ANALISIS
AYAT IMAMAH MENURUT SUNNI DAN SYI’AH
Setiap
manusia adalah pemimpin. Karena manusia dijadikan oleh Allah di muka bumi
sebagai khalifah. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an QS. Al-Baqarah: 30 yaitu:
Artinya: Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Demikian
juga, dalam hukum Allah (Sunnatullah)
telah menetapkan, bahwa dalam setiap bentuk makhluk yang diciptakan Allah,
pasti ada yang memimpin dan ada yang dipimpin, ada yang mengatur dan ada yang
diatur. Hal ini agar pemikiran-pemikiran tidak tumpang tindih dan
keinginan-keinginan tidak simpang siur, yang mengakibatkan keretakan kerukunan,
putus tali kasih sayang, serta pudar persatuan dan perselisihan. Selain itu,
seorang pemimpin bisa dijadikan tempat untuk mengadukan berbagai kesulitan.
Dengan
demikian, maka seorang pemimpin hendaknya bisa meniru kepemimpinan yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. misalnya ketika di Madinah Nabi saw. merupakan orang pertama
yang sangat berperan dalam rangka memakmurkan kota Madinah yakni menjadi
pemimpin masyarakat kota tersebut. Beliau berhasil membangun masyarakat Madinah
dengan peradaban baru, serta menjadikan kota Madinah sebagai suatu model kerukunan
antar agama dan etnis yang sangat
beragam.
Di
dalamnya ada kaum pendatang (Muhajirin) dan penduduk asli. Di antara
penduduk asli tersebut ada yang muslim (Anshar) dan non muslim. Di
kalangan muslim ada yang benar-benar tulus dan ada yang munafik di bawah
pimpinan Abdullah ibn Ubay ibn Salul. Sedangkan di kalangan non muslim ada yang
menganut Paganisme, Nasrani dan Yahudi.
Walaupun demikian, Nabi Muhammad saw. mampu memimpin kota Madinah dengan baik.
Oleh karena itu, dalam memilih seorang pemimpin hendaknya memilih pemimpin yang
sekiranya pantas untuk menjadi pemimpin. Walaupun dalam masalah imamah terjadi
perselisihan di berbagai aliran seperti Sunni dan Syi’ah.
Menurut
kelompok Syi’ah yang diwakili oleh tafsir al-Mîzân karya Thabathaba’i bahwa yang
berhak menjadi pengganti Nabi saw. adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan hal
ini ditetapkan berdasarkan nash dari Allah. Sedangkan bagi kelompok Sunni yang
diwakili oleh tafsir al-Munîr fi
al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj karangan Wahbah Zuhaili bahwa
yang berhak menjadi pengganti Nabi adalah orang-orang mukmin. Dan beliau tidak menetapkan
seorang imam harus berdasarkan nash.
Dan
sebagian ulama Mutakallimin sebagaimana yang dikutip Al-Imam Abul Hasan
Ali bin Ismail Al-Asy’ari, bahwa imam ditetapkan melalui syûra atau ahlul aqdi.
Hal ini jelas bahwa di kalangan Sunni percaya bahwa imam adalah seorang
manusia biasa yang bisa berbuat kesalahan (tidak ma’shum), dan diperoleh
berdasarkan musyawarah.
Sedangkan
bagi kelompok Syi’ah bahwa pengangkatan seorang imam merupakan bagian dari
ajaran aqidah Syi’ah yaitu kenabian yang memunculkan prinsip imamah. Hal ini
karena kebijakan Tuhan menuntut perlu adanya seorang imam setelah wafatnya para
Nabi untuk membimbing umat Islam dan memelihara kemurnian ajaran para Nabi dan
agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menjelaskan
tentang kebutuhan yang dibutuhkan zaman dan menyeru umat manusia pada ajaran
yang telah dibawa oleh Nabi.
Untuk
mencermati ayat tersebut, penulis akan menyebutkan dua ayat sebagai berikut.
A.
Pengertian Imam
menurut Sunni Syi’ah
Kata imâm menurut bahasa berarti
orang yang diikuti (baik pemimpin formal atau bukan), komandan, pemimpin dan
pemuka. Sedangkan kata imâmah berarti imamah atau kepemimpinan. Dan kata
al-Imâmah berarti kepemimpinan umum dan kekhalifahan.
Adapun imam Islam berarti khalifah.
Hal ini sesuai dengan Sunni yang menamakan
pengganti Nabi dengan khalifah, sedangkan kaum Syi’ah menamakannya dengan imam.
Tidak hanya dari segi nama yang berbeda, akan tetapi, keadaan dan fungsinya pun
juga berbeda. Syi’ah berkeyakinan bahwa imam adalah pengganti Nabi dalam segala
hal, baik sebagai kepala negara ataupun imam agama sebagai imam rohaniyah. Menurut
Thabathaba’i imam adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang memegang
pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik,
atau suatu aliran pemikiran politik keilmuan atau keagamaan. Terdapat tiga hal
dalam keimamahan mnurut Syi’ah yaitu pemerintahan Islam, pengetahuan dan
ketentuan-ketentuan Islam dan kepemimpinan dan bimbingan pembaharuan kehidupan
kerohanian Islam Syi’ah berkayakinan. Karena masyarakat Islam sangat memerlukan
bimbingan dalam tiga aspek ini.
Menurut Ibrahim al-Amini dari kaum Syi’ah menyatakan bahwa secara bahasa al-Imâmah
berarti al-Qiyâdatu wa al-Riyâdah, maka setiap orang yang mengikutinya
dari segi pemikiran dan perbuatannya maka ia adalah imam baginya.
Menurut Taufik Abdullah yang dikutip oleh Candiki Repantu bahwa secara istilah,
imam adalah seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan juga
dunia sekaligus.
Sedangkan khalifah menurut Sunni adalah
orang biasa, sekedar pengganti Nabi saw. dalam urusan mengurus soal-soal agama
dan pemerintahan, dan juga orang biasa yang bisa membuat kesalahan.
Menurut At-Thabari khalifah adalah Adam dan orang yang ta’at kepada Allah,
bijaksana dan adil di antara makhluknya. Adapun kalau rusak maka bukan Adam dan
bukan orang yang ta’at kepada Allah.
Menurut Qurasy Shihab bahwa imam adalah pemimpin dan teladan.
Dengan dmikian jelas bahwa antara Sunni dan Syi’ah berbeda tentang maksud kata
imam. Di kalangan Sunni imam dinamakan khalifah sedangkan di kalangan Syi’ah
imam tetap disebut imam yang memegang segala urusan baik urusan agama maupun
dunia.
B.
QS. Al-Maidah:
55
Artinya: Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah).
Menurut
As-Salus yang dikutip oleh Tim Penulis Pustaka Sidogiri bahwa kaum Syi’ah
menamakan ayat ini dengan ayat al-Wilâyah.
Hal ini karena ayat tersebut merupakan dalil yang paling kuat menunjukkan atas
kepemimpinan Sayyidina Ali setelah Nabi saw.
Menurut Wahbah Zuhaili kata Innamâ
waliyyukumullâhu berarti bahwa
yang menolong dan menentukan kamu sekalian pada jalan yang benar adalah Allah.
Sedangkan al-Wilayah adalah pengganti-Nya atas jalan yang diikuti dan
dhahir. Sedangkan kata wa hum râkiûna berarti mereka yang khusuk dan
tunduk. Dalam ayat sebelumnya Allah melarang al-Muwâlah bagi orang-orang
kafir. Pada ayat ini Allah memerintahkan al-Muwalah kepada Allah dan
Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Artinya orang-orang Yahudi tidak berhak
menjadi pemimpin dan penolong kamu sekalian. Karena yang bisa menjadi pemimpin
dan penolong kepada jalan kebenaran adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang
mukmin yang melaksanakan salat (dengan sempurna rukun-rukun dan
syarat-syaratnya), menunaikan zakat (dengan ikhlas dan sesuai kepada yang
berhak menerimanya) dan tunduk kepada perintah Allah tanpa ada rasa gelisah,
bosan dan riya’. Karena barang siapa yang menolong agama Allah dengan iman dan
tawakkal kepada-Nya, menolong Rasulullah dan orang-orang mukmin tanpa ada
permusuhan maka ia akan selamat di dunia dan akhirat.
Dari segi asbab an-Nuzul ayat ini turun
berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib yang pada waktu itu datang seorang
peminta-minta pada Sayyidina Ali, padahal Sayyidina Ali sedang rukuk, kemudian
Sayyidina Ali memberikan cincinnya. Menurut Ar-Razi yang dikutip oleh Wahbah
bahwa ayat ini turun berkenaan khusus dengan Abu Bakar. Akan tetapi, pendapat yang
lebih sah adalah kejadian yang kedua.
Menurut Ibnu Abbas yang juga dikutip
oleh Wahbah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar ra. Sedangkan dalam
riwayat yang lain dalam asbab an-Nuzul dari Mujahid yang juga dikutip oleh
Wahbah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Akan
tetapi, yang paling sah bahwa sesungguhnya ayat ini adalah umum kepada semua
orang mukmin. Hal ini karena dalam ayat tersebut menggunakan kata al-ladzîna
yaitu untuk jamâ’ah. Dan yang dimaksud dengan kata waliyyukum adalah
mereka yang mempunyai sifat yang sesuai dengan ayat di atas yaitu orang yang
mendirikan salat (fardhu pada waktunya dengan hak-haknya) dan menunaikan zakat
dengan Thayyibun Nafs.
Sedangkan
menurut Thabathaba’i ayat ini juga menerangkan tentang larangan al-Wilayah
bagi ahlu al-Kitab (yaitu Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang kafir. Hal
ini karena yang berhak dalam masalah al-Wilayah adalah Allah dan Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin yang
mendirikan salat dan menunaikan zakat yaitu orang-orang yang tunduk. Termasuk
juga yang tidak berhak dalam al-Wilayah adalah orang munafik dan
orang-orang yang di dalam hatinya terdapat suatu penyakit. Dan ketetapan
wajibnya al-Wilayah adalah hanya bagi orang-orang mukmin. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam al-Qur’an yaitu QS. Al-Imran:67, QS. al-Ahzab:6, QS.
An-Anfal:72, dan QS. At-Taubah:71.
Thabathaba’i
juga mengartikan kata al-Wilayah dengan
arti penolong atau pembantu dalam masalah agama, dan orang yang bisa mengajak
orang lain seperti muballigh.
Menurut
Thabathaba’i ayat ini turun berkenaan dengan Sayyidina Ali yang bersedekah
kepada orang yang peminta-minta, sedang Sayyidina Ali berada dalam keadaan
salat (rukuk). Bahkan dalam tafsirnya ia menyebutkan bahwa Syi’ah dan Ahlu
al-Sunnah sepakat tentang riwayat ini.
Demikian pula, dalam bab bahtsu al-Rawâ-i, ia menyebutkan bahwa ayat ini
turun berkenaan dengan penetapan Sayyidina Ali ra. sebagai pemimpin, pada hari
Ghadir Khum.
Kata Ar-Rukûk adalah bermakna majazi mutlak
yaitu patuh karena Allah atau kemunduran bagi orang yang fakir, sehingga
bermakna tiadalah al-Wilayah kamu sekalian adalah terdiri dari
orang-orang Yahudi, Nasrani dan munafik. Melainkan Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin yang mendirikan salat dan menunaikan zakat (sedang ia dalam
keadaan miskin).
Selain itu, dari segi balaghah susunan
ayat ini secara dhahir adalah al-Wilayah al-Nashrah. Dalam kalimatnya
menggunakan bentuk jamak. Lazimnya jika jamak berarti yang dimaksud
adalah mufrad (satu), maka yang dimaksud dengan orang-orang yang
mendirikan salat dan menunaikan zakat adalah Ali bin Abi Thalib.
Begitu juga, menurut Tim Ahlu Bait bahwa penggunaan jamak ini untuk
mengangungkan kemuliaan Ali dan menghormati kedudukannya.
Demikian juga, adanya kata innama adalah
sebagai pembatas yang
berarti “hanyalah” yang memiliki kedekatan istimewa dalam masalah spiritual
atau metafisik dengan kaum Muslim. Sehingga yang dimaksud dari ayat ini adalah
hanyalah Allah, Rasulullah, dan Ali ra. Selain itu, kedekatan wali (pemimpin) ini
dapat mengganti semua hal yang dapat digantikan dari maula 'alaih (yang
dipimpin). Dengan pengertian semacam ini al-Wilayah dapat diartikan
sebagai penanggung jawab dan pemilik upaya (ikhtiar).
Dari satu sisi telah jelas bahwa Tuhan
adalah wali seluruh hamba dalam urusan duniawi dan akhirat mereka. Dan Dia
adalah wali kaum mukmin dalam urusan agama dan pencapaian kebahagiaan dan
kesempurnaan mereka. Rasul dengan izin Tuhan merupakan wali bagi kaum mukmin.
Sejalan dengan itu, al-Wilayah Imam Ali ra. yang dijelaskan dalam ayat
ini juga bermaksud sama seperti arti di atas, yang konsekuensinya beliau mampu
dan berhak mengelola masalah dan urusan kaum Muslim, dan beliau mendapatkan
prioritas dalam jiwa, harta, kehormatan, dan agama.
Dari sini kemudian Syi’ah berkesimpulan
bahwa ayat di atas memang memberikan petunjuk dengan jelas bahwa yang berhak
menduduki jabatan khalifah setelah Rasulullah hanya Sayyidina Ali bin Abi
Thalib. Sedangkan bagi Sunni bahwa ayat ini umum bagi orang-orang mukmin, bukan
penunjukan atas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
C.
QS. Al-Maidah: 67
Artinya: Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Menurut Wahbah Zuhaili kata yâ ayyuhâ al-Rasûlu balligh
berarti
sampaikanlah semua apa yang telah disampaikan Allah kepadaMu (menyampaikan risalah dan
melaksanakan amanah), jangan takut kepada siapa pun dan jangan takut pula untuk
dibenci oleh orang lain. Kata balligh berarti menyampaikan dakwah
islamiyah
dan memberitahukan semua apa yang telah
dijamin oleh
Allah dari hukum-hukum dan kabar bagi manusia.
Dan jika tidak disampaikan kepada manusia apa yang telah disampaikan
oleh Allah berarti tidak ada kewajiban untuk menyampaikan kepada manusia.
Padahal seorang Rasul mempunyai sifat yang wajib yaitu Tabligh
(menyampaikan) sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an QS. Al-Maidah:99:
Menurut Al-Bukhari yang dikutip oleh Wahbah bahwa Az-Zuhri berkata bahwa
Allah adalah yang memberi risalah, Rasulullah adalah yang menyampaikan risalah
dan atas kami keselamatan.
“Wa Allahu yu’shimuka min an-Nasi” berarti Allah akan menjaga, melindungi dan menjamin Nabi dari perbuatan
dosa dan pertolongan
dari musuh-musuh (pembunuhan).
Dari segi asbab an-Nuzul banyak riwayat yang menceritakan tentang ayat
ini. Di antaranya riwayat tersebut yang dikutip oleh Wahbah yaitu:
Diriwayatkan oleh Abu Syekh ibn Hibban
dari Hasan Bashri bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah
mengutusku untuk mengemban risalah kerasulan. Hal tersebut menyesakkan dadaku,
karena aku tahu bahwa orang-orang akan mendustakan risalahku. Allah akan
memerintahkan kepadaku untuk menyampaikannya, dan kalau tidak, Allah akan
menyiksaku, maka turunlah ayat ini.
Dan riwayat dari Hakim dan At-Tirmidzi dari
Aisyah ra. Menyatakan bahwa Nabi saw.
biasa dijaga oleh para pengawalnya sampai turun ayat ini. Setelah ayat ini
turun, Rasulullah menampakkan diri dari Kubah sambil bersabda: “Wahai
saudara-saudara pulanglah kalian, Allah telah menjamin keselamatanku dalam
menyebarkan dakwah ini. Sesungguhnya malam seperti ini baik untuk tidur di
tempat masing-masing.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Abu
Hurairah bahwa para sahabat pernah meninggalkan Rasulullah berhenti di dalam
perjalanan, dan beliau berteduh di bawah pohon yang besar. Ketika itu
Rasulullah menggantungkan pedangnya di pohon besar itu. Maka datanglah seorang
lak-laki dan mengambil pedang Rasul sambil berkata: “siapa yang menghalangi
engkau dariku hai Muhammad?” Rasulullah Saw. Bersabda: “Allah yang akan
melindungiku darimu. Letakkanlah pedang itu!” seketika itu juga pedang tersebut
diletakkannya kembali. Maka turun ayat ini yang menegaskan jaminan keselamatan
jiwa Rasulullah dari tangan-tangan manusia.
Menurut As-Suyuti yang dikutip oleh Wahbah bahwa ayat ini adalah ayat
Makkiyah sedangkan secara dhahir ulama masih berbeda pendapat. Sedangkan
menurut Ar-Razi yang juga dikutip oleh Wahbah bahwa kebanyakan ulama tidak tahu
terhadap riwayat ini kecuali riwayat yang pertama yaitu Allah telah memberi
keamanan kepada Nabi dari penipuan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Menurut Thabathaba’i dalam tafsirnya bahwa berdasarkan
dhahirnya, ayat ini mengandung beberapa permasalahan. Di antaranya adalah perintah Allah SWT. kepada Nabi Muhammad saw. untuk
menyampaikan dalam bentuk Tahdid
(ancaman atau menakut-nakuti) dan janji manusia kepada Nabi saw. untuk tidak
berbuat dosa. Dan juga ayat ini berkaitan dengan keadaan ahlu al-Kitab sehingga Allah mencela
mereka, sebagaimana firman Allah:
ولو أنهم أقاموا التوراة والانجيل
وما انزل إليهم من ربهم لاكلوا من فوقهم ومن تحت أرجلهم " (الاية)، وقوله
تعالى: " قل يا أهل الكتاب لستم على شئ حتى تقيموا التوراة والانجيل وما انزل
إليكم من ربكم " (الاية).
Jika ayat ini
bersambung dengan ayat sebelum dan sesudahnya berarti Allah memerintahkan Nabi saw. dengan sangat
untuk segera menyampaikan apa yang telah diturunkan-Nya.
“Wa Allahu yu’shimuka mina an-Nâsi” menurut Thabathaba’i
menunjukkan bahwa diturunkannya ayat ini adalah diperintahkan untuk segera disampaikan.
Hal ini karena adanya kekhawatiran kepada diri Nabi atau kepada agama Allah
jika tidak disampaikan. Di samping itu, adanya orang Yahudi dan Nasrani pada
masa Nabi. Jika hal ini disampaikan maka mereka bisa berpegang teguh terhadap
apa yang diperintahkan Allah sehingga mereka akan menyembah kepada Allah dan
meninggalkan perbuatan dosa.
Ayat ini turun berkenaan dengan perintah
wilayah Ali as. atau pengokohan atas Ali dan Allah memerintahkan Nabi untuk
menyampaikannya. Sedangkan Nabi takut sehingga masih menunggu waktu maka turunlah
ayat ini.
Begitu juga, menurut Tim Ahl al-Bayt bahwa ayat ini turun ketika sampai di
Ghadir Khum dalam perjalanan pulang dari haji Wadâ’. Nabi saw. diperintahkan
oleh Allah untuk mengangkat Ali sebagai khalifah sepeninggalnya. Beliau
melaksanakan perintah tersebut. Beliau melantik Ali sebagai khalifah dan
pemimpin bagi umat sepeninggalnya.
Selain itu, dijelaskan bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan suatu tugas yang teramat penting kepada Nabi Muhammad saw., yang apabila tidak
dilaksanakan (menyampaikan
apa yang telah ditunkannya) maka akan membahayakan
landasan Islam dan kenabian. Masalah ini sangat penting sehingga membuat Nabi
khawatir akan timbul perlawanan dan gangguan. Karena takut terjadi
pertentangan, Nabi pun tidak langsung menyampaikan masalah ini. Nabi menunggu
waktu yang tepat untuk melakukannya, sampai datang perintah dari Allah untuk
segara menyampaikan masalah ini tanpa harus takut terhadap siapa pun. Hal ini
bukan sekedar suatu perintah agama tertentu dalam arti biasa, karena untuk
menyampaikan satu atau beberapa ajaran agama, sehingga jika satu tidak
disampaikan maka dapat menghancurkan Islam. Bahkan Nabi Muhammad pun tidak
takut kepada siapa pun dalam mengemukakan perintah dan hukum agama.
Kata risalah
di sini berarti kumpulan tentang agama atau kira-kira ayat yang turun di awal
kejadian yang diperintahkannya. Sehingga jika benar-benar tidak disampaikan
maka agama tidak akan sempurna. Sedangkan kata “an-Nâs” meliputi orang mukmin, munafik dan orang yang dalam hatinya
terdapat penyakit.
Menurut
Ahlul Bait Indonesia bahwa ayat ini turun kepada Nabi saw. ketika sampai di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang
dari haji Wadâ’. Nabi
saw. diperintahkan oleh Allah untuk mengangkat Ali ra. sebagai khalifah
sepeninggalnya. Beliau melaksanakan perintah tersebut. Beliau melantik Ali ra.
sebagai imam dan pemimpin bagi umat sepeninggalnya.
Dari pemaparan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa mengenai definisi imamah dalam pandangan Sunni yang diwakili
oleh Tafsir Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa
al-Syarî’ah wa al-Manhaj dan Syi’ah yang diwakili oleh Tafsir al-Mizân berdasarkan
penafsiran QS. Al-Maidah:55 dan 67 adalah sama yaitu seorang imam harus
mempunyai sifat penolong dan tawakkal, terdiri dari orang mukmin bukan Ahlu
al-Kitab, orang-orang munafik dan orang yang di dalam hatinya terdapat
suatu penyakit, melakukan salat dengan sempurna rukun-rukun dan
syarat-syaratnya, menunaikan zakat (dengan ikhlas dan sesuai kepada yang
berhak menerimanya), tunduk atau merendahkan diri kepada Allah tanpa
adanya rasa gelisah, bosan dan riya’, menyampaikan dan mempunyai kemampuan
mengajak orang lain kepada jalan yang benar.
Walaupun
demikian, dari kedua mufassir ini juga memiliki
perbedaan dari segi asbab
an-Nuzul, terkait bahwa di kalangan imam Syi’ah mempunyai keistimewaan berupa
pengetahuan dan pemahaman terhadap penafsiran al-Qur’an dan hadis Nabi yang
tidak dimiliki di luar kelompok mereka. Sehingga terdapat perbedaan penafsiran
baik dalam al-Qur’an maupun hadits antara Syi’ah dan yang bukan Syi’ah.
Dari bahasan kedua mufassir di atas
setidaknya bisa dianalisa lebih mendalam bahwa pendapat antara Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husaen
Thabathaba’i dengan Wahbah Musthafa Zuhaili adalah berangkat dari
permasalahan asbab an-Nuzul.
Bagi Thabâthabâ’î, asbab an-Nuzul dari
ayat ini adalah berkenaan dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Hal ini karena
lafadz tersebut terdiri dari jamak. Lazimnya dalam penggunaan jamak berarti yang
dimaksud adalah mufrad sehingga khitabnya adalah Sayyidina Ali. Selain
itu, dalam lafadz tersebut menggunakan kata pembatas Innama yang berarti
hanya. Dan kata al-Zakat berarti bersedekah bukan menunaikan zakat, dan
orang yang memberi pada waktu itu adalah Sayyidina Ali ra. yaitu ketika ada
seorang peminta-minta dan Ali sedang salat.
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili bahwa asbab
an-Nuzul dari ayat ini ada yang mengatakan berkenaan dengan Sayyidina Ali ra.,
Abu Bakar dan orang mukmin. Akan tetapi, yang dianggap paling sah adalah
pendapat yang terakhir yaitu umum untuk semua orang mukmin. Hal ini karena kata
yang digunakan adalah al-Ladzîna yang menunjukkan untuk orang banyak.
Dalam masalah ini peneliti lebih mendukung kepada pendapatnya Wahbah
Zuhaili. Hal ini karena:
1. Ayat
ini memang menggunakan lafadz-lafadz jamak yang menunjukkan makna banyak seperti kata al-Ladzîna. Hal ini sesuai
dengan kaidah
hukum yang terdapat ketentuan al-‘Ibratu bi ‘umûmi al-Lafdzi Lâ bi Khushushi
as-Sabab, bahwa yang menjadi ketentuan adalah pengertian ayat yang bersifat
umum bukan sebab turunnya ayat, atau juga dikenal dengan âm yang tetap dengan keumumannya (al-‘âm
al-bâqî ‘alâ ‘umûmih).
Apabila di temukan ayat-ayat al-Qur’an yang konteks pembicaraannya bersifat
khusus terhadap kasus tertentu dan berkaitan dengan suatu hukum, maka ketentuan
itu tidak terbatas pada kasus itu saja,
tetapi berlaku secara umum. Hal ini di tujukan kepada setiap kasus yang
mempunyai persamaan dengan kasus khusus tersebut. Pada hakikatnya asbabun
nuzul hanyalah salah satu alat bantu berupa contoh untuk menjelaskan makna
redaksi-redaksi ayat al-Qur’an, sedangkan cakupannya tidak terbatas pada ruang
lingkup sebab turunnya suatu ayat. Dengan kata lain makna ayat tersebut tidak
dikhususkan hanya kepada pengertian yang terkait dengan peristiwa turunnya
ayat.
2. Jika
yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah satu (Ali ra.), kenapa Allah tidak
menetapkan objeknya secara jelas. Karena permasalahan tentang imamah merupakan
hal yang tidak mudah untuk diatasi. Hal ini terbukti setelah wafatnya Nabi saw.
masalah ini mengakibatkan terjadi perang dan pertumpahan darah antar sesama
saudara Islam.
3. Menurut
Qurasy Shihab kata Sampaikanlah, di sini objeknya tidak disebutkan
sehingga mempunyai arti segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran agama.
4. Menurut
Thâhir Ibnu ‘Âsyûr yang dikutip oleh Qurasy Shihab bahwa QS. Al-Maidah:67
merupakan teguran tegas kepada Nabi agar menyampaikan ajaran agama kepada ahl
al-Kitab tanpa menghiraukan kritik dan ancaman mereka. Pada hakikatnya,
teguran tegas ini tidak sejalan dengan sifat Nabi saw. yang lemah lembut, ber-mujâdalah
dengan yang terbaik.
5. Konsep
khalifah yang dipandang sesuai dengan ajaran Islam adalah konsep yang memandang
seorang pemimpin sebagai manusia biasa dan memperoleh kekuasaan dari rakyat.
Dengan demikian, penunjukan Ali berdasarkan nash tidak termasuk dalam konsep
ini. Karena dalam memilih dan memutuskan segala sesuatu, Islam memerintahkan
untuk dilakukan secara musyawarah. Apalagi dalam masalah imamah.
Namun, dari segi
asbab an-Nuzul penulis tidak memihak pada Wahbah. Karena riwayat yang digunakan
oleh kedua mufassir tersebut sanadnya tidak bersambung kecuali QS. Al-Maidah:
67 dalam tafsir al-Munîr. Hal ini karena setelah ditakhrij dari beberapa
riwayat yang terdapat pada asbab an-Nuzul tersebut maka hadits yang di
riwayatkan oleh Wahbah Zuhaili adalah bersambung kecuali riwayat yang ada pada
QS. Al-Maidah:55 yaitu dari Hasan Bashri yang tidak bersambung kepada Nabi.
Begitu juga, riwayat Thabathaba’i yang hanya sampai pada Abdurrahman bin Abi
Laila al-Anshari.
قال جابر بن عبد الله: قال عبد الله
بن سلام للنبي صلى الله عليه وسلم: إن قومنا من قريظة والنضير قد هجرونا وأقسموا
ألا يجالسونا، ولا نستطيع مجالسة أصحابك لبعد المنازل، فنزلت هذه الآية، فقال:
رضينا بالله وبرسوله وبالمؤمنين أولياء
1.
Jabir bin Abdullah
Nama aslinya
adalah Abdurrahma bin Jabir bin Abdillah al-Anshari as-Salmi al-Madani. Beliau merupakan
Thabaqat kelima dari Shigharu at-Tabi’in. Menurut Ibnu Hajar beliau
adalah orang yang jujur.
Guru
|
Murid
|
Jabir
bin Abdillah (ayahnya)
|
Jabir
bin Muhammad bin Jabir
|
Mendengar
dari Nabi saw. dkk.
|
Yahya
bin Muhammad bin Jabir, dkk.
|
2.
Abdullah bin Salam
Nama aslinya
Jabir bin Abdullah bin ‘Amr bin Haram bin Tsa’labah bin Ka’ab bin Ghanam ibn
Ka’ab Tazid bin Jasy bin Khazraj al-Anshari al-Khazraji as-Salami Abu Abdillah
atau Abdurrahman atau Abu Muhammad al-Madani. Beliau wafat tahun 70 H di
Madinah.
Guru
|
Murid
|
Nabi
Muhammad saw.
|
Abdurrahman
bin Jabir bin Abdullah (anaknya)
|
Khalid
bin Walid, dkk.
|
Abdurrahman
bin Ka’ab bin Malik, dkk.
|
أخرج أبو الشيخ ابن حيان عن الحسن البصري أن رسول الله صلى
الله عليه وسلم قال: إن الله بعثني برسالة، فضقت بها ذرعا، وعرفت أن الناس مكذبي،
فوعدني لأبلغن أو ليعذبني، فنزلت: يا أيها الرسول بلغ ما أنزل إليك
1. Abu
Syekh bin Hayyan
Nama aslinya
adalah Ja’far bin Hayyan as-Sa’di, Abu al-Asyhab al-‘Atharidi al-Bashri
al-Kharaz al-A’ma. Beliau lahir tahun 70 H dan wafat 165 H. Menurut Ibnu Hajar
dan Adz-Dzahabi beliau adalah tsiqah.
Guru
|
Murid
|
Hasan Bashri
|
Abu
al-Asyhab Ja’far bin Hayyan al-‘Athari
|
Khalid
al-‘Ashri, dkk.
|
Hasan
bin Dinar, dkk.
|
2. Hasan
Bashri
Nama aslinya
adalah Hasan bin Abi Hasan atau yâsar al-Bashri. Menurut Ibnu Hajar beliau
termasuk orang tsiqah.
Guru
|
Murid
|
Sa’id bin Abi Al-Hasan
|
Abu
al-Asyhab Ja’far bin Hayyan al-‘Athari
|
dkk.
|
Hasan
bin Dinar, dkk.
|
Di sini Hasan
Bahsri tidak bersambung kepada Nabi Muhammad saw.
Begitu juga
dengan riwayat Thabathaba’i, sebagian riwayat menyebutkan sama QS. Al-Maidah:55
dan 67 adalah tentang penetapan Sayyidina Ali sebagai pengganti Nabi. Adapun
riwayat tersebut yaitu
يونس بن أرقم،
حدثنا يزيد بن أبي زياد، عن عبد الرحمن بن أبي ليلى، قال: شهدت عليا، في الرحبة
ينشد الناس: أنشد الله من سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول يوم غدير خم:
" من كنت مولاه فعلي مولاه " لما قام فشهد، قال عبد الرحمن: فقام اثنا
عشر بدريا، كأني أنظر إلى أحدهم، فقالوا: نشهد أنا سمعنا رسول الله صلى الله عليه
وسلم يقول يوم غدير خم: " ألست أولى بالمسلمين من أنفسهم، وأزواجي أمهاتهم؟
" فقلنا: بلى يا رسول الله، قال: " فمن كنت مولاه فعلي مولاه، اللهم وال
من والاه، وعاد من عاداه "
Hadits ini terdapat dalam Musnad Ahmad
ar-Risalah juz 2 halam 962 dan juz dan Musnan Ahmad Mukhrajan juz 2 halaman 268
hadis ke 961 dan juz 32 halaman 29 hadis ke 19.279.
1. Yunus
bin Arqam al-Bashri
Yunus bin Arqam
al-Bashri adalah dari golongan Syi’ah
Guru
|
Yazid bin Abi Ziyad al-Qurasyi
|
Muhammad
bin Sirin, dkk.
|
2. Yazid
bin Abi Ziyad al-Qurasyi
Yazid lahir pada
tahun 47 H. dan wafat pada tahun 136/137 H. Beliau termasuk sebagian dari shigharu
at-Tabi’in. Menurut Ibnu Hajar beliau adalah lemah dan Syi’ah. Akan tetapi,
menurut Adz-Dzahabi beliau adalah orang yang jujur, alim dan Syi’ah.
Guru
|
Murid
|
Abdurrahman
bin Abi laila al-Anshari
|
Yunus bin
Arqam al-Bashri
|
Abu
Abdillah al-Kûfi, dkk.
|
Hibban
bin Ali, dkk.
|
3. Abdurrahman
bin Abi laila al-Anshari
Nama aslinya
adalah Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Ausi, Abu Isa al-Madani al-Kufi.
Beliau termasuk sahabat Nabi dan sebagian riwayat menyatakan beliau adalah
tsiqah.
Guru
|
Murid
|
Umar bin Khattab
|
Yazid
bin Abi Ziyad
|
Abdurrahman
bin Abi Bakar ash-Shiddiq, dkk.
|
Abu
Ishaq as-Sabi’i, dkk.
|
Selain itu, berdasarkan penafsiran kedua
ayat di atas, maka dapat dianalisa kembali antara teori kepemimpinan Wahbah
Zuhaili dan Thabathaba’i berdasarkan Teori Sifat-Sifat Dasar Kepemimpinan
Warren Bennis. Terdapat enam sifat-sifat dasar kepemimpinan menurut Warren
Bennis. Di antara keenam sifat-sifat dasar tersebut yaitu;
pertama, visioner (Guiding Vision), seorang pemimpin harus
mempunyai ide yang jelas tentang apa yang diinginkan, baik secara
profesional atau pribadi. Dan juga, mempunyai kekuatan untuk bertahan ketika mengalami
kemunduran atau kegagalan. Kedua mufassir ini sama-sama tidak membahas teori
ini.
Kedua, berkemampuan kuat (Passion).
Artinya seorang pemimpin harus mencintai apa yang dikerjakan, mempunyai
kesungguhan yang luar biasa dalam menjalani hidup yang dikombinasikan dengan
kesungguhan dalam bekerja, menjalani profesi dan bertindak. Wahbah Zuhaili
mendukung sifat ini dengan teori kepemimpinannya yaitu seorang pemimpin harus mempunyai
kemampuan mengajak orang lain kepada jalan yang benar. Hal ini menunjukkan
seorang pemimpin untuk bersungguh-sungguh dalam menjalani profesinya sebagai
pemimpin, termasuk di dalamnya adalah bertugas mengajak orang kepada jalan yang
benar.
Begitu juga, menurut Thabathaba’i bahwa seorang
pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk mengajak orang kepada agama yang
benar, karena menurutnya wilayah adalah penolong atau pembantu dalam
masalah agama dan orang yang bisa mengajak orang lain seperti muballigh.
Hal ini menunjukkan akan pentingnya sifat berkemampuan kuat bagi seorang pemimpin.
Ketiga, integritas (Integrity), seorang
pemimpin harus mempunyai pandangan atau tidak pernah kehilangan pandangan. Hal
ini bisa diperoleh dari pengetahuan sendiri dan kedewasaan. Pemimpin harus tahu
kekuatan dan kelemahannya, teguh memegang prinsip dan belajar dari pengalaman bagaimana
belajar dari dan bekerja dengan orang lain. Sifat ini juga tidak dibahas
oleh Wahbah Zuhaili dan Thabathaba’i dalam teori kepemimpinannya.
Keempat, sifat dasar
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin menurut Warren Bennis adalah amanah (Trust).
Pemimpin adalah amanah dari Allah sehingga harus menjalankan tugas
kepemimpinannya dengan baik. Dan dalam menjalankan tugas kepemimpinannya seorang
pemimpin harus mempunyai sifat amanah sehingga mendapat kepercayaan dari orang
lain. Karena tanpa kepercayaan semuanya tidak akan berjalan dengan lancar.
Dalam masalah
ini Wahbah Zuhaili dan Thabathaba’i mendukung sifat kepemimpinan ini. Hal ini
terbukti ketika menafsirkan lafadz wa hum râkiûna berarti mereka yang tunduk dan merendahkan diri kepada Allah SWT. tanpa
ada rasa gelisah, bosan dan riya’. Dan dalam teori kepemimpinannya Wahbah
mensyaratkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat tawakkal kepada
Allah. Begitu juga menurut Thabathaba’i bahwa seorang pemimpin harus mempunyai
sifat patuh kepada Allah SWT.
Kelima, sifat yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin adalah Rasa ingin tahu (Curiosity), seorang
pemimpin harus mempunyai rasa ingin tahu akan banyak hal dan ingin belajar
sebanyak mungkin. Hal ini sesuai dengan wahyu yang turun pertamakali yaitu iqra’
(perintah untuk belajar). Kedua mufassir ini juga tidak mensyaratkan sifat ini.
Sifat kepemimpinan yang terakhir dari teori Warren Bennis adalah berani (Courage),
pemimpin harus berani mengambi, resiko, bereksperimen, dan mencoba hal-hal
baru. Wahbah mendukung pendapat ini bahwa seorang pemimpin harus berani. Hal
ini terbukti ketika menafsirkan kata Balligh berarti sampaikanlah semua apa yang telah
disampaikan Allah kepadaMu (menyampaikan risalah dan
melaksanakan amanah), jangan takut kepada siapa pun dan jangan takut pula untuk
dibenci oleh orang lain. Dalam hal ini Thabathaba’i sama dengan Wahbah Zuhaili
bahwa seorang pemimpin harus berani menyampaikan apa yang telah disampaikan.
Karena jika tidak disampaikan maka risalah Allah tidak akan sampai.
Berdasarkan
hasil pemaparan di atas, maka dapat diketahui bahwa teori kepemimpinan Wahbah
Zuhaili dan Thabathaba’i yang sesuai dengan teori sifat-sifat dasar
kepemimpinan Warren Bennis adalah tiga sifat. Di antaranya adalah berkemampuan
kuat, amanah dan berani sebagaimana pembahasan di atas. Hal ini menunjukkan
bahwa di antara keduanya tidak ada yang lebih sesuai dengan teori Warren Bennis
melainkan adalah sama-sama tiga sifat
atau sebanding.
Walaupun demikian, keduanya memiliki perbedaan
yaitu di kalangan Sunni yang diwakili oleh tafsir al-Munîr Tafsir Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj bahwa seorang
pemimpin di tunjuk berdasarkan hasil musyawarah. Hal ini terlihat pada kalimat al-Ladzîna
âmanû yang menunjukkan umum atau banyak orang sehingga perlu adanya
musyawarah. Sedangkan di kalangan Syi’ah yang diwakili oleh tafsir al-Mizân
bahwa seorang pemimpin ditetapkan berdasarkan nash dari Allah. Hal ini terlihat
pada asbab an-Nuzul sebagaimana pembahasan di atas.
D.
Persamaan Dan
Perbedaan Sunni Syiah Tentang Konsep Imamah
Penafsiran terhadap al-Qur'an dan hadits antara
Sunni dan Syi’ah memiliki persamaan dan perbedaan. Hal ini karena adanya perbedaan
orientasi penafsiran yang berbeda dan karena terpengaruh dengan spesialisasi
keilmuan sang mufassir. Selain itu, adanya keistimewaan berupa
pengetahuan dan pemahaman tentang ayat-ayat
al-Qur’an dan hadits yang tidak dimiliki oleh golongan di luar mereka.
Penelitian ini mencoba menganalisa persamaan
dan perbedaan penafsiran Muhammad Wahbah Musthafa Zuhaili dan Muhammad Husein Thabathaba'i
terhadap ayat imamah yang digunakan sebagai dalil paling kuat terhadap
penunjukan seorang imam di kalangan Syi’ah.
Dari dua karya tafsir
besar, Tafsir Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj karya Muhammad Wahbah Musthafa Zuhaili dan Tafsir
al-Mizân
karya
Muhammad Husein Thabathaba'i memiliki beberapa persamaan, di antaranya:
1.
Kedua mufassir
ini sepakat bahwa ketetapan al-Wilayah adalah hanya bagi Allah,
Rasulullah, dan orang-orang mukmin. Adapun ahlu al-Kitab (Yahudi dan
Nasrani), orang-orang kafir, serta orang-orang yang di dalam hatinya terdapat
suatu penyakit, tidak berhak menjadi al-Wilayah. Karena al-Wilayah itu
pantas bagi orang mukmin.
2.
Dari segi makna al-Wilayah
adalah pengganti atau orang yang bisa menolong dalam agama Allah atau mengajak
kepada agama Allah.
3.
Seorang pemimpin harus mempunyai sifat tunduk
atau merendahkan diri kepada Allah SWT., berani dan menyampaikan apa yang telah
diperintahkan untuk disampaikan (tabligh).
4.
Seorang imam harus mempunyai kemampuan
mengajak orang lain kepada jalan yang benar.
Demikian juga, perbedaan
penafsiran yang dimiliki oleh kedua tafsir ini, yaitu:
Dari segi asbab
an-Nuzul, Wahbah Zuhaili lebih pada riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini
menunjukkan umum bagi orang-orang mukmin. Sedangkan kelompok Syi’ah yang
diwakili oleh Tafsir al-Mîzân menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ditetapkannya
Sayyidina Ali ra. sebagai pemimpin atau pengganti Nabi saw.
Dan juga, menurut Thabathaba’i
kata jamak lazimnya yang dimaksud adalah mufrad. Jadi yang dimaksud
dengan orang mukmin dalam tersebut adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau ‘am
yang dimaksud khusus. Padahal tidak semua yang jamak itu yang dimaksud adalah mufrad.
Hal ini karena
dalam
kaidah hukum terdapat ketentuan al-ibratu bi ‘umûmi al-Lafdzi lâ bi
khushushi as-Sabab,
atau ‘âm yang tetap dengan keumumannya (al-‘âm
al-bâqî ‘alâ ‘umûmih). Akan tetapi, Thabathaba’i menggunakan ‘âm
yang dimaksud khusus (al-‘âm al-Murâd bihi al-Khusûs).
Berbeda dengan Wahbah
Zuhaili tetap menggunakan ‘âm yang dimaksud adalah ‘âm. Dalam ayat
tersebut menggunakan kata al-lâdzîna yang berarti jamak sehingga yang
dimaksud adalah untuk umum.
Menurut peneliti Allah memang menyebutkan dengan jelas bahwa objek dari
ayat ini adalah orang-orang mukmin. Akan tetapi Allah tidak menentukan siapa orang
mukmin yang dimaksud oleh ayat tersebut yang berhak menjadi pengganti Nabi. Masalah
ini merupakan masalah penting, karena seorang pemimpin akan dijadikan contoh
atau suri tauladan bagi masyarakatnmya. Hal ini peneliti kutip dari pendapat
Qurasy Shihab yang menurutnya juga sesuai dengan pendapat al-Biqa’i, Fakhruddin
Ar-Razi, Sayyid Qutub.
Selain itu, tidak semua lafadz jamak yang dimaksud adalah mufrad. Karena
ada lafadz jamak yang dimaksud adalah umum kecuali ada yang mengkhususkan.
Ibn Jarir
al-Tabari, Jami’ al-Bayan 'An Ta’wil
Ayi al-Qur’an, ( Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412 H/ 1992 M), hlm.
480.