Jumat, 28 Agustus 2015

Kesalahpahaman Islam Nusantara



Secara resmi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj memberikan klarifikasi tentang kesalahpahaman atas istilah Islam Nusantara (IN). Menurutnya, IN bukanlah sinkretisme yang memadukan Islam dengan "agama Jawa", melainkan kesadaran budaya dalam berdakwah (Kompas, 4/7).
Klarifikasi ini menjadi penting, tidak hanya demi gagasan dan penggagasnya, yakni NU, melainkan bagi masa depan Islam di Indonesia secara umum. Hal ini memang dilematis, sebab baik para kritikus maupun pendukung belum benar memahami hakikat IN itu sendiri, akibat sifat gagasan ini yang cepat populer melampaui kematangan ilmiahnya.
Setidaknya terdapat beberapa kesalahpahaman atas IN tersebut. Pertama, dari sebagian besar warga nahdliyin sendiri yang menyamakan IN dengan "lokalisasi" atau Jawanisasi Islam. Pembacaan al-Qur'an langgam Jawa di Istana Negara pada peringatan Isra' Mi'raj (15/5) yang digagas oleh Menteri Agama, menguatkan pemahaman ini. Dus, menjadi muslim Nusantara berarti menjadi muslim Jawa yang menolak kearaban.
Kedua, turunan dari pemahaman di atas; Islam Nusantara dianggap anti-tesa dari Islam Arab. Ini tentu menyulut kritikan kaum puritan yang menggangap IN merupakan aliran menyimpang sebab menolak kearaban, padahal Islam lahir di Arab. Ketiga, pesimisme dari pandangan modernis yang menempatkan INbersifat anti-kemajuan. Maka lahirlah kecurigaan bahwa IN mengajak muslim Indonesia kembali ke zaman Mataram, layaknya Sanusi Pane yang menolak ajakan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) untuk menjadikan Eropa sebagai kiblat bagi renaissans Indonesia pada Polemik Kebudayaan 1935. Ini yang membuat IN dianggap sebagai langkah mundur, terutama karena Islam di Indonesia telah lama melaju bersama kemodernan.

Kewajaran Konteks
Berbagai kesalahpahaman ini akan mengantar kita pada "kewajaran kontekstualisasi" yang melatari IN, baik sebagai realitas historis-kultural, maupun sebagai gagasan. Penyebab kesalahpamahan ini disebabkan pengetahuan IN sebagai produk, dan bukan sebagai metodologi. Inilah yang membuat IN dianggap sebagai kesalahan serius, padahal ia merupakan kewajaran yang hadir tidak hanya di negeri ini, tetapi di belahan dunia manapun.
Ini terjadi karena sebagai realitas historis, IN merupakan produk dari kontekstualisasi Islam. Meminjam istilah Taufik Abdullah, ia merupakan hasil dari "proses kimiawi" antara Islam dengan kultur lokal. Hanya saja bentuknya bukan sinkrestisme, pun juga Jawanisasi, melainkanperwujudan kultural Islam akibat penggunaan tradisi ('urf) sebagai salah satu dalil perumusan hukum Islam. Inilah titik krusial dari IN itu.
Artinya, NU yang kini mewacanakan gagasan IN, berangkat dari metodologi yang wajar dalam perumusan hukum Islam. Sebab di dalam setiap perumusan ini, terdapat dalil sekunder -selain al-Qur'an dan hadist- yang merujuk pada; ijma' (kesepakatan ulama), qiyas (analogi), istihsan(kebijaksanaan), saddu al-dzari'ah (menutup keburukan), dan 'urf (tradisi). Dalil terakhir inilah yang menjadi landasan bagi pembentukan IN, berbasis pada kaidah fikih al-'adah al-muhakkamah(adat bisa menjadi landasan hukum).
Hal ini terjadi karena perumusan hukum Islam selalu memiliki tujuan, yang oleh para fakih ditetapkan pada nilai kemaslahatan (mashlahat). Inilah yang menjadi tujuan syariah (maqashid al-syari'ah). Oleh NU, maqashid al-syari'ah ini diwujudkan melalui prinsip-prinsip syariah (mabadi' al-syari'ah), salah satunya moderasi (wasathiyyah) sebagaimana firman Allah dalam al-Baqarah:143. Dalam praktiknya, prinsip moderat diterapkan melalui suatu realisme (al-waqi'iyyah), yang menempatkan realitas sebagai pijakan bagi pemikiran, perumusan hukum dan medan dakwah (Muhajir, 2015). Realisme ini yang membuat Walisongo menerima realitas masyarakat Nusantara, dan dari sana membangun Islam secara perlahan.
Oleh karenanya, IN bukan sinkretisme sebab dasar dan metodologinya berbasis pada syariah Islam. Ini dilakukan Walisongo ketika menggunakan wayang dalam berdakwah, yang dilakukan melalui "islamisasi nilai" di dalam bentuk budaya berepos Hindu tersebut.
Misalnya, dengan menambah tokoh Sang Hyang Tunggal sebagai pencipta para dewa, Sunan Kalijaga telah menegaskan monoteisme atas politeisme. Ini dilakukan tanpa perusakan artistik dan konflik teologis, sebab pembaruannya sangat halus dan substantif. Atau ketika Dewi Drupadi, yang dalam epos Mahabarata asli melakukan poliandri:isteri Pandawa lima, menjadi monogami: hanya menjadi isteri Yudistira (Sunyoto, 2012:358). Pembaruan kebudayaan ini dilakukan melalui transformasi struktur dalam (nilai), tanpa merubah sama sekali struktur luar (bentuk) kebudayaan. Ini yang membuat Islam diterima secara luas, karena ia datang dengan damai.

Dialektika Budaya
Dari sini, pelurusan atas kesalahpahaman terhadap IN perlu dilakukan dalam beberapa hal.Pertama, konteks persoalan IN bukan oposisi antara kearaban dan keindonesiaan, melainkan antara agama dan budaya. Ini terjadi tidak hanya di Indonesia (Nusantara) melainkan juga di Arab dan belahan bumi manapun, ketika agama diamalkan.
Dalam konteks ini, kita perlu menengok kembali prinsip pribumisasi Islam yang merupakan proses alamiah, sosialisasi nilai-nilai agama. Artinya, bahkan di Arab-pun, pribumisasi Islam ke dalam budaya pra-Islam dilakukan oleh Muhammad SAW. Ini terkait dengan sifat dasar sosialisasi, dan sifat dasar dialektika agama dan budaya, yang saling independen dalam hubungan tumpang-tindih. Layaknya hubungan filsafat dan ilmu pengetahuan, maka agama membutuhkan budaya sebagai media sosialisasi, meski agama bukan budaya.
Kedua, dengan demikian anti-tesa IN bukan Islam Arab, akan tetapi purifikasi agama dari budaya. Purifikasi ini oleh gerakan Wahabi akhirnya digerakkan demi imperialisme budaya Arab. Inilah yang ditolak IN, tanpa menolak sama sekali "Arabisme Islam". Ini dibuktikan dengan al-Qur'an langgam Jawa, yang tetap dibaca dalam Bahasa Arab. Perawatan aspek Arab dalam rukun Islam menunjukkan bahwa IN, hanyalah pengamalan Islam dalam habitus masyarakat tanpa merusak sendiagama.
Ketiga, IN bukan langkah mundur. Ia justru langkah maju melalui pemijakan pada akar budaya Islam. Sebab jika gagasan Islam Indonesia memuat keharmonisan Islam dan negara-bangsa (nation-state), maka IN memuat keharmonisan Islam dengan budaya Nusantara. Karena sifat nasionalisme Indonesia yang perenialis (kesinambungan kultur-historis dan bangsa modern), maka IN menjadi dasar bagi nasionalisme Islam yang melandasi kebangsaan Indonesia. Ini membuat IN menjadi dasar bagi gagasan Islam Indonesia.

Syaiful Arif, Dosen Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta




Islam, NU dan Nusantara


Islam merupakan pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Islam datang dari Allah SWT melalui utusan-Nya, Muhammad SAW. Islam hadir bukan hanya untuk mengislamkan bangsa Arab tapi juga untuk umat manusia dimana dan kapanpun mereka berada. Islam bukan monopoli bangsa, suku, daerah ataupun ras tertentu.Universalitas Islam sebagai agama langit melampaui sekat-sekat territorial dan perbedaan suku, ras dan jenis manusia.
Kendatipun demikian, Islam tidaklah terlahir dari ruang dan waktu yang kosong.Ia dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang secara teritori berasal dari Arab. Karenanya, proses dialog ajaran Islam dengan budaya Arab tidak dapat dihindarkan. Kearaban Nabi Muhammad SAW dan Al-Qur'an tidak serta merta dapat mengeneralisir bahwa semua yang berbau Arab itu pasti sakral,suci dan tidak ada sisi negatifnya.Tentu harus dipilih dan dipilah mana subtansi ajaran yang menjadi bagian Islam yang patut dimuliakan, dan mana yang tidak subtansial. Substansi ajaran Islam itulah yang melampaui budaya dan peradaban tertentu serta melampaui ras kemanusiaan. Rahmat Allah SWT berupa Islam, Nabi Muammad dan al-Quran diperuntukkan bagi semua semesta tanpa harus mengunggulkan dan melemahkan bangsa, suku dan ras tertentu atas yang lain.
Dengan demikian, Islam sebagai agama dan ajaran akan dapat berdialog dengan budaya dan peradaban manusia di mana dan kapanpun,termasuk dengan budaya dan peradaban Nusantara. Kendati harus diakui bahwa tidak semua budaya Nusantara identik dan sejalan dengan ajaran  Islam. Namun, baik budaya Arab maupun Nusantara, tentu mengalami proses dialog yang saling mengisi, menyempurnakan dan tidak saling menegasikan terhadap ajaran Islam. Bahkan ajaran Islam yang  justru menyempurnakan budaya-budaya tersebut agar seiring sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dalam segala dimensi ruang dan waktunya.
Islam Nusantara bukanlah agama baru.Ia ada sejak agama Islam hadir di bumi Nusantara. Ia merupakan istilah yang digunakan untuk merangkai ajaran dan paham keislaman dengan budaya dan kearifan lokal Nusantara yang secara prinsipil tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam. Islam Nusantara adalah sebuah ungkapan yang mencoba menegaskan bahwa ada Islam di wilayah Nusantara dengan segenap jati diri dan karakteristiknya yang khas. Dengan demikian, orang Islam yang kehilangan jati dirinya dan tampil dengan wajah kebarat-baratan atau kearab-araban, sehingga mereduksi tradisi, budaya dan adat istiadat bangsanya yang mungkin lebih relevan dengan ajaran Islam, tidak dapat disebut sebagai Muslim Nusantara.
Islam Nusantara tidak bermaksud mereduksi ajaran Islam seperti kewajiban berjilbab/menutup aurat, tahiyyat salam dan hal lain yang berbau kearaban. Justru Islam Nusantara sangat akomodatif dan inklusif terhadap hal-hal di atas sepanjang tidak bertentangan dengan subtansi ajaran Islam. Lokus kerja Islam Nusantara adalah pengaintegrasian antara nilai-nilai universal Islam dengan tradisi dan peradaban lokal kenusantaraan yang hidup dan tidak bertentangan dengan Islam. Hal ini penting agar mampu melahirkan kembali umat manusia yang berbudaya dan berkeadaban gotong royong, ramah, murah senyum, toleran, moderat, tentram, teposeliro,magayu bagyo, andap asor dan tidak mudah marah atau mencaci maki orang yang berbeda dan tidak sependapat dengan dirinya.
Islam Nusantara ingin membangun peradaban dan melahirkan umat yang tidak adigang adigung adiguna, umat yang selalu menghargai perbedaan, berprinsip bhineka tunggal ika serta tidak hobi menebar rasa kebencian, kecurigaan dan hasud kepada sesama, hanya karena perbedaan keyakinan, agama, suku, ras dan bangsa. Islam Nusantara ingin mencetak manusia-manusia yang tidak beringas, merasa paling benar, eksklusif dan merasa superior di atas manusia lainnya. Intinya, Islam Nusantara adalah sebuah ikhtiar untuk melahirkan manusia yang berbudaya dan berkeadaban mulia yang selalu memanusiakan manusia tanpa ada diskriminasi.

NU dan Islam Nusantara
Gagasan baru tentang Islam Nusantara baru muncul secara terstruktur sekitar dua tahun terakhir. Pro kontra terhadap sebuah gagasan baru pasti datang silih berganti. Bahkan tidak jarang yang menuduh dan memberikan stigma negative atas sebuah gagasan tanpa berdialog terlebih dahulu dengan komunitas yang memunculkan gagasan tersebut.
Diakui atau tidak, NU adalah ormas Islam pertama yang mengarusutamakan gagasan Islam Nusantara itu, kendatipun harus diakui belum semua warga nahdliyin mengetahui dan memahami gagasan tersebut. Sejatinya gagasan itu lahir dari pergumulan akademik para elit intelektual NU, terutama Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj dan para akademisi STAINU serta UNU Jakarta, terhitung sejak dibukanya Program Pascasarjana Kajian Islam Nusantara di penghujung tahun 2012 lalu. Kendatipun lahir dari rahim NU, Islam Nusantara akan dipersembahkan untuk peradaban dan keadaban seluruh umat manusia.
Ide Islam Nusantara sebenarnya sangat bersahaja. Bertitik tolak dari fakta bahwa mayoritas umat Islam Indonesia berpaham dan mengikuti ajaran AhlussunnahWaljamaah (Aswaja), dan sebagian besar pengikut Aswaja itu adalah warga NU. Dalam diskursus para elit intelektual NU, Aswaja adalah manhajul hayat wal fikr (pedoman hidup dan metode berfikir) dengan berbasis pada sikap mulia yaitu tawas-suth (moderat), tawâzun (seimbang/equal), tasâmuh (toleran) dan i'tidal (selalu berpihak pada kebenaran). Keempat pilar mulia itulah yang menjadi pijakan dalam bersikap, bertindak, bertutur kata, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan keempat pilar tersebut diharapkan dapat menjadi pisau analisis dalam pergumulan keilmuan dan dalam menghadapi benturan peradaban yang saling berpenetrasi, berinfiltrasi dan berakulturasi satu dengan lainnya.
Selain itu, NU dengan Aswajanya tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga tradisi dan kearifan lokal Nusantara. Hal itu terlihat dan terkonstruk secara terstruktur dan massif dalam tardisi dan laku “Arumaniz” (baca; tradisi baca Aurad/wiridan, Ratib, Manaqib, Maulid, Nasyid, Istighotsah dan Ziarah ulama atau makam auliya').
Islam Nusantara sejatinya adalah gagasan progresif yang berikhtiar untuk mendialogkan antara inti sari ajaran Islam ala Aswaja dengan budaya dan peradaban Nusantara yang tidak saling bertentangan bahkan saling menyempurnakan satu sama lainnya. Sama sekali tidak bermaksud mereduksi ajaran Islam, mempertentangkan antara Islam Arab dan Islam Nusantara, apalagi anti budaya Arab, rasis dan lain sebagainya.
Sesungguhnya Islam Nusantara adalah sebuah ijtihad untuk menampilkan ajaran Islam yang membumi di Nusantara. Islam Nusantara mengimpikan ajaran Islam yang inklusif dengan peradaban bahari dan continental yang ada di dalamnya. Sehingga ajaran Islam tidak selalu dihadap-hadapkan dengan peradaban Nusantara. Dangan cara pandang seperti ini, diharapkan Islam Nusantara akan mampu melahirkan berbagai disiplin keilmuan yang khas Nusantara, seperti fikih nusantara, siyasah nusantara, muamalah nusantara, qanûn nusantara, perbankan Islam nusantara, ekonomi Islam nusantara dan berbagai cabang ilmu Islam lain atas dasar sosio-episteme kenusantaraan.
Tidak berhenti pada titik itu, ilmu-ilmu sosial dan eksakta pun akan coba dieksplorasi sedemikian rupa sehingga ilmu astronomi, teknik, pelayaran, pertanian, dan peternakan nusantara yang pernah menguasai dunia pada masa nenek moyang kita juga akan digali dan diketengahkan kembali body of knowledgenya dengan baik. Sehingga bangsa ini akan bangkit kembali dari keterpurukannya. Usaha ini sesungguhnya mirip dengan proyek keilmuan yang bernama islamisasi ilmu dan teknologi atau integrasi keilmuan (sains dan Islam).
Lebih jauh lagi, gagasan Islam Nusantara bertujuan untuk meng-counter discourse terhadap paradigm keilmuan yang sangat sekularistik-positivistik, yang serba teknologistik-materialistik dan juga penyeimbang terhadap budaya sosial masyarkat modern yang cenderung materialistis, hedonistis dan pragmatis. Bahkan, Islam Nusantara hendak mewujudkan budaya dan peradaban baru dunia yang berbasis pada nilai-nilai luhur dan universal keislaman dan kenusantaraan. Dengan demikian gagasan Islam Nusantara bukan sekadar pepesan kosong, namun merupakan proyek akademik, budaya dan peradaban sekaligus. Sebuah ikhtiar mulia dari anak manusia Nusantara untuk mengangkat harkat dan martabatnya dalam kontestasi global demi menggapai ridhaTuhan dan mengaktualisasikan risalah Islam rahmatan lil alamin bagi semesta alam.

Oleh M. IsomYusqi adalah Direktur Pascasarjana STAINU Jakarta

Sumber: www.nu.or.id



Kumpulan sholawat


Sholawat Munjiyat
أَللَّــــهُمَّ صَــلِّ عَلَى سَـــيِّدِنَا مُـحَــمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُـحَمَّدٍ صَلَاةً تُنْجِيْنَابِـهَا مِنْ جَمِيْعِ الْأَهْوَالِ وَالْآفَاتِ وَتَقْضِيْ لَنَابِـهَا جَمِيْعَ الْـحَاجَاتِ وَتُطَهِّرُنَا بِـهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ وَتَرْفَعُنَابِـهَا أَعْلَى الدَّرَجَاتِ وَتُبَلِّغُنَا بِـهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الْـخَيْرَاتِ فِى الْـحَيَاتِ وَبَعْدَ الْـمَمَاتِ
Artinya:Ya Allah, limpahkanlah kesejahteraan atas junjungan kami Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya. Semoga dengan berokah sholawat Engkau melepaskan kami dari bencana dan musibah, Engkau tunaikan segala hajat kami, Engkau bersihkan kami dari segala keburukan, Engkau  mengangkat kami pada derajat yang paling tinggi serta semoga Engkau capaikan tujuan kami dari segala kebaikan, baik waktu kami hidup ataupun setelah mati.

Sholawat Tafrjiyyah / Nariyyah
أَللَّـــهُمَّ صَلِّ صَــلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَآمًّا عَلَى سَــيِّدِنَا مُـحَــمَّدِ نِالّذِي تَنْــحَلُّ بِهِ
الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهَ الْـحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَآئِبُ وَحُسْنُ الْـخَوَاتِـمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيـْمِ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ فِى كُلِّ لَـمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ 
Artinya: Ya Allah, Limpahkanlah kesejahteraan dan keselamatan yang sempurna kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW yang terurai dengan berkahnya segala ikatan, dengannya terlepas segala macam kesusahan, dengannya tercapai segala hajat, dengannya dapat diperoleh segala keinginan dan husnul khotimah,. Dengan berkah keperibadiannya yang mulia akan tercurah hujan rahmat kesejah-teraan dan keselamatan semoga juga terlimpahkan kepada keluarga serta sahabat-sahabat Nabi pada setiap kedipan mata dan hembusan nafas, bahkan sebanyak pengetahuan yang engkau miliki.   

Sholawat Fatih
أَللَّــــهُمَّ صَــلِّ عَلَى سَـــيِّدِنَا مُـحَــمَّدِ نِالْفَاتِحِ لِـمَا أُغلِقَ وَالْـخَاتِـمِ لِـمَا سَبَقَ نَاصِرِ الْـحَقِّ بِالْـحَقِّ وَالْـهَادِيْ إِلَى صِرَاطَكَ الْـمُسْتَقِيْمِ وَعَلَى اَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ
Artinya:Ya Allah, limpahkanlah kesejahteraan atas junjungan kami Nabi Muhammad SAW yang membuka segala sesuatu yang tertutup, menutup segala sesuatu yang telah berlalu, menolong kebenaran dengan kebenaran, memberi petunjuk pada jalan yang lurus. Semoga (kesejahteraan) juga terlimpahkan kepada keluarganya dengan sebenar-benar pengagungan padanya dan kedudukan yang agung

Sholawat Thibbil Qulub/Syifa’
أَللَّــــهُمَّ صَــلِّ عَلى سَـــيِّدِنَا مُـحَــمَّدٍ طِبِّ الْقُــلُوْبِ وَدِوَائِــهَا، وَعَافِـــيَةِ الْأَبْــدَانِ وَشِفَائِهَا، وَنُوْرِ الْأَبْصَارِ وَضِيَائِهَا، وَعَلَى أَلِهَ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ.
Artinya: Ya Allah...Curahkanlah rahmat kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sebagai obat hati dan penyembuhnya, penyihat badan dan kesembuhannya dan sebagai penyinar penglihatan mata serta cahayanya. Semoga sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada keluarga serta sahabat-shabatnya.


Sholawat Taysir
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُـحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُـحَمَّدٍ، صَلَاةً تَفْتَحُ لِي بـِهَا بَابَ الرِّضَا وَالتَّيْسِيْرِ، وَتَغْلِقُ بـِهَا عَنِّى بَابَ الشَّرِّ وَالتَّعْسِيْرِ، وَتَكُوْنُ لِى بـِهَا وَلِيًّا وَ نَصِيْرًا، يَانِعْمَ الْمَوْلَى وَيَانِعْمَ النَّصِيْرُ، وَعَطِفْ قُلُوْبَ الْعَالَمِيْنَ بِاَسْرِهِمْ عَلَيَّ وَالْبِسْنِـيْ قَبُوْلاً بِشَلْمَهَتْ


Artinya : Ya Allah, berikanlah shalawat kepada junjungan kita sayyidina Muhammad saww. dan untuk keluarga sayyidina Muhammad saww., yang dengan shalawat itu Engkau membukakan kepada saya dengannya pintu keridho’an dan kemudahan, dan Engkau tutup dengannya untuk saya pintu kejelekan dan kesukaran/kesusahan, dan Engkau jadikan/mengadakan kepada saya dengannya pelindungan dan pertolongan, Yang (Dia Allah) sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong, dan lembutkanlah seluruh hati manusia kepada saya dan serta kabulkanlah permohonanku.