Meneguhkan Islam Nusantara
untuk Peradaban Indonesia dan Dunia
Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar, sama dengan
Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya, karena bukankah
Islam itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Alquran dan Sunnah. Memang
betul Islam itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu, akan tetapi selain
memiliki landasan nash-nash syariat (Alquran dan Sunnah), Islam juga memiliki
acuan maqāṣīd al-syarīʻah (tujuan syariat). Maqāṣīd
al-syarīʻah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqrāꞌ(penelitian).
Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang mereka
lakukan. Di antaranya adalah melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash
syariat, hukum-hukum yang digali dari padanya, ʻillat-ʻillat dan
hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu diperoleh
kesimpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat ada tujuan yang hendak dicapai,
yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Kemaslahatan (maṣlaḥah) semakna dengan kebaikan dan
kemanfaatan. Namun, yang dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini adalah
kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyāt
al-khams), yaitu hifẓ al-dīn, hifẓ al-ʻaql, hifẓ al-nafs, hifẓ
al-māl, dan hifẓ al-ʻirḍ.
Ulama Uṣūl Fiqh membagi maslahat kepada tiga bagian.
Pertama, maslahat muʻtabarah, yaitu maslahat yang mendapat
apresiasi dari syariat melalui salah satu nashnya seperti kearifan dan
kebijakan dalam menjalankan dakwah islamiah. Kedua, maslahat mulgāh,
yaitu maslahat yang diabaikan oleh syariat melalui salah satu nashnya seperti
menyamaratakan pembagian harta pusaka antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Ketiga, maslahat mursalah, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari
dalil, yakni tidak memiliki acuan nash khusus, baik yang mengapreasiasi maupun
yang mengabaikannya seperti pencatatan akad nikah.
Tujuan negara dalam Islam sejatinya sejalan dengan tujuan
syariat, yaitu terwujudnya keadilan dan kemakmuran yang berketuhanan yang Maha
Esa, negara yang memiliki dimensi kemaslahatan duniawi dan ukhrawi seperti
tersebut sesungguhnya sudah memenuhi syarat untuk disebut negarakhilāfah,
sekurang-kurangnya menurut konsep al-Mawardi. Dalam hal ini menurut beliau, “الامامة موضوعة لخلافة النبوة فى
حراسة الدين وسياسة الدنيا”/kepemimpinan Negara diletakkan sebagai
kelanjutan tugas kenabian dalam menjadi agama dan mengatur dunia.
Maqāṣīd
al-syarīʻah sekurang-kurangnya
penting diperhatikan dalam dua hal:
1.
Dalam memahami nuṣūṣ al-syarīah, nash-nash
syariat yang dipahami dengan memperhatikanmaqāṣīd al-syarīʻah akan
melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi juga kontekstual.
2.
Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash
secara langsung. Lahirnya dalil-dalil sekunder (selain Alquran dan Sunnah) merupakan
konsekuensi logsi dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara
dalil-dalil sekunder adalah al-Qiyās, Istiḥsān, Sadd al-żarīʻah, ʻurf,
dan maṣlaḥah mursalah seperti disinggung di atas.
Al-Qiyās ialah
memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain yang tidak
memiliki acuan nash karena keduanya memiliki ʻillat (alasan hukum) yang sama.
Istiḥsān ialah
kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum
umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai.
Sadd al-żarīʻah ialah
upaya menutup jalan yang diyakini atau didgua kuat mengantarkan kepada
mafsadat.
ʻUrf adalah
tradisi atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal
maupun komunal.ʻUrf seseorang atau suatu masyarakat harus
diperhatikan dan dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Mengabaikanʻurf yang
sahih seperti tersebut bertentangan dengan cita-cita kemaslahatan sebagai
tujuan (maqāṣid) syariat.
Sebagian ulama mendasarkan posisi ʻurf sebagai
hujjah syarʻiyyah pada fiman Allah,
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن
الجاهلين
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
(al-Aʻrāf: 199)
Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadis riwayat Ibn
Masʻūd,
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله
حسن
“Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik
pula menurut Allah.”
Al-Sarakhsi mengungkapkan dalam kitab al-Mabsūṭ,
الثابت بالعرف كاالثابت بالنص
“Yang ditetapkan oleh ʻurf sama dengan yang ditetapkan
oleh nash.”
Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya
karena yang pertama bersifat ilahiah sementara yang kedua adalah insaniah. Akan
tetapi, berhubung Islam juga dipratikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi
ia bersifat insaniah dan karenanya tidak mengancam eksistensi kebudayaan.
Selain nuṣūṣ al-syarīʻah dan maqāṣīd
al-syarīʻah, Islam juga memiliki mabādiꞌ al-syarīʻah (prinsip-prinsip
syariat). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri
khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-wasaṭiyyah. Hal ini
dinyatakan langsung oleh Allah swt dalam firman-Nya,
وَكَذلِك جَعَلْناكُم أُمَّةً وَسَطا
لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكَم شَهِيدًا.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”(al-Baqarah:
143)
Wasaṭiyyah yang
sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata moderasi memiliki
beberapa makna. Salah satu maknanya adalah al-wāqiʻiyyah (realistis).
Realistis di sini tidak berarti taslīm atau menyerah pada keadaan yang terjadi,
akan tetapi berarti tidak menutup mata dari realita yang ada dengan tetap
berusaha untuk menggapai keadaan ideal.
Banyak
kaidah Fikih yang mengacu pada prinsip wāqiʻiyyah, di antaranya:
الضرر يزال
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع ضاق
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
النزول الى الواقع الأدنى عند تعذر
المثل الأعلى
دارهم ما دمت فى دارهم، وحيهم ما دمت
فى حيهم
Dakwah beberapa Wali Songo mencerminkan beberapa kaidah di
atas. Secara terutama adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya
sangat toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh
jika pendirian mereka diserang. Maka mereka harus didekati secara bertahap,
mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan
sinkretis (penyesuaian antara aliran aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana
dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang
Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton,
alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan
Kalijaga.
Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat
efektif (wa yadkhulūna fī dīn Allahi afwājān). Sebagian besar adipati di
Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati
Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede –
Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati
masyarakatnya melalui simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari
arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ada cerita masyhur, suatu waktu, ia memancing masyarakat
untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja
menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah
mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang berarti
“Seekor Sapi”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih
menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan.
Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk
mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya meng-copy paste kisah
1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus
mengikat masyarakatnya.
Perlu juga dikemukakan perbedaan prinsip antara Fikih ibadat
(ritual) dan muamalat (sosial). Salah satu kaidah Fikih ibadat mengatakan “الله لا يعبد الا بما شرع”/Allah tidak boleh disembah kecuali
dengan cara yang disyariatkan-Nya. Sebaliknya kaidah Fikih muamalat
mengatakan, “المعاملات
طلق حتى يعلم المنع”/Muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.
Paparan di atas dikemukakan untuk menjelaskan manhaj Islam
Nusantara sebagaimana dibangun dan diterapkan oleh Wali Songo serta diikuti
oleh ulama Ahli al-Sunnah di Negara ini dalam periode
berikutnya.
Islam Nusantara ialah faham dan praktik keislaman di bumi
Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan
budaya setempat.
Satu lagi contoh penting dari bagaimana ulama Nusantara
memahami dan menerapkan ajaran Islam adalah lahirnya Pancasila. Pancasila yang
digali dari budaya bangsa Indonesia diterima dan disepakati untuk menjadi dasar
negara Indonesia, meskipun pada awalnya kaum muslimin keberatan dengan itu,
karena yang mereka idealkan adalah Islam secara eksplisit yang menjadi dasar
negara. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa secara substansial pancasila adalah
sangat Islami. Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan
tauhid dalam akidah keislaman. Sedangkan sila-sila yang lain merupakan bagian
dari representasi syariat.
Seandainya kaum muslimin ngotot dengan
Islam formalnya dan kelompok lain bersikeras dengan sekulerismenya barang kali
sampai saat ini negara Indonesia belum lahir. Itulah pentingnya berpegang pada
kaidah “درء
المفاسد مقدم على جلب المصالح”/Menolak
mudarat didahulukan daripada menarik maslahat.
Pemahaman, pengalaman, dan metode dakwah ulama Nusantara,
sejauh ini,telah memberikan kesan yang baik, yaitu Islam yang tampil dengan
wajah sumringah dan tidak pongah, toleran tapi tidak plin-plan, serta permai
nan damai.
Saat ini, dunia Islam di Timur Tengah tengah dibakar oleh
api kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah. Ironisnya, agama Islam
acapkali digunakan sebagai justifikasi bagi pengrusakan-pengrusakan tersebut.
Maka cara berislam penuh damai sebagaimana di Nusantara ini kembali terafirmasi
sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa kini.
Yang menjadi pekerjaan rumah bersama adalah bagaimana
nilai-nilai keislaman yang telah dan sedang kita hayati ini, terus
dipertahankan. Bahkan, kita harus berupaya ‘mengekspor’ Islam Nusantara ke
seantero dunia, terutama ke bangsa-bangsa yang diamuk kecamuk perang tak
berkesudahan, yaitu mereka yang hanya bisa melakukan kerusakan (fasād)
tapi tidak kunjung melakukan perbaikan (ṣalāḥ). Tugas kita adalah
mengenalkan Allah yang tidak hanya menjaga perut hamba-Nya dari kelaparan, tapi
juga menenteramkan jiwa dari segala kekhawatiran,
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا
الْبَيْتِ، الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوْعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ.
“Maka
hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi
makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan” (Quraisy: 3-4).
Penulis: KH.
Afifuddin Muhajir adalah salah satu masyaikh
PP. Salafiyah
Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.