Secara resmi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil
Siroj memberikan klarifikasi tentang kesalahpahaman atas istilah Islam
Nusantara (IN). Menurutnya, IN bukanlah sinkretisme yang memadukan Islam dengan
"agama Jawa", melainkan kesadaran budaya dalam berdakwah (Kompas,
4/7).
Klarifikasi ini menjadi penting, tidak hanya demi gagasan dan penggagasnya,
yakni NU, melainkan bagi masa depan Islam di Indonesia secara umum. Hal ini
memang dilematis, sebab baik para kritikus maupun pendukung belum benar
memahami hakikat IN itu sendiri, akibat sifat gagasan ini yang cepat populer
melampaui kematangan ilmiahnya.
Setidaknya terdapat beberapa kesalahpahaman atas IN tersebut. Pertama,
dari sebagian besar warga nahdliyin sendiri yang menyamakan IN
dengan "lokalisasi" atau Jawanisasi Islam. Pembacaan al-Qur'an
langgam Jawa di Istana Negara pada peringatan Isra' Mi'raj (15/5) yang digagas
oleh Menteri Agama, menguatkan pemahaman ini. Dus, menjadi muslim
Nusantara berarti menjadi muslim Jawa yang menolak kearaban.
Kedua, turunan dari pemahaman di atas; Islam Nusantara dianggap anti-tesa dari
Islam Arab. Ini tentu menyulut kritikan kaum puritan yang menggangap IN
merupakan aliran menyimpang sebab menolak kearaban, padahal Islam lahir di
Arab. Ketiga, pesimisme dari pandangan modernis yang menempatkan
INbersifat anti-kemajuan. Maka lahirlah kecurigaan bahwa IN mengajak muslim
Indonesia kembali ke zaman Mataram, layaknya Sanusi Pane yang menolak ajakan
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) untuk menjadikan Eropa sebagai kiblat bagi
renaissans Indonesia pada Polemik Kebudayaan 1935. Ini yang membuat IN dianggap
sebagai langkah mundur, terutama karena Islam di Indonesia telah lama melaju
bersama kemodernan.
Kewajaran Konteks
Berbagai kesalahpahaman ini akan mengantar kita pada "kewajaran
kontekstualisasi" yang melatari IN, baik sebagai realitas
historis-kultural, maupun sebagai gagasan. Penyebab kesalahpamahan ini
disebabkan pengetahuan IN sebagai produk, dan bukan sebagai metodologi.
Inilah yang membuat IN dianggap sebagai kesalahan serius, padahal ia merupakan
kewajaran yang hadir tidak hanya di negeri ini, tetapi di belahan dunia
manapun.
Ini terjadi karena sebagai realitas historis, IN merupakan produk dari
kontekstualisasi Islam. Meminjam istilah Taufik Abdullah, ia merupakan hasil
dari "proses kimiawi" antara Islam dengan kultur lokal. Hanya saja
bentuknya bukan sinkrestisme, pun juga Jawanisasi, melainkanperwujudan
kultural Islam akibat penggunaan tradisi ('urf) sebagai salah
satu dalil perumusan hukum Islam. Inilah titik krusial dari IN itu.
Artinya, NU yang kini mewacanakan gagasan IN, berangkat dari metodologi
yang wajar dalam perumusan hukum Islam. Sebab di dalam setiap perumusan ini,
terdapat dalil sekunder -selain al-Qur'an dan hadist- yang merujuk pada; ijma'
(kesepakatan ulama), qiyas (analogi), istihsan(kebijaksanaan), saddu
al-dzari'ah (menutup keburukan), dan 'urf (tradisi). Dalil
terakhir inilah yang menjadi landasan bagi pembentukan IN, berbasis pada kaidah
fikih al-'adah al-muhakkamah(adat bisa menjadi landasan hukum).
Hal ini terjadi karena perumusan hukum Islam selalu memiliki tujuan, yang
oleh para fakih ditetapkan pada nilai kemaslahatan (mashlahat). Inilah
yang menjadi tujuan syariah (maqashid al-syari'ah). Oleh NU, maqashid
al-syari'ah ini diwujudkan melalui prinsip-prinsip syariah (mabadi'
al-syari'ah), salah satunya moderasi (wasathiyyah) sebagaimana
firman Allah dalam al-Baqarah:143. Dalam praktiknya, prinsip moderat diterapkan
melalui suatu realisme (al-waqi'iyyah), yang menempatkan realitas
sebagai pijakan bagi pemikiran, perumusan hukum dan medan dakwah (Muhajir,
2015). Realisme ini yang membuat Walisongo menerima realitas masyarakat
Nusantara, dan dari sana membangun Islam secara perlahan.
Oleh karenanya, IN bukan sinkretisme sebab dasar dan metodologinya berbasis
pada syariah Islam. Ini dilakukan Walisongo ketika menggunakan wayang dalam
berdakwah, yang dilakukan melalui "islamisasi nilai" di dalam bentuk
budaya berepos Hindu tersebut.
Misalnya, dengan menambah tokoh Sang Hyang Tunggal sebagai pencipta para
dewa, Sunan Kalijaga telah menegaskan monoteisme atas politeisme. Ini dilakukan
tanpa perusakan artistik dan konflik teologis, sebab pembaruannya sangat halus
dan substantif. Atau ketika Dewi Drupadi, yang dalam epos Mahabarata asli
melakukan poliandri:isteri Pandawa lima, menjadi monogami: hanya menjadi isteri
Yudistira (Sunyoto, 2012:358). Pembaruan kebudayaan ini dilakukan melalui
transformasi struktur dalam (nilai), tanpa merubah sama sekali struktur luar
(bentuk) kebudayaan. Ini yang membuat Islam diterima secara luas, karena ia
datang dengan damai.
Dialektika Budaya
Dari sini, pelurusan atas kesalahpahaman terhadap IN perlu dilakukan dalam
beberapa hal.Pertama, konteks persoalan IN bukan oposisi antara kearaban
dan keindonesiaan, melainkan antara agama dan budaya. Ini terjadi tidak hanya
di Indonesia (Nusantara) melainkan juga di Arab dan belahan bumi manapun,
ketika agama diamalkan.
Dalam konteks ini, kita perlu menengok kembali prinsip pribumisasi Islam
yang merupakan proses alamiah, sosialisasi nilai-nilai agama. Artinya, bahkan
di Arab-pun, pribumisasi Islam ke dalam budaya pra-Islam dilakukan oleh
Muhammad SAW. Ini terkait dengan sifat dasar sosialisasi, dan sifat dasar
dialektika agama dan budaya, yang saling independen dalam hubungan
tumpang-tindih. Layaknya hubungan filsafat dan ilmu pengetahuan, maka agama
membutuhkan budaya sebagai media sosialisasi, meski agama bukan budaya.
Kedua, dengan demikian anti-tesa IN bukan Islam Arab, akan tetapi purifikasi
agama dari budaya. Purifikasi ini oleh gerakan Wahabi akhirnya digerakkan demi
imperialisme budaya Arab. Inilah yang ditolak IN, tanpa menolak sama sekali
"Arabisme Islam". Ini dibuktikan dengan al-Qur'an langgam Jawa, yang
tetap dibaca dalam Bahasa Arab. Perawatan aspek Arab dalam rukun Islam
menunjukkan bahwa IN, hanyalah pengamalan Islam dalam habitus masyarakat
tanpa merusak sendiagama.
Ketiga, IN bukan langkah mundur. Ia justru langkah maju melalui pemijakan pada
akar budaya Islam. Sebab jika gagasan Islam Indonesia memuat
keharmonisan Islam dan negara-bangsa (nation-state), maka IN memuat
keharmonisan Islam dengan budaya Nusantara. Karena sifat nasionalisme Indonesia
yang perenialis (kesinambungan kultur-historis dan bangsa modern),
maka IN menjadi dasar bagi nasionalisme Islam yang melandasi kebangsaan
Indonesia. Ini membuat IN menjadi dasar bagi gagasan Islam Indonesia.
Syaiful Arif, Dosen Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar