Aswaja Klaim Nahdlatul Ulama Pembakuan
terhadap Kemapanan dalam Visi Anak Muda Nahdlatul ‘Ulama
Tapi
anehnya, ulama NU sejak berdiri sampai saat ini belum sempat melakukan “kajian
serius” terhadap pemikiran para tokoh perumus Aswaja tadi. Kevakuman ini
mendorong generasi muda NU terutama mereka yang mengenyam pendidikan tinggi,
seperti Said Aqil, Masdar F. Mas’udi, Nurhadi Iskandar, Ulil Absar Abdalla dan
lain-lain mencoba untuk melakukan “kajian kritis” terhadap keabsahan rumusan
tersebut. Apakah betul klaim aswaja sebagai doktrin kelompok tradisional (baca
NU) ?.
Jauh sebelumnya, Umar Hasyim dalam bukunya Apakah Anda Temasuk
Golongan Ahlussunnah Wal Jamaah menekankan bahwa pengertian Ahlussunnah Wal
Jamaah dianut oleh seluruh umat Islam kalangan Sunni dan menolak asumsi bahwa
Ahlussunnah Wal Jamaah hanya dianut oleh segolongan tradisional saja.(Lihat,
Einar Matahan Sitompul,Mth, NU dan Pancasila, footnote, hal 70)
Walhasil,
dengan melihat latar belakang intelektualitas para perumus Aswaja model NU dan
kondisi sosialogis masyarakat Indonesia pada awal berdirinya NU, secara apriori
ada satu keyakinan bahwa konsepsi Aswaja model NU tidak dimaksudkan sebagai
defenisi mutlak dan oleh karenanya sangat kondisional dan temporal.
Aswaja dalam Konteks Historis
Kaum muslimin pada masa Rasullullah SAW adalah umat yang satu,
tidak terkotak-kotak dalam aneka kecenderungan, baik kabilah, paham keagamaan,
ataupun visi sosial politik. Segala masalah yang muncul segera teratasi dengan
turunnya wahyu dan disertai dengan pengarahan dari Rasullulah SAW. Walaupun
tradisi kaum muslimin yang cukup dinamis dan terkendali pada waktu itu. Konon
Rasulullah SAW sering memfrediksi “kondisi nyaman” ini akan segera pudar
sepeninggal beliau. Prediksi Rasullulah SAW itu terungkap dalam beberapa
hadits, yang biasanya diawali dengan kata-kata “saya’ti ala ummati Zaman”
(umatku akan sampai pada suatu masa), “sataf tariqu ummati” (umatku akan
terpecah) dan seterusnya.
Berdasarkan hadits “model Prediksi” itulah istilah Ahlusunnah
Wal Jamaah ditemukan. Rasulullah SAW.bersabda :”Umatku akan terpecah menjadi 73
golongan, hanya satu golongan yang selamat dan yang lain binasa”. Ditanyakan
:Siapakah golongan yang selamat itu ? Rasulullah menjawab Ahlussunnah Wal
Jamaah. Ditanyakan: apa Ahlussunnah Wal Jamaah itu ?. Rasulullah menjawab: “apa
yang aku dan sahabat-sahabatku lakukan saat ini” Hadits “iftiraqul ummah”
diatas seperti yang dikatakan Abdul Qahir, mempunyai banyak isnad dan banyak
sahabat yang meriwayatkannya. Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang
keshahihan hadits tersebut.
Yang pertama: berpendapat dhaif dengan hujjah tak satu pun dari
sekian isnad yang tidak mengandung perawi dhaif . Yang kedua: berpendapat
muhtajju bihi dengan alasan: meskipun tidak satu pun isnad yang tidak
mengandung perawi dhaif tapi banyaknya isnad dan sahabat yang meriwayatkan,
memperkuat dugaan adanya hadits tersebut.(lihat :Al-Baghdady, Al-farqu Bainal
firaq,Hal 7 catatan kaki).
Jadi, jika hadits itu shahih Aswaja sebagai informasi yang akan
muncul kemudian, sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW,.tetapi Aswaja sebagai
realitas komunitas muslim belum ada pada masa itu. Atau dengan kata lain kaum
muslimin pada masa Rasulullah itulah Aswaja; berdasarkan hadits tadi “ma ana
alaihi al-yauma wa ashhabi” bahwa aswaja adalah sikap dan amalan yang kulakukan
sekarang bersama sahabat-sahabatku. Jadi amalan (Sunnah) Rasul yang bersama
para sahabat itulah yang disebut Aswaja. Yaitu ketika kaum muslimin tidak
terkotak-kotak dalam kecenderungan misi politik. Ternyata setelah beliau wafat,
para sahabat sudah terkotak dalam kecenderungan politik tertentu. Dengan
mengikuti logika “asap dan api”, isu “iftiragul ummah” dari prediksi Rasul
menjadi kenyataan dan adanya satu firqah (golongan) yang selamat, sudah dikenal
pada masa sahabat. Akan tetapi klaim sebagai Aswaja belum ada pada masa
sahabat. Dengan demikian pada masa khulafaurrasyidin pun masih dipertanyakan
apakah masuk dalam kriteria ma ana ‘alaihi al-yauma wa ashhabi ?
Setelah beliau wafat, kecenderungan politik dengan segala
frediksinya mulai tampak ke permukaan, antara golongan Anshar, Muhajirin, dan
Ahlul Bait. Tetapi .frediksi itu segera teratasi, setelah mayoritas umat
sepakat membaiat Abu Bakar, kemudian Umar, Usman, dan Ali sebagai pimpinan
tertinggi kaum muslimin (khalifah-Khulafa). Tetapi itu bukan berarti frediksi
kecenderungan politik pudar pada masa yang dikenal dengan era Khulafa
al-.Rasyidin itu. Frediksi itu terus berkembang dan menunggu waktu yang
kondusif untuk muncul.
Usman yang tewas secara tragis dan naiknya Ali sebagai khalifah
dianggap oleh para sejarawan sebagai titik kulminasi munculnya friksi politik
yang terpendam pada masa Abu Bakar dan Umar. Kejadian ini dikenal dengan Fitnah
Kubra yang pertama. Dan dari sinilah visi politik kaum muslimin sulit
dipadamkan bahkan mengarah pada konfrontasi yang terus menerus.
Berangkat dari konfrontasi fitnah kubra I yang segera diikuti
perang shiffin sebagai fitnah kubra II, visi dan friksi politik kaum muslimin
sudah sulit untuk disatukan kembali. Semua golongan yakin akan “kebenaran” visi
politiknya. Atas dasar keyakinan itulah semua golongan membangun tradisi intelektual
dari semua lini disiplin ilmu keislaman yang berkembang. Masing- masing
golongan sibuk meligitiasi Qur’an, hadits dan atsar para sahabat sesuai dengan
kecenderungan politik mereka masing-masing.
Landasan tradisi intelektual diatas, akhirnya semakin kokoh,
setelah kaum muslimin berinteraksi dengan ragam budaya lokal, seperti Parsi,
India, Asyuri, Finiqi, Zoroaster Masehi, Yahudi, dan yang paling menonjol
adalah tradisi Hellenisme Yunani.
Kapan Klaim Aswaja pada Suatu
Golongan Tertentu Muncul ?
Pendapat pertama: Sejak akhir Khulafatur-Rasyidin sampai
tumbangnya Dinasti Umayah, komunitas aswaja sebetulnya belum muncul. Istilah
ini juga tidak dikenal dalam pengajian (halaqah-halaqah) Hasan al-Basri (22-110
H). Komunitas yang paling menonjol pada masa Dinasti Umayah adalah:Umayah.
Alawiyyin yang berkoalisi dengan Abbasiyyin menjadi Hasyimiyyin, Mu’tazilah,
Hasyawiyah, Khawarij, dan Ahlul Hadits.
Kemudian pada awal Dinasti Abbasiyah komunitas Ahlul-Hadits mulai nampak eksistensinya. Ini berawal sejak digulirkannya mihnah khuluqul Al-Quran oleh imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh sentralnya.
Kemudian pada awal Dinasti Abbasiyah komunitas Ahlul-Hadits mulai nampak eksistensinya. Ini berawal sejak digulirkannya mihnah khuluqul Al-Quran oleh imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh sentralnya.
Dari paparan diatas, diskursus pemikiran yang paling menonjol
dan berpengaruh pada tatanan sosial dan politik pada abad kedua dan ketiga
Hijriyah (masa Abbasiyah I) adalah rasional Mu’tazilah yang berhadapan dengan
golongan tektualis Ahlus Hadits Hanabilah. Golongan terakhir inilah kemudian
mengklaim diri mereka sebagai aswaja.
Pendapat kedua; Menurut Abu Hatim Ar-Razi, seorang
penganut Syiah Ismailiyah (wafat 322 H), tema Aswaja mulai populer dikalangan
bani Umayyah setelah padamnya pemberontakan Hasan, Husein dan Ibnu Zubair.
Pendukung Bani Umayyah berkata,“kami adalah ahlul Jamaah Siapa menentang kami
berarti menentang umat dan meninggalkan sunnah.Kami adalah ahlusunnah wal
Jamaah”. Ar-Razi mengomentari peristiwa itu dengan mengatakan, “maksud mereka
adalah menyepakati satu pemimpin meskipun berbeda pendapat dan mazhab” (lihat
Ibrahim Hâkat, Assiyâsah wa Al-Mujtamâ’fi ‘Ashri Al-Umawy, hal .295) Dengan
mengacu pada pendapat Ar.-Razi, berarti klaim aswaja pertama kali dimunculkan
oleh bani umayyah untuk menunjuk pada golongan politik dan bukan aqidah.
Pendapat
ketiga; Muhammad
Abduh dalam Risalat at tauhid menjelaskan bahwa aswaja adalah klaim pendukung
dan pengikut Al-Asy’ari (wafat 303 H) seperti Imam Haramain, Al- Isfiayny dan
Abu Bakar Al-Baqilany untuk pendapat beliau. (lihat Muhammad Abduh, Risâlatut
Tauhid, hal 11).Secara implisit Abduh mengatakan bahwa tema aswaja baru muncul
pada awal abad empat, dan untuk menunjuk golongan aqidah. Dari pendapat kedua
dan ketiga dapat disimpulkan bahwa istilah aswaja belum ada pada masa pemulaan
Islam. Sebab pada waktu itu umat Islam masih dalam kondisi Ummatun Wahidah.
Perpecahan umat Islam akibat perbedaan haluan politik pada masa
sahabat memang melahirkan kelompok-kelompok. Akan tetapi tak satu pun kelompok
diberi nama Aswaja. Baru pada masa pemerintahan dinasti Umayyah, kelompok itu
mengklaim dirinya sebagai kelompok Aswaja. Begitu juga ketika Ma’bad Al-Juhany,
Ghoylan Ad-Dimasyqy dan Yunus Al-Asway pada masa akhir sahabat mempermasalahkan
qadla dan qadar (lihat Syahrasyatany, Milal wan Nihal,hal.22), lahir
kelompok-kelompok dengan aqidah masing-masing. Namun tak satu pun kelompok yang
dijuluki sebagai Aswaja. Baru setelah Asy’ari memodernisasi ekstrem aqal dan
ekstrem naql dalam aqidahnya, para pengikutnya memproklamirkan diri sebagai
Aswaja. Dari fakta diatas ada indikasi bahwa munculnya klaim Aswaja merupakan
upaya mendapatkan kemenangan psikologis bagi suatu golongan.
Siapakah Ahlussunnah Wal Jamaah ?
Hadits prediksi Rasul tentang iftiraqul ummah tidak menunjuk
dengan sharih orang-orang yang termasuk dalam golongan Aswaja. Ia hanya
memberikan petunjuk secara global bahwa Aswaja adalah orang-orang yang
mengikuti “jejak Nabi dan Sahabat” bisa berbeda antara satu orang dengan yang
lain atau satu golongan dengan golongan lain.
Secara etimologis Ahlussunnah Wal Jamaah terdiri dari tiga kata,
yaitu: ahl; keluarga, kelompok, golongan, dan komunitas, al-sunnah; tradisi,
jalan, kebiasaan dan perbuatan sedang al-jamaah; kebersamaan, kolektifitas,
komunitas, mayoritas dan lain-lain. Tiga rangkaian kata diatas, kemudian
berkembang menjadi istilah bagi sebuah komunitas muslim yang secara konsisten
bepegang teguh kepada tradisi (sunnah) Nabi Muhammad Saw dan sebagai landasan
normatif setelah Al-Qur.’an, dan selalu mengikuti alur pemikiran dan sikap
mayoritas kaum muslimin. Dengan kata lain Ahlussunnah adalah golongan
mayoritas. Bila bani Umayyah mengklaim sebagai kelompok mayoritas maka Syiah pun
membalasnya dengan klaim yang sama. Bahkan mereka mengatakan bahwa bani Umayyah
adalah kelompok separatis. (Ibahim Haokat,As-Siyasah wal Mujtama’ i Ashil
Umawy, hal 318)
Jadi pendefenisian Aswaja
oleh bani Umayyah tidak mereduksi globalitas konsep Aswaja dalam hadits. Aswaja
masih saja tidak mempunyai ciri dan karakteristik tertentu yang bisa menunjuk
pada kelompok tertentu.
Konsepsi
Aswaja baru mendapatkan karakteristik politis dan theologis ketika para
pendukung Asy’ari memproklamasi kan diri sebagai Aswaja. Meskipun Asy’ari
dikenal sebagai theolog,wa bittalii mazhab yang didirikan adalah mazhab
theologi, akan tetapi perbedaan umat Islam dalam aqidah pada waktu itu interen
dengan perbedaan politis. Sehingga mazhab theologi Asya’ri juga mencakup pendapat
beliau tentang khilafah .
Al-Baqdhadi (wafat29 H) dalam alfarqu bainal firaq,
mengembangkan cakupan Aswaja dan Beliau tidak memasukkan merumuskan konsepnya
dengan karakteristik yang lebih jelas. Menurutnya ada lima belas pokok aqidah
yang harus diketahui oang mukallaf. Dan orang yang mempunyai pendapat berbeda
dengan 15 aqidah tersebut maka orang itu tersesat.Beliau juga membagi kelas
kelas Aswaja menjadi delapan yaitu: mutakallimin, fuqaha,
muhaditsin,mufassirin,ulamaahl lughah, mutashawwifin, orang-orang yang berjihad
dan orang-orang yang mengikuti pendapat ulama Aswaja.
Beliau tidak memasukkan Khawarij, Qadariyyah, Syi’ah dan
lain-lain dalam kelompok Aswaja karena menurutnya mereka adalah orang-orang
yang mencela, mengfasikkan para sahabat bahkan mengkafirkannya. Padahal Aswaja
adalah orang yang mengikuti jejak sahabat.
Ada beberapa catatan yang perlu
disampaikan bahwa:
1. 1.Dalam menafsirkan Aswaja ,Al-Bagdâdy tidak menyebut-nyebut
dalil naqli. Penafsirannya hanya didukung pemahaman aqal terhadap lafadz ashhaby.
2. 2.Al-Bagdady memasukkan kelompok mutasawwifin dalam kelompok
aswaja, padahal fuqaha menentang keras aliran tersebut.
3. 3.kelima belas kelompok yang ditetapkan Al-Bagdady adalah
masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.
Jadi
dari pembahasan diatas bisa disimpulkan bahwa perumusan Aswaja yang kemudian
dibakukan adalah pengintian masalah-masalah aqidah yang sedang diperdebatkan
dan penetapan salah satu pendapat yang dianggap sesuai dengan pendapat
mayoritas sahabat.
Konsep Aswaja Versi NU
“Hai para ulama dan pemimpin yang takut kepada Allah dari
kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah dan pengikut mazhab imam empat! Kalian sudah
menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian,begitu pula
generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada kalian. Begitu juga
kalian harus melihat dari siapa kalian menuntut ilmu agama Islam. Karena dengan
cara menuntut ilmu pengetahuan seperti itu maka kalian menjadi pemegang
kuncinya, bahkan menjadi pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karenanya
janganlah memasuki satu rumah kecuali melalui pintunya. Barang siapa yang
memasuki satu rumah tidak melalui pintunya maka ia adalah pencuri”.
(Einar,opcit,hal 69).Demikian Hadatus Syekh Hasyim Asy’ari mulanya merumuskan
aswaja.
Yang
menarik dari perumusan diatas adalah disebutkannya Pengikut Imam Mazhab Empat.
Ini satu indikasi bahwa penekanan aswaja mulanya pada permasalahan figh yang
dalam hal ini adalah masalah taqlid terhadap imam empat. Hal ini bisa
dimengerti karena perbedaan esensial yamg terjadi antara kelompok pembaharu
dengan kelompok tradisional adalah masalah taqlid dan ijtihad.
Tetapi
mengapa hanya pendapat imam yang empat dianut? Jawaban yang sering terdengar
adalah hanya imam empat itulah yang mazhabnya terkodifikasi lengkap sehingga
sampai ke tangan kita dengan selamat. Adapun mazhab lainnya belum terkodifikasi
secara lengkap sehingga pendapatnya tidak utuh sampai ke tangan kita. Kalau
benar ini alasannya, maka ada satu kejanggalan, mengapa madzhab Ad-Dzahiri
dengan mengacu kitab al-Muhallâ Ibnu Hazm tidak diikuti. Padahal Ibnu Hazm juga
disebut oleh Al-Baghdadi sebagai ulama Ahlussunnah.
Jika NU merumuskan Aswaja
dengan menyebut para tokoh bersama rumusannya sebagai panutan yang harus
diikuti dapat diartikan bahwa NU ingin memadukan pemahaman ajaran islam yang
mengandung unsur-unsur yang terjadi pada abad II, III, IV, V, dan VI Hijriyah.
Definisi yang dirumuskan (hasil penjabaran KH.Bisyri Mustafa)
adalah sebagai berikut : satu, menganut ajaran-ajaran imam madzhab dari salah
satu empat madzhab dalam bidang fiqih. Kedua, menganut ajaran Imam Abu Hasan
al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid. Ketiga,
menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaidy dan Ghazali dalam bidang
tasawwuf.
Rumusan pada point kedua menegaskan corak ke-Aswaja-an NU dan
sikap kaum tradisional terhadap gerakan pembaruan, sedang pada point ketiga
merupakan sikap penerimaan NU terhadap paktek tasawuf dengan menyeleksi tasawuf
yang benar.
Bila kita bandingkan dengan konsepsi Aswaja Al-Baghdadi,
setidaknya ada dua hal yang berbeda ; Pertama, Aswaja versi NU tidak
menyebutkan pandangannya tehadap masalah khilafah. Hal ini bisa dimengerti,
karena Islam yang masuk di Indonesia bukan Islam Syiah juga bukan Khawarij oleh
karenanya perbedaan umat Islam di Indonesia tidak berkisar pada masalah itu.
Kedua, Aswaja model NU langsung dengan jelas menunjuk pada aliran tasawuf
tertentu, yang itu tidak masuk dalam konsepsi Aswaja Al-Baghdadi. Jadi mengacu pada
hal diatas bisa disimpulkan bahwa Aswaja model NU di satu sisi merupakan reaksi
terhadap gerakan pembaruan dan di sisi lain merupakan pengakuan tehadap praktek
keagamaan yang berkembang saat itu.
Jika
rumusan NU diatas dimaksudkan mendefinisikan Aswaja, maka definisi itu
mengandung beberapa kelemahan; pertama, para imam madzhab fiqih tidak
mungkin secara teologis mengikuti rumusan al-Asy’ari dan al-Maturidi, karena
masa hidup imam madzhab itu jauh lebih awal sebelum Al-Asy’ari lahir malah yang
terjadi Al-Asy’ari dalam fiqih mengikuti Imam Syafi’i, dan al-Maturidi
mengikuti madzhab Hanafi. Kedua, Imam Junaidi tidak mungkin mengikuti teologi
al-Asy’ari dan Al-Maturidi, karena yang pertama hidup satu abad sebelum tokoh
kedua dan ketiga lahir. Junaidi juga tidak dikenal sebagai pengikut salah satu
mazhab fiqih. Ketiga, Al-Ghazali walau pun sebagai pelanjut teologi al-Asy’ari
dan pengikut madzhab Syafi’i dalam kategori tasawuf, ia bisa dikategorikan
sebagai pengembang teori tasawuf liberal, seperti yang dikembangkan al-Hallaj.
Keempat, rumusan teologi al-Asya’ri sampai saat ini masih simpang siur. Dalam
kitab al-Ibanah, ia secara gamblang mengecam Mu’tazilah karena sering mentakwil
ayat-ayat mutasyabihat, seraya memuji Ahmad bin Hambal yang tak mau mentakwil. Ia
sendiri menisbatkan diri sebagai pelanjut perjuangan Ahmad bin Hambal. Tetapi
dalam kitab Al-Luma’ dan Istihsan, ia mentakwil ayat-ayat mutasyabihat, dan
memuji Mu’tazilah sebagai golongan Islam yang cerdas dan berjasa membentengi
aqidah Islam dari serangan teologi Masehi, Yahudi, Hellenisme, dan lain-lain.
Dalam dua kitab itu, ia menuduh kelompok Hambali , sebagai “bodoh” dan jumud.
Dilain pihak, golongan Al-Asya’ari dan al-Maturidi dituduh
sebagai zindiq yang menyesatkan kaum muslimin. bahkan Ibnu Taimiyah dalam
beberapa kitabnya mengkafir-kan Al-Asy’ari, jadi studi terhadap pemikiran
teologi Al-Asy’ari masih perlu diungkap secara tuntas.
Buku-buku yang terbit di Saudi Arabia cenderung untuk mengatakan
bahwa teologi Asy’ari tidak berbeda dengan teologi yang dikembangkan oleh Ahmad
bin Hambal dan Ibnu Taimiyah. Studi komprehensif tentang Al-Asy’ari ditulis
oleh Dr. Hamudah Gharabah menyimpulkan bahwa al-Asy’ari merupakan pemikir yang
mampu mengambil jalan tengah antara kecenderungan filosofis dan tektualis dalam
menganalisa sifat-sifat dan kekuasaan Tuhan. Kiranya pendapat terakhir inilah
yang dianut oleh warga NU.
Penutup: Agenda Aswaja di Era
Modern
Rumusan NU diatas, walaupun mengandung beberapa kelemahan, harus
dipahami sebagai upaya dini untuk merespons perkembangan pemikiran yang tak
akan keluar dari bingkai pemaduan secara seimbang antara landasan normatif
Qur’an dan Hadits, dan pengembangan penalaran. Rumusan ini juga harus dipahami
sebagai metode untuk menyeleksi budaya lokal dan budaya asing yang masuk ke
dunia Islam yang selalu berkembang.
Karena rumusan itu kita anggap mengikuti metode berpikir pada
tokoh, maka harus ada terobosan untuk merenovasi dalam berbagai bidang
pemikiran, dengan tujuan kemaslahatan kaum muslimin secara menyeluruh dan melindungi
hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi Islam yang membawa rahmat bagi alam
semesta.
Hal yang paling mendesak untuk dirumuskan pada era modern ini
adalah sebagai berikut, pertama, hubungan Islam dan negara yang sudah terkotak
dalam nation state. Kedua, hubungan Syari’ah Islam dengan hukum publik baik
nasional maupun internasional. Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat menuju
masyarakat yang musyawarah dan terbebas dari belenggu penghambaan. Keempat,
konsep keadilan ekonomi, politik dan hukum.
Ketika
perdebatan aqidah makin marak dengan munculnya aliran Qadariyah dan Jabariyah,
lahirlah al-Asy’ari seorang teolog yang ingin mengembalikan pemahaman aqidah
seperti pemahaman kaum salaf dengan memoderasi eksterm aqal dan ekstrem naql.
Oleh pengikut dan pendukung nya, pendapat-pendapat beliau diklaim sebagai
Aswaja. Awalnya pengertian Aswaja hanya sebatas pada kelompok aqidah, namun
kemudian berkembang dan mencakup kelompok dalam mazhab fiqih.
Konsep Aswaja baru mempunyai ciri dan karakteristik tertentu
setelah al-Baghdady merumuskan beberapa aqidah yang menjadi ciri khas Aswaja.
Akan tetapi perumusan Al- Baghdady lebih banyak didasarkan pada pelacakan
terhadap kelompok mayoritas pada setiap era.
Perumusan
berikutnya dilakukan NU yang intinya merupakan penyempitan terhadap konsep
Aswaja Al-Baghdady. Hal itu terjadi karena dasar keberdirian NU dari satu sisi
merupakan reaksi terhadap gerakan pembaruan dan sisi lain merupakan pengakuan
terhadap praktek keagamaan yang berlaku saat itu. Oleh karena itu Aswaja model
NU tidak bersifat mutlak dan universal. Dan bisa juga Aswaja NU direvisi
mengingat perkembangan keislaman yang terjadi. Bahkan boleh jadi konsep Aswaja
ditiadakan karena akan mempersempit cakupan Aswaja itu sendiri. Wal- Lâhu al
musta’ân
Tidak ada komentar:
Posting Komentar