“Sesungguhnya aku merasakan nafas
ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih, mengalir kepadaku dari Yaman!”
Demikian sabda Nabi SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam tradisi
tasawuf menjadi contoh bagi mereka yang memasuki tasawuf tanpa dituntun
oleh sang guru yang hidup.
Para sufi yang mengaku dirinya telah menempuh jalan tanpa pembai’atan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah ditasbihkan oleh wali nabi yang misterius, Khidhir. Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa terpencil . Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia dilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya.
Untuk membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala
dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih
banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di
sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang di
sekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para
penggembala. Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang dimiliki hanya
yang melekat di tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan
berlapar-lapar saja. Ia hanya makan buah kurma dan minum air putih, dan
tidak pernah memakan makan yang dimasak atau diolah. Oleh karenanya, ia
merasakan betul derita orang-orang kecil di sekitarnya. Tidak cukup
dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah
mendorongnya untuk selalu berdoa kepada Allah : “Ya Allah, janganlah
Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan
Engaku menyiksaku karena ada yang kedinginan.” Ketaatan dan kecintaannya
kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya dan ketaatannya
kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat luar biasa.
Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asik bermunajat kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun ia sedang bekerja. ‘Ala kulli hal, ia selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian kepada-Nya. Rasulullah saw menuturkan keistimewaan Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan Ali bahwa,” dihari kiamat nanti, disaat semua orang dibangkitkan kembali, Uwais akan memberikan syafaat kepada sejumlah besar umatnya, sebanyak jumlah domba yang dimiliki Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak). Karena itu, Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua agar menemuinya, menyampaikan salam dari Rasulullah, dan meminta keduanya untuk mendoakan keduanya”, yang digambarkan bahhwa Uwais memiliki tinggi badan yang sedang dan berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya. Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk menemuinya, sejak itu pula keduanya selalu penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais.
Setiap kali Umar maupun Ali bertemu dengan rombongan orang-orang
Yaman, ia selalu berusaha mencaru tahu dimana keberadaan Uwais dari
rombongan yang ditemuinya. Namun, keduanya selalu gagal mendapatkan
informasi tentang Uwais. Barulah setelah Umar diangkat menjadi khalifah,
informasi tentang Uwais keduanya peroleh dari serombongan orang Yaman,
“Ia tampak gila, tinggal sendiri dan tidak bergaul dengan masyarakat. Ia
tidak makan apa yang dimakan oleh kebanyakan orang, dan tidak tampak
susah atau senang. Ketika orang-orang tersenyum ia menangis, dan ketika
orang-orang menangis ia tersenyum”.
Demikian kata rombongan orang-orang
Yaman tersebut. Mendengar cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan
Ali segera berangkat menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang
Yaman tadi. Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di suatu tempat
terpencul.
Abi Naim al-Afshani menuturkan dialog yang kemudian terjadi
antara Umar dan Ali dengan Uwais al-Qarani sebagai berikut:
Umar : “Apa
yang anda kerjakan disini ?”
Uwais : “Saya bekerja sebagai penggembala”
Umar :
”Siapa nama Anda?”
Uwais : “Aku adalah hamba Allah”
Umar :
”Kita semua adalah hamba Allah, akan tetapi izinkan kami untuk
mengetahui anda lebih dekat lagi” Uwais : “Silahkan saja.”
Umar dan Ali
: “Setelah kami perhatikan, andalah orang yang pernah diceritakan oleh
Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan berilah kami nasehat agar
kami beroleh kebahagiaan dunia dan di akherat kelak.”
Uwais : “Saya
tidak pernah mendoakan seseorang secara khusus, setiap hari saya selalu
berdoa untuk seluruh umat Islam, lantas siapa sebenarnya anda berdua?”
Ali : “Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, dan saya adalah
Ali bin Abi Thalib. Kami berdua diminta oleh Rasulullah SAW untuk
menemui anda dan menyampaikan salam beliau untuk anda.”
Umar : “Berilah
kami nasehat wahai hamba Allah”
Uwais : Carilah rahmat Allah dengan
jalan ta’at dan penuh harap dan bertawaqal kepada Allah.”
Umar :
”Terimakasih atas nasehat anda yang sangat berharga ini. Sebagai tanda
terima kasih kami, kami berharap anda mau menerima seperangkat pakaian
dan uang untuk anda pakai.”
Uwais : “Terimakasih wahai Amirul mu’minin.
Saya sama sekali tidak bermaksud menolak pemberian tuan, tetapi saya
tidak membutuhkan apa yang anda berikan itu. Upah yang saya terima
adalah 4 dirham itu sudah lebih dari cukup. Lebihnya saya berikan kepada
ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah kurma dan minum air putih, dan
tidak pernah makan makan yang di masak. Kurasa hidupku tidak akan
sampai petang hari dan kalau petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi
hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat kecewa bila sampai tidak
mengingat-Nya.”
Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui keduduka
spiritualnya yang demikian tinggi di mata Rasulullah saw, mereka
kemudian berusaha untuk menemui dan memuliakannya. Akan tetapi, Uwais
yang sehari-harinya hidup penuh dengan kesunyian ini, diam-diam
meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah, melanjutkan hidupnya yang
sendiri. Ia memilih untuk hidup dalam kesunyian, hati terbatas untuk
yang selain Dia. Tentu saja, “kesunyian” disini tidak identik dengan
kesendirian (pengasingan diri).
Hakekat kesendirian ini terletak pada kecintaanya kepada Tuhan. Siapa
yang mencintai Tuhan, tidak akan terganggu oleh apapun, meskipun ia
hidup ditengah-tengah keramaian. Alaisa Allah-u bi Kafin abdahu? Setelah
seorang sufi bernama Harim bin Hayyam berusaha untuk mencari Uwais
setelah tidak menemukannya di Qaran.
Kemudian ia menuju Basrah. Di
tengah perjalanan menuju Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang
mengenakan jubah berbulu domba sedang berwudhu di tepi sungai Eufrat.
Begitu Uwais beranjak naik menuju tepian sungai sambil merapikan
jenggotnya. Harim mendekat dan memberi salam kepadanya. Uwais :
menjawab: “ Wa alaikum salam”, wahai Harim bin Hayyan. Harim terkejut
ketika Uwais menyebut namanya. “Bagaimana engakau mengetahui nama saya
Harim bin Hayyan?’ tanya Harim. “Ruhku telah mengenal ruhmmu”, demikian
jawaban Uwais, kemudian menasehati Harim untuk selalu menjaga hatinya.
Dalam arti mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan kepada-Nya melalui
mujahadah, atau mengarahkan diri “dirinya “ untuk mendengar dan
mentaati kata hatinya.
Meski Uwais menjalani hidupnya dalam kesendirian
dan kesunyian, tetapi pada saat-saat tertentu ia ikut berpartisipasi
dalam kegiatan jihad untuk membela dan mempertahankan agama Allah.
Ketika terjadi perang Shiffin antara golongan Ali melawan Muawiyah,
Uwais berdiri di golongan Ali. Saat orang islam membebaskan Romawi,
Uwais ikut dalam barisan tentara Islam. Saat kembali dari pembebasan
tersebut, Uwais terserang penyakit dan meninggal saat itu juga. (th 39
H). Demikianlah sekelumit tentang Uwais al-Qarni, kemudian hari namanya
banyak di puji oleh masyarakat. Yunus Emre misalnya memujinya dalam satu
sajak syairnya : Kawan tercinta kekasih Allah; Di tanah Yaman, Uwais
al-Qarani. Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan haram Di tanah
Yaman, Uwais al-Qarani Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja, Dia
membaca dalam dzikir seribu satu malam Allah; Dengan kata Allahu Akbar
dia menghela unta-unta Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani Negeri Yaman
“negeri di sebelah kanan “, negeri asal angin sepoi-sepoi selatan yang
dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang Maha Pengasih, yang mencapai
Nabi dengan membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-Qarani, sebagaimana
angin sepoi-sepoi sebelumnya yang mendatangkan keharuman yang
menyembuhkan dari kemeja Yusuf kepada ayahnya yang buta. Ya’kub (QS, 12:
95), telah menjadi simbol dari Timur yang penuh dengan cahaya, tempat
dimana cahaya muncul, yang dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah
keruhanian yang sejati. “Negeri di sebelah kanan “ itu adalah tanah air
Uwais al-Qarani yanag memeluk Islam tanpa pernah betemu dengan nabi.
Hikmah Yamaniyyah, “Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah
Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan, sebagaimana makrifat
intuitif dan pendekatan intelektual, sebagaimana Timur dan Barat. Doa
dan Dzikir Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri Uwais al-Qarani,
kemudian menjadi landasan dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya
yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya dan sikap zuhudnya, adalah
doa dan dzikirnya. Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk seseorang,
tetapi selalu berdoa untuk seluruh umat kaum muslim. Uwais juga tidak
pernah lengah dalam berdzikir meskipun sedang sibuk bekerja, mengawasi
dan menggiring ternak-ternaknya. Doa dan dzikir bagaikan dua sisi mata
uang yang tidak dapat dipisahkan. Hakekatnya adalah satu. Sebab, jelas
doa adalah salah satu bentuk dari dzikir, dan dzikir kepada–Ku hingga ia
tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Ku, maka Aku akan mengaruniakan
kepadanya sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang yang berdoa
kepada-Ku”. Uwais selalu bedoa untuk seluruh muslimin. Doa untuk kaum
muslim adalah salah satu bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap
“urusan kaum muslim”. Rasulullah saw. Pernah memperingatkan dengan
keras: Siapa yang tidap peduli dengan urusan kaum muslim, maka ia tidak
termasuk umatku.” Dalam hal ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa
“permohonan yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang untuk
saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan dan mendahulukan doa
untuk selain dirinya.” Dan Uwais lebih memilih untuk medoakan
seluruh saudaranya seiman. Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah
malam dan melihat ibunya, Fatimah az-Zahra, sedang khusu’ berdoa. Hasan
yang penasaran ingin tahu apa yang diminta ibunya dalam doanya berusaha
untuk menguping. Namun Hasan agak sedikit kecewa, karena dari awal
hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta pengampunan dan kebahagian
hidup untuk seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat kelak. Selesai
berdoa, segera Hasan bertanya kepada ibunya perihal doanya yang sama
sekali tidak menyisakan doanya untuk dirinya sendiri. Ibunya tersenyum,
lalu menjawab bahwa “apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan hidup kaum muslim, hakekatnya, permohonan itu akan kembali kepada kita.”Sebab
para malaikat yang menyaksikan doa tersebut akan berkata “Semoga Allah
mengabulkanmu dua kali lipat.” Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian
menarik suatu prinsip yang lebih umum yang padanya bertumpu seluruh
rahasia kebahagiaan. Apa yang kita cari dalam kehidupan ini, harus kita
berikan kepada orang lain. Jika kebajikan yang kita cari, berikanlah;
jika kebaikan, berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi para sufi,
dunia adalah kubah, dan perilaku seseorang adalah gema dari pelaku yang
lain. Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika
bukan dari seseorang, ia akan datang dari orang lain. Itulah gemanya.
Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan itu akan datang, tetapi ia
akan datang beratus kali lipat dibanding yang kita berikan.
Demikianlah, berdoa untuk kaum muslim akan bergema di dalam diri yang
tentu saja akan berdampak besar dan positif dalam membangun dan
meningkatkan kualitas kehidupan spiritual seseorang. Paling tidak, doa
ini akan memupus ego di dalam diri yang merupakan musuh terbesar, juga
sekaligus akan melahirkan dan menanamkan komitmen dalam diri “rasa
Cinta”dan “prasangka baik”terhadap mereka, yang merupakan pilar lain
dari ajaran sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian kepada Allah
swt. Uwais tidak pernah lengah untuk berdzikir, mengingat dan
menyebut-nyebut nama Allah meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang
ternaknya. Dzikir dalam pengertiannya, yang umum mencakup ucapan segala
macam ketaatan kepada Allah swt.
Namun yang dilakukan Uwais disini adalah berdzikir dengan menyebut
nama-nama Allah dan mengingat Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah ketika memaparkan
berbagai macam faedah dzikir dalam kitabnya “al-wabil ash-shayyab min
al-kalim at-thayyib” menyebutkan bahwa “yang paling utama pada
setiap orang yang beramal adalah yang paling banyak berdzikir kepad
Allah swt. Ahli shaum yang paling utama adalah yang paling banyak
dzikirnya; pemberi sedekah yang paling baik adalah yang paling banyak
dzikirnya; ahli haji yang paling utama adalah yang paling banyak
berdzikir kepada Allah swt; dan seterusnya, yang mencakup segala
aktifitas dan keadaan.”
Syaikh Alawi dalam “al-Qawl al-Mu’tamad,”
menyebutkan bahwa mulianya suatu nama adalah kerena kemuliaan pemilik
nama itu, sebeb nama itu mengandung kesan si pemiliknya dalam lipat
tersembunyi esensi rahasianya dan maknanya. Berdzikir dan
mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik kemuliaan, dengan demikian, tak
diragukan lagi akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh yang sangat
besar.
Al-Ghazali menyatakan bahwa yang
diperoleh seorang hamba dari nama Allah adalah ta’alluh (penuhanan),
yang berarti bahwa hati dan niatnya tenggelan dalam Tuhan, sehingga yang
dilihat-Nya hanyalah Dia.
Dan hal ini, dalam pandangan Ibn Arabi,
berarti sang hamba tersebut menyerap nama Allah, yang kemudian
merubahnya dengan ontologis. Demikianlah, setiap kali kita menyerap asma
Allah lewat dzikir kepada-Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita
mengalami tranformasi. Yang pada akhirnya akan membuahkan akhlak
al-karimah yang merupakan tujuan pengutusan rasulullah Muhammad saw.
Dilihat dari sudut pandang psikologis sufistik, pertama-tama dzikir akan
memberi kesan pada ruh seseorang, membentuknya membangun berbagai
kualitas kebaikan, dan kekuatan inspirasi yang disugestikan oleh
nama-nama itu.
Dan mekanisme batiniah seseorang menjadi
semakin hidup dari pengulangan dzikir itu, yang kemudian mekanisme ini
berkembang pada pengulangan nama-nama secara otomatis. Jadi jika
seseorang telah mengilang dzikirnya selama satu jam, misalnya, maka
sepanjang siang dan malam dzikir tersebut akan terus berlanjut terulang,
karena jiwanya mengulangi terus menerus. Pengulangan dzikir ini, juga
akan terefleksi pada ruh semesta, dan mekanisme universal kemudian
mengulanginya secara otomatis. Dengan kata lain, apa yang didzikirkan
manusia dengan menyebutnya berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai
mengulanginya, hingga termaterialisasi dan menjadi suatu realita di
semua tingkat eksistensi.
Wallahu a’lam bis-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar