Sabtu, 04 Oktober 2014

Pangilan Hati Nurani


 Kata HATI adalah terjemahan dari Qalbun. Qalbun merupakan bentuk masdar dari akar kata qalaba – yaqlibu – qalban yang berarti membalikkan, mengubah, memalingkan, mengalami perubahan. Pemaknaan etemologis tersebut, tidak jauh dari latar belakangnya yang cendrung selalu berubah-ubah. Qalbun adalah lokus dari kebaikan dan kejelekan, kebenaran dan kesalahan. Dengan kata lain, hati (qalbu) menunjukkan sentralitas dalam diri manusia sebagai pusat keperibadian dan membuat manusia menjadi manusia.
Secara terminologi HATI mempunyai dua makna; yaitu hati dalam bentuk fisik dan hati dalam bentuk ruh atau lathifah.  Dalam arti fisik, hati dapat diartikan sebagai sepotong daging (jantung) yang terletak pada dada sebelah kiri dalam tubuh manusia. Ia yang disebutnya sangat menentukan kualitas manusia. Apakah akan menjadi manusia baik atau buruk dan di sana pula terdapat pusat ruh.
Sedangkan makna yang kedua, yaitu hati dalam bentuk ruh atau lathifah adalah sesuatu yang halus, tidak kasat mata, tidak dapat diraba, bersifat rohani robbani meski ada juga hubungannya dengan hati. Lathifah tersebut merupakan hakikat dari diri seorang manusia. Ia adalah salah satu komponen manusia yang berpotensi melakukan peng-idrak-kan (memahami, menyerap, atau mempersepsikan) atas segala hal yang ditujukan kepadanya dan akan dimintai pertangung jawaban.
Dalam kaitannya denga hati ini, Rasulullah saw bersabda: Ingatlah bahwa dalam tubuh manusia tersapat sepotong daging (mudghoh), apabila ia baik maka akan baiklah seluruh tubuhnya dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ingatlah...!! sepotong daging itu adalah hati.
Dalam hadits di atas, yang dimaksud dengan hati bukanlah hati yang berbentuk fisik yang berfungsi sebagai penyaring racun dalam tubuh, bukan hati yang berdenyut tenag dikala seseorang merasakan ketenangan dan bukan pula hati yang berdenyut kencang disaat mengalami kekacauan. Tetapi hati yang dimaksud adalah hati yang dapat mengantarkan seseorang pada suatu keadaan yang penuh ketenangan, kedamaian, ketentraman, dan bahkan pada sebuah keadaan yang dapat mengantarkan pada cinta abadi dengan Allah swt adalah hati yang lebih kasat mata, ruh atau lathifah.
Banyak hadits Nabi yang membicarakan tentang hati. Diantaranya adalah hadits yang berbunyi: Hati itu bagaikan raja dan raja itu mempunyai bala tentara. Apabila raja itu baik maka baiklah seluruh bala tentaranya dan apabila raja itu buruk maka buruklah seluruh bala tentaranya. (Kanzul Ummal, Hadis ke 1205).
Ketika Nabi menggambarkan “hati dengan raja”, beliau juga melambangkan hati dalam jiwa. Sebagaimana raja memiliki peranan penting dalam memimpin bala tentaranya. Raja itulah yang memerintahkan bala tentaranya untuk bergerak pada arah yang dikehendakinya, baik mengarah pada hal yang baik atau hal yang buruk, begitu juga hati. Ia memegang peranan penting dalam menjaga kesehatan rohani manusia. Apabila hati baik maka rohani akan baik dan apabila hati rusak maka juga akan berakibat rusak bagi rohani. Dengan demikian, tidak terlalu berlebihan, apabila hati disebut sebagai barometer dari segala tindakan manusia.
Untuk menyukseskan program hati yang telah direncanakan agar dapat memancarkan cahaya ketenangan, kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan sehari-hari maka hati butuh makanan sebagaimana tubuh manusia butuh makan. Karena hati bersifat abstrak maka makanannya pun bersifat abstrak, berbeda dengan tubuh manusia yang bersifat konkrit. Kalau makanan manusia berbentuk konktrit seperti nasi, roti, keju dan susu segar untuk menyegarkan tubuh. Tetapi, makan untuk hati dapat dilakukan berupa dzikrullah (banyak mengingat Allah).
Mendapatkan ketenangan, kedamaian, dan ketentraman harus diusahakan lahir dan batin. Secara lahir kita harus menghindari hal-hal yang membuat kesusahan. Atau hal-hal yang menimbulkan hati gelisah, seperti dalam masalah dunia selalu melihat orang yang lebih tinggi, lebih kaya dari kita. Sedangkan mencari ketenangan dan kedamaian secara bathiniyah maka harus selalu memperbanyak dzikrullah dan disertai ikhiyar.
Di sini, perlu kesadaran dari setiap manusia untuk menyelami lebih jauh kesadaran akan ruh Ilahi dalam jiwa manusia, akan terus menerus membawa manusia pada gerak-gerik jiwa agar senantiasa selaras dengan hasrat dan kehendak Ilahi Robby. Agar keselarasan itu muncul, maka seluruh tata cara komunikasi dengan Allah swt melalui tradisi sufi terus dieksplorasi agar baitullah (baca: hati) itu tetap bercahaya dalam jiwanya. Sehingga seluruh elemen-elemen kejiwaan seseorang (fikiran, akal, lubuk, ruh dan sirr) senantiasa disiram cahaya Ilahi,  maka harus ada getaran-getaran hati yang mengerakkan listrik cahaya dalam jiwa, yaitu dzikrullah.
Allah swt berfirman dalam surat ar Ra’du ayat 28 dijelaskan bahwa: ...(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah (dzikrullah). Ingatlah....! hanya dengan mengingat Allah swt hati akan menjadi tentram.
Dalam ayat dia atas menggambarkan bahwa cara memperoleh ketentraman hati adalah dengan memperbanyak dzikrullah, tetapi tidak semua dzikir itu dapat menentramkan hati. Karena itu, syarat dzikir yang dapat menentramkan hati seseorang adalah dzikir orang-orang yang beriman (mu’min). Jadi, orang yang tidak beriman tidak masuk dalam cakupan ayat ini. Artinya, orang yang tidak beriman hatinya tidak akan tentram dengan berdzikir.
Oleh karena itu, kalau kita yakin bahwa dalam jiwa ini masih ada benih keimanan maka jangan mencari kedamaian dan ketentraman pada jabatan yang dimiliki, harta yang berlimpah ruah dan godaan kehidupan dunia yang bersifat sementara semata. Ketentraman hanya dapat diperoleh dengan memperbanyak dzikrullah kepada Allah swt. Karena ketentraman ada hubungannya dengan keimanan seseorang. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt dalam surat al Fath ayat 4, yakni: Dialah yang telah menurunkan ketentraman dalam hati orang-orang yang beriman supaya keimanan mareka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada).....
Untuk mengenali seseorang, apakah hatinya tentram atau tidak maka dapat dikenali dari segala tingkah laku fisik mereka. Karena tingkah laku seseorang bersumber dari panggilan atau bisikan hatinya. Bagi orang yang bertingkah laku Qur’ani, berarti hatinya sedang tentram dan bagi orang yang tingkah laku syaithoni maka dalam hatinya tidak  ada rasa tentram yang menyelimutinya. Na’udzu billahi min dzalik.....

Konsep Imamah Sunni Vs Syi'ah 4


 
A.    Kesimpulan
       Dari semua bahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
1.         Penafsiran makna "imam" menurut Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munir adalah pengganti sedangkan menurut Thabathaba’i dalam tafsir  al-Mizân fi Tafsir al-Quran adalah orang yang bisa menolong untuk mendekatkan diri kepada Allah (al-Wilayah al-Nashirah).
       Adapun yang berhak dalam masalah wilayah menurut Wahbah Zuhaili adalah Allah dan Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin (auliyâullah) yang mendirikan salat (secara sempurna syarat dan rukunnya pada waktunya), menunaikan zakat (memberi dengan ikhlas kepada yang berhak) dan tunduk terhadap semua perintah Allah tanpa ada rasa bosan, gelisah dan riya’. Dan orang ahlu al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang kafir tidak boleh menjadi pemimpin.              Sedangkan menurut Thabathaba’i adalah Allah dan Rsul-Nya, orang mukmin yang mendirikan salat dan menunaikan zakat serta tunduk. Atau orang yang menolong atau mengajak orang lain kepada jalan Agama Allah. Dan juga selain ahlu al-kitab orang-orang kafir, orang munafik dan orang yang di dalam hatinya terdapat suatu penyakit maka tidak boleh mnjadi pemimpin.
2.         Adapun perbedaan pendapat antara Thabâthâba’î dengan Wahbah Zuhaili adalah berangkat dari permasalahan asbab an-Nuzul. Bagi Thabâthabâ’î, asbab an-Nuzul dari ayat ini adalah berkenaan dengan penunjukan Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Nabi Muhammad saw. Sedangkan menurut Thabathaba’i ayat ini berkenaan dengan orang-orang mukmin.
       Hal ini karena menurut Thabathaba’i bahwa lafadz tersebut terdiri dari jamak dan lazimnya jika jamak berarti yang dimaksud adalah mufrad sehingga khitabnya adalah Sayyidina Ali. Dan penggunaan jamak ini untuk mengangungkan kemuliaan Ali dan menghormati kedudukannya. Selain itu, dalam lafadz tersebut menggunakan kata pembatas Innama yang berarti “hanya”.        Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili ayat ini menunjukkan umum yang meliputi semua orang mukmin. Hal ini karena kata al-Ladzîna adalah menunjukkan jamak. Dan sesuai dengan kaidah hukum yang terdapat ketentuan بخصص السبب اللفط لا العبرة بعموم, bahwa yang menjadi ketentuan adalah pengertian ayat yang bersifat umum bukan sebab turunnya ayat, atau juga dikenal dengan âm yang tetap dengan keumumannya (al-‘âm al-bâqî ‘alâ ‘umûmih). Apabila di temukan ayat-ayat al-Quran yang konteks pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu dan berkaitan dengan suatu hukum, maka ketentuan itu tidak terbatas  pada kasus itu saja, tetapi berlaku secara umum. Hal ini di tujukan kepada setiap kasus yang mempunyai persamaan dengan kasus khusus tersebut. Karena pada  hakikatnya asbabun nuzul hanyalah salah satu alat bantu berupa contoh untuk menjelaskan makna redaksi-redaksi ayat al-Quran, sedangkan cakupannya tidak terbatas pada ruang lingkup sebab turunnya suatu ayat. Dengan kata lain makna ayat tersebut tidak dikhususkan hanya kepada pengertian yang terkait dengan peristiwa turunnya ayat.
        Pada QS. Al-Maidah: 67, Nabi saw. diperintah untuk segera menyampaikan kepada manusia apa yang telah diterima Nabi dari Allah. Di sini tidak ada penunjukan secara jelas tentang kepemimpinan Sayyidina Ali ra.
        Walaupun demikian, riwayat yang digunakan oleh kedua mufassir dalam asbab an-Nuzul adalah tidak bersambung kepada Nabi kecuali QS.al-Maidah:67 dalam tafsir al-Munîr.

B.     Saran-Saran
       Penulisan skripsi ini telah  selesai dibuat. Namun, tak ada gading yang tak retak. Begitu juga dengan penulisan skripsi ini, masih banyak kesalahan yang terdapat dalam skripsi ini. Karena ketidak sempurnaan ini, maka penulis membutuhkan saran-saran demi terciptanya skripsi yang sempurna.
        Bagi para peneliti selanjutnya, hendaknya dapat melakukan penelitian lebih mendalam lagi terhadap tema ini, terutama berkaitan dengan metode penafsiran, orientasi, dan kecenderungan serta mengkaji latar belakang pola pemikiran masing-masing secara mendalam. Selain melakukan penelitian perbandingan juga menguji kebenaran hasil penafsiran para mufassir, sehingga akan bermanfaat bagi tambahnya khazanah keilmuan di bidang tafsir dan hadis.
       Untuk seluruh kalangan yang terjun dan menggeluti kajian tafsir al-Quran dan hadis, hendaknya lebih giat lagi dalam mengadakan kajian-kajian dengan menggali karya-karya ulama salaf agar dapat memperoleh pemahaman yang baik dalam menggali sumber-sumber ajaran Islam serta bermanfaat bagi masyarakat.


Konsep Imamah Sunni Vs Syi'ah 3

ANALISIS AYAT IMAMAH MENURUT SUNNI DAN SYI’AH

       Setiap manusia adalah pemimpin. Karena manusia dijadikan oleh Allah di muka bumi sebagai khalifah. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an QS. Al-Baqarah: 30 yaitu:
  Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
       Demikian juga, dalam hukum Allah (Sunnatullah) telah menetapkan, bahwa dalam setiap bentuk makhluk yang diciptakan Allah, pasti ada yang memimpin dan ada yang dipimpin, ada yang mengatur dan ada yang diatur. Hal ini agar pemikiran-pemikiran tidak tumpang tindih dan keinginan-keinginan tidak simpang siur, yang mengakibatkan keretakan kerukunan, putus tali kasih sayang, serta pudar persatuan dan perselisihan. Selain itu, seorang pemimpin bisa dijadikan tempat untuk mengadukan berbagai kesulitan.[1]
       Dengan demikian, maka seorang pemimpin hendaknya bisa meniru kepemimpinan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. misalnya ketika  di Madinah Nabi saw. merupakan orang pertama yang sangat berperan dalam rangka memakmurkan kota Madinah yakni menjadi pemimpin masyarakat kota tersebut. Beliau berhasil membangun masyarakat Madinah dengan peradaban baru, serta menjadikan kota Madinah sebagai suatu model kerukunan antar agama dan etnis  yang sangat beragam.
       Di dalamnya ada kaum pendatang (Muhajirin) dan penduduk asli. Di antara penduduk asli tersebut ada yang muslim (Anshar) dan non muslim. Di kalangan muslim ada yang benar-benar tulus dan ada yang munafik di bawah pimpinan Abdullah ibn Ubay ibn Salul. Sedangkan di kalangan non muslim ada yang menganut Paganisme, Nasrani dan Yahudi.[2] Walaupun demikian, Nabi Muhammad saw. mampu memimpin kota Madinah dengan baik. Oleh karena itu, dalam memilih seorang pemimpin hendaknya memilih pemimpin yang sekiranya pantas untuk menjadi pemimpin. Walaupun dalam masalah imamah terjadi perselisihan di berbagai aliran seperti Sunni dan Syi’ah.
       Menurut kelompok Syi’ah yang diwakili oleh tafsir al-Mîzân karya Thabathaba’i bahwa yang berhak menjadi pengganti Nabi saw. adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan hal ini ditetapkan berdasarkan nash dari Allah. Sedangkan bagi kelompok Sunni yang diwakili oleh tafsir al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj karangan Wahbah Zuhaili bahwa yang berhak menjadi pengganti Nabi adalah orang-orang mukmin. Dan beliau tidak menetapkan seorang imam harus berdasarkan nash.
       Dan sebagian ulama Mutakallimin sebagaimana yang dikutip Al-Imam Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari, bahwa imam ditetapkan melalui syûra atau ahlul aqdi.[3] Hal ini jelas bahwa di kalangan Sunni percaya bahwa imam adalah seorang manusia biasa yang bisa berbuat kesalahan (tidak ma’shum), dan diperoleh berdasarkan musyawarah.
       Sedangkan bagi kelompok Syi’ah bahwa pengangkatan seorang imam merupakan bagian dari ajaran aqidah Syi’ah yaitu kenabian yang memunculkan prinsip imamah. Hal ini karena kebijakan Tuhan menuntut perlu adanya seorang imam setelah wafatnya para Nabi untuk membimbing umat Islam dan memelihara kemurnian ajaran para Nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menjelaskan tentang kebutuhan yang dibutuhkan zaman dan menyeru umat manusia pada ajaran yang telah dibawa oleh Nabi.
       Untuk mencermati ayat tersebut, penulis akan menyebutkan dua ayat sebagai berikut.

A.    Pengertian Imam menurut Sunni Syi’ah
       Kata imâm menurut bahasa berarti orang yang diikuti (baik pemimpin formal atau bukan), komandan, pemimpin dan pemuka. Sedangkan kata imâmah berarti imamah atau kepemimpinan. Dan kata al-Imâmah berarti kepemimpinan umum dan kekhalifahan.[4] Adapun imam Islam berarti khalifah.
       Hal ini sesuai dengan Sunni yang menamakan pengganti Nabi dengan khalifah, sedangkan kaum Syi’ah menamakannya dengan imam. Tidak hanya dari segi nama yang berbeda, akan tetapi, keadaan dan fungsinya pun juga berbeda. Syi’ah berkeyakinan bahwa imam adalah pengganti Nabi dalam segala hal, baik sebagai kepala negara ataupun imam agama sebagai imam rohaniyah. Menurut Thabathaba’i imam adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang memegang pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik, atau suatu aliran pemikiran politik keilmuan atau keagamaan. Terdapat tiga hal dalam keimamahan mnurut Syi’ah yaitu pemerintahan Islam, pengetahuan dan ketentuan-ketentuan Islam dan kepemimpinan dan bimbingan pembaharuan kehidupan kerohanian Islam Syi’ah berkayakinan. Karena masyarakat Islam sangat memerlukan bimbingan dalam tiga aspek ini.[5] Menurut Ibrahim al-Amini dari kaum Syi’ah menyatakan bahwa secara bahasa al-Imâmah berarti al-Qiyâdatu wa al-Riyâdah, maka setiap orang yang mengikutinya dari segi pemikiran dan perbuatannya maka ia adalah imam baginya.[6] Menurut Taufik Abdullah yang dikutip oleh Candiki Repantu bahwa secara istilah, imam adalah seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan juga dunia sekaligus.[7]
        Sedangkan khalifah menurut Sunni adalah orang biasa, sekedar pengganti Nabi saw. dalam urusan mengurus soal-soal agama dan pemerintahan, dan juga orang biasa yang bisa membuat kesalahan.[8] Menurut At-Thabari khalifah adalah Adam dan orang yang ta’at kepada Allah, bijaksana dan adil di antara makhluknya. Adapun kalau rusak maka bukan Adam dan bukan orang yang ta’at kepada Allah.[9] Menurut Qurasy Shihab bahwa imam adalah pemimpin dan teladan.[10] Dengan dmikian jelas bahwa antara Sunni dan Syi’ah berbeda tentang maksud kata imam. Di kalangan Sunni imam dinamakan khalifah sedangkan di kalangan Syi’ah imam tetap disebut imam yang memegang segala urusan baik urusan agama maupun dunia.
      
B.     QS. Al-Maidah: 55
Artinya: Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).[11]

      Menurut As-Salus yang dikutip oleh Tim Penulis Pustaka Sidogiri bahwa kaum Syi’ah menamakan ayat ini dengan ayat al-Wilâyah. Hal ini karena ayat tersebut merupakan dalil yang paling kuat menunjukkan atas kepemimpinan Sayyidina Ali setelah Nabi saw.[12]
       Menurut Wahbah Zuhaili kata Innamâ waliyyukumullâhu  berarti bahwa yang menolong dan menentukan kamu sekalian pada jalan yang benar adalah Allah. Sedangkan al-Wilayah adalah pengganti-Nya atas jalan yang diikuti dan dhahir. Sedangkan kata wa hum râkiûna berarti mereka yang khusuk dan tunduk. Dalam ayat sebelumnya Allah melarang al-Muwâlah bagi orang-orang kafir. Pada ayat ini Allah memerintahkan al-Muwalah kepada Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Artinya orang-orang Yahudi tidak berhak menjadi pemimpin dan penolong kamu sekalian. Karena yang bisa menjadi pemimpin dan penolong kepada jalan kebenaran adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang melaksanakan salat (dengan sempurna rukun-rukun dan syarat-syaratnya), menunaikan zakat (dengan ikhlas dan sesuai kepada yang berhak menerimanya) dan tunduk kepada perintah Allah tanpa ada rasa gelisah, bosan dan riya’. Karena barang siapa yang menolong agama Allah dengan iman dan tawakkal kepada-Nya, menolong Rasulullah dan orang-orang mukmin tanpa ada permusuhan maka ia akan selamat di dunia dan akhirat.[13]
      Dari segi asbab an-Nuzul ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib yang pada waktu itu datang seorang peminta-minta pada Sayyidina Ali, padahal Sayyidina Ali sedang rukuk, kemudian Sayyidina Ali memberikan cincinnya. Menurut Ar-Razi yang dikutip oleh Wahbah bahwa ayat ini turun berkenaan khusus dengan Abu Bakar. Akan tetapi, pendapat yang lebih sah adalah kejadian yang kedua.[14]
       Menurut Ibnu Abbas yang juga dikutip oleh Wahbah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar ra. Sedangkan dalam riwayat yang lain dalam asbab an-Nuzul dari Mujahid yang juga dikutip oleh Wahbah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Akan tetapi, yang paling sah bahwa sesungguhnya ayat ini adalah umum kepada semua orang mukmin. Hal ini karena dalam ayat tersebut menggunakan kata al-ladzîna yaitu untuk jamâ’ah. Dan yang dimaksud dengan kata waliyyukum adalah mereka yang mempunyai sifat yang sesuai dengan ayat di atas yaitu orang yang mendirikan salat (fardhu pada waktunya dengan hak-haknya) dan menunaikan zakat dengan Thayyibun Nafs.[15]
       Sedangkan menurut Thabathaba’i ayat ini juga menerangkan tentang larangan al-Wilayah bagi ahlu al-Kitab (yaitu Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang kafir. Hal ini karena yang berhak dalam masalah al-Wilayah adalah Allah dan Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin yang mendirikan salat dan menunaikan zakat yaitu orang-orang yang tunduk. Termasuk juga yang tidak berhak dalam al-Wilayah adalah orang munafik dan orang-orang yang di dalam hatinya terdapat suatu penyakit. Dan ketetapan wajibnya al-Wilayah adalah hanya bagi orang-orang mukmin. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an yaitu QS. Al-Imran:67, QS. al-Ahzab:6, QS. An-Anfal:72, dan QS. At-Taubah:71.[16]
       Thabathaba’i juga mengartikan kata al-Wilayah dengan arti penolong atau pembantu dalam masalah agama, dan orang yang bisa mengajak orang lain seperti muballigh.[17]
       Menurut Thabathaba’i ayat ini turun berkenaan dengan Sayyidina Ali yang bersedekah kepada orang yang peminta-minta, sedang Sayyidina Ali berada dalam keadaan salat (rukuk). Bahkan dalam tafsirnya ia menyebutkan bahwa Syi’ah dan Ahlu al-Sunnah sepakat tentang riwayat ini.[18] Demikian pula, dalam bab bahtsu al-Rawâ-i, ia menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan penetapan Sayyidina Ali ra. sebagai pemimpin, pada hari Ghadir Khum.[19]
       Kata Ar-Rukûk adalah bermakna majazi mutlak yaitu patuh karena Allah atau kemunduran bagi orang yang fakir, sehingga bermakna tiadalah al-Wilayah kamu sekalian adalah terdiri dari orang-orang Yahudi, Nasrani dan munafik. Melainkan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin yang mendirikan salat dan menunaikan zakat (sedang ia dalam keadaan miskin).
       Selain itu, dari segi balaghah susunan ayat ini secara dhahir adalah al-Wilayah al-Nashrah. Dalam kalimatnya menggunakan bentuk jamak. Lazimnya jika jamak berarti yang dimaksud adalah mufrad (satu), maka yang dimaksud dengan orang-orang yang mendirikan salat dan menunaikan zakat adalah Ali bin Abi Thalib.[20] Begitu juga, menurut Tim Ahlu Bait bahwa penggunaan jamak ini untuk mengangungkan kemuliaan Ali dan menghormati kedudukannya.[21]
       Demikian juga, adanya kata innama adalah sebagai pembatas yang berarti “hanyalah” yang memiliki kedekatan istimewa dalam masalah spiritual atau metafisik dengan kaum Muslim. Sehingga yang dimaksud dari ayat ini adalah hanyalah Allah, Rasulullah, dan Ali ra. Selain itu, kedekatan wali (pemimpin) ini dapat mengganti semua hal yang dapat digantikan dari maula 'alaih (yang dipimpin). Dengan pengertian semacam ini al-Wilayah dapat diartikan sebagai penanggung jawab dan pemilik upaya (ikhtiar).[22]
       Dari satu sisi telah jelas bahwa Tuhan adalah wali seluruh hamba dalam urusan duniawi dan akhirat mereka. Dan Dia adalah wali kaum mukmin dalam urusan agama dan pencapaian kebahagiaan dan kesempurnaan mereka. Rasul dengan izin Tuhan merupakan wali bagi kaum mukmin. Sejalan dengan itu, al-Wilayah Imam Ali ra. yang dijelaskan dalam ayat ini juga bermaksud sama seperti arti di atas, yang konsekuensinya beliau mampu dan berhak mengelola masalah dan urusan kaum Muslim, dan beliau mendapatkan prioritas dalam jiwa, harta, kehormatan, dan agama.[23]
       Dari sini kemudian Syi’ah berkesimpulan bahwa ayat di atas memang memberikan petunjuk dengan jelas bahwa yang berhak menduduki jabatan khalifah setelah Rasulullah hanya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Sedangkan bagi Sunni bahwa ayat ini umum bagi orang-orang mukmin, bukan penunjukan atas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.

C.    QS. Al-Maidah: 67
         Artinya: Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
       Menurut Wahbah Zuhaili kata yâ ayyuhâ al-Rasûlu balligh berarti sampaikanlah semua apa yang telah disampaikan Allah kepadaMu (menyampaikan risalah dan melaksanakan amanah), jangan takut kepada siapa pun dan jangan takut pula untuk dibenci oleh orang lain. Kata balligh berarti menyampaikan dakwah islamiyah dan memberitahukan semua apa yang telah dijamin oleh Allah dari hukum-hukum dan kabar bagi manusia.
      Dan jika tidak disampaikan kepada manusia apa yang telah disampaikan oleh Allah berarti tidak ada kewajiban untuk menyampaikan kepada manusia. Padahal seorang Rasul mempunyai sifat yang wajib yaitu Tabligh (menyampaikan) sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an QS. Al-Maidah:99:
       Menurut Al-Bukhari yang dikutip oleh Wahbah bahwa Az-Zuhri berkata bahwa Allah adalah yang memberi risalah, Rasulullah adalah yang menyampaikan risalah dan atas kami keselamatan.
        Wa Allahu yu’shimuka min an-Nasiberarti Allah akan menjaga, melindungi dan menjamin Nabi dari perbuatan dosa dan pertolongan dari musuh-musuh (pembunuhan).[24]
       Dari segi asbab an-Nuzul banyak riwayat yang menceritakan tentang ayat ini. Di antaranya riwayat tersebut yang dikutip oleh Wahbah yaitu:
       Diriwayatkan oleh Abu Syekh ibn Hibban dari Hasan Bashri bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengutusku untuk mengemban risalah kerasulan. Hal tersebut menyesakkan dadaku, karena aku tahu bahwa orang-orang akan mendustakan risalahku. Allah akan memerintahkan kepadaku untuk menyampaikannya, dan kalau tidak, Allah akan menyiksaku, maka turunlah ayat ini.  
       Dan riwayat dari Hakim dan At-Tirmidzi dari Aisyah ra. Menyatakan bahwa  Nabi saw. biasa dijaga oleh para pengawalnya sampai turun ayat ini. Setelah ayat ini turun, Rasulullah menampakkan diri dari Kubah sambil bersabda: “Wahai saudara-saudara pulanglah kalian, Allah telah menjamin keselamatanku dalam menyebarkan dakwah ini. Sesungguhnya malam seperti ini baik untuk tidur di tempat masing-masing.
       Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Abu Hurairah bahwa para sahabat pernah meninggalkan Rasulullah berhenti di dalam perjalanan, dan beliau berteduh di bawah pohon yang besar. Ketika itu Rasulullah menggantungkan pedangnya di pohon besar itu. Maka datanglah seorang lak-laki dan mengambil pedang Rasul sambil berkata: “siapa yang menghalangi engkau dariku hai Muhammad?” Rasulullah Saw. Bersabda: “Allah yang akan melindungiku darimu. Letakkanlah pedang itu!” seketika itu juga pedang tersebut diletakkannya kembali. Maka turun ayat ini yang menegaskan jaminan keselamatan jiwa Rasulullah dari tangan-tangan manusia.[25]
       Menurut As-Suyuti yang dikutip oleh Wahbah bahwa ayat ini adalah ayat Makkiyah sedangkan secara dhahir ulama masih berbeda pendapat. Sedangkan menurut Ar-Razi yang juga dikutip oleh Wahbah bahwa kebanyakan ulama tidak tahu terhadap riwayat ini kecuali riwayat yang pertama yaitu Allah telah memberi keamanan kepada Nabi dari penipuan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
       Menurut Thabathaba’i dalam tafsirnya bahwa berdasarkan dhahirnya, ayat ini mengandung beberapa permasalahan. Di antaranya adalah perintah Allah SWT. kepada Nabi Muhammad saw. untuk menyampaikan dalam bentuk Tahdid (ancaman atau menakut-nakuti) dan janji manusia kepada Nabi saw. untuk tidak berbuat dosa. Dan juga ayat ini berkaitan dengan keadaan ahlu al-Kitab sehingga Allah mencela mereka, sebagaimana firman Allah:
ولو أنهم أقاموا التوراة والانجيل وما انزل إليهم من ربهم لاكلوا من فوقهم ومن تحت أرجلهم " (الاية)، وقوله تعالى: " قل يا أهل الكتاب لستم على شئ حتى تقيموا التوراة والانجيل وما انزل إليكم من ربكم " (الاية).
Jika ayat ini bersambung dengan ayat sebelum dan sesudahnya berarti Allah memerintahkan Nabi saw. dengan sangat untuk segera menyampaikan apa yang telah diturunkan-Nya.[26]
       “Wa Allahu yu’shimuka mina an-Nâsi”  menurut Thabathaba’i menunjukkan bahwa diturunkannya ayat ini adalah diperintahkan untuk segera disampaikan. Hal ini karena adanya kekhawatiran kepada diri Nabi atau kepada agama Allah jika tidak disampaikan. Di samping itu, adanya orang Yahudi dan Nasrani pada masa Nabi. Jika hal ini disampaikan maka mereka bisa berpegang teguh terhadap apa yang diperintahkan Allah sehingga mereka akan menyembah kepada Allah dan meninggalkan perbuatan dosa.[27]
       Ayat ini turun berkenaan dengan perintah wilayah Ali as. atau pengokohan atas Ali dan Allah memerintahkan Nabi untuk menyampaikannya. Sedangkan Nabi takut sehingga masih menunggu waktu maka turunlah ayat ini.[28] Begitu juga, menurut Tim Ahl al-Bayt bahwa ayat ini turun ketika sampai di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang dari haji Wadâ’. Nabi saw. diperintahkan oleh Allah untuk mengangkat Ali sebagai khalifah sepeninggalnya. Beliau melaksanakan perintah tersebut. Beliau melantik Ali sebagai khalifah dan pemimpin bagi umat sepeninggalnya.[29]
Selain itu, dijelaskan bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan suatu tugas yang teramat penting kepada Nabi Muhammad saw., yang apabila tidak dilaksanakan (menyampaikan apa yang telah ditunkannya) maka akan membahayakan landasan Islam dan kenabian. Masalah ini sangat penting sehingga membuat Nabi khawatir akan timbul perlawanan dan gangguan. Karena takut terjadi pertentangan, Nabi pun tidak langsung menyampaikan masalah ini. Nabi menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya, sampai datang perintah dari Allah untuk segara menyampaikan masalah ini tanpa harus takut terhadap siapa pun. Hal ini bukan sekedar suatu perintah agama tertentu dalam arti biasa, karena untuk menyampaikan satu atau beberapa ajaran agama, sehingga jika satu tidak disampaikan maka dapat menghancurkan Islam. Bahkan Nabi Muhammad pun tidak takut kepada siapa pun dalam mengemukakan perintah dan hukum agama.[30]
Kata risalah di sini berarti kumpulan tentang agama atau kira-kira ayat yang turun di awal kejadian yang diperintahkannya. Sehingga jika benar-benar tidak disampaikan maka agama tidak akan sempurna. Sedangkan kata “an-Nâsmeliputi orang mukmin, munafik dan orang yang dalam hatinya terdapat penyakit.
Menurut Ahlul Bait Indonesia bahwa ayat ini turun kepada Nabi saw. ketika sampai di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang dari haji Wadâ’. Nabi saw. diperintahkan oleh Allah untuk mengangkat Ali ra. sebagai khalifah sepeninggalnya. Beliau melaksanakan perintah tersebut. Beliau melantik Ali ra. sebagai imam dan pemimpin bagi umat sepeninggalnya.[31]
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa mengenai definisi imamah dalam pandangan Sunni yang diwakili oleh Tafsir Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj dan Syi’ah yang diwakili oleh Tafsir al-Mizân berdasarkan penafsiran QS. Al-Maidah:55 dan 67 adalah sama yaitu seorang imam harus mempunyai sifat penolong dan tawakkal, terdiri dari orang mukmin bukan Ahlu al-Kitab, orang-orang munafik dan orang yang di dalam hatinya terdapat suatu penyakit, melakukan salat dengan sempurna rukun-rukun dan syarat-syaratnya, menunaikan zakat (dengan ikhlas dan sesuai kepada yang berhak menerimanya), tunduk atau merendahkan diri kepada Allah tanpa adanya rasa gelisah, bosan dan riya’, menyampaikan dan mempunyai kemampuan mengajak orang lain kepada jalan yang benar.
Walaupun demikian, dari kedua mufassir ini juga memiliki  perbedaan  dari segi asbab an-Nuzul, terkait bahwa di kalangan imam Syi’ah mempunyai keistimewaan berupa pengetahuan dan pemahaman terhadap penafsiran al-Qur’an dan hadis Nabi yang tidak dimiliki di luar kelompok mereka. Sehingga terdapat perbedaan penafsiran baik dalam al-Qur’an maupun hadits antara Syi’ah dan yang bukan Syi’ah.
       Dari bahasan kedua mufassir di atas setidaknya bisa dianalisa lebih mendalam bahwa pendapat antara Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husaen Thabathaba’i dengan Wahbah Musthafa Zuhaili adalah berangkat dari permasalahan asbab an-Nuzul.
       Bagi Thabâthabâ’î, asbab an-Nuzul dari ayat ini adalah berkenaan dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Hal ini karena lafadz tersebut terdiri dari jamak. Lazimnya dalam penggunaan jamak berarti yang dimaksud adalah mufrad sehingga khitabnya adalah Sayyidina Ali. Selain itu, dalam lafadz tersebut menggunakan kata pembatas Innama yang berarti hanya. Dan kata al-Zakat berarti bersedekah bukan menunaikan zakat, dan orang yang memberi pada waktu itu adalah Sayyidina Ali ra. yaitu ketika ada seorang peminta-minta dan Ali sedang salat.
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili bahwa asbab an-Nuzul dari ayat ini ada yang mengatakan berkenaan dengan Sayyidina Ali ra., Abu Bakar dan orang mukmin. Akan tetapi, yang dianggap paling sah adalah pendapat yang terakhir yaitu umum untuk semua orang mukmin. Hal ini karena kata yang digunakan adalah al-Ladzîna yang menunjukkan untuk orang banyak.
       Dalam masalah ini peneliti lebih mendukung kepada pendapatnya Wahbah Zuhaili. Hal ini karena:
1.      Ayat ini memang menggunakan lafadz-lafadz jamak yang menunjukkan makna banyak seperti kata al-Ladzîna. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum yang terdapat ketentuan al-‘Ibratu bi ‘umûmi al-Lafdzi Lâ bi Khushushi as-Sabab, bahwa yang menjadi ketentuan adalah pengertian ayat yang bersifat umum bukan sebab turunnya ayat, atau juga dikenal dengan âm yang tetap dengan keumumannya (al-‘âm al-bâqî ‘alâ ‘umûmih).[32] Apabila di temukan ayat-ayat al-Qur’an yang konteks pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu dan berkaitan dengan suatu hukum, maka ketentuan itu tidak terbatas  pada kasus itu saja, tetapi berlaku secara umum. Hal ini di tujukan kepada setiap kasus yang mempunyai persamaan dengan kasus khusus tersebut. Pada hakikatnya asbabun nuzul hanyalah salah satu alat bantu berupa contoh untuk menjelaskan makna redaksi-redaksi ayat al-Qur’an, sedangkan cakupannya tidak terbatas pada ruang lingkup sebab turunnya suatu ayat. Dengan kata lain makna ayat tersebut tidak dikhususkan hanya kepada pengertian yang terkait dengan peristiwa turunnya ayat.
2.      Jika yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah satu (Ali ra.), kenapa Allah tidak menetapkan objeknya secara jelas. Karena permasalahan tentang imamah merupakan hal yang tidak mudah untuk diatasi. Hal ini terbukti setelah wafatnya Nabi saw. masalah ini mengakibatkan terjadi perang dan pertumpahan darah antar sesama saudara Islam.
3.      Menurut Qurasy Shihab kata Sampaikanlah, di sini objeknya tidak disebutkan sehingga mempunyai arti segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran agama.[33]
4.      Menurut Thâhir Ibnu ‘Âsyûr yang dikutip oleh Qurasy Shihab bahwa QS. Al-Maidah:67 merupakan teguran tegas kepada Nabi agar menyampaikan ajaran agama kepada ahl al-Kitab tanpa menghiraukan kritik dan ancaman mereka. Pada hakikatnya, teguran tegas ini tidak sejalan dengan sifat Nabi saw. yang lemah lembut, ber-mujâdalah dengan yang terbaik.[34]
5.      Konsep khalifah yang dipandang sesuai dengan ajaran Islam adalah konsep yang memandang seorang pemimpin sebagai manusia biasa dan memperoleh kekuasaan dari rakyat.[35] Dengan demikian, penunjukan Ali berdasarkan nash tidak termasuk dalam konsep ini. Karena dalam memilih dan memutuskan segala sesuatu, Islam memerintahkan untuk dilakukan secara musyawarah. Apalagi dalam masalah imamah.
Namun, dari segi asbab an-Nuzul penulis tidak memihak pada Wahbah. Karena riwayat yang digunakan oleh kedua mufassir tersebut sanadnya tidak bersambung kecuali QS. Al-Maidah: 67 dalam tafsir al-Munîr. Hal ini karena setelah ditakhrij dari beberapa riwayat yang terdapat pada asbab an-Nuzul tersebut maka hadits yang di riwayatkan oleh Wahbah Zuhaili adalah bersambung kecuali riwayat yang ada pada QS. Al-Maidah:55 yaitu dari Hasan Bashri yang tidak bersambung kepada Nabi. Begitu juga, riwayat Thabathaba’i yang hanya sampai pada Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari.
قال جابر بن عبد الله: قال عبد الله بن سلام للنبي صلى الله عليه وسلم: إن قومنا من قريظة والنضير قد هجرونا وأقسموا ألا يجالسونا، ولا نستطيع مجالسة أصحابك لبعد المنازل، فنزلت هذه الآية، فقال: رضينا بالله وبرسوله وبالمؤمنين أولياء
1.      Jabir bin Abdullah
Nama aslinya adalah Abdurrahma bin Jabir bin Abdillah al-Anshari as-Salmi al-Madani. Beliau merupakan Thabaqat kelima dari Shigharu at-Tabi’in. Menurut Ibnu Hajar beliau adalah orang yang jujur.
Guru
Murid
Jabir bin Abdillah (ayahnya)
Jabir bin Muhammad bin Jabir
Mendengar dari Nabi saw. dkk.
Yahya bin Muhammad bin Jabir, dkk.

2.      Abdullah bin Salam
Nama aslinya Jabir bin Abdullah bin ‘Amr bin Haram bin Tsa’labah bin Ka’ab bin Ghanam ibn Ka’ab Tazid bin Jasy bin Khazraj al-Anshari al-Khazraji as-Salami Abu Abdillah atau Abdurrahman atau Abu Muhammad al-Madani. Beliau wafat tahun 70 H di Madinah.
Guru
Murid
Nabi Muhammad saw.
Abdurrahman bin Jabir bin Abdullah (anaknya)
Khalid bin Walid, dkk.
Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik, dkk.
أخرج أبو الشيخ ابن حيان عن الحسن البصري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إن الله بعثني برسالة، فضقت بها ذرعا، وعرفت أن الناس مكذبي، فوعدني لأبلغن أو ليعذبني، فنزلت: يا أيها الرسول بلغ ما أنزل إليك
1.      Abu Syekh bin Hayyan
Nama aslinya adalah Ja’far bin Hayyan as-Sa’di, Abu al-Asyhab al-‘Atharidi al-Bashri al-Kharaz al-A’ma. Beliau lahir tahun 70 H dan wafat 165 H. Menurut Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabi beliau adalah tsiqah.
Guru
Murid
 Hasan Bashri
Abu al-Asyhab Ja’far bin Hayyan al-‘Athari
Khalid al-‘Ashri, dkk.
Hasan bin Dinar, dkk.

2.      Hasan Bashri
Nama aslinya adalah Hasan bin Abi Hasan atau yâsar al-Bashri. Menurut Ibnu Hajar beliau termasuk orang tsiqah.
Guru
Murid
 Sa’id bin Abi Al-Hasan
Abu al-Asyhab Ja’far bin Hayyan al-‘Athari
dkk.
Hasan bin Dinar, dkk.

Di sini Hasan Bahsri tidak bersambung kepada Nabi Muhammad saw.
Begitu juga dengan riwayat Thabathaba’i, sebagian riwayat menyebutkan sama QS. Al-Maidah:55 dan 67 adalah tentang penetapan Sayyidina Ali sebagai pengganti Nabi. Adapun riwayat tersebut yaitu
يونس بن أرقم، حدثنا يزيد بن أبي زياد، عن عبد الرحمن بن أبي ليلى، قال: شهدت عليا، في الرحبة ينشد الناس: أنشد الله من سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول يوم غدير خم: " من كنت مولاه فعلي مولاه " لما قام فشهد، قال عبد الرحمن: فقام اثنا عشر بدريا، كأني أنظر إلى أحدهم، فقالوا: نشهد أنا سمعنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول يوم غدير خم: " ألست أولى بالمسلمين من أنفسهم، وأزواجي أمهاتهم؟ " فقلنا: بلى يا رسول الله، قال: " فمن كنت مولاه فعلي مولاه، اللهم وال من والاه، وعاد من عاداه "
       Hadits ini terdapat dalam Musnad Ahmad ar-Risalah juz 2 halam 962 dan juz dan Musnan Ahmad Mukhrajan juz 2 halaman 268 hadis ke 961 dan juz 32 halaman 29 hadis ke 19.279.
1.      Yunus bin Arqam al-Bashri
Yunus bin Arqam al-Bashri adalah dari golongan Syi’ah
Guru
Yazid bin Abi Ziyad al-Qurasyi
Muhammad bin Sirin, dkk.

2.      Yazid bin Abi Ziyad al-Qurasyi
Yazid lahir pada tahun 47 H. dan wafat pada tahun 136/137 H. Beliau termasuk sebagian dari shigharu at-Tabi’in. Menurut Ibnu Hajar beliau adalah lemah dan Syi’ah. Akan tetapi, menurut Adz-Dzahabi beliau adalah orang yang jujur, alim dan Syi’ah.
Guru
Murid
Abdurrahman bin Abi laila al-Anshari
Yunus bin Arqam al-Bashri
Abu Abdillah al-Kûfi, dkk.
Hibban bin Ali, dkk.
3.      Abdurrahman bin Abi laila al-Anshari
Nama aslinya adalah Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Ausi, Abu Isa al-Madani al-Kufi. Beliau termasuk sahabat Nabi dan sebagian riwayat menyatakan beliau adalah tsiqah.
Guru
Murid
Umar bin Khattab
Yazid bin Abi Ziyad
Abdurrahman bin Abi Bakar ash-Shiddiq, dkk.
Abu Ishaq as-Sabi’i, dkk.

       Selain itu, berdasarkan penafsiran kedua ayat di atas, maka dapat dianalisa kembali antara teori kepemimpinan Wahbah Zuhaili dan Thabathaba’i berdasarkan Teori Sifat-Sifat Dasar Kepemimpinan Warren Bennis. Terdapat enam sifat-sifat dasar kepemimpinan menurut Warren Bennis. Di antara keenam sifat-sifat dasar tersebut yaitu;[36] pertama, visioner (Guiding Vision), seorang pemimpin harus mempunyai ide yang jelas tentang apa yang diinginkan, baik secara profesional atau pribadi. Dan juga, mempunyai kekuatan untuk bertahan ketika mengalami kemunduran atau kegagalan. Kedua mufassir ini sama-sama tidak membahas teori ini.
       Kedua, berkemampuan kuat (Passion). Artinya seorang pemimpin harus mencintai apa yang dikerjakan, mempunyai kesungguhan yang luar biasa dalam menjalani hidup yang dikombinasikan dengan kesungguhan dalam bekerja, menjalani profesi dan bertindak. Wahbah Zuhaili mendukung sifat ini dengan teori kepemimpinannya yaitu seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan mengajak orang lain kepada jalan yang benar. Hal ini menunjukkan seorang pemimpin untuk bersungguh-sungguh dalam menjalani profesinya sebagai pemimpin, termasuk di dalamnya adalah bertugas mengajak orang kepada jalan yang benar.
Begitu juga, menurut Thabathaba’i bahwa seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk mengajak orang kepada agama yang benar, karena menurutnya wilayah adalah penolong atau pembantu dalam masalah agama dan orang yang bisa mengajak orang lain seperti muballigh. Hal ini menunjukkan akan pentingnya sifat berkemampuan kuat bagi seorang pemimpin.
Ketiga, integritas (Integrity), seorang pemimpin harus mempunyai pandangan atau tidak pernah kehilangan pandangan. Hal ini bisa diperoleh dari pengetahuan sendiri dan kedewasaan. Pemimpin harus tahu kekuatan dan kelemahannya, teguh memegang prinsip dan belajar dari pengalaman bagaimana belajar dari dan bekerja dengan orang lain. Sifat ini juga tidak dibahas oleh Wahbah Zuhaili dan Thabathaba’i dalam teori kepemimpinannya.
Keempat, sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin menurut Warren Bennis adalah amanah (Trust). Pemimpin adalah amanah dari Allah sehingga harus menjalankan tugas kepemimpinannya dengan baik. Dan dalam menjalankan tugas kepemimpinannya seorang pemimpin harus mempunyai sifat amanah sehingga mendapat kepercayaan dari orang lain. Karena tanpa kepercayaan semuanya tidak akan berjalan dengan lancar.
Dalam masalah ini Wahbah Zuhaili dan Thabathaba’i mendukung sifat kepemimpinan ini. Hal ini terbukti ketika menafsirkan lafadz wa hum râkiûna berarti mereka yang tunduk dan merendahkan diri kepada Allah SWT. tanpa ada rasa gelisah, bosan dan riya’. Dan dalam teori kepemimpinannya Wahbah mensyaratkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat tawakkal kepada Allah. Begitu juga menurut Thabathaba’i bahwa seorang pemimpin harus mempunyai sifat patuh kepada Allah SWT.
Kelima, sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah Rasa ingin tahu (Curiosity), seorang pemimpin harus mempunyai rasa ingin tahu akan banyak hal dan ingin belajar sebanyak mungkin. Hal ini sesuai dengan wahyu yang turun pertamakali yaitu iqra’ (perintah untuk belajar). Kedua mufassir ini juga tidak mensyaratkan sifat ini.
       Sifat kepemimpinan yang terakhir dari teori Warren Bennis adalah berani (Courage), pemimpin harus berani mengambi, resiko, bereksperimen, dan mencoba hal-hal baru. Wahbah mendukung pendapat ini bahwa seorang pemimpin harus berani. Hal ini terbukti ketika menafsirkan kata Balligh berarti sampaikanlah semua apa yang telah disampaikan Allah kepadaMu (menyampaikan risalah dan melaksanakan amanah), jangan takut kepada siapa pun dan jangan takut pula untuk dibenci oleh orang lain. Dalam hal ini Thabathaba’i sama dengan Wahbah Zuhaili bahwa seorang pemimpin harus berani menyampaikan apa yang telah disampaikan. Karena jika tidak disampaikan maka risalah Allah tidak akan sampai.
Berdasarkan hasil pemaparan di atas, maka dapat diketahui bahwa teori kepemimpinan Wahbah Zuhaili dan Thabathaba’i yang sesuai dengan teori sifat-sifat dasar kepemimpinan Warren Bennis adalah tiga sifat. Di antaranya adalah berkemampuan kuat, amanah dan berani sebagaimana pembahasan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa di antara keduanya tidak ada yang lebih sesuai dengan teori Warren Bennis melainkan adalah sama-sama tiga sifat  atau sebanding.
 Walaupun demikian, keduanya memiliki perbedaan yaitu di kalangan Sunni yang diwakili oleh tafsir al-Munîr Tafsir Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj bahwa seorang pemimpin di tunjuk berdasarkan hasil musyawarah. Hal ini terlihat pada kalimat al-Ladzîna âmanû yang menunjukkan umum atau banyak orang sehingga perlu adanya musyawarah. Sedangkan di kalangan Syi’ah yang diwakili oleh tafsir al-Mizân bahwa seorang pemimpin ditetapkan berdasarkan nash dari Allah. Hal ini terlihat pada asbab an-Nuzul sebagaimana pembahasan di atas.

D.    Persamaan Dan Perbedaan Sunni Syiah Tentang Konsep Imamah
Penafsiran terhadap al-Qur'an dan hadits antara Sunni dan Syi’ah memiliki persamaan dan perbedaan. Hal ini karena adanya perbedaan orientasi penafsiran yang berbeda dan karena terpengaruh dengan spesialisasi keilmuan sang mufassir.[37] Selain itu, adanya keistimewaan berupa pengetahuan dan pemahaman tentang ayat-ayat  al-Qur’an dan hadits yang tidak dimiliki oleh golongan di luar mereka.[38]
Penelitian ini mencoba menganalisa persamaan dan perbedaan penafsiran Muhammad Wahbah Musthafa Zuhaili dan Muhammad Husein Thabathaba'i terhadap ayat imamah yang digunakan sebagai dalil paling kuat terhadap penunjukan seorang imam di kalangan Syi’ah.
       Dari dua karya tafsir besar, Tafsir Al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj karya Muhammad Wahbah Musthafa Zuhaili dan Tafsir al-Mizân karya Muhammad Husein Thabathaba'i memiliki beberapa persamaan, di antaranya:
1.      Kedua mufassir ini sepakat bahwa ketetapan al-Wilayah adalah hanya bagi Allah, Rasulullah, dan orang-orang mukmin. Adapun ahlu al-Kitab (Yahudi dan Nasrani), orang-orang kafir, serta orang-orang yang di dalam hatinya terdapat suatu penyakit, tidak berhak menjadi al-Wilayah. Karena al-Wilayah itu pantas bagi orang mukmin.
2.      Dari segi makna al-Wilayah  adalah pengganti atau orang yang bisa menolong dalam agama Allah atau mengajak kepada agama Allah.
3.      Seorang pemimpin harus mempunyai sifat tunduk atau merendahkan diri kepada Allah SWT., berani dan menyampaikan apa yang telah diperintahkan untuk disampaikan (tabligh).
4.      Seorang imam harus mempunyai kemampuan mengajak orang lain kepada jalan yang benar.
       Demikian juga, perbedaan penafsiran yang dimiliki oleh kedua tafsir ini, yaitu:
      Dari segi asbab an-Nuzul, Wahbah Zuhaili lebih pada riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan umum bagi orang-orang mukmin. Sedangkan kelompok Syi’ah yang diwakili oleh Tafsir al-Mîzân menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ditetapkannya Sayyidina Ali ra. sebagai pemimpin atau pengganti Nabi saw.
       Dan juga, menurut Thabathaba’i kata jamak lazimnya yang dimaksud adalah mufrad. Jadi yang dimaksud dengan orang mukmin dalam tersebut adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau ‘am yang dimaksud khusus. Padahal tidak semua yang jamak itu yang dimaksud adalah mufrad. Hal ini karena dalam kaidah hukum terdapat ketentuan al-ibratu bi ‘umûmi al-Lafdzi lâ bi khushushi as-Sabab,[39] atau ‘âm yang tetap dengan keumumannya (al-‘âm al-bâqî ‘alâ ‘umûmih).[40] Akan tetapi, Thabathaba’i menggunakan ‘âm yang dimaksud khusus (al-‘âm al-Murâd bihi al-Khusûs).
     Berbeda dengan Wahbah Zuhaili tetap menggunakan ‘âm yang dimaksud adalah ‘âm. Dalam ayat tersebut menggunakan kata al-lâdzîna yang berarti jamak sehingga yang dimaksud adalah untuk umum.
      Menurut peneliti Allah memang menyebutkan dengan jelas bahwa objek dari ayat ini adalah orang-orang mukmin. Akan tetapi Allah tidak menentukan siapa orang mukmin yang dimaksud oleh ayat tersebut yang berhak menjadi pengganti Nabi. Masalah ini merupakan masalah penting, karena seorang pemimpin akan dijadikan contoh atau suri tauladan bagi masyarakatnmya. Hal ini peneliti kutip dari pendapat Qurasy Shihab yang menurutnya juga sesuai dengan pendapat al-Biqa’i, Fakhruddin Ar-Razi, Sayyid Qutub.[41] Selain itu, tidak semua lafadz jamak yang dimaksud adalah mufrad. Karena ada lafadz jamak yang dimaksud adalah umum kecuali ada yang mengkhususkan.
      





[1] Musthafa al-Ghalayain, Idhotun Nasyi’in, terj. M. Fadlil Said An-Nadwi (Surabaya: Al-Hidayah, 1421), hlm. 149-150.
[2] M. Syafi’e Antonio, Ensiklopedia Ledership dan Manajemen Muhammad Saw. “The Super Leader Super Manager; Kepemimpinan dan Pengembangan Diri (Self Leadership and Personal Developmen)”, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2011), hlm. Kata pengantar x.
[3] Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, terj. Rosihon Anwar dan Taufik Rahman (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 176.
[4] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarya: Multi Karya Grafika: 1999), hlm. 214-215.
[5] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Islam Syi’ah; Asal Usul dan Perkembangannya, (Jakarta: Pustaka Grafiti), hlm. 199-200.
[6] Ibrahim al-Amini, Dirasah ‘Ammah fi al-Imamah, (Mu’assasah Ansharayyan, 1996), hlm. 37.
[8] Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiah Baru, 2010), hlm. 132-133.
[9] Ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan 'An  Ta’wil Ayi al-Qur’an, ( Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412 H/ 1992 M), hlm. 480.
[10] M. Qurasy, Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an juz 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2004). hlm. 317.
[11] Departemen Agama RI,  Al-Qur’an...hlm. 118.
[12] Ahmad Qusyairi Isma’il, dkk, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah Dalam Ukhuwah?, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2012), hlm. 153.
[13] Wahbah Musthafa al-Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj juz 6, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), hlm. 587.
[14] Ibid, hlm. 585.
[15] Ibid, hlm. 590.
[16] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Al-Mizân fi Tafsir al-Qur’an juz 6, (Muassasah al-a’lami li mathbû’ât: Bairut, 1983), hlm. 5.
[17] Ibid, hlm. 587.
[18] Ibid, hlm. 8.
                [19] Ibid, hlm. 16.                                            
[20] Ibid, hlm. 7.
[21] Tim Ahl al-Bayt Indonesia, Buku Putih Madzhab Syi’ah;  Menurut Ulamanya yang Muktabar, (Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bit Indonesia, 2012), hlm. 118.
[22] Ibid, hlm. 118.
[23] Ibid, hlm. 119.
[24] Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr juz 6...hlm. 613.
[25] Ibid, hlm. 614-616.
[26] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Al-Mîzân fi Tafsir al-Qur’an...hlm. 42.
[27] Ibid, hlm. 42.                                                                                                     
[28] Ibid, hlm. 48. Lihat pula Thabathaba’i, Islam... hlm. 206.
[29] Tim Ahl al-Bayt Indonesia, Buku Putih... hlm. 114-115.
[30] Al-Allamah as-Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Islam Syi’ah, hlm. 206-207.
[31] Tim Ahl al-Bayt Indonesia, Buku ...hlm. 114.
[32] Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Litera AntarNusa, 2009), hlm. 317. Bandingkan dengan Syekh Manna Al-qattan, Pengantar Study Ilmu Al-quran, Jakarta Timur: Pustaka Al-kautsar, 2006. hal . 272.
[33] Qurasy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an juz 3. (Jakarta: Lentera Hati, 2004), hlm. 152.
[34] Ibid, hlm. 152.                                                 
[35] Musdah Mulia, Negara ...,hlm. 235.
[36] Muhammad Syafii Antoni, Muhammad saw…hlm. 27-28.
[37] Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 65-68. `
[38] Tim Karya Ilmiah Santri Lirboyo 2008, Aliran... hlm. 131.
[39] Syekh Manna Al-qattan, Pengantar ...hal . 272.
[40] Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Studi ... hlm. 317.
[41] Qurasy Shihab,  Tafsir al-Misbah... hlm. 152.