rasul terakhir adalah Muhammad shalawat dan salam Allah semoga tercurahkan kepada mereka semua.
14. Ahlusunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa para nabi lebih mulia dari para wali, berbeda dengan pendapat yang mengganggap di antara para wali ada yang lebih mulia dari para nabi.
15. Ahlusunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa Abu Bakr adalah khalifah yang sah setelah Rasulullah.
16.  Ahlusunnah Wal Jama’ah menyepakati bahwa nama iman tidak akan hilang karena sebuah dosa di bawah kekufuran. Barang siapa yang melakukan perbuatan dosa di bawah kekufuran maka ia dihukumi sebagai muslim, akan tetapi dinilai fasiq karena dosanya, berbeda dengan golongan Khawarij.
17. Ahlusunnah tidak saling mengkafirkan di antara mereka, dan tidak ada di antara mereka perbedaan yang mengakibatkan keterlepasan dari sebagian yang lain dan mengkafirkannya.


AL ASYA’IRAH  DAN AL MATURIDIYYAH

Mengenal Abu al Hasan al Asy’ari

Abu al Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin ‘Amir bin sahabat Rasulillah Abu Musa al Asy’ari. Dilahirkan pada tahun 206 H di kota Bashrah dan wafat pada tahun 324 H, memang ada perbedaan pendapat tentang waktu lahir dan wafat beliau. Al Asy’ari rahimahullah meninggal di Baghdad dan dimakamkan di antara kota Karkh dan Babul Bashrah.
Al Asya’ri adalah seorang sunni dari keluarga Ahlussunnah, di awal kehidupannya mempelajari madzhab Mu’tazilah dari Abu Ali al Jubba-i (W. 303 H), akan tetapi dengan pengamatannya yang cermat dan akalnya yang cerdik, ia dapat mencerna keadaan yang sesungguhnya. Ia melihat begitu lebar perbedaan antara Ahlussunnah dan Mu’tazilah dan perbedaan tersebut terus melebar. Maka al Asy’ari mengumumkan bahwa ia melepaskan diri dari Mu’tazilah dan kembali ke kandang Ahlusunnah, beliau mengambil jalan tengah antara tasybih (keyakinan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan ta’thil (madzhab Mu’tazilah). Sikap ini ternyata dapat diterima secara luas oleh kaum muslimin pada umumnya.
Inilah jalan yang dirintis oleh al Asy’ari, kemudian dilanjutkan setelahnya oleh para pengikutnya yang banyak sekali. Mereka meyakini madzhab al Asy’ari dan mengikuti jalannya. Mereka adalah para ulama Islam terpilih di masa mereka dan tokoh-tokoh mulia, seperti al Qadli Abu Bakr al Baqillani (W. 403 H), Ibn Furak (W. 406 H), Abu Ishaq al Asfarayini (W. 418 H), Abdul Qahir al Baghdadi (W. 429 H), al Qadli Abu ath-Thayyib ath-Thabari (W. 450 H), Abu Bakr al Bayhaqi (W. 458 H), Abu al Qasim al Qusyairi (W. 465 H), Abu Ishaq asy-Syirazi (W. 476 H); pimpinan madrasah an-Nizhamiyyah di Baghdad, Imam al Haramayn Abu al Ma’ali al Juwayni (W. 478 H), al Imam al Ghazali (W. 505 H), Ibn Tuumart al Maghribi (W. 524 H); murid al Ghazali yang menyebarkan akidah al Asya’irah di Marokko, asy-Syahrastani (W. 548 H) dan para ulama besar lainnya yang sangat banyak, mereka menguraikan akidah Asy’ari, menyusunnya secara rapi dan sistematis dan membelanya dengan dalil-dalil dan argumentasi-argumentasi naqli dan aqli. Mereka berjasa besar dan memberikan pengaruh yang luas dalam keberhasilan madzhab al Asy’ari dan penyebarannya.
al Qadli Tajuddin as-Subki berkata: “Ketahuilah bahwa Abu al Hasan tidak pernah mencetuskan pemikiran baru dan tidak menggagas sebuah madzhab baru, beliau tidak lain menjelaskan ulang terhadap madzhab Salaf, membela ajaran yang diyakini oleh para sahabat Rasulullah. Penisbatkan kepadanya sesungguhnya hanya disebabkan karena ia merangkum dan menyusun keyakinan salaf, kemudian berpegang teguh dengannya serta menegakkan dalil dan argumentasinya”.
Di bagian lain, at-Taj as-Subki berkata: “Al Maayurqi berkata: Abu al Hasan bukanlah orang pertama kali yang berbicara merepresentasikan Ahlusunnah, ia hanya mengikuti jalan para ulama sebelumnya, beliau membela madzhab yang sudah dikenal sebelumnya. Maka al Asy’ari menambahkan penjelasan dan dalil-dalil dari madzhab tersebut, ia tidak mencetuskan pemikiran dari diri pribadinya dan tidak membuat madzhab khusus yang tersendiri. Tidakkah anda melihat bahwa orang yang mengikuti madzhab penduduk Madinah dinisbatkan kepada Imam Malik, orang yang mengikuti madzhab penduduk Madinah disebut Maliki (pengikut madzhab Maliki), padahal Imam Malik hanya mengikuti para ulama Madinah sebelumnya dan beliau hampir selalu mengikuti mereka, akan tetapi karena memberikan tambahan penjelasan, penjabaran madzhab tersebut maka madzhab para ulama Madinah dinisbatkan kepada beliau. Demikian pula Imam al Asy’ari, tidak ada bedanya, peran beliau tidak lain adalah menjabarkan,menjelaskan dan menulis karangan-karangan tentang madzhab as-Salaf”.
Al Imam al Baihaqi berkata :”Hingga telah sampai giliran (membela ajaran Ahlussunnah) kepada syaikh kita Abu Hasan al Asy’ari Rahimahullah, dan tidaklah beliau merubah agama Allah sedikitpun dan tidaklah ia datangkan perkara baru, akan tetapi beliau mengambil perkataan sahabat, tabi’in dan ulama setelah mereka dalam pokok-pokok agama, kemudian beliau menguatkannya dengan menambah penjelasan. Sesungguhnya apa yang mereka katakan dan apa yang telah datang dalam syari’at dalam masalah pokok-pokok agama semua itu adalah perkara yang dibenarkan oleh akal sehat. Ini berbeda dengan apa yang disangka oleh orang-orang ahlul ahwa’ (kelompok sesat); yang berprasangka bahwa ada beberapa ajaran syari’at yang tidak rasional. Formulasi dan penjelasan Imam Abul Hasan terhadap aqidah Ahlusunnah wal Jama’ah ini turut memperkuat perkataan para imam terkemuka sebelumnya, seperti Abu Hanifah dan Sofyan ats-Tsauri dari penduduk Kufah, al-Auza’i dan selainnya dari penduduk Syam (Siria), Malik dan Syafi’i dari penduduk wilayah Mekah, Madinah dan sekitarnya, termasuk para imam terkemuka di wilayah Hijaz dan lainnya, seperti Ahmad bin Hanbal dari ulama ahli hadits, al Laits bin Sa’ad, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhari dan Abu al-Husain Muslim bin al Hajjaj al Naisaburi; dua imam ahli hadis terkemuka.
Tajjudin as-Subki, –dalam mengomentari sebagian tulisan dari kitab karya al Baihaqi yang telah kita kutip–, berkata: “Dan kitab tersebut -–dan aku benar-benar mengetahui bahwa penulisnya (yaitu al-Baihaqi) adalah orang yang memiliki kekuatan hafalan, beragama sangat baik, wara’, memiliki wawasan luas, pengetahuan, terpercaya (tsiqah), amanah, dan sangat kompeten– telah menyimpulkan sesungguhnya para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para Fuqaha dan para Muhaddits, semuanya sejalan dengan aqidah al Asy’ari, dan tentulah al Asy’ari di atas aqidah mereka semua, beliaulah yang telah membela aqidah Ahlussunnah dan menyelamatkan kemurniaannya dari tangan-tangan perusak yang batil.
Al-Ustadz Abu Ishaq al-Isfirayini berkata: “Aku dihadapan Abu al Hasan al Bahili seperti setetes air di banding lautan, dan aku telah mendengar al Bahili berkata: Aku di depan syekh Abul Hasan seperti setetes air di banding lautan”.
Pembela aqidah umat Islam (Lisan al-Ummah) al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani berkata: “Keadaanku yang paling utama adalah saat aku memahami perkataan Abul Hasan al-Asy’ari”.
Al-Ustadz Abu Qasim al-Qusyairi berkata: “Ulama hadits sepakat bahwa Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari adalah imam (pimpinan) para imam ahli hadits, madzhab beliau adalah madzhab ahli hadits. Beliau berbicara dalam pokok-pokok agama dengan metode Ahlusunnah. Beliau giat membantah golongan-golongan sesat dan berbagai ahli bid’ah. Beliau laksana pedang terhunus terhadap orang-orang Muta’zilah, bagi kelompok sesat, dan bagi golongan berfaham di luar Islam. Maka barangsiapa mencacinya, atau menjelek-jelekannya, atau melaknatnya maka berarti sama saja ia telah mencaci-maki Ahlusunnah secara keseluruhan”.
Al-Hafidz Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad telah menuliskan biografi imam Abul Hasan al-Asy’ari, berkata: “Abu Hasan al-Asy’ari seorang teolog terkemuka 9mutakallim), banyak menulis kitab dan karya-karya dalam membantah golongan yang sesat, seperti Mu’tazilah, Jahmiyyah, Khawarij, dan semua golongan ahli bid’ah”.
Sejarawan terkemuka (al-mu’arrikh) Ibnul Imad al-Hanbali menggambarkan sosok Abul Hasan al-Asy’ari sebagai Imam, al-Allamah, lautan ilmu, teolog terkemuka (al-Mutakallim), penulis berbagai karya. Lalu Ibnul Imad berkata: “Beliau yang telah menyinari Ahlusunnah dan menggelapkan bendera kaum Mu’tazilah dan Jahmiyah. Beliau yang telah memperjelas jalan Ahlusunnah yang terang, dan menyejukan ahli iman dengan cahaya ma’rifah. Perdebatan beliau dengan gurunya; yaitu al-Jubba’i, yang dengannya menjadi pecahlah seluruh sandaran setiap ahli bid’ah”.


Mengenal Abu Manshur al Maturidi

Salah satu uraian paling bagus tentang biografi al Imam Abu Manshur al Maturidi adalah uraian pakar hadits Muhammad Murtadha az-Zabidi (W. 1205 H) dalam kitabnya yang populer; Ithaf as-Sadah Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ulumiddin, kitab penjelasan bagi karya Imam al-Ghazali”. Berikut ini akan kita kutip perkataan beliau secara ringkas.
Abu Mansur al-Maturidi adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Hanafi, seorang teolog terkemuka (al-Mutakallim). Nama Maturid juga disebut Matrit, sebuah perkampungan wilayah di Samarkand. Beliau digelari dengan Imam al-Huda. Beliau adalah imam yang agung, pembela agama, pejuang aqidah Ahlussunnah. Dalam perdebatannya dengan Mu’tazilah dan para ahli bid’ah beliau telah mematahkan mereka, dan menjadikan mereka terdiam.
Beliau menimba ilmu dari al imam Abu Nashr al ‘Iyadhi dan mengarang beberapa kitab di antaranya : kitab at Tauhid, kitab al Maqalat, kitab Raddi Awailil Adillah lil Ka’bi, kitab Bayan wahmi Mu’tazilah, kitab Takwilatul Qur’an, kitab yang tidak ada yang menandingi dan bahkan mendekatinya dalam disiplin ilmu yang sama. Dan masih banyak karangan beliau lainnya.
Beliau wafat tahun 333 H tidak lama setelah wafatnya Abul Hasan al Asy’ari dan makamnya berada di Samarkand. Keterangan tersebut ditulis oleh al Hafizh Quthubuddin ‘Abdul Karim bin al Munir al Halabi al Hanafi.
Az Zabidi berkata : “dan aku mendapatkan di beberapa kitab ensiklopedi (majma’) adanya tambahan Muhammad bin Mahmud dan al Anshari dalam nasabnya. Jika benar demikian maka tidak ada keraguan pada dirinya bahwa dialah pembela as sunnah, pemusnah bid’ah dan penegak syari’at. Sebagaimana gelarnya menunjukkan akan hal tersebut. Aku menemukan di beberapa perkataan sebagian para guru thariqatnya tentangnya : dia merupakan rujukan ummat pada masanya. Di antara gurunya adalah al Imam Abu Bakar Ahmad bin Ishaq bin Shalih al Juzjani, Nasir bin Yahya al Balkhi disebut juga Nashr bikaramatin 826 H, Muhammad bin Muqatil ar Razi seorang Qadhi daerah Rai yang meriwayatkan hadits dari waki’.
Adapun Abu Bakar al Juzjani, Abu Nashr al ‘Iyadhi, Nashir bin Yahya semuanya menimba ilmu dari al Imam Abu Sulaiman Musa bin Sulaiman al Juzjani. Beliau belajar dari dua imam; Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan. Muhammad bin Muqatil dan Nasir bin Yahya dari dua imam; Abu Muthi’ al Hakam bin ‘Abdillah al Balkhi dan Abu Muqatil Hafsh bin Muslim as Samarqandi. Dan Muhammad bin Muqatil dari Muhammad bin al hasan dan mereka berempat mengambil dari al imam abu hanifah. Selesai risalah perkataan al imam az zabidi semoga allah merahmatinya.
Abdul qadir bin Muhammad bin abu wafa al qurasyi al hanafi (775 H) menuturkan dalam kitabnya al jawahir al mudhiyyah fi thabaqatil hanafiyyah yang nashnya adalah : “Muhammad bin muhammad bin Mahmud abu manshur al maturidi disebutkan oleh pengarang shahibul hidayah beliau termasuk ulama’ besar, ia belajar dari Abu nashr al ‘iyadh. Beliau disebut juga dengan imamul huda. Penuturan yang sama disampaikan oleh ibn qathlubugha (879 H) dalam kitab taj tarajim fi man shannafa minal hanafiah.
Dan dalam kitab al fawaidul bahiah fi tarajim al hanafiah karangan al ‘allamah Muhammad abdul hayy al laknawi al hindi yang nashnya : “Muhammad bin Muhammad bin Mahmud abu manshur al maturidi imam mutakallimin dan pembela akidah muslimin, memiliki karangan-karangan bermutu tinggi, membantah kebohongan para penganut akidah yang sesat.


Materi ketiga : Tokoh-tokoh al asya’irah dan al maturidiah
Dari ulama’ ahli tafsir dan ilmu tentang al qur’an:
Al jashshos, abu ‘amr addani, al qurthubi, ilkia al harasi, ibnul ‘arabi, arrazi, ibu ‘athiyyah, al muhalli, al baidhawi, ats tsa’alibi, abu hayyan, ibnul jazari, as Samarqand, az zarkasyi, as suyuthi, az zarqani, an nasafi, al qasimi, dan selain mereka.
Dari ulama ahli hadits beserta ilmunya
Ad daruquthni, alhakim, al baihaqi, al khatib al Baghdadi, ibn ‘asakir, al khaththabi, abu nu’aim al ashbahani, as sam’ani, ibnul qaththan, al qadhi ‘iyadh, ibn shalah, al munzhir, an nawawi, al haitsami, al mizzi, ibu hajr, ibn munir, ibn baththal dan sebagian besar pensyarah ash shohihain dan pensyarah as sunan, begitu juga al ‘iraqi beserta anaknya, ibn jama’ah, al ‘aini, al ‘allai, ibnul mulaqqan, ibn daqiq al ‘id, ibnu zamlakani, assuyuthi, azzaila’i, ibn ‘alan, as sakhawi, al munawi, ali al qari, al jalalud dawani, al baiquni, al laknawi, azzabidi dan selain mereka.
Dari ulama ahli fiqh dan usul fiqh
Dari madzhab al hanafiah :
Ibn nujaim, al kasani, as sarkhasi, az zaila’i, al hashkafi, al mirghinani, al kamal bin himam, asy syar nablali, ibnu amir al haj, al bazdawi, al khadimi, abdul ‘aziz al bukhari, ibnul abidin dan sebagian besar ulama hindia, Pakistan dan selain mereka.
Dari madzhab al malikiah :
Ibn rusydi, al qarrafi, asy syatibi, ibn hajib, khalil, ad dardir, ad dasuqi, zruqi, al laqqani, az zarqani, an nafrawi, ibnu jizzi, al ‘adawi, ibn al haj, as sannusi, illaisy dan sebagian besar asy syanaqithah dan ulama maroko dan selain mereka.
Dari madzhab asy syafi’iyyah :
Al juwaini dan anaknya imamul haramain, ar razi al ghazali, al amidi, asy syirazi, al asfiriyini, al baqillani, al mutawalli, as sam’ani, ibn shalah, an nawawi, ar rafi’i, al ‘iz bin abdis salam, ibn daqiqil ‘id, ibn ar rif’ah, al azra’i, al isnawi, assubki dan anaknya tajuddin, al baidhqwi, al hushni, zakaria al anshari, ibn hajr al haitami, ar ramli, asy syirbini, al mahalli, ibnul muqri, al bujairimi, al baijuri, ibnul qasim al ‘ibadi, qulyubi, ‘umairah, ibn qasim al ghazzi, ibn naqib, al ‘athari, al bunani, ad dimyathi, penduduk daerah ahdal dan selain mereka.
Dari ulama ahli tarikh dan beografi :
Al qadhi ‘iyadh, al muhibbuth thabari, ibn ‘asakir, al khathib al Baghdadi, abu nu’aim al ash bahani, ibn hajar, al mizzi, as suhaili, ash sholihi, as suyuthi, ibn atsir, ibn khaldun, at tlimsani, al qistalani, ibn khilkan, ibn qhadhi syuhbah, ibn nashiruddin dan selain mereka.
Dari ulama ahli bahasa :
Al jar jani, al qazwaini, abul barakatil anbari, as suyuthi, ibn malik, ibn ‘aqil, ibn hisyam, ibn manzhur, al fairuz abadi, azzabidi, ibnul hajib, abu hayyan, ibnul atsir, al hamwi, ibn faris, al kafawi, ibn ajurum, al haththab, al ahdal dan selain mereka.
Dari pimpinan ummat :
Shalahudin al ayyubi, al muzhaffar qatz, azh zhahir bibris, pemuka pemerentahan al ayyubi, as sulthan Muhammad al faith dan pemuka pemerintahan ‘utsmaniyyin dan selain mereka.
Setelah penyebutan sebagian nama para ulama asya’irah dan maturidiah secara berurutan di setiap disiplin ilmu pengetahuan, mungkin akan muncul pertanyaan yang dilontarkan. Apa tujuan sebenarnya celaan yang dilontarkan ke pada asya’irah dan maturidiah ?
Sudah merupakan kelumrahan bahwa yang mencela asya’irah dan almaturidiah secara mutlak berarti ia telah mencela ulama islam, otomatis ia telah meragukan dan mencela agama islam. Karena mata rantai emas dari sanad yang menghubungkan kita ke pada atba’uttabi’in, tabi’in dan para sahabat haruslah diyakini perantara terpenting yang murni dalam penyampaian agama. Tidak boleh diragukan lagi kebenaran tersebut. Karena jika tidak, maka pasti akan dengan mudah masuknya penyelewengan dalam penyampaian. Apa lagi jika kekurangan ini ada pada suatu kelompok atau golongan yang membawa pemikiran dan keyakinan menyalahi pokok-pokok keyakinan yang dianut oleh semua muslim dari nabi adam dan nabi-nabi yang lain hingga nabi Muhammad semoga shalawat dan salam allah tetap tercurah buat mereka.
Sesungguhnya akidah islamiah yang menggabungkan semua ummat yang pokok-pokok pondasinya adalah tauhidullah, mensucikan allah dari menyerupai makhluk merupakan perkara yang diyakini para malaikat dan hingga saat ini seluruh muslim meyakininya. Karena ia adalah akidah yang diperintahkan allah dengannya dan menurunkannya sebagai pondasi setiap syariat dan kutub as samawiah, dan akal sehat membuktikan kebenarannya.
Celaan terhadap imam asy’ari dan asya’irah sebenarnya bukanlah celaan terhadap individu mereka saja, akan tetapi lebih dari itu. Yang dimaksud adalah cacian apa yang mereka bawa dan mereka yakini. Hingga para radikal dan orang-orang yang menginginkan penyelewengan terhadap agama ini mudah dalam mengaplikasikan kerusakan yang mereka inginkan. Biasanya yang mereka jadikan perantara yang menggiurkan adalah pemberian uang secara geratis seperti memberikan bea siswa, tunjangan gaji setiap bulan, tamasya gratis, pemberian hadiah yang sangat berharga…. dan selainnya dari pada metode-metode.
Sesungguhnya mengikuti as salaf ash shalih adalah perkara terpuji, akan tetapi harus dengan penuh ketelitian dan kepastian. Disebabkan perkataan, perbuatan dan keyakinan tersebut merupakan perkataan, perbuatan dan keyakinan orang-orang salaf sebelum kita dan tidak sebatas nama untuk mengelabui orang awam. Pondasi terpenting untuk menjaga kemurnian ini adalah menukil dengan benar disertai ketepatan, amanah dan talaqqi (belajar langsung) dari guru yang memiliki guru, dari orang yang tsiqah pada orang yang tsiqah, zaman khalaf dari salaf. Tidak sepatutnya sama sekali menghapus sebagian mata rantai keilmuan dan mencelanya kemudian langsung melompat kemasa salaf atas kedok pengikut salaf.
Maka hendaklah kita memperhatikan perkara yang berbahaya ini. Hal tersebut menjadi kesempatan bagi yang ingin memasukkan suatu kejelekan yang tidak pantas, bahkan merupakan penipuan terhadap para as salaf ash shalih ahli abad ketiga hijriah.
Telah tampak di media-media pemenggalan kepala, pengeboman diri yang mengakibatkan terbunuhnya para wanita, anak-anak dan orang yang tidak bersalah dan semuanya didalangi syiar yang menyatukan mereka dengan masa salaf secara dusta. Mereka membuka kesempatan menjadikan orang berani menjelek-jelekkan ulama as salaf ash shalih bahkan pada pimpinan kita yang mengajarkan kita peradaban dan kemoderatan baginda Muhammad rasulullah. Pencemaran cahaya sejarah umat islam dengan ilmu pengetahuan dan keterbukaan terhadap semua yang baik, serta gambaran bahwa umat islam memiliki sejarah berdarah atas tema pentakfiran, pembunuhaan dan pengeboman… adalah tujuan jelek yang diinginkan untuk merusak nama baik muslimin dari masa ke masa. Maka tidaklah pantas kita menjadi alat dalam gerakan tersebut.

Pembahasan Ketiga: Al Asya’irah dan AL Maturidiyah Merekalah Ahlusunnah Wal Jama’ah

Materi Pertama : Kabar Gembira Dari Nabi Atas Kebenaran Al Asya’irah Dan Al Maturidiyyah
Allah ta’ala berfirman :
Maknanya: “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui”.
Al Hafidz Ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al Muftari dan al Hakim dalam al Mustadrak meriwayatkan bahwa setelah turunnya Al-Maidah: 54
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
هُمْ قَوْمُكَ يَا أَبَا مُوْسَى
Maknanya: “Mereka adalah kaummu wahai Abu Musa”
Dan Rasulullah menunjuk dengan tangannya kepada Abu Musa al Asy’ari. al Hakim berkata: “Hadits ini hadits yang shahih atas syarat muslim”, dan juga diriwayatkan oleh al imam ath-Thabari dan ibn abi hatim dalam tafsir-nya, ibn sa’ad dalam Thabaqat-nya dan ath-Thabarani dalam al mu’jam al kabir, al Haitsami dalam majma’ azzawaid berkata: ”Dan para perawinya dapat diperacaya”
Al Qusyairi berkata: “Pengikut Abul Hasan al Asy’ari termasuk dari kaumnya, karena kata “kaum” ketika dinisbatkan kepada seorang Nabi maka yang dimaksud dengannya adalah para pengikutnya”, diriwayatkan oleh al Qurthubi dalam tafsir-nya.
Al Baihaqi berkata: “Hal tersebut dikarenakan al Imam Abul Hasan al Asy’ari radliyallahu ‘anhu mempunyai keutaman yang agung dan marabat yang mulia. Beliau termasuk dari kaum Abu Musa dan keturunannya yang diberikan ilmu dan pemahaman yang bagus, serta keistimewaan yang lebih dari selain dalam membela sunnah dan memberantas bid’ah dengan menampakkan dalil dan membantah syubhat”. Disebutkan oleh ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al Muftari.
Al Imam al Bukhari menyebutkan dalam Shahih-nya: ”Bab tentang kedatangan al Asy’ariyin dan penduduk yaman, Abu Musa berkata tentang Nabi:
هُمْ مِنِّيْ وَ أَنَا مِنْهُمْ
“Mereka bagian dariku dan aku bagian dari mereka”.
Setelah turunnya ayat ini datanglah perahu-perahu Asy ‘Ariyyin dan kabilah-kabilah yaman. Al Imam al Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari hadits Abi Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam beliau
bersabda :
أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً وَأَلْيَنُ قُلُوبًا، الإِيمَانُ يَمَانٌ، وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَّةٌ
Maknanya :”Penduduk yaman datang kepada kalian, mereka orang yang lemah lembut, …………………………………
Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari ‘Imran bin al Hushain bahwa ada beberapa orang dari Bani Tamim yang datang kepada Nabi, maka Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
اقبلوا البشرى يا بني تميم
Maknanya :”Dapatkanlah kabar gembira wahai Bani Tamim”.
Mereka berkata :
بشرتنا فأعطنا مرتين
Maknanya: ”Engkau memberi kami kabar gembira, maka berilah kami dua kali”
Maka berubahlah wajah Nabi karena kecewa disebabkan mereka mendahulukan dunia. Kemudian datang kepadanya orang-orang dari yaman dan Nabi bersabda:
يا أهل اليمن اقبوا البشرى إذ لم يقبلها بنو تميم
Makna: ”Wahai penduduk yaman dapatkanlah kabar gembira karena orang-orang dari Bani Tamim tidak mau mendapatkannya
Mereka berkata :
قبلنا يا رسول الله جئناك لنتفقه في الدين ولنسألك عن أول هذا الأمر ما كان قد
Maknanya :”sungguh kami telah menerimanya wahai Rasulullah, kami datang kepadamu untuk beajar ilmu agama dan untuk bertanya tentang mahkluk yang pertama kali”.
Rasulullah bersabda:
كان الله ولم يكن شيء غيره
Maknanya Allah ta’ala ada pada azal (ada tanpa permulaan) dan belum ada tempat, waktu, arah, arasy, jism, gerak, diam dan belum ada mahkluk apapun, kemudian Allah ta’ala menciptakan mahkluk dan setelah Allah ta’ala menciptakan mahkluk Allah tetap ada seperti sedia kala, maka Allah subhanahu ada tanpa kaif (tanpa disifati dengan sifat-sifat mahkluk), tanpa tempat dan tanpa arah.
Dan diantara kabar gembira atas kebenaran ajaran al Maturidiyyah adalah pujian Rasululllah shallallahu ‘alayhi wasallam terhadap pimpinan perang dan pasukan tentaranya yang menaklukkan kota konstantinopel, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan al Imam ahmad, Al Bazzar, ath-Thabarani dan al Hakim dengan sanad yang shahih:
لتفتحن القسطنطيبية فلنعم الأمير أميرها ولنعم الجيش ذلك الجيش.
Maknanya: ”Sungguh kota konstantinopel akan ditaklukan, sebaik-baik pimpinan perang adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan perang adalah pasukan tersebut”.
Kota kostantinopel ditaklukan setelah 900 tahun oleh Sultan Muhammad al Fatih al Maturidi – semoga Allah merahmatinya-, beliau adalah orang Ahlussunnah yang meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat, mencintai orang–orang sufi sejati dan bertawasul dengan Nabi. Sultan Muhammad al Fatih dan tentara yang bersama dengannya diakui oleh Rasulullah bahwa mereka berada dalam ajaran yang baik, demikian juga semua sultan-sultan khilafah utsmaniyah yang membela agama umat islam dalam setiap masa, mereka berada dalam aqidah ahlussunnah wal jamaah.
Materi Yang Kedua: Peranan Al Asya’irah Dan Al Maturidiyyah Dalam Menjaga Persatuan Aqidah Dan Umat Islam (Seperti Shalahuddin)
Dalam makalah yang ringkas ini kami akan mencukupkan diri dengan menyebutkan contoh yang gamblang atas peranan para ulama dan para pemimpin dari kalangan al Asya’irah dan al Maturidiyyah dalam menjaga persatuan aqidah dan umat islam, dan contoh yang paling baik atas hal tersebut adalah as-Sultan al Mujahid al ‘Alim al Faqih Shalahuddin al Ayyubi yang beraqidah Asy’ari dan mermadzhab syafi’I, lahir pada tahun 532h, beliau adalah orang yang alim, shalih, tawadlu’, wara’ dalam beragama, zuhd, sangat memperhatikan shalat berjama’ah, bersamangat dalam melaksanakan sunnah, shalat sunnah dan shalat malam, hafal al Qur’an, hafal kitab at-Tanbih dalam fiqih syafi’i, banyak mendengarkan hadits dan merasa cukup dengan pemberian Allah serta tidak takut akan celaan orang yang mencela dalam membela agama Allah.
Beliau sangat perhatian dalam membela persatuan umat, maka beliau menjaga negara-negara umat islam serta menguasi dari penjuru Yaman ke al Maushal, dari Tharabulus barat ke Naubah, menguasi semua daratan Syam, semua daerah Yaman dan penduduknya, Qatar, Bahrain, Oman, seluruh daerah Hijaz seluruh daerah Najd dan Mesir. Beliau memakmurkan masjid-masjid dan sekolah-sekolah, mamakmurkan daerah pegunungan, tembok perbatasan-perbatasan mesir, membangun kubah Imam Syafi’i, mengalahkan musuh, menaklukan lebih dari 70 kota dan membebaskan al Quds setelah dijajah 90 tahun. Beliau meninngal tahun 598H.
Sedangkan peranannya dalam menjaga persatuan aqidah adalah seperti yang diambil Manaqib-nya: Menyuruh para muadzin untuk mengumandangkan waktu tasbih di atas menara pada malam hari dengan membaca al ‘Aqidah al Mursyidah yang merupakan ringkasan aqidah Asy’ariyyah, maka para muadzin membacakannya setiap malam di setiap masjid jami’. Hal tersebut berlangsung selama 400 tahun lebih.
Ahli sejarah Taqiyuddin al Muqrizi (W. 845 H) berkata dalam kitabnya “al Mawa’izh wal I’tibar bi Zikr al Khuthath wa al Atsar”: “Setelah sultan shalahuddin Yusuf bin Ayyub berkuasa, beliau memerintahkan para muadzin untuk mengumandangkan waktu tasbih pada waktu malam di atas menara dengan menbacakan aqidah yang populer dengan sebutan al Mursyidah, maka para muadzin membacanya setiap malam disemua masjid jami’ Mesir sampai sekarang”.
Al Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i (W. 911 H) dalam kitabnya al Wasail fi Musamarat al Awail: ”Setelah Sultan Shalahuddin bin Ayyub berkuas,a beliau menyuruh para muadzin untuk mengumandangkan di waktu tasbih dengan membacakan aqidah Asy’ariyyah, maka para muadzin membacanya setiap malam sampai saat ini”.
Al ‘Allamah Muhammad bin ‘Alan as-Siddiqi asy-Syafi’i (W 1057 H) mengatakan dalam kitabnya al Futuhat ar-Rabbaniyyah ‘ala al Adzkar an-Nawawiyyah: ”Setelah Shalahuddin bin Ayyub berkuasa dan membawa manusia atas keyakinan madzhab al Asy’ari beliau menyuruh para muadzin untuk megumandangkan aqidah Asy’ariyah yang populer dengan al Mursyidah pada waktu tasbih, maka mereka membacanya setiap malam”.
Dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyah al Kubra karangan Tajuddin as-Subki disebutkan bahwa syekh Fahkruddin ibn ‘Asakir rahimahullah (W. 620 H) mengajar al ‘Aqidah al Mursidah di Damaskus.
Al Hafidz Shalahuddin al ‘alai (W. 761 H) berkata sebagaimana yang dinukil oleh as-Subki dalam ath-Thabakat: ”Penulis al ‘Aqidah al Mursidah ini berada di atas manhaj dan keyakinan yang lurus serta benar dalam mensucikan Allah ta’ala”.
Tajuddin as-Subki (W. 771 H) berkata dalam kitabnya Mu’id an-Niqam wamubid an-niqam: ”Keyakinan al Asy‘ariy merupakan keyakinan yang terkandung dalam aqidah Abu Ja’far ath-Thahawi, aqidah Abu al Qasim al Qusyairi dan al ‘Aqidah al Mursyidah, semuanya sama dalam dasar-dasar akidah ahussunnah wal jamaah”.
Al Qadli Tajuddin as-Subki berkata setelah menyebutkan al ‘Aqidah al Mursidah secara sempurna: ”Ini adalah akhir dari aqidah dan didalamnya tidak ada ajaran yang di ingkari oleh ahlussunnah”.
Shalahuddin menyuruh untuk mengajarkan nazhaman yang dikarang untuknya oleh Muhammmad bin Hibah al Barmaki al Asy’ariy yang namanya Hadaiq al Fushul wajawahir al ‘Uqul kepada anak-anak di sekolahan, di antara bait sya’irnya :
وصانـع الـعـالـم لا يحويه قطر تعالى الله عن تشبيه
قد كـان مـوجـودا ولا مكـانـا وحكمه الان على ما كانا
سبحانه جـل عن المكان وعز عن تغيرِ الزمان
فـقـد غـلا وزاد فـي الغلو من خصه بجهة العلو
Dan Pencipta alam tidak diliputi oleh arah, Allah maha suci dari menyurapai mahkluk-Nya
Allah ada pada azal dan belum ada tempat dan sekarang (setelah menciptakan tempat, Allah ada seperti sedia kala )
Allah Maha Suci dari tempat dan Maha Suci dari perubahan waktu
Maka sungguh sangat berlebihan orang yang menetapkan Allah berada diarah atas.


Materi Ketiga: Bantahan Terhadap Tuduhan Bahwa Al Asya’irah Dan Al Maturidiyyah Bukan Dari Ahlussunnah Wal Jamaah.

Allah ta’ala menjadikan dunia sebagai tempat ujian dan cobaan bagi orang-orang yang bertakwa, dan orang yang paling banyak cobaannya adalah para Nabi kemudian orang yang berada dibawah derajat mereka dan kemudian orang yang berada dibawah derajat mereka. Dalam setiap masa selalu ada orang yang menyerang ahlussunnah wal jama’ah, tetapi pada zaman kita ini kita menyaksikan ombak yang sangat keras bahkan termasuk hantaman yang paling keras terhadap ahlussunnah wal jama’ah, mereka memberanikan diri untuk menisbatkan diri mereka kepada sunnah, berkedok mengikuti alqur’an dan sunnah dan menuangkan kebenciannya atas golongan al Asya’irah dan al Maturidiyyah bahkan sampai kepada tingkatan radikal hingga mengkafirkan mereka semua tanpa terkecuali. Dengan ini berarti mereka telah menghukumi kufur mayoritas umat Muhammad. Wal ‘iyadzu billahi ta’ala.
Kita akan menyebutkan sebagian contoh-contoh hal tersebut dari kitab asli karangan mereka:
·         Dalam kitab populer yang dikenal dengan Min Masyahir al Mujaddidin fi al Islam, pengarangnya mengatakan di halaman 32 :” al Asya’irah dan al Maturidiyyah menyalahi para sahabat, tabi’in dan Imam Empat Madzhab dalam mayoritas masalah-masalah dan dasar-dasar agama, maka mereka tidak pantas untuk dijuluki ahlussunnah wal jammah”.
·         Dalam kitab yang diberi nama Fath al Majid Syarh Kitab at-Tauhid, pengarangnya berkata di halaman 33: ”Dan dalam hal tersebut mereka diikuti oleh beberapa golongan seperti Mu’tazilah, Asya’irah dan yang lainnya. Oleh karena itu mereka dikafirkan oleh mayoritas ulama ahlussunnah”. Pengarang kitab tersebut mengkafirkan golongan Asya’irah seperti halnya golongan-golongan sesat lainnya.
·         Dalam kitab yang diberi nama Manhaj al Asy’irah fi al Aqidah, pengaranya berkata pada awal kitab di halaman lima ketika memperkenalkan –menurutnya- al Asya’irah: ”Golongan ini adalah golongan murji’ah yang paling besar”, dan dia berkata pada halaman 16 setelah mendefinisikan – menurut dia – tentang ahlussunnah wal jama’ah: “Dan selamanya golongan Asya’irah tidak termasuk dalam definisi ini bahkan mereka keluar dari ini”. Dalam kitab yang sama halaman 28 pengarangnya menuduh al Hafizh ibnu hajar al ‘Asqalani rahimahullah dengan plinplan dalam aqidah, dia berkata: ”Seandainya kita katakan bahwa al hafizh ibn hajar plin plan dalam aqidahnya niscaya itu lebih mendekati akan kebenaran sebagaimana hal tersebut diketahui ketika dia mensyarahi kitab at-Tauhid “. Dan dia juga mengatakan perkataan yang hampir sama dengan hal ini tentang al hafizh ibn hajar dan al Hafizh an-Nawawi pada halaman 29: ”Dikatakan, mereka menyetujui al Asya’irah dalam banyak hal beserta pentingnya menjelaskan hal-hal ini sehingga memungkinkan untuk mengambil pelajaran dari kitab-kitab mereka tanpa menyentuh tema-tema tentang aqidah”, pengarang kitab ini menganggap sesat dua hafizh tersebut dalam masalah aqidah.
·         Dalam kitab yang diberi judul dengan Al Maturidiyyah wamauqifuhum Min al Asma wa ash-Shifat al-Lahiyyah, pengarangnya berkata pada halaman 7: ”Al Maturidiyyah bukan dari golongan ahlussunnah”, pada halaman 11 dia berkata: ”Dan dipastikan bahwa al Maturidiyh bukan dari ahlussunnah tetapi mereka dari golongan jahmiyah dan menyalahi aqidah ahlussunnah al Imam Abi Hanifah”, dan pada halaman 44 mereka berkata dalam kitabnya yang diberi nama dengn Ijtima’ al Juyusy al Islamiyyah ‘ala Ghazwi al Mu’ath-Thilah wa al Jahmiyyah: ”Yang dimaksud al Mu’ath-Thilah dan al Jahmiyah adalah al Maturidiyyah dan al Asy’ariyyah”.
·         Dan dalam kitab yang diberi nama at-Tauhid untuk tingkatan Aliyah kelas 1 yang dijadikan kurikulum di sebagian sekolahan, pada halaman 66 dan 67 pengarangnya mensifati al Asya’irah dan al Maturidiyyah dengan syirik dan berkata tentang oran-orang musyrik abad pertama: ”Orang-orang musyrik tersebut merupakan nenek moyang golongan jahmiyah dan ‘Asya’irah”.
Ini hanyalah sebagian contoh saja dan seandainya kami ingin menyebutkan lebih dari itu niscaya akan sampai satu jilid bahkan lebih. Walaupun seperti itu para pengikut radikal ini dengan sembrono mengaku-ngaku sebagai golongan yang moderat, dan kami meyakini bahwa orang yang mengkafirkan mayoritas umat dan ulama islam tidak mengetahui sedikitpun tentang kemoderatan, bahkan pengkafiran mereka terhadap golongan al Asya’irah dan al Maturidiyyah berarti mereka telah mengkafirkan dan menyesatkan semua tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas, seperti ulama-ulama bangsa arab, melayu dan yang lainnya, dan konsekuensiai perkataan mereka ini berarti negara-negara melayu adalah negara syirik, kufur, bid’ah dan tidak negara ada umat islam karena ulama-ulama mereka adalah bermadzhab asya’irah dan maturidiyyah


Penutup

Poin-poin ringkasan yang paling penting dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Tiga riwayat hadits tentang perpecahan umat menunjukkan bahwa golongan yang selamat adalah golongan mayoritas umat ini yang berpegang teguh dengan ajaran yang diusung oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam dan para sahabatnya.
2.    Al Asya’irah dan al Maturidiyyah mereka golongan mayoritas yang berpegang teguh dengan ajaran yang dibawa Rasulullah dan para sahabatnya, maka merekalah yang dimaksud dengan al firqh an-Najiyah.
3.    Istilah “Ahlussunnah wal jama’ah” diambil dari hadits-hadits Nabi dan yang sesuai atas al Asya’irah dan al maturidiyyah.
4.    Ahlussunnah wal jama’ah yang merupakan golongan yang selamat mempunyai dasar-dasar yang dipegang erat oleh al Asya’irah dan al Maturidiyyah dan menjadi ciri khusus mereka dari golongan-golongan yang lainnya.
5.    Abul Hasan al Asya’ari dan Abu Manshur al Maturidi merupakan dua Imam Ahlussunnah wal jama’ah
6.    Tokoh-tokoh dan para ulama yang terkenal dalam setiap masa merupakan dari golongan Asya’irah Maturidiyyah.
7.    Tokoh-tokoh dan para ulama melayu yang terkenal merupakan dari golongan Asya’irah Maturidiyyah
8.    Para ulama dan pemimpin yang dari golongan al Asya’irah dan al Maturidiyyah mempunyai keutamaan yang besar dan peranan-peranan yang sangat banyak dalam menjaga persatuan aqidah dan umat islam.
9.    Konsekwensi pengkafiran al Asya’irah dan al maturidiyyah adalah mengkafirkan mayoritas umat dan ulama islam.
10.Persatuan aqidah dan umat islam akan terealisasi dengan menyebarkan aqidah ahlussunnah wal jama’ah dan manhaj moderat serta berusaha menjadikan orang lain berpegang teguh dengan manhaj tersebut.


Pesan- Pesan

Di penutup makalah ini kami ingin menyampaikan pesan-pesan yang seyogyanya untuk diambil pelajaran oleh para ulama dan para pemerintah dari kalangan ahlussunnah wal jama’ah serta berusaha untk melaksanakannya demi menjaga persatuan aqidah dan umat islam:
1.       Kerjasama kementrian agama seperti pemerintah, menteri, mufti, dan pimpinan kantor-kantor agama dengan mencurahan segala kemampuannya untuk menyebarkan pemahaman-pemahaman yang benar demi menjelaskan kepada orang awam tentang kebenaran madzhab al Asya’irah dan al Maturidiyyah dan merekalah golongan yang selamat yang memperoleh kabar-kabar gembira dari Nabi.
2.      Menteri pendidikan hendaknya berusaha untuk membuat bab khuhus yang dijadikan kurikulum pendidikan perkuliahan, sekolahan dan pesantren untuk memberi tahu pelajar hakikat ahlussunnah wal jama’ah dan pentingnya berpegang teguh dengan manhaj mereka dalam aqidah dan hukum.
3.      Kerjasama dalam media-media islam seperti stasiun tv, majalah, radio untuk membuat pragraf-pragraf dan halaqat-halaqat demi menjelaskan Ahlussunnah wal jama’ah dan keutamaan-keutamaan mereka dalam setiap masa.
4.      Membuat makalah-makalah di majalah dan koran untuk menjelaskan ahlussunnah wal jama’ah dan tokoh-tokohnya baik ulama yang berasal dari arab atau non arab dengan memilih salah satu ulama untuk menjelasakan keutamaan-keutamannya dan perjalanan hidupnya di setiap bulan.
5.      Menggerakkan percetakan yang menjaga peninggalan-peninggalan islam ahlussunnah wal jama’ah dan mejaga kitab-kitab mereka dari pemalsuan yang dilakukan musuh-musuh mereka
6.      Mengadakan seminar-seminar dan ceramah-ceramah yang terus-menerus dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menjelaskan manhaj ahlussunnah wal jama’ah dan membongkar kedustaan-kedustaan yang ditujukan kepada mereka dari para pembelot
7.      Bekerjsama sesama ahlussunnah untuk menjelaskan bahaya ajaran dan ajakan sebagian golongan radikalisme seperti mengkafirkan al Asya’irah dan al Maturidiyyah serta menjelaskan bahayanya ajaran-ajaran ini atas persatuan aqidah dan umat islam .
Segala puji bagi Allah di awal dan di akhir, semoga shalawat dan salamullah tetap tercurah limpahkan atas Nabi-Nya dan pilihannya muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam.

Daftar Pustaka
- Ibn as-Subki, Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali, Thabaqat asy-Syifi’iyyah al Kubra ( Hijr. C 2, 1413 H )
- Ibn as-Subki, Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali, Mu’id an-Niqam wamubid an-niqam ( al Qahirah, maktabah al Khanijiy, C 2, 1413 H/ 1993 M )
- Ibnu ‘Abidin, Muhammad Amin bin Umar, Radd al Muhtar ‘ala addurr al Mukhtar, ( Beirut, Darul Fikr, C 2, 1412 H/1992 M )
- Ibn ‘Asakir, Ali bin al Hasan bin Hibatullah, Tabin Kadzib al Muftari ‘ala Abi al Hasan al Asy’ari ( Beirut, Darul Kitab al ‘Arabiy, 1399 H/ 1979 M )
- Ibn ‘Alan, Muhamad ash-Shiddiqiy, al Futuhat ar-Rabbaniyyah ‘ala al Adzkar an-Nawawiyyah ( al Maktabah al Islamiyyah li Riyadl asy-Syekh)
- Ibn al ‘Imad, ‘Abdul Hay bin Ahmad, Syadzarat azd-Dzahab ( Beirut, Dar Ibnu Katsir, 1406 H/ 1960 M )
- Ibn Qathlubigha, Qasim, Taj at-Tarajim, ( Demaskus, Dar al Qalam, C 1, 1413 H/ 1992 M )
- Abu Daud, sulaiman bin al Asy’ats, Sunan Abi Daud ( Beirut, al Maktabah al ‘Asyriyyah)
- Al Baghdadi, Abu Manshur ‘Abdul Qahir bin Thahir, al Farq Baina al Firaq, (Beirut, Dar al Afaq al Jadidah, C 2, 1977 H)
- At-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi, (al Qahirah, Syarikah wamathba’ah Mushthafa al Baby al Halabiy, C 2, 1411 H/1976 M)
- Al Hakim, Muhammad bin Abdillah, al Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, (Beirut, Dar al Maktabah al ‘Ilmiyyah, C 1, 1411 H, 1975 M)
- Al Khatib al Baghdadi, Abu Bakr Ahmad bin Ali, Tarikh Baghdad, (Beirut, Dar al Maktabah al ‘Ilmiyyah, C 1, 1417 H)
- Az-Zabidi, Muhammad Murtadla, Ithaf as-Sadat al Muttaqin bi Syarhi Ihya’ Ulumiddin, (Beirut, Dar al Fikr)
- As-Suyuthi, Abdurrahman, al Wasail fi Musamarat al Awail, (Beirut, Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah)
- At-Thabarani, Sulaiman bin Ahmad, al Mu’jam al Awsath, (al Qahirah, Dar al Haramain)
- Ath-Thabariy, Muhammad bin Jarir, Jami’ al Bayan fi Ta’wili al Qur’an, (Beirut, Muassasah ar-Risalah, C 1, 1420 H/2000 M)
- Ath-Thahawi, Abu Ja’far Ahmad bin Salamah, al ‘aqidah ath-Thahawiyah, silsilah al Mutun (1416 H/1995 M)
- Al ‘Asqalani, Ahmad bin Hajar, al Kafi asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al Kasy-syaf, (cetakan lama berdasarkan manuskrip di Dar al Kutub al Mishriyyah, No 1073)
- Al ‘Asqalani, Ahmad bin Hajar,Talhish al Habir, (Mesir, Muassasah Qurthubah, 1416 H/ 1995 M)
- Al Qurasyi, ‘Abdul Qadir bin Muhammad, al Jawahir al Mudliah fi Thabaqat al Hanafiyyah, (Karatisyi, Mir Muhammad Kutub Khanah)
- Al Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Tafsir al Qurthubi, (al Qahirah, Dar al Kutub al Mishriyyah, 1384 H/1964 M)
- Al Laknawi, Muhammad bin Abdil Hay, al Fawaid al Bahiyyah fi Tarajim al Hanafiyyah, (Mesir, Mathba’ah as-Sa’adah, C 1, 1324 H)
- Al Muqrizi, Ahmad bin Ali, al Mawa’izh wal I’tibar bi Zikr al Khuthath wa al Atsar, (Beirut, Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, C 1, 1418 H)
- Al Haitsami, Ali bin Abi Bakr, Majma’ az-Zawaid wamanba’ al Fawaid, (al Qahirah, Maktabah al Maqdisi, 1414 H/ 1994)
- Wan Muhammad Abdullah, Majmu’ah al A’mal al ‘Ilmiyyah, (Kuala lumpur, al Khazanah al Fathaniyyah, 1991 M).

Maqalah DR. Syech Salim AlWan (Mufti Australia) pada seminar Internasional Mubes II Huda, Asrama Haji, Banda Aceh, 25-27 Muharram 1435 H / 29 November-1 Desember 2013, disusun oleh Tgk. Zulfahmi Aron. (Sumber: www.santridayah.com)