Abstrak:
Mazhab fuqoha dipelopori oleh mayoritas mazhab
hanafiah dengan menggunakan metode induktif. Metode induktif dipakai agar
mujtahid lebih produktif menggali hukum yang pada saat itu geliat ijtihad sudah
stagnan. Metode induktif ini bisa dipakai untuk bisa menyesuaikan hasil produk
hukum dengan metode yang digunakan imam mazhab. Al-Karkhi dan al-Jassash
memberikan pengaruh besar terhadap madrasah ini. Pemakaian metode induktif ini
berimplikasi efek negatif dan positif.
Kata Kunci: Aliran fuqoha, metode induktif,
mazhab hanafiah
PENDAHULUAN
Ushul fikih adalah kajian
ilmu yang membahas tentang metodologi menggali hukum dari teks agama. Peletak pertama
dari ilmu ushul fikih adalah Imam as-Syafi’i (w. 204). Imam as-Syafi’i dianggap
sebagai sebagai founding father dan peletak utama ilmu ini
sekalipun sebetulnya embrio ini sudah muncul dari masa sahabat. Sebagian
meragukan jasa imam as-Syafi’i sebagai penggagas pertama ilmu ini. Hal itu
dikarenakan, imam as-Syafi’i pernah menimba ilmu di Baghdad, sebuah kota yang
terkenal dengan ahl ar-ra’yu dan disinyalir, ditempat itu pula
imam as-Syafi’i belajar dasar-dasar ushul fikih.
Semua mazhab mengakui dan mengapresiasi
karya monumental ini. Para tokoh mazhab fikih dan rumpun islam lainnya hampir
secara keseluruhan mengadopsi dan mengadaptasi kitab ar-Risalah karya besar
as-Syafi’i. Namun karakteristik yang dipakai oleh as-Syafi’i dengan menggunakan
metode deduktif dalam menggunakan metode ushul fikihnya nampaknya tidak diikuti
oleh semua mazhab.
Mazhab Hanafi adalah salah
satu mazhab yang menggunakan corak berbeda dalam penulisan dan metode membuat
kaidah ushul fikih. Imam Hanafi tidak mewariskan buku ushul fikih, begitu juga
murid setia Muhammad as-Syaibani dan Abu Yusuf. Mazhab Hanafi dalam metode
ushul fikihnya menggunakan metode induksi.
Paradigma ushul
fikihnya berangkat dari kasus-kasus hukum produk ijtihad dari Abu Hanifah, Abu
Yusuf, Muhammad dan lainnya kemudian ditarik kesimpulan menjadi
postulat-postulat berupa kaidah istinbath hukum.[3] Bahkan sekiranya ditemui
kaidah-kaidah ushul fikih yang dibangun bertentangan dengan fikih, maka mereka
meninggalkan kaidah-kaidah tersebut kemudian beralih pada kaidah yang lebih
sesuai dengan fikih hasil ijtihad imam mereka.[4]Misalnya, mereka menetapkan kaidah bahwa
“dalil yang umum itu bersifat qath’i (pasti)”. Akibatnya,
apabila terjadi pertentangan dalil umum dengan hadis ahad (bersifat zhanni),
maka dalil yang umum itu yang diterapkan, karena hadits ahad hanya bersifat zhanni (relatif),
sedangkan dalil umum tersebut bersifat qath’i, yang qath’i tidak
bisa dikalahkan dan dikhususkan oleh yang zhanni.
Dengan
demikian, jika mazhab mutakallimin membangun dulu kaidah ushul
fikih untuk dibuat dasar istinbath hukum, maka sebaliknya
dalam mazhab ahnaf hasil istinbath hukumnya dijadikan dasar untuk membangun
kaidah ushul fikih. Karena melandaskan pada fikih hasilistinbath tulah
kemudian mazhab ahnaf ini biasa disebut juga dan mazhab fuqoha’ yang berarti
“pakar-pakar fikih”.[5] Kebergantungan akan produk ijtihad
ulama inilah yang menjadi ciri khas ushul fikih mazhab hanafi.
Mazhab Hanafiah hampir
sering silang pendapat dalam ushul fikih perbandingan dengan mazhab jumhur atau
yang dikenal dengan mazhab mutakallimin. Mazhab mutakallimin sendiri tidak
melihat dulu produk ijtihad yang dihasilkan oleh imam-imam pendahulu seperti
imam as-Syafi’i, Malik dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka berupaya seobjektif mungkin
untuk menafsiri suatu teks dengan kaidah yang tentunya sudah mereka kaji tanpa
harus bergantung dengan pendapat imam mazhab mereka. Di sisi lain, madrasah
ushul fikih hanafi atau dikenal dengan fuqoha sangat bergantung dengan pendapat
produk-produk ijtihad para imam. Perbedaan itulah yang membuat dua mazhab ini
sering berhadapan diametral dalam merumuskan kaidah ushul fikih.
PEMBAHASAN
Logika Induksi
Logika adalah
ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir lurus atau tepat.[6] Menurut Aristoteles, sebuah
pengetahuan baru bisa didapat dengan dua cara, induksi dan deduksi.[7]Metode berpikir deduktif adalah metode
berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya
dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Sedangkan Metode berpikir
induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari
hal-hal khusus ke umum.
Pada Penalaran
Induktif terdapat beberapa bentuk, yaitu generalisasi, silogisme dan analogi.
Menurut Gorys Keraf dalam buku Argumentasi dan Narasi, Generalisasi adalah
suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk
menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena
tadi.[8]
Kesimpulan itu
hanya suatu harapan, suatu kepercayaan, karena konklusi penalaran induktif
tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya suatu
probabilitas suatu peluang. Dan hasil penalaran generalisasi induktif itu
sendiri juga disebut generalisasi (proposisi universal).[9] Kebanyakan generalisasi didasarkan
pada pemeriksaan atas suatu sampel atau contoh dari seluruh golongan yang
diselidiki.[10] Oleh karena itu, generalisasi juga
biasa disebut induksi tidak sempurna atau tidak lengkap.[11]
Mazhab hukum
positif juga menggunakan peran logika induksi dalam merumuskan suatu kaidah
umum. Peran logika induksi digunakan untuk menemukan asas umum (empirical
uniformities) dan teori-teori (baik yang miniatur atau middle range,
maupun yang grand) melalui silogisme. Dalam silogisme induksi ini,
premis-premis kecuali konklusinya selalu berupa hasil pengamatan yang
diverifikasi. Silogisme induksi digunakan untuk memperoleh simpulan-simpulan
deskriptif atau eksplanatif tentang ada atau tidaknya hubungan (kausal atau
korelatif) antara berbagai variabel sosial hukum.[12] Ini yang dianut oleh pemikiran
hukum secara sosiologis.
Sejarah Kelahiran Ushul Fikih Hanafiah
Suatu ilmu
dapat dikatakan lahir jika ada bukti otentik yang membuktikannya. Salah satu
bukti kemunculan ilmu ushul fikih adalah kitab ar-Risalah karya monumental dari
imam as-Syafi’i. Ar-Risalah menjadi bukti otentik kelahiran ushul fikih[13] sekalipun banyak pihak yang
mengklaim bahwa mereka lah yang mengawali pembentukan ushul fikih sebagaimana
yang diklaim Syiah[14]dan mazhab Hanafi.[15]
Pada abad ke-II
setelah menyebarnya kemasyhuran kitab as-Syafi’i ke berbagai penjuru, mulailah
muncul karya tulis ushul fikih dari berbagai mazhab fikih, diantaranya murid
langsung as-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal (w.241 H),[16] Dawud ad-Dzahiri[17] (w.270 H), Ibrahim bin Yasar an-Nizam (w.
221 H) dan lain-lain.[18]
Sementara
karangan ushul fikih dari mazhab Hanafi mulai dikarang oleh Isa bin Abban (w.
220 H) dengan judul kitab Khabar al-Wahid, Itsbat al-Qiyas, al-Hujaj
al-Kabir, al-Hujjah al-Kabirah, Ijtihad ar-Ra’yi[19] dan Muhammad bin Samma’ah (w.233) dengan judul ushul fiqh[20] dan berbagai kitab ushul fikih lainnya.
Karangan ushul fikih pada masa ini bisa dibilang belum
menunjukkan keutuhan ushul fikih sebagai sebuah ilmu. Karangan ushul fikih
lebih cenderung mengkaji suatu permasalahan tertentu yang menjadi topik
perdebatan hangat pada masanya. Hal itu masih terus berlanjut sampai abad ke-IV
hijriyah.
Abad ke IV hijriyah,
fikih tidak menampakkan perkembangan dan cenderung jumud. Mereka masih terikat
dengan metode dan pendapat yang dipakai oleh imam mazhab. Untuk memecahkan
sebuah permasalahan atau untuk memproduksi hukum, mereka menggali dan menemukan
ilat hukum yang tidak disebutkan imamnya. Cara ini banyak dipraktikkan ulama
hanafiah. Mereka menemukan ilat, kemudian membangun hukum dan berfatwa dengan
ilat yang mereka temukan sehingga mereka bisa membangun ushul fikih yang
diklaim sebagai bangunan ushul fikih yang dibangun oleh imam mereka.[21]
Menurut
waliyullah Ad-Dihlawi, beberapa kaidah ushul fikih memang diperas dari pendapat
dari para imam,[22] seperti kaidah, dalalah ‘am terhadap partikularnya
adalah qath’i, “kata khas itu sudah menjadi penjelas, tidak perlu ada penjelas
lainnya” (الخاص مبين
فلا يلحقه البيان). Aplikasi kaidah tersebut bisa dilihat dalam permasalahan
hukum thuma’ninah dalam shalat. Imam mazhab berbeda pendapat mengenai kewajiban
thuma’ninah saat ruku’ dan sujud. Imam as-Syafi’i secara tegas mewajibkan
thuma’ninah. Dalil yang digunakan as-syafi’i adalah
لَا تُجْزِئُ صَلاَةٌ لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ صُلْبَهُ
فِيهَا فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ[23]
وَأَنَّ رَجُلاً صَلَّى صَلاَةً خَفِيفَةً، وَأَنَّ
النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَرْقُبُهُ، فَقَالَ لَهُ
النَّبِيُّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «أَعِدْ، فَإِنَّكَ لَمْ
تُصَلِّ»، كَمَا رَوَى عَنْ المِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً
لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهُ وَلاَ سُجُودَهُ فَقَالَ لَهُ: «أَعِدْ»، فَأَبَى، فَلَمْ
يَدَعْهُ حَتَّى أَعَادَ.[24]
Hadis tersebut menurut as-Syafi’i menunjukkan bahwa
thuma’ninah hukumnya wajib dengan alasan Nabi Muhammad bersabda “la tujzi’”
dan “’aid” kepada orang yang tidak melakukan thuma’ninah. Sedangkan
Abu Hanifah menyatakan, Thuma’ninah hanya sebagai kewajiban, bukan fardlu yang
bisa membatalkan shalat. Argumentasi yang beliau sodorkan adalah ayat
{ارْكَعُوا
وَاسْجُدُوا} [الحج: 77]
Ayat tersebut
menjelaskan tentang teknis shalat dan dijadikan sebagai penjelas keumuman ayat“aqimus
sholah”. Redaksi irka’u dan was judu adalah
kata khas bukan mujmal yang butuh penjelas lain.
Ayat tersebut secara jelas menyuruh muslim menundukkan kepala (rukuk) dan
meletakkan dahi ke bawah (sujud). Sedangkan arti dari thuma’ninah adalah
ketenangan. Ayat alquran tidak menyuruh adanya ketenangan. Sehingga kewajiban
ruku’ tidak bergantung kepada hadis ahad di atas. Jika ada kewajiban
thuma’ninah, maka hadis tersebut seakan-akan menasakh ayat alquran, dan itu
terlarang.[25]
Anehnya, kemunduran fikih pada abad keempat tidak
sampai menurunkan laju perkembangan ushul fikih. Kemunduran ushul fikih
berbanding balik dengan kemajuan ushul fikih. Mandeknya produktivitas fikih
dimanfaatkan untuk membuat kaidah dan menggali illat dari pendapat para imam.
Produk yang mereka peroleh dari kajian itu kemudian dijadikan dasar atau
panduan untuk ijtihad selanjutnya. Mereka berfatwa tentang suatu hukum yang
tidak pernah nampak pada masa imam.
Untuk menjawab
permasalahan tadi, mereka menggunakan dasar-dasar dan pedoman yang mereka buat
sendiri dari kajian yang mereka peroleh dari beberapa produk yang dihasilkan
para imam. Mereka akan menetapkan suatu kaidah berijtihad sebagaimana kaidah di
atas. Hal itu seperti sinyal positif bagi citra mazhab karena akan mempertahankan
eksistensi mazhab yang dianutnya. Namun di sisi lain, mereka harus memasang
tameng jika ternyata pendapat tersebut berbeda dengan hadis yang baru mereka
terima. Mereka bahkan membuat kaidah untuk mempertahankan pendapat imam mazhab
sekalipun bertentangan dengan hadis atau kias. Oleh karena itulah, syekh
waliyullah ad-Dihlawi mengatakan, mereka ini sebenarnya bukan menyatakan
pendapat atas nama imam mereka sendiri.[26]
Hukum yang digali dari kaidah yang mereka bentuk
sendiri, bukan dari para imam membuat sebagian para pengkaji mazhab “tertipu”.
Sebagian orang menyana, sekumpulan pendapat yang ada di kitab besar dan
beberapa fatwa adalah pendapat Abu Hanifah dan dua muridnya. Sebagian pengkaji
tidak mengindahkan pembedaan antara pendapat yang digali dari imam dan pendapat
asli dari imam. Mereka juga sepertinya tidak memperdulikan redaksi
تَخْرِيج
الْكَرْخِي كَذَا وعَلى تَخْرِيج الطَّحَاوِيّ كَذَا
Dari pendapat
mazhab hanafiah sendiri sudah dipetakkan
قَوْلهم
قَالَ أَبُو حنيفَة كَذَا وَبَين قَوْلهم جَوَاب الْمَسْأَلَة على قَول أبي حنيفَة
وعَلى أصل أبي حنيفَة كَذَا
Ad-Dihlawi
sebagai pengikut mazhab Hanafi menegaskan secara jelas bahwa apa yang dinyatakan
oleh para ulama hanafiah yang pendapatnya digali dari imam mazhabnya sebenarnya
tidak bisa afiliasikan kepada mazhab hanafiah.[27] Sebagian dari pengkaji itu menyangka bahwa bangunan mazhab hanafiah
itu sudah tertuang dalam kitab al-Mabsuth karya as-Sarkhasi, kitab al-Hidayah,
at-Tabyin dan kitab lainnya. Metode penulisan kitab ini dipengaruhi sebagian
besar oleh golongan mu’tazilah yang tidak memiliki mazhab fikih tersendiri.
Ar-Kharkhi (260-360) dan Al-Jassash
Nama beliau
sering disebut dalam beberapa karya ushul fikih. Ini tidak terlepas dalam
peranannya sebagai peletak utama mazhab fuqoha. Beliau banyak meletakkan
permasalahan ushuliyah dalam mazhab hanafi dan menyusun kaidah yang menjadi
dasar bermazhab hanafi.[28]
Ijtihad dalam
ushul fikih mazhab hanafi tidak diragukan lagi. Beliau lah yang meletakkan
ushul yang dibangun sesuai dengan pendapat yang riwayatkan dari Abu Hanifah.
Al-Karkhi juga yang membangun ushul mazhab yang tidak pernah ada sama sekali
teks dan pernyataan dari Abu Hanifah atau kesepakatan mazhab hanafiah. Langkah
berijtihad ushuliyah pertama kali dalam mazhab fuqoha menjadi tantangan
sendiri. Ia menempati posisi tersendiri dalam tingkatan ahli ushul mazhab
hanafi. Ia memiliki keberanian tersendiri untuk memilih pendapat yang sesuai
dengan keinginannya. Sehingga, ada yang menganggap al-Karkhi berani berbeda
dengan pendapat ushul Abu Hanifah.[29] Salah satu pendapat yang dinukil al-Jassash (w.370) tentang perbedaannya
dengan Abu Hanifah adalah permasalah ‘am makhsush. Menurut al-Karkhi, lafal
umum yang telah ditakhsis akan menjadikan lafal ‘am tersebut berubah. Ia sudah
kehilangan status lafalnya sebagai hakikat menjadi majaz. Ia butuh penjelas
untuk membantu menjelaskannya, sebagaimana status kata mujmal membutuhkan bayan
dari teks lainnya.[30]Setelah itu, dia mengatakan
“ini adalah
mazhabku dan aku tidak bisa mengafilisikan pendapatku ini kepada para ashab”
Al-Karkhi juga
pernah berselisih permasalahan ushul dengan Abu Yusuf. Abu Yusuf tidak menerima
pendapat sahabat yang bertentangan dengan qiyas, sedangkan sahabat itu
satu-satunya yang mengungkapkan pendapat. Dalam hal ini al-Kharkhi tidak setuju
dengan Abu Yusuf. Beliau berpendapat harus menerima. Alasannya ini didasarkan
kepada salah satu pendapat muhammad bin hasan as-Syaibani yang menerima
pendapat sahabat, [31] seperti permasalahan sedikit mahar adalah tiga dirham yang
diriwayatkan dari Ali Kw., haid paling sedikit tiga hari dan paling banyak 10
hari, dan lainya.
Al-Karkhi
memiliki kitab Ushul al-Karkhi.[32] Terdapat 39 kaidah yang tertuang disana. Untuk bisa memahami kaidah
tersebut, Beberapa kaidah tersebut kemudian diberi syarah Najmuddin an-Nasfi.
Kaidahnya antara lain,
(5) الْأَصْلُ:
أَنَّ الظَّاهِرَيْنِ إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا أَظْهَرَ مِنَ الْآخَرِ
فَالْأَظْهَرُ أَوْلَى لِفَضْلِ ظُهُوْرِهِ
(12) الْأَصْلُ:
أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْأَمِيْنِ مَعَ الْيَمِيْنِ مِنْ غَيْرِ بَيِّنَةٍ
(28) الْأَصْلُ:
أَنَّ كُلَّ آيَةٍ تُخَالِفُ قَوْلَ أَصْحَابِنَا فَإِنَّهُا تُحْمَلُ عَلَى
النَّسْخِ أَوْ عَلَى التَّرْجِيْحِ. وَالْأَوْلَى أَنْ تُحْمَلَ عَلَى
التَّأْوِيْلِ مِنْ جِهَةِ التَّوْفِيْقِ
Kaidah nomor kedua puluh delapan inilah yang memantik
kritik dan perbedaan sangat sengit. Dalam kaidah tersebut, imam al-Karkhi lebih
memprioritaskan pendapat ulama hanafiah. Jika ada pertentangan pendapat ashab
hanafiah dengan alquran atau hadis, maka dua sumber tersebut harus ditakwil
atau diunggulkan salah satunya. Kaidah ini oleh beberapa lawan mazhab hanafiah
dianggap pendapat yang membahayakan. Ini menimbulkan ekstrimisme mazhab yang
tercela.
Sumber materi Ushul fiqh al-karkhi ada tiga macam.
Pertama, Yang langsung diriwayatkan dari imam atau yang dipahami dalil dalalah
imam abu hanifah. Kedua, Membuat kaidah ushul yang bersumber dari produk yang
dihasilkan oleh imam. Ketiga, pendapat pribadi dari ulama kalangan muta’akhirin
Ketenaran beliau juga tidak bisa dilepaskan oleh peran
murid setianya, al-Jassash. Dia menjadi kader baik yang berada di bawah asuhan
langsung al-Kharkhi. Al-Jassash berjasa besar dalam perkembangan ke depan
mazhab fuqoha. Ia memberikan panduan permasalahan ushul fikih dengan
sistematis. Belum ada karangan ushul fikih fuqoha yang sebaik kitabnya ,
al-fushul fi al-ushul. Ia memberikan “wajah baru” dengan penampilan ushul fikih
hanafiah.
Kitabnya berisi pokok-pokok pembahasan ushul fikih
terutama perbandingan pendapat antara al-karkhi, Hasan as-Syaibani dan juga Isa
bin Abban. Pemikiran ushul fikih lengkap dengan guru-gurunya, terutama
al-Karkhi bisa dilihat dalam buku al-Fushul. Tidak hanya itu, ia kadang
mencantumkan pendapat sendiri setelah mempertimbangkan berbagai pendapat
gurunya. Pendapatnya memiliki tempat sendiri di kalangan ulama mutakhirin. Nama
dan pendapatnya sering dikutip dalam beberapa literatur kitab ushul fikih. Dan
tak jarang, pendapatnya sering berseberangan dengan gurunya al-Karkhi.
Perbedaan pendapat yang dikemukakan tidak sampai terlalu mencolok karena masih
menghormati jasa guru besarnya itu.
Dari kitab al-Fushul fi ushul, ushul fikih logika
induktif dari aliran fuqoha bermuara. Saat ushul fikih berada di tangan
al-Karkhi dan al-Jassash, mazhab fuqoha menemukan momentumnya. Isa bin Abban,
Abi Khozim, Abi said al-Bardai dan Abu Hasan adalah guru-guru mazhab fuqoha.
Secara umum madzhab metode ahnaf mempunyai pengaruh
besar terhadap pemikiran fikih, pengaruh tersebut antara lain sebagai berikut:
1) Meskipun metode tersebut semata-mata untuk mempertahankan
madzhabnya, Akan tetapi sebagai metode untuk berijtihad ia merupakan
kaidah-kaidah yang berdiri sendiri, sehingga dapat dijadikan perbandingan
antara kaidah-kaidah tersebut, dengan kaidah-kaidah yang lain. Dengan
mengadakan perbandingan, maka secara obyektif dan diperoleh metode yang lebih
benar dan kuat.
2) Karena metode tersebut diterapkan terhadap masalah-masalah
furu’, maka ia bukan merupakan pembahasan yang universal dan kaidah-kaidah yang
umum yang dapat diterapkan pada masalah-masalah furu’. Dengan mengkaji
universalitas kaidah-kaidah tersebut, akan memberikan kekuatan tersendiri.
3) Mengkaji ushul fiqih dengan sistem tersebut, sama dengan mengkaji
perbandingan masalah-masalah fiqih. Kajian tersebut bukannya membandingkan
antara masalah-masalah pokok. Sehingga seseorang tidak hanya mengkaji
masalah-masalah cabang yang tidak ada kaidahnya, tetapi memperdalam
masalah-masalah yang bersifat universal untuk menggali hukum masalah-masalah
furu’ (juz’i).
4) Kajian ini memberikan kaidah pada masalah-masalah furu’, seperti
masalah-masalah pokok. Dengan kaidah ini akan diketahui cara menetapkan hukum,
merinci masalah-masalah furu’, serta memberikan ketentuan hukum terhadap
permasalahan yang terjadi pada saat itu dan belum pernah terjadi pada masa
imam-imam terdahulu. Tentu hukum-hukum tersebut tidak akan menyimpang dari
ketentuan madzhab mereka, karena hukum-hukum tersebut merupakan pokok yang
menetapkan hukum-hukum masalah furu’.[17]
Kitab mazhab Fuqoha’
Adapun kitab-kitab ushul fiqih yang disusun menurut
aliran ini adalah:
1) al-Ushul karya Abil Hasan
al-Karkhi (wafat 340 H).
2) Ushulul Fiqh karya Abu Bakar
ar-Razi yang terkenal dengan nama al-Jassash
Dua kitab tersebut adalah sebagai kitab pokok mazhab fuqoha’. Dalam mazhab
hanafi sendiri ada dua aliran, yaitu mazhab Irak yang menggunakan metode
induksi, dan mazhab Samarkand yang beraliran mutakallimin. Pelopor mazhab
Samarkand adalah Abu Mansur al-Maturidi yang terkenal dengan ulama Waro an-Nahr.
Pada awal kemunculan, dua aliran ini tidak bertemu untuk memperdebatkan ushul
fikih hanafi. Mazhab samarkand metodenya hampir mirip mutakallimin dalam
merumuskan mazhabnya karena pengaruh ilmu kalam Abu Mansur al-Maturidi.[33] Dua
mazhab ini baru diketemukan oleh ad-Dabusi (w. 430 H) dengan karyanyaTa’sisun
Nazhar. Artinya, perjalanan kitab mazhab fuqoha telah berubah orientasi
setelah ad-Dabbusi menerbitkan karangannya itu. Coraknya tidak lagi fuqoha’
murni tapi sudah memadukan dua aliran besar mazhab Ahnaf.
Setelah itu muncullah seorang ulama besar yang bernama al-Bazdawi (wafat
483 H). Dia menyusun sebuah kitab yang diberi nama Ushul al-Bazdawi,
sebuah kitab usul fikih yang ringkas dan mudah dicerna. Kitab tersebut
terbilang kitab yang paling jelas dan mudah yang disusun menurut metode madzhab
Hanafi. Kemudian muncul pula imam as-Sarkhasi penyusun kitab al-Mabshuth yang
menyusun sebuah kitab yang senada dengan kitab al-Bazdawi, hanya
lebih luas dan mendetail. Setelah itu terbitlah beberapa kitab yang disusun
menurut metode tersebut yang meresume dan menjabarkan kitab-kitab terdahulu,
seperti kitab al-manar.
Contoh Penulisan Ushul Fiqh Hanafi
Sebenarnya, setiap orang
yang membaca kitab ushul Hanafi akan langsung menemukan contoh metode penulisan
ala thoriqatil Fuqaha. Contoh praktisnya, ulama hanafiyah membuat kaidah
“Lafadz yang bersifat umum (‘aam) mencakup setiap unit di bawahnya (afrodul ‘aam)
secara qoth’i. Dalam artian semua unit yang masuk dalam cakupan kata umum,
hukumnya sama rata dengan lafadz umum tersebut. Jika kata umum tersebut
bersifat qoth’i, maka semua unit cakupannya pun bersifat qoth’i dan tidak dapat
dikecualikan kecuali dengan dalil yang qoth’i.” Kaidah ini menjadikan dalalah
lafadh umum setara dengan dalalah lafadh khusus dan lafadh umum bisa menghapus
(naskh) lafadh khusus saat terjadi kontradiksi.”
Pernyataan di atas
merupakan kaidah ushuliyyah yang berlaku untuk semua lafadz umum. Dalam
menetapkan kaidah di atas ulama Hanafi bertumpu pada masa’il furu’iyyah yang
mereka ambil dari para pendahulu mereka. Diantaranya:
1.
Pendapat Muhammad bin Hasan
tentang permasalahan wasiat;
Jika ada seseorang berwasiat agar cincinnya diberikan pada si A kemudian di
waktu lain dia berwasiat agar batu mata cincin tersebut diberikan pada si B,
maka si A berhak mendapatkan ring cincin. Sedangkan batu mata cincin, dibagi
dua antara si A dan si B. Hal ini karena kata cincin pada wasiat pertama mencakup
ring cincin dan batu matanya. Sedangkan pada wasiat yang kedua, hanya matanya
saja. Wasiat yang kedua tidak bisa mengeliminasi (naskh) wasiat yang pertama,
karena memang batu mata cincin masuk dalam wasiat pertama (melalui lafadh aam),
namun karena kedua wasiat itu sah, maka batu mata cincin dibagi dua.
Andai saja
wasiat kedua itu diucapkan pada satu majelis tanpa ada jeda antara dua wasiat,
maka si A hanya berhak ring cincin saja tanpa batu matanya, karena lafadz
cincin yang dimaksudkan tidak mencakup batu matanya.
2.
Madzhab Imam Abu Hanifah
dalam men-tarjih hadist Nabi saw. yang mengandung lafadh umum; “Barang siapa
menggali sumur, maka ia memiliki hak atas tanah di sekitarnya seluas 40
dzira’.” Dan beliau meninggalkan hadits yang menunjukkan lafadz khusus, yaitu
hadits sumur Nadhih, yang mengatakan bahwa penggalinya berhak atas tanah di
sekitarnya seluas 60 dzira’.
3.
Madzhab Imam Abu Hanifah
dalam men-tarjih hadits; “Semua yang disirami dengan air hujan, (zakatnya)
adalah sepersepuluh!” dan meninggalkan hadits khusus; “Tidak diwajibkan
berzakat atas sayur-mayur!”, plus hadits “Tidak diwajibkan berzakat atas hasil
panen yang kurang dari lima ausaq.”
4.
Madzhab Imam Abu Hanifah
yang menjadikan hadits umum; “Hindarilah air kencing! Karena kebanyakan adzab
kubur itu dari air kencing.” Sebagai penghapus (naasikh) hadits khusus, yaitu
hadits ‘Uraniyyin yang diperintah minum susu onta dan kencingnya.
Contoh di atas
sangat jelas menunjukkan bahwa kaidah ushuliyyah mereka didasarakan pada
masalah furu’iyah. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan tegas Imam
As-Sarkhosy (w. 490 H), setelah menyebutkan kaidah ushul di atas dan sebelum
menyebutkan furu’-furu’, beliau menegaskan;
فعلى هذا دلت مسائل علمائنا رحمه الله تعالى [34]
PENUTUP
Mazhab fukoha dipelopori
oleh mayoritas mazhab hanafiah dengan menggunakan metode induktif. Metode
induktif dipakai agar mujtahid lebih produktif menggali hukum yang pada saat
itu geliat ijtihad sudah stagnan. Metode induktif ini bisa dipakai untuk bisa
menyesuaikan hasil produk hukum dengan metode yang digunakan imam mazhab.
Al-Karkhi dan al-Jassash memberikan pengaruh besar terhadap madrasah ini.
Pemakaian metode induktif ini berimplikasi efek negatif dan positif.
[1] Makalah
ini disampaikan dalam mata kuliah Qawaid dan Ushul Fikih dengan dosen pengampu
Prof. Dr. H. Abu Yasid, MA. L.LM.
[2] Mahasiswa
pasca sarjana IAI Ibrahimy Sukorejo Situbondo angkatan 2014.
[3] Prof. Dr.
Abu Yasid, L.LM, Logika Fiqh dan Ushul Fiqh, (Situbondo: Ibrahimy
Press, 2010) hal 57
[4] Prof. Dr.
Abu Yasid, L.LM, Metodologi Penafsiran Teks, (Jakarta: Erlangga,
2012), hal. 15
[6] Alex
Lanur, Logika: Selayang Pandang, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hal
5
[7] K.
Bertens, Sejarah filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles, (Yogyakarta:Kanisius,
1999) h. 169
[8] Gorys
Keraf, 1994 : 43 Keraf, Gorys. 1994. Argumentasi dan Narasi. Jakarta : Gramedia
Pustaka Tama
[9] Soekadijo,
R.G., Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal 134
[10] Contoh
dari generalisasi :
– aluminium jika dipanaskan akan memuai
– besi jika dipanaskan akan memuai
– tembaga jika dipanaskan akan memuai
– nikel jika dipanaskan akan memuai
Generalisasinya, yaitu semua logam jika dipanaskan akan memuai.
[11] Poespoprodjo, Dasar-dasar
Berpikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis. (Bandung: Pustaka
Grafika, 1999), hal 60
[12] Yesmil
Nawar dan Adang, Pengantar sosiologi hukum,
[13] Kitab
Ushul fikih yang dihasilkan dari imam as-Syafi’i di antaranya kitab
ahkam al-quran, ibthal al-istihsan, jima’ al-ilmi, dan al-qiyas. Baca:
az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith, (Beirut: Dar kutubi,1994) juz I
hal 18.
[14] Menurut
golongan syiah imamiyah, ulama yang pertama kali mengaran ushul fikih adalah
Abu ja’far muhammad al-baqir bin ali zainil abidin. Baca, As-Sayyid Hasan Sadr, ta’sis
as-syiah lil ulum al-islam, (Beirut: Dar ar-Roid al-Aroby, 1981), hal
310
[15] Menurut
golongan ini, Imam Abu Hanifah adalah orang yang pertama kali merumuskan kita
ushul fikih dalam kitabnya “ar-Ro’yu” yang diajarkan kepada Abu Yusuf dan
Muhammad asy-Syaibani. Kemudian imam as-Syafi’i merangkai ilmu ushul fikih
karena imam as-Syafi’i sendiri pernah berguru kepada mazhab hanafiah. Baca
pengantar muhaqqiq kitab ushul as-Sarkhasi bernama Abul Wafa’ al-Afghani. Para
pengikut mazhab hanafi yang lain juga menyatakan demikian, seperti abu Yusuf,
murid Abu Hanifah, imam al-Kautsari dan lainnya.
[16] Beliau
menulis kitab berjudul tha’at ar-rasul, kitab an-Nasikh wa al-Mansukh,
dan kitab al-‘ilal.
[17] Beliau
mengarang kitab, Ibthol al-qiyas, ibthal at-Taqlid, khobar al-awahid,
al-hijjah, al-khusus al-umum, al-Mufassar wa al-mujmal
[18] Karangan
yang dihasilkan, an-nukat dan nafyu hujjiyyah
al-ijma’.
[19] Abdullah
Musthofa al-Maroghi, Al-Fath al-Mubin fi Thobaqat al-Ushuliyyin,(Kairo:Kementrian
Wakaf, 1948), Juz I Hal 140
[20] Haitsam
Abdul Hamid, Tathawwur Al-Fikri Al-Ushuli Al-Hanafi, University
of Jordan. 12 Desember 1998
[21] Dr. Abdul
Wahab, Al fikri al-Ushuli, (Jeddah: Dar-Syuruq, 1983) hal 107
[22] Ad-Dihlawi, Al-Inshaf
fi bayani al-ikhtilaf, (Beirut: Dar an-Nafais, 1404 H), hal. 89
[23] Sunan at-Turmudzi
hadis nomor 870 dan Ibnu Majah hadis nomor 265, an-Nasai, No: 1027
[24] Shahih
al-Bukhori no: 158, Shahih Muslim, No: 397
[25] Dr. Abdul
Majid Mahmud, al-Ittijahad al-Fiqhiyyah ‘inda ashab al-hadis fir qarni
as-tsalis al-Hijri, (mesir: Maktabah Khanji, 1979), hal 494
[26] Ad-Dihlawi, Al-Inshaf
fi bayani al-ikhtilaf, hal 92
[28] Haitsam
Abdul Hamid, Tathawwur Al-Fikri Al-Ushuli Al-Hanafi, University
of Jordan. 12 Desember 1998 hal 119
[29] Pernyataan
ini dilontarkan Abdullah Al-Maroghi dalam tulisan biografi al-Karkhi.
[30] Ahmad
Al-Jassah, al-Fushul fil Ushul, (Kuwait: Kementrian Wakaf, 1994),
juz I hal 245
[31] Ibid, juz
III hal 364
[32] Cetakan
kitab ini tidak dicetak secara mandiri. Kitab ini dicetak di dalam kitab ushul
al-Bazdawi.
[33] Haitsam
Abdul Hamid, Tathawwur Al-Fikri Al-Ushuli Al-Hanafi, Hal 128 -136
[34] As-Sarkhasi, Ushul
As-Sarkhasi, (Beirut: Dar al-Makrifah), hal 132
Sumber: Mahad-ali.sukorejo.com