Aswaja
atau Ahlus Sunnah wa Jama'ah sebagai paham keagamaan, mempunyai pengalaman
tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab)
dalam Islam yang berkaitan dengan konsep 'aqidah, syari'ah dan tasawuf
dengan corak moderat. Salah satu ciri intrinsik paham ini—sebagai
identitas—ialah keseimbangan pada dalil naqliyah dan 'aqliyah.
Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas
perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak
bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.
Ekstremitas
penggunaan rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal
dalam paham ini. Akan tetapi ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyah
tanpa interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemaslahatan atau
kemafsadahan yang dipertimbangkan secara matang.
Fleksibilitas
Aswaja juga tampak dalam konsep 'ibadah. Konsep ibadah menurut Aswaja, baik
yang individual maupun sosial tidak semuanya bersifat muqayadah -terikat
oleh syarat dan rukun serta ketentuan lain- tapi ada dan bahkan lebih banyak
yang bersifat bebas (mutlaqah) tanpa ketentuan-ketentuan yang mengikat.
Sehingga teknik pelaksanaannya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi
perkembangan rnasyarakat yang selalu berubah.
Demikian
sifat-sifat fleksibilitas itu membentuk sikap para ulamanya. Karakter para
ulama Aswaja menurut Imam Ghazali menunjukkan bahwa mereka mempunyai ciri faqih
fi mashalih al-khalqi fi al-dunya. Artinya mereka faham benar dan peka
terhadap kemaslahatan makhluk di dunia. Pada gilirannya mereka mampu mengambil
kebijakan dan bersikap dalam lingkup kemaslahatan. Dan karena kemaslahatan itu
sering berubah, maka sikap dan kebijakan itu menjadi zamani (kontekstual) dan
fleksibel.
Aswaja
juga meyakini hidup dan kehidupan manusia sebagai takdir Allah. Takdir dalam
arti ukuran-ukuran yang telah ditetapkan, Allah meletakkan hidup dan kehidupan
manusia dalam suatu proses. Suatu rentetan keberadaan, suatu urutan kejadian,
dan tahapan-tahapan kesempatan yang di berikan-Nya kepada manusia untuk
berikhtiar melestarikan dan memberi makna bagi kehidupan masing-masing.
Dalam
proses tersebut, kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan aspek
yang walaupun dapat dibedakan, namun saling kait-mengait. Di sini manusia
dituntut untuk mengendalikan dan mengarahkan aspek-aspek tersebut untuk
mencapai kelestarian sekaligus menemukan makna hidupnya.
Sedang
dalam berikhtiar mencapai kelestarian dan makna hidup itu, Islam Aswaja
merupakan jalan hidup yang menyeluruh, menyangkut segala aspek kehidupan
manusia sebagai makhluk individual mau pun sosial dalam berbagai komunitas
bermasyarakat dan berbangsa. Aktualisasi Islam Aswaja berarti konsep pendekatan
masalah-masalah sosial dan pemecahan legitimasinya secara Islami, yang pada
gilirannya Islam Aswaja menjadi sebuah komponen yang mernbentuk dan mengisi
kehidupan masyarakat, bukan malah menjadi faktor tandingan yang disintegratif
terhadap kehidupan.
Dalam
konteks pembangunan nasional, perbincangan mengenai aktualisasi Aswaja menjadi
relevan, justru karena arah pelaksaan pembangunan tidak lepas dari upaya
membangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Ini
berarti bahwa ia tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah (sandang, pangan,
papan) semata, atau (sebaliknya) hanya membangun kepuasan batiniah saja,
melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya.
Pandangan
yang mengidentifikasikan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi belaka atau
dengan berdirinya industri-industri raksasa yang memakai teknologi tinggi
semata, cenderung mengabaikan keterlibatan Islam dalam proses pembangunan. Pada
gilirannya sikap itu menumbuhkan perilaku individualistis dan materialistis
yang sangat bertentangan dengan falsafah bangsa kita.
Proses
pembangunan dengan tahapan pelita demi pelita telah mengubah pandangan
masyarakat tradisional berangsur-angsur secara persuasif meninggalkan
tradisi-tradisi yang membelenggu dinnya, kemudian mencari bentuk-bentuk lain
yang membebaskan dirinya dari himpitan yang terus berkembang dan beragam. Dari
satu sisi, ada perkembangan positif, bahwa masyarakat terbebas dari jeratan
tradisi yang mengekang dari kekuatan feodalisme. Namun dari segi lain,
sebenarnya pembangunan sekarang ini menggiring kepada jeratan baru, yaitu
jeratan birokrasi, jeratan industri dan kapitalisme yang masih sangat asing
bagi masyarakat.
Konsekuensi
lebih lanjut adalah, nilai-nilai tradisional digeser oleh nilai-nilai baru yang
serba ekonomis. Pertimbangan pertama dalam aktivitas manusia, diletakkan pada
"untung-rugi" secara materiil. Ini nampaknya sudah menjadi norma
sosial dalam struktur masyarakat produk pembangunan. Perbenturan dengan
nilai-nilai Islami, dengan demikian tidak terhindarkan Secara berangsur-angsur
etos ikhtiar menggeser etos tawakal, mengabaikan keseimbangan antara keduanya.
Konsep
pembangunan manusia seutuhnya yang menuntut keseimbangan menjadi terganggu,
akibat perbenturan nilai itu. Karena itu pembangunan masyarakat model apa pun
yang dipilih, yang tentu saja merupakan proses pembentukan atau peningkatan
-atau paling tidak menjanjikan- kualitas masyarakat yang tentu akan melibatkan
totalitas manusia, bagaimana pun harus ditempatkan di tengah-tengah
pertimbangan etis yang berakar pada keyakinan mendasar, bahwa manusia -sebagai
individu dan kelompok- terpanggil untuk mempertanggungjawabkan segala amal dan
ikhtiarnya kepada Allah, pemerintah dan masyarakat lingkungan sesuai dengan
ajaran dan petunjuk Islam.
Manusia
yang hidup dalam kondisi seperti terurai di atas dituntut agar kehidupannya
bermakna. Ia sebagai khalifah Allah di atas bumi ini justru mempunyai fungsi
ganda, pertama 'ibadatullah yang kedua 'imaratu al-ardl.
Dua fungsi yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Bahkan fungsi
yang kedua sangat rnempengaruhi kualitas fungsi yang pertama dalam rangka
rnencapai tujuan hidup yakni sa'adatud darain. Makna hidup manusia akan
tergantung pada kemampuan melakukan fungsinya sesuai dengan perkembangan
kehidupan yang selalu berubah seiring dengan transformasi kultural yang
menuntut pengendalian orientasi dan tata nilai yang Islami.
Dalam
konteks ini, Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada umumnya
agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling
memanusiawikan. Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat terhadap ketidakberdayaan,
keterbelakangan serta kelemahan mereka yang merupakan akibat dari suatu keadaan
dan peristiwa kemanusiaan yang dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah
barang tentu dapat diatasi oleh manusia pula.
Tentu
saja, penumbuhan kesadaran tersebut masih dalam konteks melaksanakan ajaran
Islam Aswaja, agar mereka tidak kehilangan nilai-nilai Islami. Justru malah
potensi ajaran Islam Aswaja dikembangkan secara aplikatif ke dalam proses
pengembangan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan manusia seutuhnya akan
dapat dicapai melalui ajaran Islam Aswaja yang kontekstual di tengah-tengah
keragaman komunitas nasional.
Untuk
melakukan pembangunan masyarakat sekarang mau pun esok, pendekatan yang paling
tepat adalah yang langsung mempunyai implikasi dengan kebutuhan dari
aspek-aspek kehidupan. Karena dengan demikian masyarakat terutama di pedesaan
akan bersikap tanggap secara positif.
Kondisi
dinamis sebagai kesadaran yang muncul, merupakan kesadaran masyarakat dalam
transisi yang perlu diarahkan pada pemecahan masalah, pada gilirannya mereka di
sarnping menyadari tema-tema zamannya juga menumbuhkan kesadaran kritis.
Kesadaran ini akan meningkatkan kreativitas, menambah ketajaman menafsirkan
masalah dan sekaligus menghindari distorsi dalam memahami masalah itu.
Kesadaran kritis ini memungkinkan masyarakat memahami faktor-faktor yang
melingkupi aktivitasnya dan kemudian mampu melibatkan diri atas hal-hal yang
membentuk masa depannya.
Kebutuhan
akan rumusan konsep aktualisasi Islam Aswaja, menjadi amat penting adanya.
Konsep itu akan menyambung kesenjangan yang terjadi selama ini, antara aspirasi
keagamaan Islam dan kenyataan ada. Suatu kesenjangan yang sangat tidak
menguntungkan bagi kaum muslimin dalam proses pembangunan masyarakat, yang
cenderung maju atas dorongan inspirasi kebutuhan hidup dari dimensi biologis
semata.
Merumus
kan konsep-konsep yang dimaksud, memang tidak semudah diucapkan. Identifikasi
masalah-masalah sosial secara general dan spesifik masih sulit diupayakan,
sehingga konsep aktualisasi secara utuh pun tidak mudah diformulasikan. Akan
tetapi secara sektoral aktualisasi itu dapat dikonseptualisasikan secara jelas
dalam konteks pendekatan masalah yang dilembagakan secara sistematis, terencana
dan terarah sesuai dengan strategi yang ingin dicapai.
Kemampuan
melihat masalah, sekaligus kemampuan menggali ajaran Islam Aswaja yang langsung
atau tidak langsung bisa diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan implementatif
yang dilembagakan, menjadi penting. Masalah yang sering disinggung oleh berbagai
pihak dan menarik perhatian adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan
yang ada pada garis lingkarbalik (daur). Rumusan Khittah 26 pasal ke-6 juga
menyinggung keprihatinan NU atas manusia yang terjerat oleh tiga masalah itu.
Aktualisasi
Islam Aswaja dalam hal ini menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai konsep
motivator untuk menumbubsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali
solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat
perubahan nilai yang terjadi.
Dari
sisi lain, ada yang menarik dari konsep Aswaja mengenai upaya penanggulangan
kemiskinan. Konsep ini sangat potensial, namun jarang disinggung, bahkan
hampir-hampir dilupakan. Yaitu bahwa orang muslim yang mampu berkewajiban
menafkahi kaum fakir miskin, bila tidak ada baitul mal al muntadhim.
Konsep ini mungkin perlu dilembagakan. Dan masih banyak lagi konsep-konsep
ibadah sosial dalam Islam Aswaja yang mungkin dilembagakan sebagai
aktualisasinya.
Ajaran
Islam Aswaja bukan saja sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang bisa
diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat, namun ia secara multi dimensional
sarat juga dengan norma keselarasan dan keseimbangan, sebagaimana yang dituntut
oleh pembangunan. Dari dimensi sosial misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang
kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena syariat Islam itu sendiri,
justru mengatur hubungan antara manusia individu dengan Allah, antara sesama
manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Hubungan
yang kedua itu terumuskan dalam prinsip mu’amalah yang bila dijabarkan mampu
membongkar kelemahan sekaligus memberi solusi bagi paham kapitalisme dan
sosialisme. Konsep itu terumuskan dalam prinsip mu’asyarah yang
tercermin dalam berbagai dimensi hubungan interaktif dalam struktur sosial yang
kemudian dipertegas oleh rumusan Khittah 26 butir empat, tentang sikap
kemasyarakatan NU sebagai aktualisasinya.
Tentang
hubungan ketiga antara manusia dengan alam lingkungannya terumuskan dalam
prinsip kebebasan mengkaji, mengelola dan memanfaatkan alam ini untuk
kepentingan manusia dengan tata keseimbangan yang lazim, tanpa sikap israf
(melampaui batas) dan tentu saja dengan lingkungan maslahah. Dalam pengelolaan
dan pemanfaatan alam itu tentu saja berorientasi pada prinsip mu’asyarah
maupun muamalah yang menyangkut berbagai bentuk kegiatan perekonomian yang
berkembang. Berarti diperlukan konsep mu'amalah secara utuh yang mampu
mengadaptasikan perkembangan perekonomian dewasa ini sebagai aktualisasi ajaran
Islam Aswaja.
*) Dikutip dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). (Sumber: nu.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar