Kamis, 26 Mei 2016

AMALIYAH MALAM NISHFU SYA'BAN

AMALIYAH MALAM NISHFU SYA'BAN
(PP. Manba'ul Falah Rungkut Menanggal)

Diskripsi Masalah:     
Pada malam paruh kedua dari bulan Sya’ban, banyak dari kalangan umat Islam yang berduyun-duyun ke masjid, mushalla dan surau untuk melaksanakan kegiatan keagamaan yang rutin dijalani setiap malam Nishfu Sya’ban. Salah satu kegiatannya adalah melakukan salat sunah sebanyak dua rakaat atau lebih.
Ada juga dari mereka yang membaca surat Yaasin secara bersama-sama sebanyak 3 kali. Biasanya dari masing-masing pembacaan surat Yasin tersebut diniatkan untuk memperoleh rezeki yang halal, untuk umur panjang yang barokah, serta untuk mendapatkan husnul khatimah. Adapula diantara masyarakat yang melengkapi kegiatan tersebut dengan bersedekah.
Pertanyaan:
a.  Adakah tuntunan secara umum dan khusus untuk melakukan ibadah pada malam Nishfu Sya’ban?
b.  Apa sebenarnya keistimewaan malam Nishfu Sya’ban dibanding dengan malam-malam yang lain?
c.  Apa dasar ulama dalam penetapan pembacaan surat Yasin pada malam Nishfu Sya’ban beserta macam-macam niatnya?
d.  Apa hukum melakukan shalat sunnah pada malam Nishfu Sya’ban?

Jawaban 29 a:
Dalam syari’at Islam terdapat tuntunan (dalil-dalil) untuk beribadah pada malam Nishfu Sya’ban.
Dasar Pengambilan Hukum:
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ عَن ِالنَّبِيِّ e قَالَ: يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ (رواه الطبراني في الكبير والأوسط قَالَ الهيثمى ورجالهما ثقات. ورواه الدارقطنى وابنا ماجه وحبان فى صحيحه عن ابى موسى وابن ابى شيبة وعبد الرزاق عن كثير بن مرة والبزار).
 “Rasulullah e bersabda, “Sesungguhnya Allah memperhatikan hambanya (dengan penuh rahmat) pada malam Nishfu Sya’ban, kemudian Ia akan mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan musyachin (orang munafik yang menebar kebencian antar sesama umat Islam)”. (HR Thabrani fi Al Kabir no 16639, Daruquthni fi Al Nuzul 68, Ibnu Majah no 1380, Ibnu Hibban no 5757, Ibnu Abi Syaibah no 150, Al Baihaqi fi Syu’ab al Iman no 6352, dan Al Bazzar fi Al Musnad 2389. Peneliti hadis Al Haitsami menilai para perawi hadis ini sebagai orang-orang yang terpercaya. Majma’ Al Zawaid 3/395)
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ النَّبِيَّ e ذَاتَ لَيْلَةٍ فَخَرَجْتُ أَطْلُبُهُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ رَافِعٌ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ أَكُنْتِ تَخَافِيْنَ أَنْ يَحِيْفَ اللهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قَالَتْ قَدْ قُلْتُ وَمَا بِي ذَلِكَ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ ِلأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ
“Aisyah berkata “Pada suatu malam, saya kehilangan Rasulullah. Setelah saya keluar mencarinya, ternyata beliau ada di Baqi’ seraya menengadahkan kepalanya ke langit, beliau berkata “Apakah kamu takut Allah dan Rasulnya mengabaikanmu?”. Aisyah  berkata “Saya tidak memiliki ketakutan itu, saya mengira engkau mengunjungi sebagian di antara istri-istri engkau”. Nabi berkata “Sesungguhnya (rahmat) Allah turun ke langit yang paling bawah pada malam Nishfu Sya’ban dan Ia mengampuni dosa-dosa yang melebihi dari jumlah bulu kambing milik suku Kalb”. (HR Turmudzi no 670, dan Ibnu Majah no 1379)
تحفة الأحوذي شرح سنن الترمذي ج 2 ص 277
فَهَذِهِ اْلأَحَادِيثُ بِمَجْمُوعِهَا حُجَّةٌ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ فِي فَضِيْلَةِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ شَيْءٌ وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ .
“Hadits-hadits di atas secara keseluruhan merupakan sebuah hujjah yang membantah anggapan sebagian ulama yang berpendapat bahwa tidak ada satupun dalil kuat yang menjelaskan tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban”. (Tuchfah al-Achwadzi Syarh Sunan al-Tirmidzi, II/277)
Jawaban 29 b:
Di antara keistimewaan malam Nishfu Sya’ban adalah sebagai berikut:
1.  Menurut Imam Syafi’i, malam Nishfu Sya’ban adalah salah satu malam yang mustajabah.
2.  Menurut ‘Atha bin Yasar, malam Nishfu Sya’ban adalah malam yang paling utama setelah Lailatul Qadar.
3.  Menurut sahabat ‘Ikrimah, yang dimaksud dengan ayat
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ () فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ {الدخان:3-4}
surat al Dukhan ayat 3-4, malam tersebut adalah malam Nishfu Sya’ban, akan tetapi pendapat ini ditentang oleh jumhur ulama, dan yang dimaksud dengan ليلة مباركة  adalah Lailatul Qadar.
4.  Menurut ulama yang lain, malam Nishfu Sya’ban adalah malam laporan amal tahunan kepada Allah SWT.
Dasar Pengambilan Hukum:
فيض القدير ج 6 ص 50
قَالَ الشَّافِعِى بَلَغَنَا أنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِى خَمْسِ لَيَالٍ أوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبَ وَلَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ وَلَيْلَتَىِ اْلعِيْدِ وَلَيْلَةِ الْجُمْعَةِ.
“Imam Syafii berkata: Telah sampai kepada kami bahwa doa dikabulkan dalam lima malam, yaitu awal malam bulan Rajab, malam Nishfu Sya’ban, dua malam hari raya dan malam Jumat”. (Faidl al-Qadír, VI/50)
نزهة المجالس ج 1 ص 158
قَالَ عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ مَا بَعْدَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَفْضَلُ مِنْ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَهِىَ مِنَ اللَّيَالِى الَّتِى يُسْتَجَابُ فِيْهَا الدُّعَاءُ. قَالَ النَّوَوِى عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ مِنَ التَّابِعِيْنَ .
“Yasar bin Atho’ berkata : Tidak ada malam yang lebih utama setelah Lailatul Qadar dibandingkan dengan Nishfu Sya’ban. Ia merupakan salah satu malam yang mustajabah”. (Nuzhah al-Maj á lis, I/158)
تفسير القرطبى ج 16 ص 85
وَقَالَ عِكْرِيْمَةُ هِىَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يُبْرَمُ فِيْهَا أَمْرُ السَّنَةِ وَيُنْسَخُ اْلأَحْيَاءُ مِنَ اْلأَمْوَاتِ وَيُكْتَبُ الْحَاجُّ فَلاَ يُزَادُ فِيْهِمْ أَحَدٌ وَلاَ يُنْقَصُ مِنْهُمْ أَحَدٌ وَرَوَى عُثْمَانُ بْنُ الْمُغِيْرَةِ قَالَ قَالَ النَّبِىَ e تُقْطَعُ اْلأَجَالُ مِنْ شَعْبَانَ إلَى شَعْبَانَ حَتَّى أَنَّ الرَّجُلَ لَيَنْكِحُ وَيُوْلَدُ لَهُ وَقَدْ خُرِجَ اسْمُهُ فِى الْمَوْتَى. وَقَالَ اْلقَاضِى أبُوْ بَكْرِ بْنِ الْعَرَبي وَجُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءُ عَلَى أنَّهَا لَيْلَةُ اْلقَدْرِ.
“Ikrimah berpendapat bahwa yang dimaksud Lailah Al Mubarakah itu adalah malam nishfu sya’ban. Di malam itu Allah menentukan semua urusan dalam peristiwa setahun, menghapus nama-nama orang dari daftar calon orang meninggal dan mencatat nama-nama orang yang akan melaksanakan haji tanpa ditambah atau dikurangi. Utsman bin Mughirah meriwayatkan hadis, Rasulullah e bersabda, “Ajal ditentukan dari satu Sya’ban ke bulan Sya’ban berikutnya, hingga seseorang menikah, dikaruniai anak dan namanya dikeluarkan dari orang-orang yang akan meninggal” (HR Ibnu Abi Dunya dan Al Dailami). Qadli Abu Bakar bin Al Araby berkata : Para Ulama’ mengatakan bahwa malam tersebut adalah Lailatul Qadar”. (Tafsir al-Qurtúbi, XVI/85)
حاشية الجمل ج 8 ص 323
(قَوْلُهُ: تُعْرَضُ اْلأَعْمَالُ) أَيْ تُعْرَضُ عَلَى اللهِ تَعَالَى وَكَذَا تُعْرَضُ فِي لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ وَفِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَاْلأَوَّلُ عَرْضٌ إجْمَالِيٌّ بِاعْتِبَارِ اْلأُسْبُوْعِ، وَالثَّانِي بِاعْتِبَارِ السَّنَةِ
“Amal-amal tersebut diperlihatkan kepada Allah, begitu pula pada malam Nishfu Sya’ban dan Lailatul Qadar. Yang pertama (Senin-Kamis) merupakan laporan amal mingguan. Yang kedua dan ketiga (Nishfu Sya’ban dan Lailatul Qadar) merupakan laporan amal tahunan”. (Chásyiyah al-Jamal, VIII/323)
Jawaban 29 c:
Pembacaan surat Yasin pada malam Nishfu Sya’ban beserta macam-macam niatnya merupakan hasil ijtihad para ulama.
Dasar Pengambilan Hukum:
أسنى المطالب فى أحاديث مختلفة المراتب ص 234
وَأَمَّا قِرَاءَةُ سُوْرَةِ يس لَيْلَتَهَا بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَالدُعَاءِ الْمَشْهُوْرِ فَمِنْ تَرْتِيْبِ بَعْضِ أهْلِ الصَّلاَحِ مِنْ عِنْدِ نَفْسِهِ قِيْلَ هُوَ الْبُوْنِى وَلَا بَأْسَ بِمِثْلِ ذَلِكَ.
“Adapun pembacaan surat Yasin pada malam Nishfu Sya’ban setelah Maghrib merupakan hasil ijtihad  sebagian ulama, konon ia adalah Syeikh Al Buni, dan hal itu bukanlah suatu hal yang buruk”. (Asná al-Mathálib, 234)
فتح الملك المجيد للشيخ أحمد الديربى ص 19
(وَمِنْ خَوَاصِ سُوْرَةِ يس) كَمَا قَالَ بَعْضُهُمْ أنْ تَقْرَأَهَا لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ الأُوْلَى بِنِيَّةِ طُوْلِ اْلعُمْرِ وَالثَّانِيَةُ بِنيَّةِ دَفْعِ الْبَلاَءِ وَالثَّالِثَةُ بِنِيَّةِ اْلإسْتِغْنَاءِ عَنِ النَّاسِ.
“Diantara keistimewaan surat Yasin, sebagaimana menurut sebagian para Ulama, adalah dibaca pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak 3 kali. Yang pertama dengan niat meminta panjang umur, kedua niat terhindar dari bencana dan ketiga niat agar tidak bergantung kepada orang lain”. (Fatchu al-Malik al-Majíd, 19)
تلخيص فتاوى ابن زياد ص 301
(مَسْئَلَةٌ) حَدِيْثُ يس لِمَا قُرِئَتْ لَهُ لاَ أَصْلَ لَهُ وَلَمْ أَرَ مَنْ عَبَّرَ بِأَنَّهُ مَوْضُوْعٌ فَيَحْتَمِلُ أنَهُ لاَ أصْلَ لَهُ فِى الصِّحَّةِ وَالَّذِىْ أعْتَقِدُهُ جَوَازُ رِوَايَتِهِ بِصِيْغَةِ التَّمْرِيْضِ نَحْوُ بَلَغَنَا كَمَا يَفْعَلُهُ أصْحَابُ الشَّيْخِ اِسْمَعيِلَ اْلَجْبَرِتى اهـ.
“Hadits yang berbunyi “Surat Yasin dapat dibaca sesuai dengan niat tujuannya” merupakan hadis yang tidak ada dasarnya, tetapi saya tidak menemui ulama yang mengatakannya sebagai hadis palsu. Bisa jadi yang dimaksud adalah hadis tersebut tidak shohih. Saya meyakini bahwa boleh meriwayatkan hadis tersebut dengan redaksi riwayat yang tidak tegas, seperti telah sampai pada kami sebagaimana yang dilakukan oleh murid-murid Syeikh Ismail Al Jabraty dari Yaman.” (Talkhísh Fatáwá Ibnu Ziyád, 301)
Jawaban 29 d:
Hukum melakukan shalat sunnah mutlak pada malam Nishfu Sya’ban adalah mustahab (disunnahkan) karena Rasulullah e pernah melaksanakan shalat tersebut. Sementara jika shalat tersebut diniati nishfu sya’ban maka hukumnya haram, karena tidak ada tuntunan ibadah salat nishfu sya’ban. Bentuk salat sunah yang boleh dikerjakan pada malam Nishfu Sya’ban adalah salat sunah mutlak, salat Hajat, salat Tasbih, dan shalat apapun yang telah dilakukan oleh Rasulullah e.
Catatan:
Kedudukan hukum mustahab adalah satu tingkat di bawah hukum sunnah.
Dasar Pengambilan Hukum:
ذكريات ومناسبات لسيد محمد بن علوى الملكى ص 155-156
عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ الْحَارِثِ اَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَامَ رَسُوْلُ اللهِ e مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ قُمْتُ حَتَّى حَرَّكْتُ إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ قَالَ: يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْتِ أَنَّ النَّبِيَّ e قَدْ خَاسَ بِكِ؟ قُلْتُ: لاَ وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنْ قُبِضْتَ طُوْلَ سُجُوْدِكَ، قَالَ: أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِيْنَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ، رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ. وَقَالَ هَذَا مُرْسَلٌ جَيِّدٌ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُوْنَ الْعَلاَءُ أَخَذَهُ مِنْ مَكْحُوْلٍ
“Dari 'Ala' bin Charits bahwa Aisyah berkata: “Rasulullah bangun di tengan malam kemudian beliau salat, kemudian sujud sangat lama, sampai saya menyangka bahwa beliau wafat. Setelah itu saya bangun dan saya gerakkan kaki Nabi dan ternyata masih bergerak. Kemudian Rasul bangkit dari sujudnya setelah selesai melakukan shalatnya, Nabi berkata “Wahai Aisyah, apakah kamu mengira Aku berkhianat padamu?”, saya berkata “Demi Allah, tidak, wahai Rasul, saya mengira engkau telah tiada karena sujud terlalu lama.” Rasul bersabda “Tahukauh kamu malam apa sekang ini?” Saya menjawab “Allah dan Rasulnya yang tahu”. Rasulullah bersabda “ini adalah malam Nishfu Sya’ban, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memperhatikan hamba-hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Allah akan mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang meminta dikasihani, dan Allah tidak akan memprioritaskan orang-orang yang pendendam”. (HR Al Baihaqi fi Syuab Al Iman no 3675, menurutnya hadits ini Mursal yang baik)
Catatan:
1.    Letak ke-mursal-an hadits tersebut karena Al ‘Ala’ bin Al Charits adalah seorang Tabiin yang tidak pernah berjumpa dengan Aisyah, prediksi Al Baihaqi menyebutkan Al ‘Ala’ memperoleh hadits tersebut dari gurunya, Makchul. Imam Achmad menilai Al ‘Ala’ sebagai orang yang sahih haditsnya. Abu Chatim berkata: Tidak ada murid Makchul yang lebih terpercaya dari pada Al ‘Ala’. Ibnu Hajar menyebut Al ‘Ala’ sebagai orang yang jujur dan berilmu fikih, tetapi ia dituduh pengikut Qadariyah. (Mausu’ah Ruwat Al Hadits)
2.   Para Imam Madzhab, seperti Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal mengkategorikan hadis Mursal sebagai hadis yang dapat diterima (Hadis Maqbul) bila memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya Sahabat atau Tabiin yang digugurkan dari sanad merupakan seorang yang dikenal kredibilitasnya, tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih shahih, dan lain sebagainya, sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Ulumul Hadits.
مجموع فتاوى ابن تيمية ج 2 ص 469
وَسُئِلَ عَنْ صَلاَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ؟ (الْجَوَابُ) فَأَجَابَ: إذَا صَلَّى اْلإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِيْ جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ. وَأَمَّا اْلاِجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلاَةٍ مُقَدَّرَةٍ. كَاْلاِجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ: {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} دَائِمًا. فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ. وَاللهُ أَعْلَمُ.
“Ibnu Taimiyah ditanyai soal shalat pada malam nishfu Sya’ban. Ia menjawab: Apabila seseorang shalat sunah muthlak pada malam nishfu Sya’ban sendirian atau berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh segolongan ulama salaf, maka hukumnya adalah baik. Adapun kumpul-kumpul di masjid dengan shalat yang ditentukan, seperti salat seratus raka’at dengan membaca surat al Ikhlash sebanyak seribu kali, maka ini adalah perbuata bid’ah yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama”. (Majmú' Fatáwá Ibnu Taymiyyah, II/469)
فيض القدير ج 2 ص 302
(تَنْبِيْهٌ) قَالَ المَجْدُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ لَيْلَةُ نِصْفِ شَعْبَانَ رُوِىَ فِى فَضْلِهَا مِنَ اْلأَخْبَارِ وَاْلأثَارِ مَا يَقْتَضِى أنَّهَا مُفَضَّلَةٌ وَمِنَ السَّلَفِ مَنْ خَصَّهَا بِالصَّلاَةِ فِيْهَا
“Ibnu Taimiyah berkata : Dari beberapa hadis dan pandapat para sahabat menunjukkan bahwa malam Nishfu Sya’ban memiliki keutamaan tersendiri. Sebagian ulama Salaf melaksanakan salat sunah secara khusus di malam tersebut”.(Faidl al-Qadír, II/302)
اعانة الطالبين ج 1 ص 271
قَالَ العَلاَّمَةُ الْكُرْدِى وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْهَا فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ لَهَا طُرُقٌ إذَا اجْتُمِعَتْ وَصَلَ الْحَدِيْثُ إلَى حَدٍّ يُعْمَلُ بِهِ فِى فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ وَمِنْهُمْ مَنْ حَكَمَ عَلَى حَدِيْثِهَا بِالْوَضْعِ وَمِنْهُمُ النَّوَوِى وَتَبِعَ الشَّارِحُ فِى كُتُبِهِ.
“Syeikh Al Kurdy berkata : Para Ulama berbeda pendapat mengenai hadis-hadis yang berhubungan dengan salat sunah malam Nishfu Sya’ban, diantara para ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut (meskipun Dloif) memiliki banyak jalur riwayat, yang secara keseluruhan (akumulasi) hadis tersebut boleh dilaksanakan dalam hal Fadlailul A’mal (naik peringkat menjadi hadis hasan lighairihi). Diantara ulama yang lain menghukuminya sebagai hadis palsu, seperti Imam Nawawi dan Syekh Zainuddin Al Malibary”. (I'ánah al-Thálibín, I/271)

http://www.hujjahnu.com/2013/02/bahtsul-masail-amaliyah-malam-nisfu.html

Sejarah Kemunculan NU


Teks Translit Pidato
KH As'ad Sayamsul Arifin[1]

(KH As’ad Syamsul Arifin adalah pelaku sejarah berdirinya NU, beliaulah yang menjadi media penghubung dari KH Kholil Bangkalan yang memberi isyarat agar KH Hasyim Asyari mendirikan Jamiyah Ulama [akhirnya bernama Nahdlatul Ulama]. Pidato ini awalnya berbahasa Madura dan berikut adalah translit selengkapnya)

Assalamualaikum Wr. Wb
Yang akan saya sampaikan pada anda tidak bersifat nasehat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada anda semua. Anda suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya). Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya). Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama. Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita kepada anda mengapa ada NU? tentunya muballigh-muballigh yang lain menceritakan isinya kitab. kalau saya tidak.  Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, pengurus Cabang, MWC, Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.
Begini. Umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya', pelopor-pelopor Rasulullah Saw ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat madzhab, yang empat. Jadi, Ulama, para auliya', para pelopor Rasulullah Saw masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam menurut orang sekarang Islam Ahlisunah wal jamaah, syariat Islam dari Rasulullah saw yang beraliran salah satu empat madzhab. Khususnya Madzhab Syafi'i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia. Madzhab-madzhab yang lain juga ada. ini termasuk Islam Ahlisunnah wal jamaah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahlisunnah wal jamaah.
Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan (Madura), di pondok Kyai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kyai Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia. Masing-masing ulama melaporkan: "Bagaimana Kyai Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadlratusy Syaikh. Ini tidak ada yang berani kalau bukan anda yang menyampaikannya". Kyai Muntaha berkata: "Apa keperluannya?". Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang dengan kitab-kitab ulama Salaf. Yang diikuti hanya Quran dan Hadis saja. Yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah berjalan di Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerintah Jajahan, Hindia Belanda. tolong disampaikan pada Kyai Kholil." Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kyai Kholil dan masih berada di Jengkuban, Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib: "Nasib, Kesini! Bilang kepada Muntaha, di Quran sudah ada, sudah cukup:
يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢﴾
"Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai" (at-Taubat: 32)
Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta'ala, maka kehendaknya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya kepada Muntaha".
Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kyai (Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, Cuma bersalaman. "Saya puas sekarang" kata Kyai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini.
Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Tapi hanya seluruh Jawa, bermusyawarah termasuk Aba saya (KH Syamsul Arifin), termasuk Kyai Sidogiri, termasuk Kyai Hasan almarhum, Genggong, membahas masalah ini, seperti apa, seperti apa… Dari Barat Kyai Asnawi Qudus, Ulama-ulama Jombang semua, Kyai Thohir, para kyai berkata… Tidak ada jadinya, tidak ada kesimpulan. Sampai tahun 1923, kata kyai satu: "Mendirikan Jamiyah (organisasi)", kata yang lain: "Syarikat Islam ini saja diperkuat". Kata yang lain: "Organisasi yang sudah ada saja". Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel sudah tidak boleh. Minta syafaat ke nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi. Seperti apa bawaan ini… Kemudian ada satu ulama yang matur sama kyai: "Kyai saya menemukan satu sejarah tulisan sunan Ampel. Beliau menulis seperti ini… (Kyai As'ad berkata: Kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja)… : "Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di Madinah, saya pernah pernah bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat): "Islam Ahlisunnah wal Jamaah ini bawa hijrah ke Indonesia. Karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlisunnah wal Jamaah. Bawa ke Indonesia". Jadi di Arab sudah tidak mampu  melaksanakan syariat Islam Ahlisunnah wal Jamaah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugas melakukan wasiat ini. Kesimpulannya mari Istikharah. Jadi ulama berempat ini melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugas ke Madinah. 
Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang megang. Apa Kyai Wahab, apa Kyai Bisri. Insyaallah ada laporan lengkapnya. Dulu saya pernah minta sama Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.
Sesudah tidak menemukan kesimpulan. Tahun 1924, Kyai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil: "As'ad, kesini kamu!" Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi oleh kyai, karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ra'. Saya ini pelat (cadal). Arrahman Arrahim… Kyai marah: "Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!". "Tidak saya sengaja Kyai. Saya ini pelat." Kyai kemudian keluar… (Kyai Kholil melakukan sesuatu)… Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya.
Kedua, saya dipanggil lagi: "Mana yang cadal itu? Sudah sembuh cadalnya?". "Sudah Kyai". "Kesini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asyari Jombang. Tahu rumahnya?". "Tahu". "Kok tahu? Pernah mondok disana?". "Tidak. Pernah sowan". "Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan". "Ya, kyai". "Kamu punya uang?". "Tidak punya, kyai". "Ini". Saya diberikan uang ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya. 
Setelah keesokan harinya saya mau berangkat, saya dipanggil lagi: "Kesini kamu! Ada ongkosnya?". "Ada, kyai". "Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?". Saya dikasih lagi 1 ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan.Masih ada sampai sekarang. Kyai keluar: "Ini (tongkat) kasihkan ya… (Kyai Kholil membaca surat Thaha: 17-21)…
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾
"Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya". Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, hai Musa!" Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula"
Karena saya ini namanya masih muda. Masih gagah. Sekarang saja sudah sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel "Orang ini gila. Muda pegang tongkat". Ada yang lain bilang: "Ini wali". Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila. Ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu. Saya hanya disuruh kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu. Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila. Karena masih  muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua. yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya terus jalan. Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): "Siapa ini?". "Saya, Kyai". "Anak mana?". "Dari Madura, Kyai". "Siapa namanya?". "As'ad". "Anaknya siapa?". "Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin". "Anaknya Maimunah kamu?". "Ya, Kyai". "Keponakanku kamu, Nak". "Ada apa?". "Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantar tongkat". "Tongkat apa?" "Ini, Kyai". "Sebentar, sebentar…"
Ini orang yang sadar. Kyai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas). "Bagaimana ceritanya?" Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat….
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾
"Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya". Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, hai Musa!" Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula"
"Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jamiyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya"
Inilah rencana mendirikan Jamiyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jamiyah Ulama. Saya tidak mengerti.
Setelah itu saya mau pulang. "Mau pulang kamu?". "Ya, Kyai". "Cukup uang sakunya?" "Cukup, Kyai" "Saya cukup didoakan saj, Kyai". "Ya, mari… Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya untuk mendirikan Jamiyah Ulama akan diteruskan". Inilah asalnya Jamiyatul Ulama.
Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kyai Kholil. "As'ad, kesini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?" "Tidak, Kyai". "Hasyim Asy'ari?" "Ya, Kyai" "Dimana rumahnya". "Tebuireng". "Darimana asalnya?" "Dari Keras (Jombang). Putranya Kyai Asyari Keras". "Ya, benar. Dimana Keras?". "Di baratnya Seblak". "Ya, kok tahu kamu?" "Ya, Kyai". "Ini tasbih hantarkan" "Ya, Kyai". Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.
Terus, pagi hari Kyai keluar dari Langgar. "Kesini, makan dulu!" "Tidak, Kyai. Sudah minum wedang dan jajan". "Darimana kamu dapat?" "Saya beli di jalan, Kyai" "Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok makan di jalan?" "Ya, Kyai". Saya makan di jalan dimarahami. Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya: "Cukup itu?" "Cukup, Kyai" "Tidak!" Diberi lagi oleh Kyai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya simpan lagi.
Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya: "Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar". Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir … "Ini" Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya. "Kok leher?" "Ya, Kyai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh". "Ya, kalau begitu". Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu. "Ini orang yang megang tongkat itu?" "Wah.. Hadza majnun". Ada yang bilang "wali", ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kyai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kyai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya. Ada yang narik "karcis! karcis!" Saya tidak ditanya. Saya piker ini karena tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya kyai. Jadi Auliya' itu punya karomah. Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin. Saya lalu sampai di Tebuireng, Kyai tanya: "Apa itu?" "Saya mengantarkan tasbih" "MasyaAllah, MasyaAllah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?" "Ini, Kyai" (dengan menjulurkan leher). "Lho?" "Ini, Kyai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik anda". Kemudian diambil oleh Kyai. "Apa kata Kyai?". "Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar". "Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur". Ini dawuhnya.
Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat tanggal 29 Ramadhan. banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jamiyatul Ulama. Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun. Termasuk yang menyusun adalah Kyai Dahlan dari Nganjuk, yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada gubernur jenderal.
Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan…


[1]  File rekaman diperoleh dari Gus Adib Mursyid, MAg. pada Jumat, 23 Maret 2012 di atas Kapal Lawit (Pelni). Dialihbahasakan oleh Moh. Ma'ruf Khozin