Alhamdulillah,
dipagi ini marilah kita berusaha untuk membangun niat mencapai keshalihan
sosial dan spiritual.
Pada kesempatan ini,
admin akan menyampaikan ringkasan kultum subuh yang baru saja admin sampaikan
di masjid. Temanya tentang tingkatan orang berpuasa dan larangan untuk
memaksakan diri dalam beribadah demi mendapatkan maqam tarjid (maqam yang di
dalamnya hamba-hamba Allah telah mendapatkan kemudahan dalam urusan rizki dan
sudah tidak perlu bekerja susah payah guna mencarinya)
Seperti penjelasan
dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, bahwa puasa itu memiliki tiga derajat; Shaumul
umum, Shoumul khusus, dan Shoumu khususil khusus.
1.
Pertama Shoumul ‘umum
itu puasa yang hanya menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa,
seperti makan, minum, berjima’, dan hal-hal lahiriyah lainnya. Kedua, Shoumul khusus
itu puasa yang selain menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, juga mampu
menjaga anggota tubuhnya dari dosa atau maksiat. Ketiga, Shoumu khususil
khusus itu puasa yang mampu melakukan dua hal dia atas dan bahkan lebih dari
itu mampu pula untuk menjaga hatinya agar senantiasa berdzikir kepada Allah dan
mengabaikan selain memikirkan Allah. Kata imam Ghazali, Fa hadzihi rutbatul
anbiya’, wash shiddiqin wash sholikhin (ini merupakan derajatnya para nabi,
orang-orang siddiq, dan orang-orang shalih).
Allah telah
menetapkan bagi setiap hambanya yang beriman untuk menempati maqam-maqam
tertentu. Ada hamba yang diletakkan di maqam shoumul ‘umum, ada yang diletakkan
di maqam shoumul khusus, dan ada pula yang diletakkan di maqam shoumu khususil
khusus. Semua itu sudah diatur oleh Allah, dan kita sebagai hamba-Nya hanya
mampu menerima keputusan itu walau di sisi lain kita masih diperkenankan untuk
berusaha dengan kadar usaha tertentu yang tidak berlebih-lebihan serta
dilengkapi dengan permohonan melalui doa-doa.
Keputusan atau
takdir ini tentu saja harus disikapi dengan arif bijaksana oleh kita. Jangan sampai
karena Allah memasukkan kita ke dalam maqam Shoumul ‘umum, kita kemudian tidak
menerimanya apalagi memaksakan diri untuk mencapai tingkatan shoumu khusushil
khusus. Ibarat orang naik tangga yang baru sampai pada anak tangga ke satu
ingin memaksakan diri untuk meloncat atau terbang ke anak tangga tingkat
seribu. Tentu saja itu suatu perbuatan yang tidak arif dalam menyikapi
pemberian dan anugerah Allah. Mengenai hal ini Imam Athaillah dalam kitab Hikam
telah menjelaskan bahwa:
Iraadatuka at tajrid ma’a
iqamatillah wa iyyaaka fil asbab minasy syahwatil khofiyyah. Wa irodatukal
asbaaba ma’a iqomatillah wa iyyaka fit tajrid inkhithothun ‘anil himmatil ‘aliyyah
(keinginanmu untuk sampai ke maqam tajrid sedangkan Allah telah memposisikanmu
dalam maqam asbab itu merupakan bagian dari syahwat yang tersembunyi. Dan keinginanmu
untuk mendapatkan maqam asbab sedangkan Allah telah menempatkanmu pada maqam
tajrid, itu merupakan kemerosotan dari cita-cita yang tinggi).
Kesimpulannya,
marilah kita memaksimalkan ibadah di bulan ramadhan ini dengan ibadah yang
sewajarnya namun senantiasa mampu meningkat secara setahap demi setahap dan
janganlah memaksakan diri untuk beribadah yang berat-berat sedangkan kita masih
berada pada maqam asbab. Sebaliknya, bagi para sahabat yang sudah mampu
mencapai maqam tajrid, janganlah pencapaian yang gemilang itu melorot hingga
para sahabat kembali ke maqam asbab. Yang demikian itu termasuk bagian dari
golongan orang-orang yang tak memiliki cita-cita yang tinggi. Semoga ibadah
puasa kita di bulan ramadhan ini mendapatkan penerimaan tertinggi dari Allah
Subhanau wata’ala.aamiin, aamiin, yaa rabbal ‘aalamiin.
Wassalaamu’alaikum
warahmatullaahi wa barakaatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar