Selasa, 23 Februari 2016

Daging Qurban Boleh Dijual...?

Sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan umat muslim, bahwa pada hari raya Idul Adlha mereka menyembelih ternak qurban dan di antara mereka banyak pula -pada hari-hari itu- yang mempunyai hajat (menantu, khitan, memperingati seribu hari wafatnya mayit dll). Maka sebagian dari mereka pada waktu menyembelih ternaknya ada yang berniat qurban, namun dalam praktiknya daging ternak tersebut tidak dibagi-bagikan kepada mustahiq tetapi digunakan untuk menjamu para tamu yang mendatangi hajatan mereka pada waktu itu, atau digunakan untuk walimahan.
Apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin di daerah kita tersebut hukumnya boleh, namun tidak secara mutlak, artinya ada beberapa syarat yang harus diperhatikannya, yaitu :
a. Qurbannya itu qurban sunnat. Jadi qurban wajib atau qurban nadzar tidak boleh digunakan untuk keperluan seperti itu.
b. Sebagian dagingnya harus dibagi-bagikan kepada fakir miskin dalam keadaan mentah. Jadi tidak boleh dimasak semuanya.
c. Jika si penyembelih itu sebagai wakil, dia harus meminta kerelaan orang yang mewakilkan tentang digunakannya daging qurban untuk keperluan tersebut.
Syarat-syarat tadi secara rinci telah diterangkan dalam beberapa kitab :
a. Kitab Bughyah hal. 258 :
يَجِبُ التَّصَدُّقُ فِي اْلأُضْحِيَةِ الْمُتَطَوَّعِ بِهَا بِمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اْلاِسْمُ مِنَ اللَّحْمِ، فَلاَ يُجْزِئُ نَحْوُ شَحْمٍ وَكَبِدٍ وَكَرْشٍ وَجِلْدٍ، وَلِلْفَقِيْرِ التَّصَرُّفُ فِي الْمَأْخُوْذِ وَلَوْ بِنَحْوِ بَيْعِ الْمُسْلَمِ لِمِلْكِهِ مَا يُعْطَاهُ، بِخِلاَفِ الْغَنِيِّ فَلَيْسَ لَهُ نَحْوُ الْبَيْعِ بَلْ لَهُ التَّصَرُّفُ فِي الْمَهْدَى لَهُ بِنَحْوِ أَكْلٍ وَتَصَدُّقٍ وَضِيَافَةٍ وَلَوْ لِغَنِيٍّ، لأَنَّ غَايَتَهُ أَنَّهُ كَالْمُضَحِّي نَفْسِهِ
Artinya:“Qurban sunat wajib dishadaqahkan berupa daging, tidak cukup jika berupa lemak, hati babat atau kulit ternak. Bagi orang fakir boleh mentasarufkan -untuk apa saja- daging yang diberikan kepadanya walaupun untuk dijual, karena daging itu sudah menjadi miliknya. Berbeda dengan orang kaya, dia tidak boleh menjual daging qurban akan tetapi boleh mamakannya, menyedekahkannya dan menyuguhkannya kepada para tamu, karena pada prinsipnya orang kaya yang menerima bagian daging qurban itu sama dengan orang yang berqurban sendiri”.
b. Kitab Qolyubi juz IV hal. 254
(وَاْلأَصَحُّ وُجُوبُ تَصَدُّقٍ بِبَعْضِهَا) وَهُوَ مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الاِسْمُ مِنْ اللَّحْمِ وَلاَ يَكْفِي عِنْهُ الْجِلْدُ وَيَكْفِي تَمْلِيكُهُ لِمِسْكِينٍ وَاحِدٍ، وَيَكُونُ نِيئًا لاَ مَطْبُوخًا.
Artinya:“Menurut pendapat yang paling shahih, qurban itu wajib disedekahkan sebagiannya berupa daging, tidak boleh berupa kulitnya. Sudah mencukupi walaupun diberikan kepada seorang miskin, dan yang diberikan itu harus berupa daging mentah tidak dimasak”.
c. Kitab Bajuri juz I hal. 286
(قَوْلُهُ وَتَفْرِقَةُ الزَّكَاةِ مَثَلاً) أَيْ وَكَذَبْحِ أُضْحِيَةٍ وَعَقِيْقَةٍ وَتَفْرِقَةِ كَفَّارَةٍ وَمَنْذُوْرٍ وَلاَ يَجُوْزُ لَهُ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهَا إِلاَّ إِنْ عَيَّنَ لَهُ الْمُوَكِّلُ قَدْرًا مِنْهَا.
Artinya:“Kata-kata kiyai mushonnif : boleh mewakilkan kepada orang lain dalam hal membagi-bagi zakat, demikian pula dalam hal menyembelih qurban dan aqiqah serta membagi-bagi kaffarat dan nadzar. Dan bagi si wakil tidak boleh mengambil bagian sedikit pun dari apa yang dibagikan itu kecuali jika orang yang mewakilkan menyatakan boleh mengambil bagian tertentu dari benda tersebut”.

Wallahu a’lam bis showab....

Buya Hamka pun Ber-qunut dan Maulidan


Ketika saya ziarah kubur ke maqbarah al-Imam Sakhnun-- salah satu tokoh madzhab Malikiyyah-- di Kairouan, Tunisia, Saya tercengang membaca pesan beliau yang ditulis di pintu masuk, "Man kathura 'ilmuhu qalla ingkaruhu; wa man qalla 'ilmuhu kathura inkaruhu, Orang yang alim dalam pelbagai cabang keilmuan, maka ia akan jarang untuk menginkari sesuatu; sedangkan orang yang dangkal ilmunya, maka ia mudah inkar."
Ternyata pesan dengan substansi yang sama pun pernah disampaikan oleh Prof. Dr. al-Sayyid al-Habib Muhammad bil Alwi al-Maliki al-Hasani, sebagaimana diriwayatkan oleh salah seorang muridnya, K.H. Zuhrul Anam (Gus Anam). Dalalm satu ketika al-Imam Asy-Syaikh Said Al-Yamani, salah satu guru Sayyid al-Maliki, mengatakan, “Idzaa zaada nadzrurrajuli waktasa’a fikruhuu qalla inkaaruhuu ‘alannaasi, Jika seseorang bertambah ilmunya dan luas cakrawala pemikiran serta sudut pandangnya, maka ia akan sedikit menyalahkan orang lain." Atau dalam bahasa Gus Mus-- panggilan populer K.H. A. Mustafa Bisri-- orang mudah kagetan karena gajinya belum selesai.
***
Hal semacam itu pun dialami oleh salah satu tokoh sentral Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Malik Karim Amrullah, populer dipanggil Buya Hamka. Konon, seperti diberitakan oleh akun Kongkow Bareng Gus Dur, Buya Hamka yang semasa muda sangat anti dengan acara maulidan dan qunut karena keduanya dianggap amaliyah yang bidah, namun setelah usianya matang, ia sangat menikmati "menu" keseharian orang-orang NU tersebut-- setelah melalui perjalanan hidup yang panjang dan melahap beragam bacaan, ia tak lagi kaku melihat amaliyah kaum sarungan. Lebih jelasnya, bagaimana perjalanan Buya Hamka samppai ia mau mengamalkan amaliyah yang semua ia anggap bidah, berikut saya kutip status

“Iya, dulu sewaktu saya muda kitabnya baru satu. Namun setelah saya mempelajari banyak kitab, saya sadar ternyata ilmu Islam itu sangat luas.”
Sewaktu baru kepulangannya dari Timur Tengah, Prof. DR. Hamka, seorang pembesar Muhammadiyyah, menyatakan bahwa Maulidan haram dan bid’ah tidak ada petunjuk dari Nabi Saw., orang berdiri membaca shalawat saat Asyraqalan (Mahallul Qiyam) adalah bid’ah dan itu berlebih-lebihan tidak ada petunjuk dari Nabi Saw. Tetapi ketika Buya Hamka sudah tua, beliau berkenan menghadiri acara Maulid Nabi Saw saat ada yang mengundangnya. Orang-orang sedang asyik membaca Maulid al-Barzanji dan bershalawat saat Mahallul Qiyam, Buya Hamka pun turut serta asyik dan khusyuk mengikutinya. Lantas para muridnya bertanya: “Buya Hamka, dulu sewaktu Anda masih muda begitu keras menentang acara-acara seperti itu namun setelah tua kok berubah?”
Dijawab oleh Buya Hamka: “Iya, dulu sewaktu saya muda kitabnya baru satu. Namun setelah saya mempelajari banyak kitab, saya sadar ternyata ilmu Islam itu sangat luas.
Di riwayat yang lain menceritakan bahwa, dulu sewaktu mudanya Buya Hamka dengan tegas menyatakan bahwa Qunut dalam shalat Shubuh termasuk bid’ah! Tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Saw. Sehingga Buya Hamka tidak pernah melakukan Qunut dalam shalat Shubuhnya.
Namun setelah Buya Hamka menginjak usia tua, beliau tiba-tiba membaca doa Qunut dalam shalat Shubuhnya. Selesai shalat, jamaahnya pun bertanya heran: “Buya Hamka, sebelum ini tak pernah terlihat satu kalipun Anda mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh. Namun mengapa sekarang justru Anda mengamalkannya?”
Dijawab oleh Buya Hamka: “Iya. Dulu saya baru baca satu kitab. Namun sekarang saya sudah baca seribu kitab.”
Gus Anam (KH. Zuhrul Anam) mendengar dari gurunya, Prof. DR. As-Sayyid Al-Habib Muhammad bin Alwi al- Maliki Al-Hasani, dari gurunya Al-Imam Asy-Syaikh Said Al-Yamani yang mengatakan: “Idzaa zaada nadzrurrajuli waktasa’a fikruhuu qalla inkaaruhuu ‘alannaasi.” (Jikalau seseorang bertambah ilmunya dan luas cakrawala pemikiran serta sudut
pandangnya, maka ia akan sedikit menyalahkan orang lain).
Kesimpulannya adalah : orang yang suka menyalahkan orang lain berarti pemahaman ilmunya masih dangkalmembaca Maulid al-Barzanji dan bershalawat saat Mahallul Qiyam, Buya Hamka pun turut serta asyik dan khusyuk mengikutinya. Lantas para muridnya bertanya: “Buya Hamka, dulu sewaktu Anda masih muda begitu keras menentang acara-acara seperti itu namun setelah tua kok berubah?”Dijawab oleh Buya Hamka: “Iya, dulu sewaktu saya muda kitabnya baru satu. Namun setelah saya mempelajari banyak kitab, saya sadar ternyata ilmu Islam itu sangat luas.”Di riwayat yang lain menceritakan bahwa, dulu sewaktu mudanya Buya Hamka dengan tegas menyatakan bahwa Qunut dalam shalat Shubuhtermasuk bid’ah! Tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Saw. Sehingga Buya Hamka tidak pernah melakukan Qunut dalam shalat Shubuhnya.Namun setelah Buya Hamka menginjak usia tua, beliau tiba-tiba membaca doa Qunut dalam shalat Shubuhnya. Selesai shalat, jamaahnya pun bertanya heran: “Buya Hamka, sebelum ini tak pernah terlihat satu kalipun Anda mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh. Namun mengapa sekarang justru Anda mengamalkannya?”
Dijawab oleh Buya Hamka: “Iya. Dulu saya baru baca satu kitab. Namun sekarang saya sudah baca seribu kitab.
Gus Anam (KH. Zuhrul Anam) mendengar dari gurunya, Prof. DR. As-Sayyid Al-Habib Muhammad bin Alwi al- Maliki Al-Hasani, dari gurunya Al-Imam Asy-Syaikh Said Al-Yamani yang mengatakan: “Idzaa zaada nadzrurrajuli waktasa’a fikruhuu qalla inkaaruhuu ‘alannaasi.” (Jikalau seseorang bertambah ilmunya dan luas cakrawala pemikiran serta sudutpandangnya, maka ia akan sedikit menyalahkan orang lain).
Kesimpulannya adalah : orang yang suka menyalahkan orang lain berarti pemahaman ilmunya masih dangkal.

LOGIKA INDUKSI ALIRAN USHUL FIKIH FUQOHA[1]


Oleh: Kholilur Rohman[2]
Abstrak:
Mazhab fuqoha dipelopori oleh mayoritas mazhab hanafiah dengan menggunakan metode induktif. Metode induktif dipakai agar mujtahid lebih produktif menggali hukum yang pada saat itu geliat ijtihad sudah stagnan. Metode induktif ini bisa dipakai untuk bisa menyesuaikan hasil produk hukum dengan metode yang digunakan imam mazhab. Al-Karkhi dan al-Jassash memberikan pengaruh besar terhadap madrasah ini. Pemakaian metode induktif ini berimplikasi efek negatif dan positif.
Kata Kunci: Aliran fuqoha, metode induktif, mazhab hanafiah
PENDAHULUAN
Ushul fikih adalah kajian ilmu yang membahas tentang metodologi menggali hukum dari teks agama. Peletak pertama dari ilmu ushul fikih adalah Imam as-Syafi’i (w. 204). Imam as-Syafi’i dianggap sebagai sebagai founding father dan peletak utama ilmu ini sekalipun sebetulnya embrio ini sudah muncul dari masa sahabat. Sebagian meragukan jasa imam as-Syafi’i sebagai penggagas pertama ilmu ini. Hal itu dikarenakan, imam as-Syafi’i pernah menimba ilmu di Baghdad, sebuah kota yang terkenal dengan ahl ar-ra’yu dan disinyalir, ditempat itu pula imam as-Syafi’i belajar dasar-dasar ushul fikih.
Semua mazhab mengakui dan mengapresiasi karya monumental ini. Para tokoh mazhab fikih dan rumpun islam lainnya hampir secara keseluruhan mengadopsi dan mengadaptasi kitab ar-Risalah karya besar as-Syafi’i. Namun karakteristik yang dipakai oleh as-Syafi’i dengan menggunakan metode deduktif dalam menggunakan metode ushul fikihnya nampaknya tidak diikuti oleh semua mazhab.
Mazhab Hanafi adalah salah satu mazhab yang menggunakan corak berbeda dalam penulisan dan metode membuat kaidah ushul fikih. Imam Hanafi tidak mewariskan buku ushul fikih, begitu juga murid setia Muhammad as-Syaibani dan Abu Yusuf. Mazhab Hanafi dalam metode ushul fikihnya menggunakan metode induksi.
Paradigma ushul fikihnya berangkat dari kasus-kasus hukum produk ijtihad dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad dan lainnya kemudian ditarik kesimpulan menjadi postulat-postulat berupa kaidah istinbath hukum.[3] Bahkan sekiranya ditemui kaidah-kaidah ushul fikih yang dibangun bertentangan dengan fikih, maka mereka meninggalkan kaidah-kaidah tersebut kemudian beralih pada kaidah yang lebih sesuai dengan fikih hasil ijtihad imam mereka.[4]Misalnya, mereka menetapkan kaidah bahwa “dalil yang umum itu bersifat qath’i (pasti)”. Akibatnya, apabila terjadi pertentangan dalil umum dengan hadis ahad (bersifat zhanni), maka dalil yang umum itu yang diterapkan, karena hadits ahad hanya bersifat zhanni (relatif), sedangkan dalil umum tersebut bersifat qath’i, yang qath’i tidak bisa dikalahkan dan dikhususkan oleh yang zhanni.
Dengan demikian, jika mazhab mutakallimin membangun dulu kaidah ushul fikih untuk dibuat dasar istinbath hukum, maka sebaliknya dalam mazhab ahnaf hasil istinbath hukumnya dijadikan dasar untuk membangun kaidah ushul fikih. Karena melandaskan pada fikih hasilistinbath tulah kemudian mazhab ahnaf ini biasa disebut juga dan mazhab fuqoha’ yang berarti “pakar-pakar fikih”.[5] Kebergantungan akan produk ijtihad ulama inilah yang menjadi ciri khas ushul fikih mazhab hanafi.
Mazhab Hanafiah hampir sering silang pendapat dalam ushul fikih perbandingan dengan mazhab jumhur atau yang dikenal dengan mazhab mutakallimin. Mazhab mutakallimin sendiri tidak melihat dulu produk ijtihad yang dihasilkan oleh imam-imam pendahulu seperti imam as-Syafi’i, Malik dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka berupaya seobjektif mungkin untuk menafsiri suatu teks dengan kaidah yang tentunya sudah mereka kaji tanpa harus bergantung dengan pendapat imam mazhab mereka. Di sisi lain, madrasah ushul fikih hanafi atau dikenal dengan fuqoha sangat bergantung dengan pendapat produk-produk ijtihad para imam. Perbedaan itulah yang membuat dua mazhab ini sering berhadapan diametral dalam merumuskan kaidah ushul fikih.
PEMBAHASAN
Logika Induksi
Logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir lurus atau tepat.[6] Menurut Aristoteles, sebuah pengetahuan baru bisa didapat dengan dua cara, induksi dan deduksi.[7]Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Sedangkan Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum.
Pada Penalaran Induktif terdapat beberapa bentuk, yaitu generalisasi, silogisme dan analogi. Menurut Gorys Keraf dalam buku Argumentasi dan Narasi, Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena tadi.[8]
Kesimpulan itu hanya suatu harapan, suatu kepercayaan, karena konklusi penalaran induktif tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya suatu probabilitas suatu peluang. Dan hasil penalaran generalisasi induktif itu sendiri juga disebut generalisasi (proposisi universal).[9] Kebanyakan generalisasi didasarkan pada pemeriksaan atas suatu sampel atau contoh dari seluruh golongan yang diselidiki.[10] Oleh karena itu, generalisasi juga biasa disebut induksi tidak sempurna atau tidak lengkap.[11]
Mazhab hukum positif juga menggunakan peran logika induksi dalam merumuskan suatu kaidah umum. Peran logika induksi digunakan untuk menemukan asas umum (empirical uniformities) dan teori-teori (baik yang miniatur atau middle range, maupun yang grand) melalui silogisme. Dalam silogisme induksi ini, premis-premis kecuali konklusinya selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi. Silogisme induksi digunakan untuk memperoleh simpulan-simpulan deskriptif atau eksplanatif tentang ada atau tidaknya hubungan (kausal atau korelatif) antara berbagai variabel sosial hukum.[12] Ini yang dianut oleh pemikiran hukum secara sosiologis.

Sejarah Kelahiran Ushul Fikih Hanafiah
Suatu ilmu dapat dikatakan lahir jika ada bukti otentik yang membuktikannya. Salah satu bukti kemunculan ilmu ushul fikih adalah kitab ar-Risalah karya monumental dari imam as-Syafi’i. Ar-Risalah menjadi bukti otentik kelahiran ushul fikih[13] sekalipun banyak pihak yang mengklaim bahwa mereka lah yang mengawali pembentukan ushul fikih sebagaimana yang diklaim Syiah[14]dan mazhab Hanafi.[15]
Pada abad ke-II setelah menyebarnya kemasyhuran kitab as-Syafi’i ke berbagai penjuru, mulailah muncul karya tulis ushul fikih dari berbagai mazhab fikih, diantaranya murid langsung as-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal (w.241 H),[16] Dawud ad-Dzahiri[17] (w.270 H), Ibrahim bin Yasar an-Nizam (w. 221 H) dan lain-lain.[18]
Sementara karangan ushul fikih dari mazhab Hanafi mulai dikarang oleh Isa bin Abban (w. 220 H) dengan judul kitab Khabar al-Wahid, Itsbat al-Qiyas, al-Hujaj al-Kabir, al-Hujjah al-Kabirah, Ijtihad ar-Ra’yi[19] dan Muhammad bin Samma’ah (w.233) dengan judul ushul fiqh[20] dan berbagai kitab ushul fikih lainnya.
Karangan ushul fikih pada masa ini bisa dibilang belum menunjukkan keutuhan ushul fikih sebagai sebuah ilmu. Karangan ushul fikih lebih cenderung mengkaji suatu permasalahan tertentu yang menjadi topik perdebatan hangat pada masanya. Hal itu masih terus berlanjut sampai abad ke-IV hijriyah.
Abad ke IV hijriyah, fikih tidak menampakkan perkembangan dan cenderung jumud. Mereka masih terikat dengan metode dan pendapat yang dipakai oleh imam mazhab. Untuk memecahkan sebuah permasalahan atau untuk memproduksi hukum, mereka menggali dan menemukan ilat hukum yang tidak disebutkan imamnya. Cara ini banyak dipraktikkan ulama hanafiah. Mereka menemukan ilat, kemudian membangun hukum dan berfatwa dengan ilat yang mereka temukan sehingga mereka bisa membangun ushul fikih yang diklaim sebagai bangunan ushul fikih yang dibangun oleh imam mereka.[21]
Menurut waliyullah Ad-Dihlawi, beberapa kaidah ushul fikih memang diperas dari pendapat dari para imam,[22] seperti kaidah, dalalah ‘am terhadap partikularnya adalah qath’i, “kata khas itu sudah menjadi penjelas, tidak perlu ada penjelas lainnya” (الخاص مبين فلا يلحقه البيان). Aplikasi kaidah tersebut bisa dilihat dalam permasalahan hukum thuma’ninah dalam shalat. Imam mazhab berbeda pendapat mengenai kewajiban thuma’ninah saat ruku’ dan sujud. Imam as-Syafi’i secara tegas mewajibkan thuma’ninah. Dalil yang digunakan as-syafi’i adalah
لَا تُجْزِئُ صَلاَةٌ لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ صُلْبَهُ فِيهَا فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ[23]
وَأَنَّ رَجُلاً صَلَّى صَلاَةً خَفِيفَةً، وَأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَرْقُبُهُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «أَعِدْ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ»، كَمَا رَوَى عَنْ المِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهُ وَلاَ سُجُودَهُ فَقَالَ لَهُ: «أَعِدْ»، فَأَبَى، فَلَمْ يَدَعْهُ حَتَّى أَعَادَ.[24]
Hadis tersebut menurut as-Syafi’i menunjukkan bahwa thuma’ninah hukumnya wajib dengan alasan Nabi Muhammad bersabda “la tujzi’” dan “’aid” kepada orang yang tidak melakukan thuma’ninah. Sedangkan Abu Hanifah menyatakan, Thuma’ninah hanya sebagai kewajiban, bukan fardlu yang bisa membatalkan shalat. Argumentasi yang beliau sodorkan adalah ayat
{ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا} [الحج: 77]
Ayat tersebut menjelaskan tentang teknis shalat dan dijadikan sebagai penjelas keumuman ayat“aqimus sholah”. Redaksi irka’u dan was judu adalah kata khas bukan mujmal yang butuh penjelas lain. Ayat tersebut secara jelas menyuruh muslim menundukkan kepala (rukuk) dan meletakkan dahi ke bawah (sujud). Sedangkan arti dari thuma’ninah adalah ketenangan. Ayat alquran tidak menyuruh adanya ketenangan. Sehingga kewajiban ruku’ tidak bergantung kepada hadis ahad di atas. Jika ada kewajiban thuma’ninah, maka hadis tersebut seakan-akan menasakh ayat alquran, dan itu terlarang.[25]
Anehnya, kemunduran fikih pada abad keempat tidak sampai menurunkan laju perkembangan ushul fikih. Kemunduran ushul fikih berbanding balik dengan kemajuan ushul fikih. Mandeknya produktivitas fikih dimanfaatkan untuk membuat kaidah dan menggali illat dari pendapat para imam. Produk yang mereka peroleh dari kajian itu kemudian dijadikan dasar atau panduan untuk ijtihad selanjutnya. Mereka berfatwa tentang suatu hukum yang tidak pernah nampak pada masa imam.
Untuk menjawab permasalahan tadi, mereka menggunakan dasar-dasar dan pedoman yang mereka buat sendiri dari kajian yang mereka peroleh dari beberapa produk yang dihasilkan para imam. Mereka akan menetapkan suatu kaidah berijtihad sebagaimana kaidah di atas. Hal itu seperti sinyal positif bagi citra mazhab karena akan mempertahankan eksistensi mazhab yang dianutnya. Namun di sisi lain, mereka harus memasang tameng jika ternyata pendapat tersebut berbeda dengan hadis yang baru mereka terima. Mereka bahkan membuat kaidah untuk mempertahankan pendapat imam mazhab sekalipun bertentangan dengan hadis atau kias. Oleh karena itulah, syekh waliyullah ad-Dihlawi mengatakan, mereka ini sebenarnya bukan menyatakan pendapat atas nama imam mereka sendiri.[26]
Hukum yang digali dari kaidah yang mereka bentuk sendiri, bukan dari para imam membuat sebagian para pengkaji mazhab “tertipu”. Sebagian orang menyana, sekumpulan pendapat yang ada di kitab besar dan beberapa fatwa adalah pendapat Abu Hanifah dan dua muridnya. Sebagian pengkaji tidak mengindahkan pembedaan antara pendapat yang digali dari imam dan pendapat asli dari imam. Mereka juga sepertinya tidak memperdulikan redaksi
تَخْرِيج الْكَرْخِي كَذَا وعَلى تَخْرِيج الطَّحَاوِيّ كَذَا
Dari pendapat mazhab hanafiah sendiri sudah dipetakkan
قَوْلهم قَالَ أَبُو حنيفَة كَذَا وَبَين قَوْلهم جَوَاب الْمَسْأَلَة على قَول أبي حنيفَة وعَلى أصل أبي حنيفَة كَذَا
Ad-Dihlawi sebagai pengikut mazhab Hanafi menegaskan secara jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh para ulama hanafiah yang pendapatnya digali dari imam mazhabnya sebenarnya tidak bisa afiliasikan kepada mazhab hanafiah.[27] Sebagian dari pengkaji itu menyangka bahwa bangunan mazhab hanafiah itu sudah tertuang dalam kitab al-Mabsuth karya as-Sarkhasi, kitab al-Hidayah, at-Tabyin dan kitab lainnya. Metode penulisan kitab ini dipengaruhi sebagian besar oleh golongan mu’tazilah yang tidak memiliki mazhab fikih tersendiri.

Ar-Kharkhi (260-360) dan Al-Jassash

Nama beliau sering disebut dalam beberapa karya ushul fikih. Ini tidak terlepas dalam peranannya sebagai peletak utama mazhab fuqoha. Beliau banyak meletakkan permasalahan ushuliyah dalam mazhab hanafi dan menyusun kaidah yang menjadi dasar bermazhab hanafi.[28]
Ijtihad dalam ushul fikih mazhab hanafi tidak diragukan lagi. Beliau lah yang meletakkan ushul yang dibangun sesuai dengan pendapat yang riwayatkan dari Abu Hanifah. Al-Karkhi juga yang membangun ushul mazhab yang tidak pernah ada sama sekali teks dan pernyataan dari Abu Hanifah atau kesepakatan mazhab hanafiah. Langkah berijtihad ushuliyah pertama kali dalam mazhab fuqoha menjadi tantangan sendiri. Ia menempati posisi tersendiri dalam tingkatan ahli ushul mazhab hanafi. Ia memiliki keberanian tersendiri untuk memilih pendapat yang sesuai dengan keinginannya. Sehingga, ada yang menganggap al-Karkhi berani berbeda dengan pendapat ushul Abu Hanifah.[29] Salah satu pendapat yang dinukil al-Jassash (w.370) tentang perbedaannya dengan Abu Hanifah adalah permasalah ‘am makhsush. Menurut al-Karkhi, lafal umum yang telah ditakhsis akan menjadikan lafal ‘am tersebut berubah. Ia sudah kehilangan status lafalnya sebagai hakikat menjadi majaz. Ia butuh penjelas untuk membantu menjelaskannya, sebagaimana status kata mujmal membutuhkan bayan dari teks lainnya.[30]Setelah itu, dia mengatakan
“ini adalah mazhabku dan aku tidak bisa mengafilisikan pendapatku ini kepada para ashab”
Al-Karkhi juga pernah berselisih permasalahan ushul dengan Abu Yusuf. Abu Yusuf tidak menerima pendapat sahabat yang bertentangan dengan qiyas, sedangkan sahabat itu satu-satunya yang mengungkapkan pendapat. Dalam hal ini al-Kharkhi tidak setuju dengan Abu Yusuf. Beliau berpendapat harus menerima. Alasannya ini didasarkan kepada salah satu pendapat muhammad bin hasan as-Syaibani yang menerima pendapat sahabat, [31] seperti permasalahan sedikit mahar adalah tiga dirham yang diriwayatkan dari Ali Kw., haid paling sedikit tiga hari dan paling banyak 10 hari, dan lainya.
Al-Karkhi memiliki kitab Ushul al-Karkhi.[32] Terdapat 39 kaidah yang tertuang disana. Untuk bisa memahami kaidah tersebut, Beberapa kaidah tersebut kemudian diberi syarah Najmuddin an-Nasfi. Kaidahnya antara lain,
(5) الْأَصْلُ: أَنَّ الظَّاهِرَيْنِ إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا أَظْهَرَ مِنَ الْآخَرِ فَالْأَظْهَرُ أَوْلَى لِفَضْلِ ظُهُوْرِهِ
(12) الْأَصْلُ: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْأَمِيْنِ مَعَ الْيَمِيْنِ مِنْ غَيْرِ بَيِّنَةٍ
(28) الْأَصْلُ: أَنَّ كُلَّ آيَةٍ تُخَالِفُ قَوْلَ أَصْحَابِنَا فَإِنَّهُا تُحْمَلُ عَلَى النَّسْخِ أَوْ عَلَى التَّرْجِيْحِ. وَالْأَوْلَى أَنْ تُحْمَلَ عَلَى التَّأْوِيْلِ مِنْ جِهَةِ التَّوْفِيْقِ
Kaidah nomor kedua puluh delapan inilah yang memantik kritik dan perbedaan sangat sengit. Dalam kaidah tersebut, imam al-Karkhi lebih memprioritaskan pendapat ulama hanafiah. Jika ada pertentangan pendapat ashab hanafiah dengan alquran atau hadis, maka dua sumber tersebut harus ditakwil atau diunggulkan salah satunya. Kaidah ini oleh beberapa lawan mazhab hanafiah dianggap pendapat yang membahayakan. Ini menimbulkan ekstrimisme mazhab yang tercela.
Sumber materi Ushul fiqh al-karkhi ada tiga macam. Pertama, Yang langsung diriwayatkan dari imam atau yang dipahami dalil dalalah imam abu hanifah. Kedua, Membuat kaidah ushul yang bersumber dari produk yang dihasilkan oleh imam. Ketiga, pendapat pribadi dari ulama kalangan muta’akhirin
Ketenaran beliau juga tidak bisa dilepaskan oleh peran murid setianya, al-Jassash. Dia menjadi kader baik yang berada di bawah asuhan langsung al-Kharkhi. Al-Jassash berjasa besar dalam perkembangan ke depan mazhab fuqoha. Ia memberikan panduan permasalahan ushul fikih dengan sistematis. Belum ada karangan ushul fikih fuqoha yang sebaik kitabnya , al-fushul fi al-ushul. Ia memberikan “wajah baru” dengan penampilan ushul fikih hanafiah.
Kitabnya berisi pokok-pokok pembahasan ushul fikih terutama perbandingan pendapat antara al-karkhi, Hasan as-Syaibani dan juga Isa bin Abban. Pemikiran ushul fikih lengkap dengan guru-gurunya, terutama al-Karkhi bisa dilihat dalam buku al-Fushul. Tidak hanya itu, ia kadang mencantumkan pendapat sendiri setelah mempertimbangkan berbagai pendapat gurunya. Pendapatnya memiliki tempat sendiri di kalangan ulama mutakhirin. Nama dan pendapatnya sering dikutip dalam beberapa literatur kitab ushul fikih. Dan tak jarang, pendapatnya sering berseberangan dengan gurunya al-Karkhi. Perbedaan pendapat yang dikemukakan tidak sampai terlalu mencolok karena masih menghormati jasa guru besarnya itu.
Dari kitab al-Fushul fi ushul, ushul fikih logika induktif dari aliran fuqoha bermuara. Saat ushul fikih berada di tangan al-Karkhi dan al-Jassash, mazhab fuqoha menemukan momentumnya. Isa bin Abban, Abi Khozim, Abi said al-Bardai dan Abu Hasan adalah guru-guru mazhab fuqoha.
Secara umum madzhab metode ahnaf mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran fikih, pengaruh tersebut antara lain sebagai berikut:
1)  Meskipun metode tersebut semata-mata untuk mempertahankan madzhabnya, Akan tetapi sebagai metode untuk berijtihad ia merupakan kaidah-kaidah yang berdiri sendiri, sehingga dapat dijadikan perbandingan antara kaidah-kaidah tersebut, dengan kaidah-kaidah yang lain. Dengan mengadakan perbandingan, maka secara obyektif dan diperoleh metode yang lebih benar dan kuat.
2)  Karena metode tersebut diterapkan terhadap masalah-masalah furu’, maka ia bukan merupakan pembahasan yang universal dan kaidah-kaidah yang umum yang dapat diterapkan pada masalah-masalah furu’. Dengan mengkaji universalitas kaidah-kaidah tersebut, akan memberikan kekuatan tersendiri.
3) Mengkaji ushul fiqih dengan sistem tersebut, sama dengan mengkaji perbandingan masalah-masalah fiqih. Kajian tersebut bukannya membandingkan antara masalah-masalah pokok. Sehingga seseorang tidak hanya mengkaji masalah-masalah cabang yang tidak ada kaidahnya, tetapi memperdalam masalah-masalah yang bersifat universal untuk menggali hukum masalah-masalah furu’ (juz’i).
4) Kajian ini memberikan kaidah pada masalah-masalah furu’, seperti masalah-masalah pokok. Dengan kaidah ini akan diketahui cara menetapkan hukum, merinci masalah-masalah furu’, serta memberikan ketentuan hukum terhadap permasalahan yang terjadi pada saat itu dan belum pernah terjadi pada masa imam-imam terdahulu. Tentu hukum-hukum tersebut tidak akan menyimpang dari ketentuan madzhab mereka, karena hukum-hukum tersebut merupakan pokok yang menetapkan hukum-hukum masalah furu’.[17]

Kitab mazhab Fuqoha’
Adapun kitab-kitab ushul fiqih yang disusun menurut aliran ini adalah:
1)  al-Ushul karya Abil Hasan al-Karkhi (wafat 340 H).
2)  Ushulul Fiqh karya Abu Bakar ar-Razi yang terkenal dengan nama al-Jassash
Dua kitab tersebut adalah sebagai kitab pokok mazhab fuqoha’. Dalam mazhab hanafi sendiri ada dua aliran, yaitu mazhab Irak yang menggunakan metode induksi, dan mazhab Samarkand yang beraliran mutakallimin. Pelopor mazhab Samarkand adalah Abu Mansur al-Maturidi yang terkenal dengan ulama Waro an-Nahr. Pada awal kemunculan, dua aliran ini tidak bertemu untuk memperdebatkan ushul fikih hanafi. Mazhab samarkand metodenya hampir mirip mutakallimin dalam merumuskan mazhabnya karena pengaruh ilmu kalam Abu Mansur al-Maturidi.[33] Dua mazhab ini baru diketemukan oleh  ad-Dabusi (w. 430 H) dengan karyanyaTa’sisun Nazhar. Artinya, perjalanan kitab mazhab fuqoha telah berubah orientasi setelah ad-Dabbusi menerbitkan karangannya itu. Coraknya tidak lagi fuqoha’ murni tapi sudah memadukan dua aliran besar mazhab Ahnaf.
Setelah itu muncullah seorang ulama besar yang bernama al-Bazdawi (wafat 483 H). Dia menyusun sebuah kitab yang diberi nama Ushul al-Bazdawi, sebuah kitab usul fikih yang ringkas dan mudah dicerna. Kitab tersebut terbilang kitab yang paling jelas dan mudah yang disusun menurut metode madzhab Hanafi. Kemudian muncul pula imam as-Sarkhasi penyusun kitab al-Mabshuth yang menyusun sebuah kitab yang senada dengan kitab al-Bazdawi, hanya lebih luas dan mendetail. Setelah itu terbitlah beberapa kitab yang disusun menurut metode tersebut yang meresume dan menjabarkan kitab-kitab terdahulu, seperti kitab al-manar.
Contoh Penulisan Ushul Fiqh Hanafi
Sebenarnya, setiap orang yang membaca kitab ushul Hanafi akan langsung menemukan contoh metode penulisan ala thoriqatil Fuqaha. Contoh praktisnya, ulama hanafiyah membuat kaidah “Lafadz yang bersifat umum (‘aam) mencakup setiap unit di bawahnya (afrodul ‘aam) secara qoth’i. Dalam artian semua unit yang masuk dalam cakupan kata umum, hukumnya sama rata dengan lafadz umum tersebut. Jika kata umum tersebut bersifat qoth’i, maka semua unit cakupannya pun bersifat qoth’i dan tidak dapat dikecualikan kecuali dengan dalil yang qoth’i.” Kaidah ini menjadikan dalalah lafadh umum setara dengan dalalah lafadh khusus dan lafadh umum bisa menghapus (naskh) lafadh khusus saat terjadi kontradiksi.”
Pernyataan di atas merupakan kaidah ushuliyyah yang berlaku untuk semua lafadz umum. Dalam menetapkan kaidah di atas ulama Hanafi bertumpu pada masa’il furu’iyyah yang mereka ambil dari para pendahulu mereka. Diantaranya:
1.      Pendapat Muhammad bin Hasan tentang permasalahan wasiat;
Jika ada seseorang berwasiat agar cincinnya diberikan pada si A kemudian di waktu lain dia berwasiat agar batu mata cincin tersebut diberikan pada si B, maka si A berhak mendapatkan ring cincin. Sedangkan batu mata cincin, dibagi dua antara si A dan si B. Hal ini karena kata cincin pada wasiat pertama mencakup ring cincin dan batu matanya. Sedangkan pada wasiat yang kedua, hanya matanya saja. Wasiat yang kedua tidak bisa mengeliminasi (naskh) wasiat yang pertama, karena memang batu mata cincin masuk dalam wasiat pertama (melalui lafadh aam), namun karena kedua wasiat itu sah, maka batu mata cincin dibagi dua.
Andai saja wasiat kedua itu diucapkan pada satu majelis tanpa ada jeda antara dua wasiat, maka si A hanya berhak ring cincin saja tanpa batu matanya, karena lafadz cincin yang dimaksudkan tidak mencakup batu matanya.
2.        Madzhab Imam Abu Hanifah dalam men-tarjih hadist Nabi saw. yang mengandung lafadh umum; “Barang siapa menggali sumur, maka ia memiliki hak atas tanah di sekitarnya seluas 40 dzira’.” Dan beliau meninggalkan hadits yang menunjukkan lafadz khusus, yaitu hadits sumur Nadhih, yang mengatakan bahwa penggalinya berhak atas tanah di sekitarnya seluas 60 dzira’.
3.        Madzhab Imam Abu Hanifah dalam men-tarjih hadits; “Semua yang disirami dengan air hujan, (zakatnya) adalah sepersepuluh!” dan meninggalkan hadits khusus; “Tidak diwajibkan berzakat atas sayur-mayur!”, plus hadits “Tidak diwajibkan berzakat atas hasil panen yang kurang dari lima ausaq.”
4.        Madzhab Imam Abu Hanifah yang menjadikan hadits umum; “Hindarilah air kencing! Karena kebanyakan adzab kubur itu dari air kencing.” Sebagai penghapus (naasikh) hadits khusus, yaitu hadits ‘Uraniyyin yang diperintah minum susu onta dan kencingnya.
Contoh di atas sangat jelas menunjukkan bahwa kaidah ushuliyyah mereka didasarakan pada masalah furu’iyah. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan tegas Imam As-Sarkhosy (w. 490 H), setelah menyebutkan kaidah ushul di atas dan sebelum menyebutkan furu’-furu’, beliau menegaskan;
فعلى هذا دلت مسائل علمائنا رحمه الله تعالى [34]
PENUTUP
Mazhab fukoha dipelopori oleh mayoritas mazhab hanafiah dengan menggunakan metode induktif. Metode induktif dipakai agar mujtahid lebih produktif menggali hukum yang pada saat itu geliat ijtihad sudah stagnan. Metode induktif ini bisa dipakai untuk bisa menyesuaikan hasil produk hukum dengan metode yang digunakan imam mazhab. Al-Karkhi dan al-Jassash memberikan pengaruh besar terhadap madrasah ini. Pemakaian metode induktif ini berimplikasi efek negatif dan positif.
[1] Makalah ini disampaikan dalam mata kuliah Qawaid dan Ushul Fikih dengan dosen pengampu Prof. Dr. H. Abu Yasid, MA. L.LM.
[2] Mahasiswa pasca sarjana IAI Ibrahimy Sukorejo Situbondo angkatan 2014.
[3] Prof. Dr. Abu Yasid, L.LM, Logika Fiqh dan Ushul Fiqh, (Situbondo: Ibrahimy Press, 2010) hal 57
[4] Prof. Dr. Abu Yasid, L.LM, Metodologi Penafsiran Teks, (Jakarta: Erlangga, 2012), hal. 15
[5] ibid
[6] Alex Lanur, Logika: Selayang Pandang, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hal 5
[7] K. Bertens, Sejarah filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles, (Yogyakarta:Kanisius, 1999) h. 169
[8] Gorys Keraf, 1994 : 43 Keraf, Gorys. 1994. Argumentasi dan Narasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Tama
[9] Soekadijo, R.G., Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal 134
[10] Contoh dari generalisasi :
– aluminium jika dipanaskan akan memuai
– besi jika dipanaskan akan memuai
– tembaga jika dipanaskan akan memuai
– nikel jika dipanaskan akan memuai
Generalisasinya, yaitu semua logam jika dipanaskan akan memuai.
[11] Poespoprodjo, Dasar-dasar Berpikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis. (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), hal 60
[12] Yesmil Nawar dan Adang, Pengantar sosiologi hukum,
[13] Kitab Ushul fikih yang dihasilkan dari imam as-Syafi’i di antaranya kitab ahkam al-quran, ibthal al-istihsan, jima’ al-ilmi, dan al-qiyas. Baca: az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith, (Beirut: Dar kutubi,1994) juz I hal 18.
[14] Menurut golongan syiah imamiyah, ulama yang pertama kali mengaran ushul fikih adalah Abu ja’far muhammad al-baqir bin ali zainil abidin. Baca, As-Sayyid Hasan Sadr, ta’sis as-syiah lil ulum al-islam, (Beirut: Dar ar-Roid al-Aroby, 1981), hal 310
[15] Menurut golongan ini, Imam Abu Hanifah adalah orang yang pertama kali merumuskan kita ushul fikih dalam kitabnya “ar-Ro’yu” yang diajarkan kepada Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani. Kemudian imam as-Syafi’i merangkai ilmu ushul fikih karena imam as-Syafi’i sendiri pernah berguru kepada mazhab hanafiah. Baca pengantar muhaqqiq kitab ushul as-Sarkhasi bernama Abul Wafa’ al-Afghani. Para pengikut mazhab hanafi yang lain juga menyatakan demikian, seperti abu Yusuf, murid Abu Hanifah, imam al-Kautsari dan lainnya.
[16] Beliau menulis kitab berjudul tha’at ar-rasul, kitab an-Nasikh wa al-Mansukh, dan kitab al-‘ilal.
[17] Beliau mengarang kitab, Ibthol al-qiyas, ibthal at-Taqlid, khobar al-awahid, al-hijjah, al-khusus al-umum, al-Mufassar wa al-mujmal
[18] Karangan yang dihasilkan, an-nukat dan nafyu hujjiyyah al-ijma’.
[19] Abdullah Musthofa al-Maroghi, Al-Fath al-Mubin fi Thobaqat al-Ushuliyyin,(Kairo:Kementrian Wakaf, 1948), Juz I Hal 140
[20] Haitsam Abdul Hamid, Tathawwur Al-Fikri Al-Ushuli Al-Hanafi, University of Jordan. 12 Desember 1998
[21] Dr. Abdul Wahab, Al fikri al-Ushuli, (Jeddah: Dar-Syuruq, 1983) hal 107
[22] Ad-Dihlawi, Al-Inshaf fi bayani al-ikhtilaf, (Beirut: Dar an-Nafais, 1404 H), hal. 89
[23] Sunan at-Turmudzi hadis nomor 870 dan Ibnu Majah hadis nomor 265, an-Nasai, No: 1027
[24] Shahih al-Bukhori no: 158, Shahih Muslim, No: 397
[25] Dr. Abdul Majid Mahmud, al-Ittijahad al-Fiqhiyyah ‘inda ashab al-hadis fir qarni as-tsalis al-Hijri, (mesir: Maktabah Khanji, 1979), hal 494
[26] Ad-Dihlawi, Al-Inshaf fi bayani al-ikhtilaf, hal 92
[27] ibid
[28] Haitsam Abdul Hamid, Tathawwur Al-Fikri Al-Ushuli Al-Hanafi, University of Jordan. 12 Desember 1998 hal 119
[29] Pernyataan ini dilontarkan Abdullah Al-Maroghi dalam tulisan biografi al-Karkhi.
[30] Ahmad Al-Jassah, al-Fushul fil Ushul, (Kuwait: Kementrian Wakaf, 1994), juz I hal 245
[31] Ibid, juz III hal 364
[32] Cetakan kitab ini tidak dicetak secara mandiri. Kitab ini dicetak di dalam kitab ushul al-Bazdawi.
[33] Haitsam Abdul Hamid, Tathawwur Al-Fikri Al-Ushuli Al-Hanafi, Hal 128 -136
[34] As-Sarkhasi, Ushul As-Sarkhasi, (Beirut: Dar al-Makrifah), hal 132


Sumber: Mahad-ali.sukorejo.com