ADAKAH BID’AH SHALAT TARAWIH?
Mayoritas kaum muslimin di seluruh
dunia, setiap bulan Ramadhan berbondong-bondong memenuhi masjid-masjid,
mushalla dan surau untuk melaksanakan Shalat malam secara berjama’ah atau
populer dikenal dengan sebutan “Shalat Tarawih”. Dalam lingkup terbatas ada
juga yang mengerjakannya di rumah-rumah, berjamaah dengan anggota keluarga.
Jumlah raka’at shalat Tarawih bervariasi, ada yang 8 raka’at, biasanya
dilaksanakan di masjid-masjid beraliran Salafy-Wahabi, misalnya jamaah Muhammadiyah,
Al-Irsyad, Persis, tetapi ada yang lebih panjang sejumlah 20 raka’at, seperti
Syafi’iyah (mazhab Syafi’i) yang di Indonesia dibawah Nahdatul Ulama (NU).
Bahkan dalam catatan sejarah ada juga yang mengerjakan sampai 36 raka’at
(Mazhab Maliki) atau 41 raka’at. Bagi anda tinggal pilih saja, mau raka’at yang
pendek atau yang panjang.
Dalam tradisi Syafi’iyah misalnya,
shalat Tarawih dikerjaan dua raka’at dua raka’at kemudian salam. Setiap dua
raka’at itu diselingi dengan pembacaan shalawat. Tidak jarang shalawat
dilakukan dengan suara keras, seolah-olah mereka berlomba-lomba mengeraskan
suara, sehingga suasana ibadah yang seharusnya tenang dan khusu’ mengharap
keridhaan Allah Swt, berubah menjadi riuh dan berisik.
Jumlah rakaat yang panjang terkadang
terasa sangat melelahkan bagi sebagian orang. Oleh karena itu, ada imam shalat
Tarawih yang membaca surah dengan tergesa-gesa, hampir tidak ada titik komanya,
membuat jamaah yang sudah udzur/sepuh kelelahan. Terkadang ada pula imam yang
membacanya dengan sangat lambat, membuat makmum, terutama para anak muda
gelisah, lalu mengakhiri shalatnya sampai 8 raka’at saja.
Pemandangan yang lumrah terjadi adalah
pada awal-awal bulan Ramadhan hampir setiap masjid penuh sesak, tapi lama
kelamaan jumlah jamaah berkurang, apalagi setelah melewati pertengahan bulan
atau mendekati lebaran. Anak-anak muda khususnya, lebih memilih shoping ke
mall-mall atau mejeng ke pasar malam.
Terkadang muncul di benak kita suatu
pertanyaan, apakah pantas menghadap Allah dengan cara riuh dan berisik seperti
ini?
Apakah benar Allah Swt dan Rasul-Nya
telah memerintahkan shalat berjama’ah sampai 20 raka’at atau lebih hingga
mencapai 41 raka’at? Sedangkan kita tahu bahwa kondisi fisik dan kesibukan
tiap-tiap jamaah berbeda-beda. Misalnya, ada jamaah yang berdagang dimalam hari
ingin segera menggelar dagangannya, atau ada yang ingin beristirahat setelah
seharian penuh berpuasa atau ingin bersantai bersama keluarga masing-masing.
Dalam beribadah tidak sepantasnya kita
mengikuti tradisi turun temurun dari pendahulu-pendahulu kita, melainkan
haruslah mengikuti petunjuk Allah Swt dan Rasul-Nya. Apa yang diperintahkan
harusnya dikerjakan dan apa yang dilarang wajib ditinggalkan.
Dalam cacatan sejarah, shalat malam
berjamaah di bulan Ramadhan atau Tarawih itu, sesungguhnya tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Bahkan pada masa khalifah Abu Bakar juga tidak
dilaksanakan. Sulit memang untuk merubah kebiasaan yang telah mendarah daging,
tapi fakta-fakta yang tertulis dalam berbagai kitab mu’tabar nampaknya sulit
terbantahkan.
Bagaimana Asal-Usul Munculnya Shalat Tarawih?
Shalat Tarawih untuk pertama kalinya
digagas oleh khalifah kedua, Umar bin Khattab. Sesungguhnya ini bukan Sunnah
Rasul, tapi menurut pencetusnya ini merupakan suatu “bid’ah”. Oleh karena itu
kita dilarang melaksanakannya, karena tidak berasal dari sunnah Nabi Saw,
melainkan sunnah Khalifah Kedua yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber
hukum.
Dari kitab Sahih Bukhari[1] dan Sahih
Muslim[2] misalnya, kita dapat mengambil pelajaran bahwa pada zaman Nabi
Muhammad Saw dan pada zaman kekhalifahan Abu Bakar serta pada awal-awal
pemerintahan Umar, tidak terdapat ritual shalat Tarawih. Hingga suatu waktu,
pada salah satu malam dibulan Ramadhan, Umar bin Khattab masuk ke Masjid dan
menyaksikan orang-orang melakukan shalat secara sendiri-sendiri (munfarid).
Khalifah Umar juga melihat di salah satu sudut masjid itu, ada sekelompok kaum
muslim melaksanakan shalat secara berjama’ah. Kemudian beliau berkata, “Kalau
semua orang melaksanakan shalat secara berjama’ah pasti akan menarik.” Atau
dalam redaksi lain, “Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan menjadi satu dan
mengikuti seorang imam yang pandai membaca Al-Qur'an, tentu lebih utama.” Lalu
beliau mengumpulkan mereka untuk melaksanakan shalat dibawah pimpinan Ubay bin
Ka’ab yang ditunjuk menjadi imam. Pada malam berikutnya, Umar bin Khattab masuk
ke masjid itu dan menyaksikan jama’ah masjid melaksanakan shalat secara
berjama’ah, seraya berkata, “Ni’mal bid’atu hadzihi”[3] (Alangkah indahnya bid’ah
ini), atau “Ini adalah sebagus-bagus bid'ah.”
Allamah al-Qasthalani, ketika sampai
pada ucapan Umar dalam hadits tersebut (yakni alangkah baiknya bid’ah ini)
berkata: “Ia (Umar) menamakannya bid’ah, sebab Rasulullah Saw sendiri tidak
menjadikannya sebagai sunnah untuk mereka dilakukan secara berjama’ah. Hal itu
juga belum pernah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, baik tentang waktu
pelaksanaannya, atau tentang pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan, ataupun
tentang jumlah raka’atnya.”[4]
Dalam kitab Fiqh ‘alal Madzahib al
Arba’ah[5] tentang Shalat Tarawih, “Adalah mustahab apabila shalat Tarawih ini
dilaksanakan secara berjama’ah, namun jumlah raka’atnya bukan 20 raka’at dan
baru beberapa lama setelah itu ditambahkan.”
Dari kitab ini juga Anda bisa
mengetahui seluk beluk shalat Tarawih ini. Penyusun kitab ini, Abdul Rahman
al-Jazairi menjelaskan bahwa: “Syaikhan, (Imam Bukhari dan Muslim) meriwayatkan
sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw keluar dari rumahnya pada tengah malam
dibulan suci Ramadhan, yaitu pada malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh,
secara terpisah. Kemudian beliau Saw shalat di dalam masjid. Jama’ah masjid pun
turut pula melakukan shalat di dalam masjid beliau. Ketika itu beliau Saw
melakukan shalat sebanyak 8 raka’at. Tetapi kemudian mereka menyempurnakan
shalat mereka di rumah mereka masing-masing…”
Kemudian Abdul al-Jaziri menyimpulkan
pandangannya sendiri dari riwayat tersebut dan berkata: “Dari riwayat ini
jelaslah bahwa Nabi Saw telah menetapkan ke-sunnah-an shalat Tarawih secara
berjama’ah. Tetapi beliau Saw tidak melakukannya -bersama-sama dengan mereka-
sebanyak 20 raka’at, sebagaimana yang dilakukan pada masa sahabat (pasca wafat
Rasulullah Saw) dan pada masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Setelah
keluar pada tiga malam itu, beliau Saw tidak keluar lagi karena takut nantinya
shalat itu akan diwajibkan atas mereka sebagaimana yang juga pada riwayat
lainnya. Dan telah jelas pula bahwa jumlah raka’atnya tidak terbatas hanya 8
raka’at saja sebagaimana yang beliau lakukan bersama mereka. Dalilnya adalah
bahwa mereka menyempurnakannya di dalam rumah-rumah mereka. Sementara perbuatan
Umar menjelaskan bahwa jumlah raka’atnya adalah 20. Dimana ketika itu (ketika
Umar berkuasa sebagai Khalifah) dia menganjurkan kaum muslimin agar melakukan
shalat Tarawih di dalam masjid sebanyak 20 raka’at, dan hal itu disetujui oleh
para sahabat Nabi Saw.” Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa jumlah raka’at
shalat Tarawih sebanyak 20 raka’at merupakan sunnah Khalifah Umar bin Khatab.
Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul
Aziz, penambahan raka’at shalat Tarawih terjadi lagi sampai 36 raka’at. Tujuan
penambahan tersebut ini untuk menyesuaikan keutamaan dan kemuliaan penduduk
kota Makkah. Karena mereka melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) satu kali
setiap 4 raka’at. Berdasarkan hal itu, Umar bin Abdul Aziz menganggap perlu
untuk menambahkan dalam setiap thawaf sebanyak 4 raka’at”.[6]
Dalam salah satu kitab fiqih Sunni
“al-Mughni”, ulama Ahlus Sunnah yang bernama al-Kharqi berkata bahwa shalat
Tarawih itu dilakukan sebanyak 20 raka’at.
Ibnu Quddamah, seorang ulama Sunni
terkenal lainnya berkata di dalam syarahnya, bahwa menurut pandangan Imam Ahmad
bin Hanbal, yang lebih kuat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20 raka’at. Hal
ini persis dengan pendapat as-Tsauri, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Namun Imam
Malik berpendapat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 36 raka’at. Dia mengatakan
bahwa hal itu sesuai dengan perbuatan orang-orang Madinah.
Dalam pandangan madzhab Ahlus Sunnah,
keotentikan kitab al-Bukhari menempati urutan kedua setelah Al-Qur’an dan
sangat banyak yang memberikan komentar atas kitab ini. Dalam kitab ini, para
komentator itu memberikan pandangan beragam tentang jumlah raka’at yang ada
pada shalat Tarawih, sebagian mereka mengatakan bahwa jumlah raka’at shalat
Tarawih itu adalah 13 raka’at, yang lainnya mengatakan 20 raka’at, kelompok
yang lain berpendapat 24 raka’at, ada yang mengatakan 28 raka’at, sebagian lagi
berujar 36 raka’at, ada juga yang mengatakan 38 raka’at, sebagiannya lagi
mengatakan 39 raka’at, pendapat selanjutnya adalah 41 raka’at, pendapat lainnya
adalah 47 raka’at, dan begitu seterusnya.
Ibnu Abdil Bar menulis: “Dialah Umar
yang telah menyemarakkan bulan suci Ramadhan dengan shalat yang jumlah
raka’atnya genap (yakitu shalat Tarawih).”[7]
Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin
Syuhnah berkata: “Dan dia (Umar) pulalah orang pertama yang menyelenggarakan
shalat Tarawih berjama’ah dengan dipimpin oleh seorang imam…”[8]
As-Suyuthi menulis di dalam kitabnya
Tarikh al-Khulafa’ tentang hal-hal baru yang diciptakan oleh Khalifah Umar,
diantaranya ia berkata: “Dialah orang pertama yang mentradisikan shalat Tarawih
pada malam-malam bulan Ramadhan”.
Imam al-Bukhari -setelah meriwayatkan
sebuah hadits Rasulullah Saw yang berbunyi: “Barang siapa yang melakukan shalat
(sunat) pada malam bulan Ramadhan…dst”- berkata: “….Sedemikian itulah
keadaannya sampai Rasulullah Saw wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar
serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum
dikenal “shalat Tarawih.”[9]
Muslim pun -di dalam kitab Shahih-nya-
mengutip hadits yang sama dan kemudian memberikan komentar yang sama.[10]
Kiranya perlu diingat bahwa setelah
pengarang kitab Fiqh ‘alal al Arba’ah menjelaskan permasalahan ini, ia kemudian
memberikan pembenaran atas bid’ah yang dilakukan oleh Khalifah Umar ini:[11]
Pertanyaannya,
mengapa bid’ah diperbolehkan? Bukankah bid’ah yang sangat berpengaruh ini
merupakan bentuk kesesatan? Apakah ini merupakan pengecualian yang berasal dari
Nabi Saw? Apakah dengan digantinya 11 raka’at shalat malam, menjadi 20 raka’at
itu tidak bertentangan dengan petunjuk yang diberikan oleh Nabi Saw? Apakah
menghatamkan seluruh Al Qur’an di antara jama’ah masjid sebagai sebuah ibadah
yang sunah dan bukan merupakan suatu bid’ah? Apakah Umar berkata, “Lakukan 20
raka’at atau khatamkan Al Qur’an bagi mereka?
Note: Perbedaan jumlah raka’at di berbagai
tempat, mengindikasikan bahwa shalat Tarawih itu memang tidak pernah
disunnahkan oleh Rasulullah Saw. Maka, sudah saatnya bid’ah itu dikubur
dalam-dalam dari kehidupan umat Islam, hanya sebagai bagian masa lalu.
Apa
Yang Telah Menimpa Umat ini? Kita benar-benar heran melihat keadaan ini, karena
jauh-jauh hari Rasul Saw sudah berulang kali berpesan agar menjauhi bid’ah,
bahkan beliau mengancamnya dengan neraka, seperti hadist berikut ini:
"Sesungguhnya sebenar-benar
ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sementara seburuk-buruk perkara adalah hal-hal
yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan itu adalah bid'ah dan
setiap bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu berada di neraka."
(HR. An-Nasa`i dari Jabir bin 'Abdullah).
“Dari 'Aisyah radliyallâhu 'anha dia
berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa
yang mengada-ada (memperbuat sesuatu yang baru) di dalam urusan kami ini
(agama) sesuatu yang bukan bersumber padanya (tidak disyari'atkan), maka ia
tertolak." (HR. Al-Bukhari).
Di dalam riwayat Imam Muslim dinyatakan,
"Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan termasuk urusan kami
(agama), maka ia tertolak."
Namun, setelah Rasul Saw wafat
datanglah Umar bin Khattab yang berkata, “Ini adalah sebagus-bagus bid'ah”
kemudian sunnah Umar ini diikuti oleh mayoritas umat.
Ya, Allah! Apa gerangan yang telah
menimpa umat ini. Jauhkanlah kami dari penyimpangan agama-Mu dan ketidakpatuhan
kami pada sunnah Rasul-Mu.
Jadi, substansi yang menjadikan Shalat
Tarawih menjadi bid’ah adalah manakala shalat malam bulan Ramadhan itu
dilakukan secara berjamaah. Tapi jika dilakukan sendiri-sendiri itulah sunnah
Rasul yang sangat dianjurkan.
Tulisan ini tidak bermaksud
mempengaruhi keyakinan anda, karena hidup ini adalah pilihan dan kita bebas
memilih sesuai dengan daya nalar masing-masing. Tapi yang jelas, di Yaumil
Akhir nanti kita semua akan dihisab untuk mempertanggung jawabkan semua pilihan
dan pekerjaan saat kita di dunia.
[1] Sahih Bukhari, Kitab Shalat
Taraweh, “Abdurrahman bin Abd al-Qariy berkata, "Saya keluar bersama Umar
ibnul Khaththab pada suatu malam dalam bulan Ramadhan sampai tiba di masjid.
Tiba-tiba orang-orang berkelompok-kelompok terpisah-pisah. Setiap orang shalat
untuk dirinya sendiri. Ada orang yang mengerjakan shalat, kemudian diikuti oleh
sekelompok orang. Maka, Umar berkata, 'Sesungguhnya aku mempunyai ide.
Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan menjadi satu dan mengikuti seorang
imam yang pandai membaca Al-Qur'an, tentu lebih utama.' Setelah Umar mempunyai
azam (tekad) demikian, lalu dia mengumpulkan orang menjadi satu untuk berimam
kepada Ubay bin Ka'ab. Kemudian pada malam yang lain aku keluar bersama Umar,
dan orang-orang melakukan shalat dengan imam yang ahli membaca Al-Qur'an. Umar
berkata, 'Ini adalah sebagus-bagus bid'ah (barang baru). Orang yang tidur dulu
dan meninggalkan shalat pada permulaan malam (untuk melakukannya pada akhir
malam) adalah lebih utama daripada orang yang mendirikannya (pada awal malam).'
Yang dimaksudkan olehnya ialah pada akhir malam. Adapun orang-orang itu
mendirikannya pada permulaan malam."
[2] Sahih Muslim, Bab Targhib fi
Qiyam Ramadhan wa huwa Tarawih, Hal. 334, No. 756.
[3] Sahih Bukhari, Kitab Shalat
Tarawih, Hal. 322, No. 2010.
[4] Irsyadu Sahih Bukhari, 5/4.
[5] Jil. 1, Pembahasan tentang
Shalat Matbu’, Shalat Tarawih, Hal. 340.
[6] Al Mughni, Jil. 6. Hal. 137-138.
[7] Isti’ab, Ibnu Abdil Bar.
[8] Raudhatal Manadhir, Jil. 2, Hal.
122.
[9] Sahih Bukhari, Juz 1, Pasal Shalat
Taraweh.
[10] Sahih Muslim, Juz 1, Anjuran
Shalat Malam pada Bulan Ramadhan.
[11] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar