Berbeda
dengan ibadah pada umumnya, zakat selalu mengalami dinamika perkembangan yang
disesuaikan dengan masanya, baik dalam pengelolaan, distribusi, produktifitas
dan sebagainya, dengan satu catatan bahwa kesemuanya berjalan di atas mekanisme
yang diperbolehkan dalam Islam.
Hal yang
tidak boleh menyimpang dalam penyaluran zakat yang telah ditegaskan dalam
al-Quran maupun al-Sunah adalah mengenai penyaluran zakat kepada pihak yang
berhak menerima (QS. Al-Taubah: 60) dan tidak mengurangi kadar dan ketentuan zakat
yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. selebihnya, apakah yang terkait
dengan distribusi, pendayagunaan harta zakat, perbedaan penafsiran tentang
mustahiq dan sebagainya, merupakan ruang pintu ijtihad bagi para ulama yang
boleh kita terapkan pada saat ini.
Sebagai contohnya, beberapa tahun yang lalu para
ulama, khususnya kalangan modernis, telah membuat konsensus mengenai kewajiban
zakat profesi yang dialamatkan kepada masyarakat pekerja profesional yang
mendapatkan gaji puluhan juta rupiah, seperti pejabat negara, pengacara, artis,
dosen, dokter, dan lain-lain, yang selama ini tidak ada sama sekali kewajiban
menyisihkan sebagian harta mereka berdasarkan ketentuan zakat dalam kitab-kitab
salaf. Contoh terbaru lainnya, saat ini beberapa pihak sedang gencarnya
mensosialisasikan kewajiban zakat perusahaan ke berbagai pusat industri. Namun
dalam pelaksanaannya, kedua cara model ‘zakat baru’ ini tetap berdasarkan nash
hukum Islam.
Fenomena lain
dalam pengelolaan zakat di perkotaan adalah layanan ‘jemput zakat’ yang
dilakukan oleh lembaga amil zakat swasta yang telah mendapatkan izin resmi dari
pemerintah sebagai pengelola zakat. Mereka ini dengan sabar dan tekun selalu
mensosialisasikan pentingnya zakat dan layanan dari mereka, baik melalui
buletin, media informasi, majlis taklim dan yang lain. Puncaknya, kendatipun
pada awalnya mereka tidak memiliki jaringan dan relasi, saat ini jumlah donatur
mereka mencapai ratusan ribu orang dan omset milyaran rupiah dalam tiap
tahunnya, seperti Lembaga Yayasan Dana Sosial al-Falah dam Lembaga sosial Nurul
Hayat, yang memiliki kunci utama menanam kepercayaan melalui laporan keuangan
yang transparan dan akuntable.
Berkaca pada
dua lembaga di atas, sebenarnya pondok pesantren (termasuk PPRU I) memiliki
peluang yang lebih besar daripada mereka dalam menghimpun dana zakat dari
berbagai tempat, karena pesantren telah memiliki jaringan alumni
yang tersebar di berbagai kota dan wilayah dan sebagian dari mereka telah
menjadi tokoh masyarakat atau minimal menjadi orang yang dapat dipercaya oleh
lingkungannya.
Namun, karena
masyarakat pesantren pada umumnya selalu berpegang teguh pada nilai agama,
mereka selalu ragu dengan ‘sesuatu yang baru’ dalam hal pengelolaan zakat.
Seperti yang sedang dijalankan oleh Pengurus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I
saat ini yang berusaha menghimpun zakat dari para alumni, wali murid dan
simpatisan, untuk dialokasikan ke pesantren, maka masih banyak dari mereka yang
bertanya: Apakah memang boleh pesantren menerima zakat? Bagaimana pula hukumnya
mengeluarkan zakat fitrah dengan uang? Bolehkah zakat yang ditarik di pulau
Kalimantan didistribusikan ke Malang? Beberapa masalah ini saya upayakan untuk
menjawabnya berdasarkan hasil-hasil keputusan Bahtsul Masail di lingkungan
Nahdlatul Ulama. Allahumma a’inni...
1. Pesantren dan Madrasah Sebagai Mustahiq
Masalah ini
telah dibahas dalam Bahtsul Masail PWNU Jatim di PP Langitan Tuban 1988, dengan
redaksi sebagai berikut:
Masalah:
Apakah Madrasah, PonPes dan lainnya
dapat dimasukkan dalam “Ashnaf Tsamaniyah”?
Jawab:
Dalam hal ini ada dua pendapat, artinya
memberikan zakat pada madrasah, ponpes dan semuanya ada dua pendapat:
1. Tidak boleh. Berdasarkan keputusan MUKTAMAR NU
seperti dalam kitab Ahkamul Fuqoha juz 1 hal. 9 mas’alah no. 5
2. Boleh. Berdasarkan kitab tafsir Al Munir I / 344, demikian pula para ahli fiqih
menyatakan boleh menyalurkan zakat kepada segala macam sektor sosial yang
positif seperti membangun masjid, madrasah, mengurus orang mati dan lain
sebagainya.
تفسير المنير ج 1 ص 344
وَنَقَلَ الْقَفَّالُ مِنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجَازُوْا صَرْفَ
الصَّدَقَاتِ إِلَى جَمِيْعِ وُجُوْهِ الْخَيْرِ، مِنْ تَكْفِيْنِ مَيِّتٍ
وَبِنَاءِ الْحُصُوْنِ وَعِمَارَةِ الْمَسَاجِدِ ، لِأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى
"فِى سَبِيْلِ اللهِ" فِى الْكُلِّ.اهـ
“Imam al-Qaffal mengutip dari
sebagian ulama fikih bahwa mereka memperbolehkan mengalokasikan zakat ke
sektor-sektor kebaikan, seperti mengkafani mayat, membangun benteng pertahanan
dan membangun masjid. Sebab firman Allah yang berbunyi ‘Fi Sabilillah’ mencakup
keseluruhan”
Pendapat ini
dikuatkan juga oleh Syekh Alwi Al Maliky dalam kitabnya “Qurrotul Aini” hal 73,
beliau menyatakan:
فتوى الشيخ العلامة
محمد على المالكى فى كتابه قرة العين ص 73 ونصه:
اِنَّ الْعَمَلَ الْيَوْمَ بِالْقَوْلِ الْمُقَابِلِ لِلْمَجْهُوْلِ الَّذِى
ذَهَبَ اِلَيْهِ اَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ وَاِسْحَاقُ بْنُ رَهُوَيْهِ فِى اَخْذِ سَهْمِ سَبِيْلِ اللهِ مِنَ الزَّكَاةِ الْوَاجِبَةِ عَلَى
اَغْنِيَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ لِلْاِسْتِعَانَةِ بِهِ عَلَىتَأْسِيْسِ الْمَدَارِسِ
وَالْمَعَاهِدِ الدِّيْنِيَّةِ الْيَوْمَ مِنَ الْمُتَعَيَّنِ. اهـ
“Pada hari ini mengamalkan
pendapat ulama yang berseberangan terhadap pendapat yang belum jelas
sebagaimana dipilih oleh Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah dalam persoalan
memungut bagian sabilillah dari zakat yang wajib atas orang-orang muslim yang
kaya guna membantu pembangunan madrasah dan pesantren-pesatren Islam, adalah
suatu keharusan”
Selain hasil
Bahtsul Masail di atas, otoritas ahli fatwa dari universitas al-Azhar Kairo
juga memutuskan, bahkan menguatkan pendapat Imam Qaffal yang memperbolehkan
zakat untuk sektor sarana-prasarana, sosial dan sebagainya. Dalam fatwa tersebut
diungkapkan bahwa sebelum Imam Qaffal berpendapat demikian, ternyata diantara
kalangan sahabat dan tabi’in telah melakukan hal yang seperti itu. Berikut ini
adalah fatwa tentang zakat untuk membangun masjid yang dikeluarkan pada
Muharram 1363 H/Februari 1944 M, sebagai muftinya adalah Syaikh Abdul Majid
Salim:
فتاوى الأزهر - (ج 1 /
ص 139)
وَظَاهِرٌ أَنَّ أَنَسًا وَالْحَسَنَ يُجِيْزَانِ صَرْفَ الزَّكَاةِ فِى
بِنَاءِ الْمَسْجِدِ لِصَرْفِهَا فِى عَمَلِ الطُّرُقِ وَالْجَسُوْرِ وَمَا
قَالَهُ ابْنُ قُدَامَةَ فِى الرَّدِّ عَلَيْهِمَا غَيْرُ وَجِيْهٍ لِأَنَّ مَا
أُعْطِىَ فىِ الْجَسُوْرِ وَالطُّرُقِ مِمَّا أَثْبَتَتْهُ الْآيَةُ لِعُمُوْمِ
قَوْلِهِ تَعَالَى { وَفِى سَبِيْلِ اللهِ } وَتُنَاوِلُهُ بِكُلِّ وَجْهٍ مِنْ
وُجُوْهِ الْبِرِّ كَبِنَاءِ مَسْجِدٍ وَعَمَلِ جَسْرٍ وَطَرِيْقٍ ... وَالْخُلَاصَةُ أَنَّ الَّذِى يَظْهَرُ لَنَا هُوَ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ
فُقَهَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ جَوَازِ صَرْفِ الزكَّاَةِ فِى بِنَاءِ
الْمَسْجِدِ وَنَحْوِهِ فَإِذَا صَرَفَ الْمُزَكِّى الزَّكَاةَ الْوَاجِبَةَ
عَلَيْهِ فِى بِنَاءِ الْمَسْجِدِ سَقَطَ عَنْهُ الْفَرْضُ وَأُثِيْبَ عَلَى
ذَلِكَ وَاللهُ أَعْلَمُ
“Secara dzahir, Anas (bin Malik)
dan Hasan (al-Bashri) memperbolehkan penggunaan zakat untuk membangun masjid,
membangun jalan atau jembatan. Sedangkan bantahan dari Ibnu Qudamah (Hanabilah)
terhadap pendapat di atas, tidak kuat. Sebab penggunaan dana untuk jembatan dan
jalan termasuk dalam lingkup keumuman ayat ‘Fi Sabilillah’, sebagaimana
membangun masjid, pengadaan jembatan dan jalan.... Kesimpulannya, kami sependapat
dengan sebagian ulama yang memperbolehkan alokasi zakat untuk pembangunan
masjid dan lainnya. Jika seorang muzakki menyerahkan zakat wajibnya untuk
membangun masjid, maka kewajibannya telah gugur dan akan mendapatkan pahala.”
2. Zakat Dengan Uang
Polemik yang
sering diperdebatkan adalah mengenai zakat dengan uang, dimana dalam
hadis-hadis amaliyah Rasulullah terkait dengan zakat fitrah hanya mengeluarkan
komoditas makanan yang waktu itu biasa dikonsumsi oleh para sahabat, seperti
gandum, kurma, anggur, susu dan sebagainya, yang kemudian para ulama fikih
menyimpulkan bahwa yang wajib dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah al-Aqwat (makanan
pokok). Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini banyak dari kalangan umat
Islam yang mengeluarkan zakat fitrah dengan nominal uang yang dinilai lebih
sesuai dengan kebutuhan fakir miskin dan lebih praktis.
Diantara tiga
madzhab Ahli Sunnah memang tidak memperbolehkan menunaikan zakat fitrah dengan
uang, namun Imam Abu Hanifah memperbolehkannya, dengan alasan bahwa hal yang
subtansial adalah nilai pemberiannya kepada mustahiq, bukan dari segi bentuk
pemberiannya. Masalah ini pernah dibahas dalam Bahtsul Masail PWNU Jatim di PP
Nurul Qomar Gresik tahun 2009, yang waktu itu membahas mengenai pembayaran Dam (denda
pelanggaran haji) dengan nominal uang. Maka musyawirin memutuskan hukum boleh
dengan membayar uang dengan mengikuti madzhab Hanafi (termasuk masalah zakat
fitrah). Diantara Ta’bir yang ditashih saat itu adalah kitab Majmu’ karya Imam
Nawawi (Syafiiyah) dan kitab al-‘Inayah Syarh al-Bidayah dan Hasyiah Radd
al-Mukhtar (Hanafiyyah).
المجموع ج 5 ص 402
(فرع)
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا اَنَّهُ لَا يَجُوْزُ اِخْرَاجُ الْقِيْمَةِ فِي
شَيْئٍ مِنَ الَّزكَوَاتِ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَدَاوُدُ اِلَّا اَنَّ
مَالِكًا جَوَّزَ الدَّرَاهِمَ عَنِ الدَّنَانِيْرِ وَعَكْسَهُ وَقَالَ أَبُوْ
حَنِيْفَةَ يَجُوْزُ فَإِذَا لَزِمَهُ شَاةٌ فَأَخْرَجَ عَنْهَا دَرَاهِمَ
بِقِيْمَتِهَا أَوْ اَخْرَجَ عَنْهَا مَا لَهُ قِيْمَةٌ عِنْدَهُ كَالْكَلْبِ
وَالثِّيَابِ ….وَاحْتَجَّ الْمُجَوِّزُوْنَ لِلْقِيْمَةِ
بِأَنَّ مُعَاذًا رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لِاَهْلِ الْيَمَنِ حَيْثُ بَعَثَهُ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِاَخْذِ زَكَاتِهِمْ وَغَيْرِهَا
" ائْتُوْنِي بِعَرْضِ ثِيَابِ خَمِيْصٍ أَوْ لَبِيْسٍ فِي الصَّدَقَةِ
مَكَانَ الشَّعِيْرِ وَالذَّرَّةِ اَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِاَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِيْنَةِ " ذَكَرَهُ
الْبُخَارِي فِي صَحِيْحِهِ تَعْلِيْقًا بِصِيْغَةِ جَزْمٍ وَبِالْحَدِيْثِ
الصَّحِيْحِ " فِي خَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ بِنْتُ مَخَاضٍ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ
فَابْنُ لَبُوْنٍ " قَالُوْا وَهَذَا نَصٌّ عَلَي دَفْعِ الْقِيْمَةِ
قَالُوْا وَلِاَنَّهُ مَالٌ زَكَوِىٌ فَجَازَتْ قِيْمَتُهُ كَعُرُوْضِ
التِّجَارَةِ وَلِاَنَّ الْقِيْمَةَ مَالٌ فَأَشْبَهَتِ
الْمَنْصُوْصَ عَلَيْهِ وَلِاَنَّهُ لَمَّا جَازَ الْعُدُوْلُ عَنِ الْعَيْنِ
إِلَى الْجِنْسِ بِالْاِجْمَاعِ بِأَنْ يُخْرِجَ زَكَاةَ غَنَمِهِ عَنْ غَنَمِ
غَيْرِهَا جَازَ الْعُدُوْلُ مِنْ جِنْسٍ اِلَي جِنْسٍ
“Telah
kami terangkan bahwa dalam madzhab Syafi’iyah tidak boleh mengeluarkan zakat
dengan nilai mata uang. Imam Malik, Ahmad dan Dawud juga sependapat, hanya saja
menurut imam Malik diperbolehkan mengeluarkan uang dirham untuk zakat dinar dan
sebaliknya. Dan Abu Hanifah memperbolehkan zakat dengan uang, seperti seseorang
yang berkewajiban mengeluarkan zakat berupa kambing kemudian ia mengeluarkan
zakatnya dengan nilai mata uang yang seharga dengan kambing, atau mengeluarkan
benda lain yang juga memiliki nilai harga seperti anjing dan pakaian.... Ulama
yang memperbolehkan zakat dengan uang berdalil dengan perkataan Muadz bin
Jabal, ketika Rasulullah Saw mengutusnya ke negeri Yaman, Muadz berkata kepada
mereka: “Serahkanlah kepada saya harta dagangan baju khomish atau labis sebagai
zakat dari gandum. Cara itu lebih ringan bagi kalian dan lebih berguna bagi
sahabat Nabi Saw di Madinah” Riwayat ini disampaikan oleh al-Bukhari dalam
kitab sahihnya secara mu’allaq dengan redaksi tegas....”.
العناية شرح البداية (الحنفية) ج 2 ص 192-193
(وَيَجُوزُ
دَفْعُ الْقِيَمِ فِي الزَّكَاةِ) عِنْدَنَا وَكَذَا فِي الْكَفَّارَاتِ
وَصَدَقَةِ الْفِطْرِ وَالْعُشْرِ وَالنَّذْرِ .وَقَالَ الشَّافِعِيُّ : لَا
يَجُوزُ اتِّبَاعًا لِلْمَنْصُوصِ كَمَا فِي الْهَدَايَا وَالضَّحَايَا . وَلَنَا أَنَّ الْأَمْرَ بِالْأَدَاءِ إلَى الْفَقِيرِ إيصَالًا لِلرِّزْقِ
الْمَوْعُودِ إلَيْهِ فَيَكُونُ إبْطَالًا لِقَيْدِ الشَّاةِ وَصَارَ
كَالْجِزْيَةِ ، بِخِلَافِ الْهَدَايَا لِأَنَّ الْقُرْبَةَ فِيهَا إرَاقَةُ
الدَّمِ وَهُوَ لَا يُعْقَلُ .وَوَجْهُ الْقُرْبَةِ فِي الْمُتَنَازَعِ فِيهِ
سَدُّ خُلَّةِ الْمُحْتَاجِ وَهُوَ مَعْقُولٌ .
“Dan diperbolehkan
mengeluarkan zakat dengan nilai mata uang menurut kalangan Hanafiyah. Begitu
pula diperbolehkan dalam kaffarat, zakat fitrah dan nadzar. Sedangkan Syafi’i
tidak memperbolehkannya, karena berdasarkan nash seperti dalam penyembelihan
hewan qurban dan hadiyah (dalam bab haji). Menurut kami, esensi perintah dalam
zakat adalah untuk memberikan rezeki kepada fakir-miskin, sehingga mengeluarkan
kambing sebagai zakat bukanlah sebuah ketentuan sebagaimana dalam jizyah. Hal
ini tentu berbeda dengan penyembelihan hewan, karena tujuannya adalah untuk
mengalirkan darah dan menjadi ibadah yang tidak dapat dinalar. Sedangkan dalam
masalah yang dipertentangkan (seperti zakat) adalah untuk memenuhi kebutuhan
dan termasuk ibadah yang dapat dinalar”
فتاوى الأزهر - (ج 1 /
ص 137)
وَنُفِيْدُ أَنَّهُ لَا يَجِبُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنْ تُعْطَى صَدَقَةُ
الْفِطْرِ مِنَ الْحُبُوْبِ وَلَا مِنْ سَائِرِ أَنْوَاعِ الطَّعَامِ بَلْ
يَجُوْزُ أَنْ تُعْطَى مِنَ النُّقُوْدِ بَلْ ذَلِكَ اَفْضَلُ لِمَا قَالُوْهُ
مِنْ أَنَّ دَفْعَهَا نُقُوْدًا أَعْوَنُ عَلَى دَفْعِ حَاجَةِ الْفَقِيْرِ
لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ يَحْتَاجُ غَيْرَ الْحِنْطَةِ مَثَلًا مِنْ ثِيَابٍ
وَنَحْوِهَا . هَذَا وَلَا مَانِعَ أَنْ يَأْخُذَ
النَّاسُ فِى هَذَا الْمَوْضُوْعِ بِمَذْهَبِ أَبِى حَنِيْفَةَ لِمَا فِيْهِ مِنَ
التَّيْسِيْرِ عَلَى الْفُقَرَاءِ وَأَرْبَابِ الْحَاجَاتِ
“Menurut Hanafiyah tidak wajib
memberikan zakat fitrah berupa biji-bijian atau makanan yang lain, bahkan boleh
memberikan dalam bentuk mata uang, bahkan hal ini lebih utama. Alasan yang
dikemukakan oleh para ulama adalah, memberikan zakat dalam bentuk uang lebih
tepat untuk menolong kebutuhan orang fakir, sebab boleh jadi mereka tidak hanya
butuh beras, tetapi butuh pada pakaian dan lain-lain. Dalam hal ini tidak ada
larangan bagi seseorang untuk mengamalkan madzhab Abu Hanifah, karena lebih
meringankan kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan.”
3. Hukum Memindah Zakat
Mendistribusikan
zakat ke luar wilayah orang yang membayar zakat merupakan fenomena masalah yang
klasik dan telah terbahas oleh para ulama lintas madzhab. Sama seperti masalah
di atas, masalah ini menurut 3 ulama madzhab tidak diperbolehkan selama dalam wilayah
muzakki masih ada yang berhak menerima zakat. Sementara menurut Imam Hanafi
hukum memindah zakat adalah makruh, namun jika ada unsur maslahat maka
diperbolehkan. Penjelasan secara lebih jelas dapat dilihat dalam fatwa al-Azhar
tahun 1997, dan muftinya adalah Syaikh ‘Athiyah Shaqar:
فتاوى الأزهر - (ج 9 /
ص 428)
وَاخْتَلَفُوْا فِي نَقْلِهَا إِلَى بَلَدٍ آخَرَ، بَعْدَ إِجْمَاعِهِمْ عَلَى
أَنَّهُ يَجُوْزُ نَقْلُهَا إِلَى مَنْ يَسْتَحِقُّهَا إِذَا اسْتَغْنَى أَهْلُ
بَلَدِ الَّزكَاةِ عَنْهَا . فَقَالَ الْحَنَفِيَّةُ : يُكْرَهُ نَقْلُهَا ،
إِلَّا إِذَا كَانَ النَّقْلُ إِلَى قَرَابَةٍ مُحْتَاجِيْنَ ، لِأَنَّ فىِ ذَلِكَ
صِلَةَ رَحْمٍ ، أَوْ إِلَى جَمَاعَةٍ هُمْ أَشَدُّ حَاجَةً مِنْ فُقَرَاءِ
الْبَلَدِ، أَوْ كَانَ النَّقْلُ أَصْلَحَ لِلْمُسْلِمِيْنَ ، أَوْ كَانَ مِنْ
دَارِ حَرْبٍ إِلَى دَارِ إِسْلَامٍ ، أَوْ كَانَ النَّقْلُ إِلَى طَالِبِ عِلْمٍ
، أَوْ كَانَتِ الزَّكَاةُ مُعَجَّلَةً قَبْلَ أَوَانِ وُجُوْبِهَا وَهُوَ تَمَامُ
الْحَوْلِ ، فَفِى جَمِيْعِ هَذِهِ الصُّوَرِ لَا يُكْرَهُ النَّقْلُ . وَالشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا : لَا يَجُوْزُ نَقْلُ الزَّكَاةِ مِنْ بَلَدٍ
فِيْهِ مُسْتَحِقُّوْنَ إِلَى بَلَدٍ آخَرَ، بَلْ يَجِبُ صَرْفُهَا فِى الْبَلَدِ
الَّذِى وَجَبَتْ فِيْهِ عَلَى الْمُزَكِّى بِتَمَامِ الْحَوْلِ ، فَإِذَا لَمْ
يُوْجَدْ مُسْتَحِقُّوْنَ نُقِلَتْ إِلَى بَلَدٍ فِيْهِ مُسْتَحِقُّوْنَ . وَالْمَالِكِيَّةُ لَا يُجِيْزُوْنَ نَقْلَهَا إِلَى بَلَدٍ آخَرَ إِلَّا
إِذَا وَقَعَتْ بِهِ حَاجَةٌ فَيَأْخُذُهَا الْإِمَامُ وَيَدْفَعُهَا إِلَى
الْمُحْتَاجِيْنَ ، وَذَلِكَ عَلَى سَبِيْلِ النَّظَرِ وَالْاِجْتِهَادِ كَمَا
يُعَبِّرُوْنَ . وَالْحَنَابِلَةُ لَا يُجِيْزُوْنَ
نَقْلَهَا إِلَى بَلَدٍ يَبْعُدُ مَسَافَةَ الْقَصْرِ، بَلْ تُصْرَفُ فِي
الْبَلَدِ الَّذِى وَجَبَتْ فِيْهِ وَمَا يُجَاوِرُهُ فِيْمَا دُوْنَ مَسَافَةِ
الْقَصْرِ .
“Ulama berbeda pendapat mengenai
memindah zakat ke tempat lain, namun mereka sepakat bahwa zakat boleh dipindah
ke tempat lain yang ada mustahiqnya jika di wilayahnya sudah tidak ada yang
membutuhkan zakat. Menurut ulama Hanafiyah: Makruh memindahkan zakat, kecuali
untuk diberikan kepada kerabat yang membutuhkan (sekaligus bernilai sebagai
silaturrahim), atau untuk sekelompok jamaah yang lebih membutuhkan daripada
warga fakir-miskin setempat, atau untuk kemaslahatan umat Islam, atau dari
negara perang ke negara Islam, atau untuk para santri / pelajar, atau
mengeluarkan zakat sebelum waktu wajibnya yaitu satu tahun. Maka dalam contoh
di atas hukumnya tidak makruh. Syafi’iyah berkata: tidak boleh memindah zakat
dari tempat yang ada fakir miskinnya ke tempat lain, bahkan wajib dibagikan
ditempatnya setelah mencapai 1 tahun. Jika tidak ada fakir miskinnya maka
dipindah ke tempat lain yang ada mustahiqnya. Ulama Malikiyah melarang
memindahkan zakat ke tempat lain kecuali jika ada kebutuhan, maka yang
mendistribusikan adalah pemerinta (lembaga yang sah) setelah dilakukan
penelitian. Ulama Hanabilah juga melarang memindahkan zakat ke tempat lain yang
melebihi radius jarak Qashar, tapi wajib diberikan kepada tempat yang ada
mustahiqnya dan wilayah sekitarnya yang tidak melebihi jarak Qashar”
الموسوعة الفقهية - (ج
2 / ص 8287)
«نَقْلُ زَكَاةِ الْفِطْرِ» - اُخْتُلِفَ فيِ نَقْلِ
الزَّكَاةِ مِنَ الْبَلَدِ الَّذِي وَجَبَتْ فِيْهِ إِلَى غَيْرِهِ ،
وَتَفْصِيْلُهُ يُنْظَرُ فِي مُصْطَلَحِ: «زَكَاةٌ» .
“Ulama berbeda pendapat mengenai
masalah memindah zakat fitrah ke tempat lain, sebagaimana dalam perincian
memindah zakat harta”
4. Wakil Penerima Zakat
Permasalahan
lain yang masih dipertanyakan adalah status perorangan atau kepanitiaan yang
diberi tugas oleh pesantren untuk memungut zakat di wilayah tertentu. Maka,
status orang tersebut adalah sebagai wakil dari mustahiq (pihak pesantren), dan
dia tidak memiliki kewenangan apapun kecuali sebatas perintah yang
diintruksikan pihak pesantren kepadanya. Sebagaimana penjelasan dari beberapa
kitab berikut ini:
حاشية الباجورى ج 1 ص
296
وَيَكْفِىْ فِيْهَا اللَّفْظُ مِنْ أَحَدِهِمَا وَعَدَمُ الرَّدِّ مِنَ
اْلآَخَرِ كَقَوْلِ اْلمُوَكِّلِ وَكَّلْتُكَ بِكَذَا اَوْ فَوَّضْتُهُ
اِلَيْكَ وَلَوْ بِمُكَاتَبَةٍ اَوْ مُرَاسَلَةٍ
“Dalam shighat wakalah cukup
adanya ucapan dari salah satu pihak dan tidak ada penolakan dari yang lain,
seperti ucapan muwakkil (pemberi mandat), ‘saya wakilkan urusan ini kepadamu
atau saya serahkan kepadamu,’ sekalipun melalui surat menyurat”
المهذب ج 1 ص 350
وَلاَ يَمْلِكُ الْوَكِيْلُ مِنَ التَّصَرُّفِ إلاَّ مَا يَقْتَضِيْهِ إذْنُ
مُوَكِّلِهِ مِنْ جِهَةِ النُّطْقِ أَوْ مِنْ جِهَةِ الْعُرْفِ
“Seorang wakil tidak memiliki hak
tasharuf kecuali sebatas izin yang didapat dari muwakkil melalui ucapan atau
adat yang berlaku”
حاشيتا قليوبي وعميرة ج
5 ص 211
(وَلَهُ
أَنْ يُؤَدِّيَ بِنَفْسِهِ زَكَاةَ الْمَالِ الْبَاطِنِ) وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّهُ
النَّقْدُ وَالْعَرْضُ، وَزِيْدَ عَلَيْهِمْا هُنَا فِي الرَّوْضَةِ كَأَصْلِهَا
الرِّكَازُ وَزَكَاةُ الْفِطْرِ (وَكَذَا الظَّاهِرُ) وَهُوَ الْمَاشِيَةُ
وَالزَّرْعُ وَالثَّمَرُ وَالْمَعْدِنُ (عَلَى الْجَدِيْدِ) وَالْقَدِيْمُ يَجِبُ
دَفْعُ زَكَاتِهِ اِلَى اْلإِمَامِ وَإِنْ كَانَ جَائِرًا لِنَفَاذِ حُكْمِهِ،
فَلَوْ فَرَّقَهَا الْمَالِكُ بِنَفْسِهِ لَمْ تُحْسَبْ. وَقِيلَ: لاَ يَجِبُ
دَفْعُهَا اِلَى الْجَائِرِ (وَلَهُ) مَعَ اْلأَدَاءِ بِنَفْسِهِ فِي
الْمَالَيْنِ (التَّوْكِيْلُ) فِيْهِ
“Bagi pihak muzakki diperbolehkan
untuk menyalurkan zakatnya sendiri, baik harta yang batin, seperti zakat
mas-perak, hasil dagangan, harta temuan dan zakat fitrah, atau harta yang
dzahir, seperti zakat hewan ternak, buah, tumbuhan dan hasil tambang. Ini menurut
pendapat Imam Syafii dalam Qaul Jadid (setelah Imam Syafii menetap di Mesir
tahun 98 H). Sementara versi Qaul Qadim (ketika Imam Syafii berada di Iraq)
menyebutkan bahwa muzakki harus menyerahkan sepenuhnya harta zakanya kepada
pemerintah, meskipun pemerintah yang dzalim karena pengaruh kekuasaannya,
dengan demikian jika ia menyalurkan sendiri zakatnya (tanpa sepengetahuan
pemerintah), maka tidak dianggap sebagai zakat. Disamping itu, muzakki juga
diperbolehkan untuk mewakilkan kepada orang lain dalam penyaluran zakat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar