Selasa, 23 Juni 2015

Islam Nusantara

Meneguhkan Islam Nusantara
untuk Peradaban Indonesia dan Dunia

Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar, sama dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Islam itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Alquran dan Sunnah. Memang betul Islam itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu, akan tetapi selain memiliki landasan nash-nash syariat (Alquran dan Sunnah), Islam juga memiliki acuan maqāṣīd al-syarīʻah (tujuan syariat). Maqāṣīd al-syarīʻah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqrāꞌ(penelitian).
Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang mereka lakukan. Di antaranya adalah melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syariat, hukum-hukum yang digali dari padanya, ʻillat-ʻillat dan hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu diperoleh kesimpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Kemaslahatan (maṣlaḥah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyāt al-khams), yaitu hifẓ al-dīn, hifẓ al-ʻaql, hifẓ al-nafs, hifẓ al-māl, dan hifẓ al-ʻirḍ.
Ulama Uṣūl Fiqh membagi maslahat kepada tiga bagian. Pertama, maslahat muʻtabarah, yaitu maslahat yang mendapat apresiasi dari syariat melalui salah satu nashnya seperti kearifan dan kebijakan dalam menjalankan dakwah islamiah. Kedua, maslahat mulgāh, yaitu maslahat yang diabaikan oleh syariat melalui salah satu nashnya seperti menyamaratakan pembagian harta pusaka antara anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga, maslahat mursalah, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan nash khusus, baik yang mengapreasiasi maupun yang mengabaikannya seperti pencatatan akad nikah.
Tujuan negara dalam Islam sejatinya sejalan dengan tujuan syariat, yaitu terwujudnya keadilan dan kemakmuran yang berketuhanan yang Maha Esa, negara yang memiliki dimensi kemaslahatan duniawi dan ukhrawi seperti tersebut sesungguhnya sudah memenuhi syarat untuk disebut negarakhilāfah, sekurang-kurangnya menurut konsep al-Mawardi. Dalam hal ini menurut beliau, “الامامة موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا”/kepemimpinan Negara diletakkan sebagai kelanjutan tugas kenabian dalam menjadi agama dan mengatur dunia.
Maqāṣīd al-syarīʻah sekurang-kurangnya penting diperhatikan dalam dua hal:
1.  Dalam memahami nuṣūṣ al-syarīah, nash-nash syariat yang dipahami dengan memperhatikanmaqāṣīd al-syarīʻah akan melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi juga kontekstual.
2.  Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Lahirnya dalil-dalil sekunder (selain Alquran dan Sunnah) merupakan konsekuensi logsi dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara dalil-dalil sekunder adalah al-Qiyās, Istiḥsān, Sadd al-żarīʻah, ʻurf, dan maṣlaḥah mursalah seperti disinggung di atas.
Al-Qiyās ialah memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain yang tidak memiliki acuan nash karena keduanya memiliki ʻillat (alasan hukum) yang sama.
Istiḥsān ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai.
Sadd al-żarīʻah ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau didgua kuat mengantarkan kepada mafsadat.
ʻUrf adalah tradisi atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal maupun komunal.ʻUrf seseorang atau suatu masyarakat harus diperhatikan dan dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Mengabaikanʻurf yang sahih seperti tersebut bertentangan dengan cita-cita kemaslahatan sebagai tujuan (maqāṣid) syariat.
Sebagian ulama mendasarkan posisi ʻurf sebagai hujjah syarʻiyyah pada fiman Allah,
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (al-Aʻrāf: 199)
Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadis riwayat Ibn Masʻūd,
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah.
Al-Sarakhsi mengungkapkan dalam kitab al-Mabsūṭ,
الثابت بالعرف كاالثابت بالنص
Yang ditetapkan oleh ʻurf sama dengan yang ditetapkan oleh nash.
Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya karena yang pertama bersifat ilahiah sementara yang kedua adalah insaniah. Akan tetapi, berhubung Islam juga dipratikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insaniah dan karenanya tidak mengancam eksistensi kebudayaan.
Selain nuṣūṣ al-syarīʻah dan maqāṣīd al-syarīʻah, Islam juga memiliki mabādiꞌ al-syarīʻah (prinsip-prinsip syariat). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-wasaṭiyyah. Hal ini dinyatakan langsung oleh Allah swt dalam firman-Nya,
وَكَذلِك جَعَلْناكُم أُمَّةً وَسَطا لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكَم شَهِيدًا.
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”(al-Baqarah: 143)
Wasaṭiyyah yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata moderasi memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah al-wāqiʻiyyah (realistis). Realistis di sini tidak berarti taslīm atau menyerah pada keadaan yang terjadi, akan tetapi berarti tidak menutup mata dari realita yang ada dengan tetap berusaha untuk menggapai keadaan ideal.
Banyak kaidah Fikih yang mengacu pada prinsip wāqiʻiyyah, di antaranya:
الضرر يزال
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع ضاق
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
النزول الى الواقع الأدنى عند تعذر المثل الأعلى
دارهم ما دمت فى دارهم، وحيهم ما دمت فى حيهم
Dakwah beberapa Wali Songo mencerminkan beberapa kaidah di atas. Secara terutama adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara aliran aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif (wa yadkhulūna fī dīn Allahi afwājān). Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati masyarakatnya melalui simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ada cerita masyhur, suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang berarti “Seekor Sapi”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya meng-copy paste kisah 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Perlu juga dikemukakan perbedaan prinsip antara Fikih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial). Salah satu kaidah Fikih ibadat mengatakan الله لا يعبد الا بما شرع”/Allah tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang disyariatkan-Nya. Sebaliknya kaidah Fikih muamalat mengatakan, “المعاملات طلق حتى يعلم المنع/Muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.
Paparan di atas dikemukakan untuk menjelaskan manhaj Islam Nusantara sebagaimana dibangun dan diterapkan oleh Wali Songo serta diikuti oleh ulama Ahli al-Sunnah di Negara ini dalam periode berikutnya.
Islam Nusantara ialah faham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat.
Satu lagi contoh penting dari bagaimana ulama Nusantara memahami dan menerapkan ajaran Islam adalah lahirnya Pancasila. Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia diterima dan disepakati untuk menjadi dasar negara Indonesia, meskipun pada awalnya kaum muslimin keberatan dengan itu, karena yang mereka idealkan adalah Islam secara eksplisit yang menjadi dasar negara. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa secara substansial pancasila adalah sangat Islami. Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman. Sedangkan sila-sila yang lain merupakan bagian dari representasi syariat.
Seandainya kaum muslimin ngotot dengan Islam formalnya dan kelompok lain bersikeras dengan sekulerismenya barang kali sampai saat ini negara Indonesia belum lahir. Itulah pentingnya berpegang pada kaidah “درء المفاسد مقدم على جلب المصالح”/Menolak mudarat didahulukan daripada menarik maslahat.
Pemahaman, pengalaman, dan metode dakwah ulama Nusantara, sejauh ini,telah memberikan kesan yang baik, yaitu Islam yang tampil dengan wajah sumringah dan tidak pongah, toleran tapi tidak plin-plan, serta permai nan damai.
Saat ini, dunia Islam di Timur Tengah tengah dibakar oleh api kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah. Ironisnya, agama Islam acapkali digunakan sebagai justifikasi bagi pengrusakan-pengrusakan tersebut. Maka cara berislam penuh damai sebagaimana di Nusantara ini kembali terafirmasi sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa kini.
Yang menjadi pekerjaan rumah bersama adalah bagaimana nilai-nilai keislaman yang telah dan sedang kita hayati ini, terus dipertahankan. Bahkan, kita harus berupaya ‘mengekspor’ Islam Nusantara ke seantero dunia, terutama ke bangsa-bangsa yang diamuk kecamuk perang tak berkesudahan, yaitu mereka yang hanya bisa melakukan kerusakan (fasād) tapi tidak kunjung melakukan perbaikan (ṣalāḥ). Tugas kita adalah mengenalkan Allah yang tidak hanya menjaga perut hamba-Nya dari kelaparan, tapi juga menenteramkan jiwa dari segala kekhawatiran,
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ، الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوْعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ.
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (Quraisy: 3-4).

Penulis: KH. Afifuddin Muhajir adalah salah satu masyaikh
PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.
Tulisan ini diambil dari  http://jombang.nu.or.id


Shalat Taroweh Menurut Empat Madzhab



Sayyid Ali Fikri dalam bukunya “Khulashatul Kalam fi Arkanil Islam” halaman 114 menuturkan tentang salat tarawih sebagai berikut:
Salat tarawih hukumnya sunnah muakkad (sunnah yang hukumnya mendekati wajib) menurut para Imam Madzhab pada malam-malam bulan Ramadlan. Waktunya adalah setelah salat Isyak sampai terbit fajar; dan disunnahkan salat witir sesudahnya.
Salat tarawih disunnahkan beristirahat sesudah tiap empat rakaat selama cukup untuk melakukan salat empat rakaat. Jumlah bilangannya adalah 20 rakaat dan setiap dua rakaat satu kali salam. Salat tarawih disunnahkan bagi orang laki-laki dan perempuan.
Cara melakukan salat tarawih adalah seperti salat subuh, artinya setiap dua rakaat satu salam; tidak sah tanpa membaca Fatihah dan disunnahkan membaca ayat atau surat pada setiap rakaat.
Hikmah salat tarawih adalah untuk menguatkan jiwa, mengistirahatkan dan menyegarkannya guna melakukan ketaatan; dan juga untuk memudahkan mencerna makanan sesudah makan malam. Apabila sesudah berbuka puasa lalu tidur, maka makanan yang ada dalam perut besarnya tidak tercerna, sehingga dapat mengganggu kesehatan; kesegaran jasmaninya menjadi lesu dan rusak.
Orang yang pertama kali mengumpulkan orang-orang muslim untuk melakukan salat tarawih secara berjamaah dengan hitungan 20 rakaat adalah Khalifah Umar bin Khattab ra. dan disetujui oleh para sahabat Nabi pada waktu itu. Kegiatan tersebut berlangsung pada masa pemerintahan Khalifah Usman dan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Kegiatan salat tarawih secara berjamaah seperti ini terkait sabda Rasulullah saw:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
“Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafaur Rasyidin”.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. bahkan menambah jumlah rakaatnya menjadi 36 (tiga puluh enam) rakaat. Tambahan ini beliau maksudkan untuk menyamakan dengan keutamaan dan pahala penduduk Makkah yang setiap kali selesai melakukan salat empat rakaat, mereka melakukan thawaf. Jadi Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. melakukan salat empat rakaat sebagai ganti dari satu kali thawaf agar dapat memperoleh pahala dan ganjaran berimbang.
Berdasarkan sunnah dari Khalifah Umar bin Khattab tersebut, maka : Menurut madzhab Hanafi, Syafii dan Hambali, jumlah salat tarawih adalah 20 rakaat selain salat witir. Menurut madzhab Maliki, jumlah salat tarawih adalah 36 (tigapuluh enam) rakaat, karena mengikuti sunnah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Adapun orang yang melakukan salat tarawih 8 (delapan) rakaat dengan witir 3 (tiga) rakaat, adalah mengikuti hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah yang berbunyi sebagai berikut:
ما كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَــــانَ وَلاَ فِى غَــيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْـاَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْــاَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَــلِّى ثَلاَثًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ اَنْ تُوْتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامُ وَلاَ يَــنَامُ قَلْبِى. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
“Tiadalah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan lainnya atas sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan Anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat empat rakaat dan jangan Anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga rakaat. Kemudian aku (Aisyah) bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah Tuan tidur sebelum salat witir?” Beliau bersabda, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, sedang hatiku tidak tidur.”
Syekh Muhammad bin ‘Allan dalam kitab “Dalilul Falihin” jilid III halaman 659 menerangkan bahwa hadits di atas adalah hadits tentang salat witir, karena salat witir itu paling banyak hanya sebelas rakaat, tidak boleh lebih. Hal itu terlihat dari ucapan Aisyah bahwa Nabi saw. tidak menambah salat, baik pada bulan Ramadlan atau lainnya melebihi sebelas rakaat. Sedangkan salat tarawih atau “qiyamu Ramadlan” hanya ada pada bulan Ramadlan saja.
Ucapan Aisyah “beliau salat empat rakaat dan Anda jangan bertanya tentang kebagusan dan panjangnya”, tidaklah berarti bahwa beliau melakukan salat empat rakaat dengan satu kali salam. Sebab dalam hadits yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra. Nabi bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَاَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ .
Salat malam itu (dilakukan) dua rakaat dua rakaat, dan jika kamu khawatir akan subuh, salatlah witir satu rakaat”.
Dalam hadits lain yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Umar juga berkata :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى وَ يُوْتِرُ بِرَكْعَةٍ
“Adalah Nabi saw. melakukan salat dari waktu malam dua rakaat dua rakaat, dan melakukan witir dengan satu rakaat”.
Pada masa Rasulullah saw. dan masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, salat tarawih dilaksanakan pada waktu tengah malam, namanya bukan salat tarawih, melainkan “qiyamu Ramadlan” (salat pada malam bulan Ramadlan). Nama “tarawih” diambil dari arti “istirahat” yang dilakukan setelah melakukan salat empat rakaat. Disamping itu perlu diketahui, bahwa pelaksanaan salat tarawih di Masjid al-Haram, Makkah adalah 20 rakaat dengan dua rakaat satu salam.
Almarhum K.H. Ali Ma’sum Krapyak, Yogyakarta dalam bukunya berjudul “Hujjatu Ahlis Sunnah Wal Jamaah” halaman 24 dan 40 menerangkan tentang “Salat Tarawih” yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
Salat tarawih, meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan, sepatutnya tidak boleh ada saling mengingkari terhadap kepentingannya. Salat tarawih menurut kami, orang-orang yang bermadzhab Syafii, bahkan dalam madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah 20 rakaat. Salat tarawih hukumnya adalah sunnah muakkad bagi setiap laki-laki dan wanita, menurut madzhab Hanafi, Syafii, Hambali, dan Maliki.
Menurut madzhab Syafii dan Hambali, salat tarawih disunnahkan untuk dilakukan secaran berjamaah. Madzhab Maliki berpendapat bahwa berjamaah dalam salat tarawih hukumnya mandub (derajatnya di bawah sunnah), sedang madzhab Hanafi berpendapat bahwa berjamaah dalam salat tarawih hukumnya sunnah kifayah bagi penduduk kampung. Dengan demikian apabila ada sebagian dari penduduk kampung tersebut telah melaksanakan dengan berjamaah, maka lainnya gugur dari tuntutan.
Para imam madzhab telah menetapkan kesunnahan salat tarawih berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad saw. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits sebagai berikut:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِى جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيَ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثٌ مُتَفَرِّقَةٌ لَيْلَةُ الثَّالِثِ وَالْخَامِسِ وَالسّابِعِ وَالْعِشْرِيْنَ وَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ وَصَلَّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا، وَكَانَ يُصَلِّى بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ أَيْ بِأَرْبَعِ تَسْلِيْمَاتٍ كَمَا سَيَأْتِى وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيَهَا فِى بُيُوْتِــــهِمْ أَيْ حَتَّى تَتِــــمَّ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً لِمَا يَأْتِى، فَكَانَ يُسْمَعُ لَهُمْ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ النَّحْلِ .
“Nabi saw. keluar pada waktu tengah malam pada bulan Ramadlan, yaitu pada tiga malam yang terpisah: malam tanggal 23, 25, dan 27. Beliau salat di masjid dan orang-orang salat seperti salat beliau di masjid. Beliau salat dengan mereka delapan rakaat, artinya dengan empat kali salam sebagaimana keterangan mendatang, dan mereka menyempurnakan salat tersebut di rumah-rumah mereka, artinya sehingga salat tersebut sempurna 20 rakaat menurut keterangan mendatang. Dari mereka itu terdengar suara seperti suara lebah”.
Dari hadits ini jelaslah bahwa Nabi Muhammad saw. telah mensunnahkan salat tarawih dan berjamaah. Akan tetapi beliau tidak melakukan salat dengan para sahabat sebanyak 20 rakaat sebagaimana amalan yang berlaku sejak zaman sahabat dan orang-orang sesudah mereka sampai sekarang.
Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ra. bahwa Nabi Muhammad saw. keluar sesudah tengah malam pada bulan Ramadlan dan beliau melakukan salat di masjid. Para sahabat lalu melakukan salat dengan beliau. Pada pagi harinya para sahabat memperbincangkan salat mereka dengan Rasulullah saw., sehingga pada malam kedua orang bertambah banyak. Kemudian Nabi saw. melakukan salat dan orang-orang melakukan salat dengan beliau. Pada malam ketiga tatkala orang-orang bertambah banyak sehingga masjid tidak mampu menampung para jamaah, Rasulullah saw. tidak keluar untuk jamaah, hingga beliau keluar untuk melakukan salat subuh. Setelah salat subuh, beliau menemui para jamaah dan bersabda, “Sesungguhnya tidaklah dikhawatirkan atas kepentingan kalian tadi malam; akan tetapi aku takut apabila salat malam itu diwajibkan atas kamu sekalian, sehingga kalian tidak mampu melaksanakannya!”.
Setelah Rasulullah saw. wafat keadaan berjalan demikian sampai pada zaman kekhalifahan Abu Bakar dan permulaan kekhalifahan Umar bin Khattab ra. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. beliau mengumpulkan orang-orang laki-laki untuk berjamaah salat tarawih dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab dan orang-orang perempuan berjamaah dengan diimami oleh Usman bin Khatsamah. Oleh karena itu Khalifah Usman bin Affan berkata pada masa pemerintahan beliau, “Semoga Allah menerangi kubur Umar sebagaimana Umar telah menerangi masjid-masjid kita”. Yang dikehendaki oleh hadits ini adalah bahwa Nabi saw. keluar dalam dua malam saja.
Menurut pendapat yang masyhur adalah bahwa Rasulullah saw. keluar pada para sahabat untuk melakukan salat tarawih bersama mereka tiga malam yaitu tanggal 23, 25, dan 27, dan beliau tidak keluar pada malam 29. Sesungguhnya Rasulullah saw tidak keluar tiga malam berturut-turut adalah karena kasihan kepada para sahabat. Beliau salat bersama para sahabat delapan rakaat; tetapi beliau menyempurnakan salat 20 rakaat di rumah beliau dan para sahabat menyempurnakan salat di rumah mereka 20 rakaat, dengan bukti bahwa dari mereka itu didengar suara seperti suara lebah. Nabi saw. tidak menyempurnakan bersama para sahabat 20 rakaat di masjid adalah karena kasihan kepada mereka.
Dari hadits ini menjadi jelas, bahwa jumlah salat tarawih yang mereka lakukan tidak terbatas hanya delapan rakaat, dengan bukti bahwa mereka menyempurnakannya di rumah-rumah mereka. Sedangkan pekerjaan Khalifah Umar ra. telah menjelaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah 20, pada saat Umar ra. mengumpulkan orang-orang di masjid dan para sahabat menyetujuinya tak seorangpun dari para Khulafa’ur Rasyidun yang berbeda dengan Umar. Mereka terus menerus melakukan salat tarawih secara berjamaah sebanyak 20 rakaat. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw. telah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. رَوَاهُ أَبُوْدَاوُدَ
“Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafa ar-Rasyidun yang telah mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan gigi geraham (berpegang teguhlah kamu sekalian pada sunnah-sunnah tersebut. (HR Abu Dawud)
Nabi Muhammad saw. juga bersabda sebagai berikut:
اِقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ
“Ikutlah kamu sekalian dengan kedua orang ini sesudah aku mangkat, yaitu Abu Bakar dan Umar”.  HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.
Telah diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubay dan Tamim ad-Daari melakukan salat tarawih bersama orang-orang sebanyak 20 rakaat. Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang sahih, bahwa mereka melakukan salat tarawih pada masa pemerintahan Umar bin Khattab 20 rakaat, dan menurut satu riwayat 23 rakaat. Pada masa pemerintahan Usman bin Affan juga seperti itu, sehingga menjadi ijmak. Dalam satu riwayat, Ali bin Abi Talib ra. mengimami dengan 20 rakaat dan salat witir dengan tiga rakaat.
Imam Abu Hanifah telah ditanya tentang apa yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau menjelaskan, “Salat tarawih adalah sunnah muakkadah. Umar ra. tidak menentukan bilangan 20 rakaat tersebut dari kehendaknya sendiri. Dalam hal ini beliau bukanlah orang yang berbuat bid’ah. Beliau tidak memerintahkan salat 20 rakaat, kecuali berasal dari sumber pokoknya yaitu dari Rasulullah saw.”
Khalifah Umar bin Khattab ra. telah membuat sunnah dalam hal salat tarawih ini dan telah mengumpulkan orang-orang dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab, sehingga Ubay bin Ka’ab melakukan salat tarawih secara berjamaah, sedangkan para sahabat mengikutinya. Di antara para sahabat yang mengikuti pada waktu itu terdapat Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, ‘Abbas dan puteranya, Thalhah, az-Zubayr, Mu’adz, Ubay dan para sahabat Muhajirin dan sahabat Ansor lainnya ra. Pada waktu itu tak seorangpun dari para sahabat yang menolak atau menentangnya, bahkan mereka membantu dan menyetujuinya serta memerintahkan hal tersebut. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw. bersabda:
أَصْحَابِى كَالنُّجُوْمِ بِأَيِّهِمُ اقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ
“Para sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang di langit. Dengan siapa saja dari mereka kamu ikuti, maka kamu akan mendapatkan petunjuk”.
Memang, pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ra. yang pada waktu itu beliau mengikuti orang Madinah, bilangan salat tarawih ditambah dan dijadikan 36 rakaat. Akan tetapi tambahan tersebut dimaksudkan untuk menyamakan keutamaan dengan penduduk Makkah; karena penduduk Makkah melakukan thawaf di Baitullah satu kali sesudah salat empat rakaat dengan dua kali salam. Maka Umar bin Abdul Aziz ra. yang pada waktu itu mengimami para jamaah berpendapat untuk melakukan salat empat rakaat dengan dua kali salam sebagai ganti dari thawaf.
Ini adalah dalil dari kebenaran ijtihad dari para ulama dalam menambahi ibadah yang telah disyariatkan. Sama sekali tidak perlu diragukan bahwa setiap orang diperbolehkan untuk melakukan salat sunnah semampu mungkin pada waktu malam atau siang hari, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang untuk melakukan salat.
Pengarang kitab “Al-Fiqhu ‘Ala al-Madzahib al-Arbaah” menyatakan bahwa salat tarawih adalah 20 rakaat menurut semua imam madzhab kecuali witir.
Dalam kitab “Mizan” karangan Imam asy-Sya’rani halaman 148 dinyatakan bahwa termasuk pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafii, dan Ahmad, salat tarawih adalah 20 rakaat. Imam asy-Syafii berkata, “20 rakaat bagi mereka adalah lebih saya sukai!”. Sesungguhnya salat tarawih secara berjamaah adalah lebih utama. Imam Malik dalam salah satu riwayat menyatakan bahwa salat tarawih adalah 36 rakaat.
Dalam kitab “Bidayah al-Mujtahid” karangan Imam Qurthubi juz I halaman 21 diterangkan bahwa salat tarawih yang Umar bin Khattab mengumpulkan orang-orang untuk melakukannya secara berjamaah adalah disukai; dan mereka berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat yang dilakukan orang-orang pada bulan Ramadlan. Imam Malik dalam salah satu dari kedua pendapat beliau, Imam Abu Hanifah, Imam as-Syafii, dan Imam Ahmad bin Hambal memilih 20 rakaat selain salat witir.
Pada pokoknya Imam Madzhab Empat tersebut memilih bahwa salat tarawih adalah 20 rakaat selain salat witir. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa salat tarawih adalah 8 (delapan) rakaat adalah menyalahi dan menentang terhadap apa yang telah mereka pilih. Sebaiknya pendapat orang ini dibuang dan tidak usah diperhatikan, karena tidak termasuk golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yaitu golongan yang selamat, yang mengikuti sunnah Rasulullah saw. dan para sahabat beliau. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa salat tarawih delapan rakaat adalah berdasarkan hadits Aisyah ra. sebagaimana disebutkan di muka.
Hadits tersebut tidak sah untuk dijadikan dasar salat tarawih, karena maudlu’ dari hadits tersebut yang nampak jelas adalah salat witir. Sebagaimana kita ketahui, salat witir itu paling sedikit adalah satu rakaat dan paling banyak adalah sebelas rakaat. Rasulullah saw. pada waktu sesudah tidur melakukan salat empat rakaat dengan dua salam tanpa disela, lalu melakukan salat empat rakaat dengan dua salam tanpa disela, kemudian melakukan salat tiga rakaat dengan dua salam juga tanpa disela. Hal ini menunjukkan bahwa hadits Aisyah ra. adalah salat witir:
 Ucapan Aisyah, “Apakah Engkau tidur sebelum engkau melakukan witir?” Sesungguhnya salat tarawih itu dikerjakan sesudah salat isyak dan sebelum tidur.
 Sementara itu salat tarawih tidak didapati pada selain bulan Ramadlan.
Dengan demikian tidak ada dalil yang menentang kebenaran salat tarawih 20 rakaat. Imam al-Qasthalani dalam kitab “Irsyad as-Sari” syarah dari Sahih Bukhari berkata, “Apa yang sudah diketahui, yaitu yang dipakai oleh “jumhur ulama” adalah bahwa bilangan/ jumlah rakaat salat tarawih 20 rakaat dengan sepuluh kali salam, sama dengan lima kali tarawih yang setiap tarawih empat rakaat dengan dua kali salam selain witir, yaitu tiga rakaat.
Dalam Sunan al-Baihaqiy dengan isnad yang sahih sebagaimana ucapan Zainuddin al-Iraqi dalam kitab “Syarah Taqrib”, dari as-Sa’ib bin Yazid ra. katanya, “Mereka (para sahabat) melakukan salat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra. pada bulan Ramadlan dengan 20 rakaat.
Imam Malik dalam kitab “Al-Muwaththa” meriwayatkan dari Yazid bin Rauman katanya, “Orang-orang pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ra. melakukan salat dengan 23 rakaat. Imam al-Baihaqi telah mengumpulkan kedua riwayat tersebut dengan menyebutkan bahwa mereka melakukan witir tiga rakaat. Para ulama telah menghitung apa yang terjadi pada zaman Umar bin Khattab sebagai ijmak.
Perlu kita ketahui bahwa salat tarawih adalah dua rakaat satu salam, menurut madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam hal ini madzhab Syafii berpendapat bahwa wajib dari setiap dua rakaat; sehingga jika seseorang melakukan salat tarawih 20 rakaat dengan satu salam, maka hukumnya tidak sah”.
Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat bawa disunnahkan melakukan salam pada akhir setiap dua rakaat. Jika ada orang yang melakukan salat tarawih 20 rakaat dengan satu salam, dan dia duduk pada permulaan setiap dua rakaat, maka hukumnya sah tetapi makruh. Jika tidak duduk pada permulaan setiap dua rakaat maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat dari para imam madzhab”.
Adapun madzhab Syafii berpendapat bahwa wajib melakukan salam pada setiap dua rakaat. Jika orang melakukan salat tarawih 20 rakaat dengan satu salam, hukumnya tidak sah; baik dia duduk atau tidak pada permulaan setiap dua rakaat. Jadi menurut para ulama Syafiiyyah, salat tarawih harus dilakukan dua rakaat dua rakaat dan salam pada permulaan setiap dua rakaat.
Adapun ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa jika seseorang melakukan salat empat rakaat dengan satu salam, maka empat rakaat tersebut adalah sebagai ganti dari dua rakaat menurut kesepakatan mereka. Jika seseorang melakukan salat lebih dari empat rakaat dengan satu salam, maka keabsahannya diperselisihkan. Ada yang berpendapat sebagai ganti dari rakaat yang genap dari salat tarawih, dan ada yang berpendapat tidak sah”.
Para ulama dari madzhab Hambali berpendapat bahwa salat seperti tersebut sah tetapi makruh dan dihitung 20 rakaat. Sedangkan para ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa salat yang demikian itu sah dan dihitung 20 rakaat. Orang yang melakukan salat demikian adalah orang yang meninggalkan kesunnahan tasyahhud dan kesunnahan salam pada setiap dua rakaat; dan yang demikian itu adalah makruh”.
Rasulullah saw. bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ عَنْ عَبْدِ اللّهِ ابْنِ عُمَرَ .
“Salat malam itu dilakukan dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kamu sekalian khawatir akan subuh, maka dia salat satu rakaat yang menjadi witir baginya dari salat yang telah dilakukan”.
Hal yang menunjukkan bahwa bilangan salat tarawih 20 rakaat selain dari dalil-dalil tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Humaid dan at-Thabrani dari jalan Abu Syaibah bin Usman dari al-Hakam dari Muqassim dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. telah melakukan salat pada bulan Ramadlan 20 rakaat dan witir.

(K.H. Achmad Masduqi Machfudh. Tulisan ini diambil dari alfathimiyyah.net)


ADAKAH BID’AH SHALAT TARAWIH..?


ADAKAH BID’AH SHALAT TARAWIH?

Mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia, setiap bulan Ramadhan berbondong-bondong memenuhi masjid-masjid, mushalla dan surau untuk melaksanakan Shalat malam secara berjama’ah atau populer dikenal dengan sebutan “Shalat Tarawih”. Dalam lingkup terbatas ada juga yang mengerjakannya di rumah-rumah, berjamaah dengan anggota keluarga. Jumlah raka’at shalat Tarawih bervariasi, ada yang 8 raka’at, biasanya dilaksanakan di masjid-masjid beraliran Salafy-Wahabi, misalnya jamaah Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, tetapi ada yang lebih panjang sejumlah 20 raka’at, seperti Syafi’iyah (mazhab Syafi’i) yang di Indonesia dibawah Nahdatul Ulama (NU). Bahkan dalam catatan sejarah ada juga yang mengerjakan sampai 36 raka’at (Mazhab Maliki) atau 41 raka’at. Bagi anda tinggal pilih saja, mau raka’at yang pendek atau yang panjang.
Dalam tradisi Syafi’iyah misalnya, shalat Tarawih dikerjaan dua raka’at dua raka’at kemudian salam. Setiap dua raka’at itu diselingi dengan pembacaan shalawat. Tidak jarang shalawat dilakukan dengan suara keras, seolah-olah mereka berlomba-lomba mengeraskan suara, sehingga suasana ibadah yang seharusnya tenang dan khusu’ mengharap keridhaan Allah Swt, berubah menjadi riuh dan berisik.
Jumlah rakaat yang panjang terkadang terasa sangat melelahkan bagi sebagian orang. Oleh karena itu, ada imam shalat Tarawih yang membaca surah dengan tergesa-gesa, hampir tidak ada titik komanya, membuat jamaah yang sudah udzur/sepuh kelelahan. Terkadang ada pula imam yang membacanya dengan sangat lambat, membuat makmum, terutama para anak muda gelisah, lalu mengakhiri shalatnya sampai 8 raka’at saja.
Pemandangan yang lumrah terjadi adalah pada awal-awal bulan Ramadhan hampir setiap masjid penuh sesak, tapi lama kelamaan jumlah jamaah berkurang, apalagi setelah melewati pertengahan bulan atau mendekati lebaran. Anak-anak muda khususnya, lebih memilih shoping ke mall-mall atau mejeng ke pasar malam.

Terkadang muncul di benak kita suatu pertanyaan, apakah pantas menghadap Allah dengan cara riuh dan berisik seperti ini?
Apakah benar Allah Swt dan Rasul-Nya telah memerintahkan shalat berjama’ah sampai 20 raka’at atau lebih hingga mencapai 41 raka’at? Sedangkan kita tahu bahwa kondisi fisik dan kesibukan tiap-tiap jamaah berbeda-beda. Misalnya, ada jamaah yang berdagang dimalam hari ingin segera menggelar dagangannya, atau ada yang ingin beristirahat setelah seharian penuh berpuasa atau ingin bersantai bersama keluarga masing-masing.
Dalam beribadah tidak sepantasnya kita mengikuti tradisi turun temurun dari pendahulu-pendahulu kita, melainkan haruslah mengikuti petunjuk Allah Swt dan Rasul-Nya. Apa yang diperintahkan harusnya dikerjakan dan apa yang dilarang wajib ditinggalkan.
Dalam cacatan sejarah, shalat malam berjamaah di bulan Ramadhan atau Tarawih itu, sesungguhnya tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Bahkan pada masa khalifah Abu Bakar juga tidak dilaksanakan. Sulit memang untuk merubah kebiasaan yang telah mendarah daging, tapi fakta-fakta yang tertulis dalam berbagai kitab mu’tabar nampaknya sulit terbantahkan.

Bagaimana Asal-Usul Munculnya Shalat Tarawih?
Shalat Tarawih untuk pertama kalinya digagas oleh khalifah kedua, Umar bin Khattab. Sesungguhnya ini bukan Sunnah Rasul, tapi menurut pencetusnya ini merupakan suatu “bid’ah”. Oleh karena itu kita dilarang melaksanakannya, karena tidak berasal dari sunnah Nabi Saw, melainkan sunnah Khalifah Kedua yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum.
Dari kitab Sahih Bukhari[1] dan Sahih Muslim[2] misalnya, kita dapat mengambil pelajaran bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw dan pada zaman kekhalifahan Abu Bakar serta pada awal-awal pemerintahan Umar, tidak terdapat ritual shalat Tarawih. Hingga suatu waktu, pada salah satu malam dibulan Ramadhan, Umar bin Khattab masuk ke Masjid dan menyaksikan orang-orang melakukan shalat secara sendiri-sendiri (munfarid). Khalifah Umar juga melihat di salah satu sudut masjid itu, ada sekelompok kaum muslim melaksanakan shalat secara berjama’ah. Kemudian beliau berkata, “Kalau semua orang melaksanakan shalat secara berjama’ah pasti akan menarik.” Atau dalam redaksi lain, “Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan menjadi satu dan mengikuti seorang imam yang pandai membaca Al-Qur'an, tentu lebih utama.” Lalu beliau mengumpulkan mereka untuk melaksanakan shalat dibawah pimpinan Ubay bin Ka’ab yang ditunjuk menjadi imam. Pada malam berikutnya, Umar bin Khattab masuk ke masjid itu dan menyaksikan jama’ah masjid melaksanakan shalat secara berjama’ah, seraya berkata, “Ni’mal bid’atu hadzihi”[3] (Alangkah indahnya bid’ah ini), atau “Ini adalah sebagus-bagus bid'ah.”
Allamah al-Qasthalani, ketika sampai pada ucapan Umar dalam hadits tersebut (yakni alangkah baiknya bid’ah ini) berkata: “Ia (Umar) menamakannya bid’ah, sebab Rasulullah Saw sendiri tidak menjadikannya sebagai sunnah untuk mereka dilakukan secara berjama’ah. Hal itu juga belum pernah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, baik tentang waktu pelaksanaannya, atau tentang pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan, ataupun tentang jumlah raka’atnya.”[4]
Dalam kitab Fiqh ‘alal Madzahib al Arba’ah[5] tentang Shalat Tarawih, “Adalah mustahab apabila shalat Tarawih ini dilaksanakan secara berjama’ah, namun jumlah raka’atnya bukan 20 raka’at dan baru beberapa lama setelah itu ditambahkan.”
Dari kitab ini juga Anda bisa mengetahui seluk beluk shalat Tarawih ini. Penyusun kitab ini, Abdul Rahman al-Jazairi menjelaskan bahwa: “Syaikhan, (Imam Bukhari dan Muslim) meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw keluar dari rumahnya pada tengah malam dibulan suci Ramadhan, yaitu pada malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh, secara terpisah. Kemudian beliau Saw shalat di dalam masjid. Jama’ah masjid pun turut pula melakukan shalat di dalam masjid beliau. Ketika itu beliau Saw melakukan shalat sebanyak 8 raka’at. Tetapi kemudian mereka menyempurnakan shalat mereka di rumah mereka masing-masing…”
Kemudian Abdul al-Jaziri menyimpulkan pandangannya sendiri dari riwayat tersebut dan berkata: “Dari riwayat ini jelaslah bahwa Nabi Saw telah menetapkan ke-sunnah-an shalat Tarawih secara berjama’ah. Tetapi beliau Saw tidak melakukannya -bersama-sama dengan mereka- sebanyak 20 raka’at, sebagaimana yang dilakukan pada masa sahabat (pasca wafat Rasulullah Saw) dan pada masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Setelah keluar pada tiga malam itu, beliau Saw tidak keluar lagi karena takut nantinya shalat itu akan diwajibkan atas mereka sebagaimana yang juga pada riwayat lainnya. Dan telah jelas pula bahwa jumlah raka’atnya tidak terbatas hanya 8 raka’at saja sebagaimana yang beliau lakukan bersama mereka. Dalilnya adalah bahwa mereka menyempurnakannya di dalam rumah-rumah mereka. Sementara perbuatan Umar menjelaskan bahwa jumlah raka’atnya adalah 20. Dimana ketika itu (ketika Umar berkuasa sebagai Khalifah) dia menganjurkan kaum muslimin agar melakukan shalat Tarawih di dalam masjid sebanyak 20 raka’at, dan hal itu disetujui oleh para sahabat Nabi Saw.” Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa jumlah raka’at shalat Tarawih sebanyak 20 raka’at merupakan sunnah Khalifah Umar bin Khatab.
Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, penambahan raka’at shalat Tarawih terjadi lagi sampai 36 raka’at. Tujuan penambahan tersebut ini untuk menyesuaikan keutamaan dan kemuliaan penduduk kota Makkah. Karena mereka melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) satu kali setiap 4 raka’at. Berdasarkan hal itu, Umar bin Abdul Aziz menganggap perlu untuk menambahkan dalam setiap thawaf sebanyak 4 raka’at”.[6]
Dalam salah satu kitab fiqih Sunni “al-Mughni”, ulama Ahlus Sunnah yang bernama al-Kharqi berkata bahwa shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 20 raka’at.
Ibnu Quddamah, seorang ulama Sunni terkenal lainnya berkata di dalam syarahnya, bahwa menurut pandangan Imam Ahmad bin Hanbal, yang lebih kuat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20 raka’at. Hal ini persis dengan pendapat as-Tsauri, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Namun Imam Malik berpendapat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 36 raka’at. Dia mengatakan bahwa hal itu sesuai dengan perbuatan orang-orang Madinah.
Dalam pandangan madzhab Ahlus Sunnah, keotentikan kitab al-Bukhari menempati urutan kedua setelah Al-Qur’an dan sangat banyak yang memberikan komentar atas kitab ini. Dalam kitab ini, para komentator itu memberikan pandangan beragam tentang jumlah raka’at yang ada pada shalat Tarawih, sebagian mereka mengatakan bahwa jumlah raka’at shalat Tarawih itu adalah 13 raka’at, yang lainnya mengatakan 20 raka’at, kelompok yang lain berpendapat 24 raka’at, ada yang mengatakan 28 raka’at, sebagian lagi berujar 36 raka’at, ada juga yang mengatakan 38 raka’at, sebagiannya lagi mengatakan 39 raka’at, pendapat selanjutnya adalah 41 raka’at, pendapat lainnya adalah 47 raka’at, dan begitu seterusnya.
Ibnu Abdil Bar menulis: “Dialah Umar yang telah menyemarakkan bulan suci Ramadhan dengan shalat yang jumlah raka’atnya genap (yakitu shalat Tarawih).”[7]
Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah berkata: “Dan dia (Umar) pulalah orang pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dipimpin oleh seorang imam…”[8]
As-Suyuthi menulis di dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa’ tentang hal-hal baru yang diciptakan oleh Khalifah Umar, diantaranya ia berkata: “Dialah orang pertama yang mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan”.
Imam al-Bukhari -setelah meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw yang berbunyi: “Barang siapa yang melakukan shalat (sunat) pada malam bulan Ramadhan…dst”- berkata: “….Sedemikian itulah keadaannya sampai Rasulullah Saw wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum dikenal “shalat Tarawih.”[9]
Muslim pun -di dalam kitab Shahih-nya- mengutip hadits yang sama dan kemudian memberikan komentar yang sama.[10]
Kiranya perlu diingat bahwa setelah pengarang kitab Fiqh ‘alal al Arba’ah menjelaskan permasalahan ini, ia kemudian memberikan pembenaran atas bid’ah yang dilakukan oleh Khalifah Umar ini:[11]

Pertanyaannya, mengapa bid’ah diperbolehkan? Bukankah bid’ah yang sangat berpengaruh ini merupakan bentuk kesesatan? Apakah ini merupakan pengecualian yang berasal dari Nabi Saw? Apakah dengan digantinya 11 raka’at shalat malam, menjadi 20 raka’at itu tidak bertentangan dengan petunjuk yang diberikan oleh Nabi Saw? Apakah menghatamkan seluruh Al Qur’an di antara jama’ah masjid sebagai sebuah ibadah yang sunah dan bukan merupakan suatu bid’ah? Apakah Umar berkata, “Lakukan 20 raka’at atau khatamkan Al Qur’an bagi mereka?

Note: Perbedaan jumlah raka’at di berbagai tempat, mengindikasikan bahwa shalat Tarawih itu memang tidak pernah disunnahkan oleh Rasulullah Saw. Maka, sudah saatnya bid’ah itu dikubur dalam-dalam dari kehidupan umat Islam, hanya sebagai bagian masa lalu.
Apa Yang Telah Menimpa Umat ini? Kita benar-benar heran melihat keadaan ini, karena jauh-jauh hari Rasul Saw sudah berulang kali berpesan agar menjauhi bid’ah, bahkan beliau mengancamnya dengan neraka, seperti hadist berikut ini:
"Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sementara seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu berada di neraka." (HR. An-Nasa`i dari Jabir bin 'Abdullah).
“Dari 'Aisyah radliyallâhu 'anha dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengada-ada (memperbuat sesuatu yang baru) di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang bukan bersumber padanya (tidak disyari'atkan), maka ia tertolak." (HR. Al-Bukhari).
Di dalam riwayat Imam Muslim dinyatakan, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan termasuk urusan kami (agama), maka ia tertolak."
Namun, setelah Rasul Saw wafat datanglah Umar bin Khattab yang berkata, “Ini adalah sebagus-bagus bid'ah” kemudian sunnah Umar ini diikuti oleh mayoritas umat.
Ya, Allah! Apa gerangan yang telah menimpa umat ini. Jauhkanlah kami dari penyimpangan agama-Mu dan ketidakpatuhan kami pada sunnah Rasul-Mu.
Jadi, substansi yang menjadikan Shalat Tarawih menjadi bid’ah adalah manakala shalat malam bulan Ramadhan itu dilakukan secara berjamaah. Tapi jika dilakukan sendiri-sendiri itulah sunnah Rasul yang sangat dianjurkan.
Tulisan ini tidak bermaksud mempengaruhi keyakinan anda, karena hidup ini adalah pilihan dan kita bebas memilih sesuai dengan daya nalar masing-masing. Tapi yang jelas, di Yaumil Akhir nanti kita semua akan dihisab untuk mempertanggung jawabkan semua pilihan dan pekerjaan saat kita di dunia.


­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­
[1] Sahih Bukhari, Kitab Shalat Taraweh, “Abdurrahman bin Abd al-Qariy berkata, "Saya keluar bersama Umar ibnul Khaththab pada suatu malam dalam bulan Ramadhan sampai tiba di masjid. Tiba-tiba orang-orang berkelompok-kelompok terpisah-pisah. Setiap orang shalat untuk dirinya sendiri. Ada orang yang mengerjakan shalat, kemudian diikuti oleh sekelompok orang. Maka, Umar berkata, 'Sesungguhnya aku mempunyai ide. Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan menjadi satu dan mengikuti seorang imam yang pandai membaca Al-Qur'an, tentu lebih utama.' Setelah Umar mempunyai azam (tekad) demikian, lalu dia mengumpulkan orang menjadi satu untuk berimam kepada Ubay bin Ka'ab. Kemudian pada malam yang lain aku keluar bersama Umar, dan orang-orang melakukan shalat dengan imam yang ahli membaca Al-Qur'an. Umar berkata, 'Ini adalah sebagus-bagus bid'ah (barang baru). Orang yang tidur dulu dan meninggalkan shalat pada permulaan malam (untuk melakukannya pada akhir malam) adalah lebih utama daripada orang yang mendirikannya (pada awal malam).' Yang dimaksudkan olehnya ialah pada akhir malam. Adapun orang-orang itu mendirikannya pada permulaan malam."
[2] Sahih Muslim, Bab Targhib fi Qiyam Ramadhan wa huwa Tarawih, Hal. 334, No. 756.
[3] Sahih Bukhari, Kitab Shalat Tarawih, Hal. 322, No. 2010.
[4] Irsyadu Sahih Bukhari, 5/4.
[5] Jil. 1, Pembahasan tentang Shalat Matbu’, Shalat Tarawih, Hal. 340.
[6] Al Mughni, Jil. 6. Hal. 137-138.
[7] Isti’ab, Ibnu Abdil Bar.
[8] Raudhatal Manadhir, Jil. 2, Hal. 122.
[9] Sahih Bukhari, Juz 1, Pasal Shalat Taraweh.
[10] Sahih Muslim, Juz 1, Anjuran Shalat Malam pada Bulan Ramadhan.
[11] Ibid.