‘Tembok Berlin’ yang selama ini memisahkan Muhammadiyah
dan NU membuat jarak yang cukup lebar. Tembok ini sejatinya bukanlah masalah
yang besar, hanya saja tembok yang dimaksud adalah khilafiyyah pada
masalah furu’ yang sering menjadi kambing hitam persoalan dalam
masyarakat muslim Indonesia. Sehingga pada kondisi-kondisi tentu kedua ormas
tersebut nampak sulit untuk mencapai kata bersatu.
Ratusan juta orang yang
bernaung dalam ormas Muhammadiyah dan NU barangkali bakal berubah dan tergugah
seiring diterbitkannya buku “Muhammadiyah itu NU: Dokumen Fiqih yang
Terlupakan”. Buku yang ditulis oleh Mochammad Ali Shodiqin ini benar-benar
suara dari dalam Muhammadiyah sendiri, bukan intervensi atau kepentingan dari
pihak-pihak tertentu.
Bahwa pada dasarnya, dulu
Muhammadiyah itu sama persis dengan NU, demikian pula sebaliknya. Namun berita
besar ini menyimpan dilema, sebab jika disampaikan akan menurunkan hujah fitnah
yang dapat menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Kalau tidak disampaikan,
seolah menggelapkan kebenaran yang sepatutnya didakwahkan kepada yang berhak.
Jadi dilema ini bagaikan makan buah simalakama (hlm. 2).
Bermula ketika penulis
mendapatkan kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 dari tokoh
Muhammadiyah di Yogyakarta. kemudian ia merasa terpanggil untuk menyampaikan
sejarah tersebut, lalu berinisiatif untuk menerbitkannya menjadi sebuah
buku.
Kitab Muhammadiyah 1924, yang
aslinya ditulis dengan bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Bahasa Jawa memang tak
bisa dihindari kalau membahas periode awal Muhammadiyah di pusat kebudayaan
Jawa, yaitu Kesultanan Yogyakarta (hlm. vii).
Kitab Fiqih
Muhammadiyah 1924 yang dikarang dan diterbitkan oleh Bagian Taman
Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924 sesungguhnya bukan hanya warisan
berharga kaum Muhammadiyah saja, melainkan juga bagi NU. Kitab itu juga
kitabnya NU. Isinya sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan
dalam dunia NU (hlm. 12). Masalahya hanyalah satu hal, bahwa di tahun 1924 itu,
NU belum lahir, karena NU lahir tahun 1926. Dua tahun setelah kitab itu terbit.
Dan hingga hari ini, isi ajaran fiqih yang diajarkan kitab itu masih
terpelihara sebagai amalan orang NU. Amalan itu pula yang telah turun-temurun
sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu di perairan Nusantara ini, yaitu fiqih
mazhab Syafi’i. Jadi walaupun NU belum lahir, namun ulama-ulama pesantren yang
kemudian mendirikan NU itu tiap harinya mengamalkan ajaran fiqih, sebagaimana
yang ada di dalam kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 (hlm. 13).
Muhammadiyah adalah gerakan
dakwah, yaitu menyampaikan ajaran Islam yang sudah ada kala itu di Kesultanan
Yogyakarta yang menganut mazhab Syafi’i, bukan berdakwah dengan mengarang
ajarannya sendiri dari mulai nol. Pertanyaan mengapa bisa demikian? Dalam
buku ini dijelaskan bahwa setelah meninggalnya Kiai Ahmad Dahlan sebagai
pendiri Muhammmadiyah pada tahun 1912, generasi Muhammadiyah pada beberapa masa
selanjutnya tercampur dengan paham Wahabi imbas dari kebijakan-kebijakan
pemerintahan Ibnu Saud di negeri Arab pada saat itu. Untuk itu, pada tahun 1926
NU lahir untuk merespon pemerintahan yang membawa paham Wahabi tersebut.
Metamorfosis Muhammadiyah
setidaknya dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu Masa Syafi’i tahun 1912-1925;
masa pembauran Syafi’i-Wahabi tahun 1925-1967; masa Himpunan Putusan Tarjih
(HPT) tahun 1967-1995; dan masa pembauran HPT-Globalisasi tahun 1995 hingga
kini (hlm. 16).
Penerbitan HPT cetakan ke-1
dilakukan oleh Kiai Badawi tahun 1967. Penerbitan HPT ini sekaligus
memulai babak baru sejarah (tarikh tasyri’) fiqih Muhammadiyah
yaitu pada masa Himpunan Putusan Tarjih. Hingga cetakan ke-4, yakni pada tahun
1974 di dalamnya memuat 9 buah putusan Muktamar Tarjih 1972 di Pekalongan yang
memuat salah satunya adalah penghapusan qunut (hlm. 82). Tidak
dimuatnya qunut ini dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan, sekaligus untuk
perbaikan menurut putusan Muktamar Tarjih tahun 1972. Dengan demikian, seiring
hilangnya keraguan dan adanya keyakinan umat serta kebiasaan shalat subuh
tanpa qunut maka terhapus pula sejarah bahwa di masa lalu
Muhammadiyah pernah melaksanakan qunut sebagaimana qunut-nya umat
Islam lain (hlm. 119).
Masih banyak lagi hasil
Himpunan Putusan Tarjih, di antaranya masalah menyentuh lawan jenis, niat
membaca “ushalli”, shalawat tanpa Sayyidina, mengacungkan
jari saat duduk tahiyat, zikir setelah salam, azan Jum’at satu
kali, shalat ‘Id di lapangan, dan lain-lain.
Sementara itu, isi kitab Fiqih
Muhammadiyah 1924 memuat bab-bab ubudiyah, misalnya Bab Bersuci yang
rinciannya meliputi persoalan air, najis, dan tata cara penyuciannya. Bab
shalat yan cakupannya meliputi waktu shalat, rukun, sunnah, pembatalan. Bab
Jama’ah yang membahas makruhnya jamaah, dan bab-babnya lainnya.
Guna menghadirkan cita rasa
sejarah asli masa kiai Dahlan itu, bagi pembaca luar Jawa dan juga generasi
Jawa masa kini yang sudah tidak nyambung dengan Jawanya. Maka
buku ini disuguhkan dengan tidak menghilangkan bahasa Jawa, melatinkan
teks Arabnya, kemudian mengindonesiakannya. Jadi komposisi bahasa Jawa sekitar
20 persen, dan bukti keaslian ajaran Kiai Dahlan yang bertutur bahasa Jawa
dalam kesehariannya.
Yang jelas, buku ini tujuannya
bukan untuk menyalahkan satu sama lain. Namun untuk memadamkan api yang selama
ini membakar jarak antara Muhammadiyah dan NU. Harapannya masing-masing dapat
memahami perbedaan untuk melahirkan persatuan yang lebih erat bagi
Indonesia.Judul : Muhammadiyah Itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan
Penulis :
Mochammad Ali Shodiqin
Penerbit :
Noura Books (PT. Mizan Publika)
Cetakan :
I, Februari 2014
Tebal :
xxii + 310 halaman
ISBN :
978-602-1306-01-1
Peresensi :
Muhammad Zidni Nafi’, alumni Ma’had Qudsiyyah Kudus, Ketua CSS MORA
(Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs) UIN SGD Bandung
2013-2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar