Pertanyaan :
Assalamu’alaikum.
Tetangga saya meninggal dunia di Sumatera karena kecelakaan sementara keluarga yang ada di Jawa Timur meminta jenazahnya untuk dibawa pulang, tapi pihak rumah sakit Sumatera tidak berani membawa ke Jawa kalau tidak diformalin. Yang saya tanyakan, bagaimana hukum memformalin mayat dalam contoh di atas? Tolong sertakan referensinya. Terima kasih.
Tetangga saya meninggal dunia di Sumatera karena kecelakaan sementara keluarga yang ada di Jawa Timur meminta jenazahnya untuk dibawa pulang, tapi pihak rumah sakit Sumatera tidak berani membawa ke Jawa kalau tidak diformalin. Yang saya tanyakan, bagaimana hukum memformalin mayat dalam contoh di atas? Tolong sertakan referensinya. Terima kasih.
Jawaban:
Wa alaikum salam
warahmatullahi wabarakatuh.
Mengawetkan jenazah dalam konsep Islam diperbolehkan
dengan tujuan untuk penyelidikan dalam kasus kiriminal agar dapat mengungkap
bukti dari kasus yang terjadi, juga diperbolehkan untuk tujuan pendidikan. Ataupun
sekedar untuk mencegah terjadinya pembusukan lebih cepat pada mayat sebelum
dikuburkan maupun setelahnya. Ulama Syafi’iyah dalam hal ini menyatakan: Setiap
helai kain kafan selain mayat yang meninggal saat tengah berihram diolesi
Hanuth (minyak khusus mayat, mengandung kapur, kayu cendana, dan minyak
tumbuh-tumbuhan menurut versi Al Azhuri, ada juga yang berpendapat bahwa Hanuth
adalah setiap minyak yang diperuntukkan mayat) sebelum ditumpuki lapis yang
lain, dan diolesi kapur barus. Imam
Haramain dan selainnya menegaskan bahwa maksud dari mengolesi kapur barus
adalah sunnah memperbanyak kandungan kapur dalam Hanuth. Bahkan imam Syafi'i
berkata: Disunnahkan mengolesi semua tubuh mayat dengan kapur karena kapur bisa
menjadikan tubuh mayit menjadi kuat (bisa bertahan lama).
Sedangkan untuk kasus yang ditanyakan oleh saudara
penanya maka masih ada celah kebolehannya karena ada hajat, yaitu mencegah agar
mayat tidak membusuk dalam perjalanan. Masalah pengawetan ini tidak bisa dihindari layaknya perkara
yang darurat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih:
الْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ
الضَّرُورَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً
Hajat
/ kebutuhan itu menduduki kedudukan darurat, baik secara umum ataupun khusus.
Adapun mengawetkan mayat dengan tujuan bukan untuk dikuburkan
seperti untuk pajangan maka ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan
syari’at Islam. Hal ini berlawanan dengan firman Allah:
مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ . مِنْ
نُطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ . ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ . ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ
"Dari
benda apa Dia menciptakan manusia? Dia ciptakan manusia dari setetes mani, lalu
Dia tetapkan takdirnya. Kemudian Dia mudahkan jalannya. Kemudian Dia matikan
manusia dan Dia tetapkan untuk dikuburkan." (QS. Abasa: 18-21).
Imam
al Qurthubiy menjelaskan: Dia jadikan untuknya kuburan dan diperintahkan agar
dia dikuburkan.
Wallahu
a’lam.
Referensi
:
Mughniy al Muhtaj juz 4 hal. 229
Mughniy al Muhtaj juz 4 hal. 229
ويذر) بالمعجمة في غير المحرم (على كل
واحدة) من اللفائف قبل وضع الأخرى (حنوط) بفتح الحاء ، ويقال له الحناط بكسرها ،
وهو نوع من الطيب يجعل للميت خاصة يشتمل على الكافور والصندل وذريرة القصب ، قاله
الأزهري .وقال غيره : هو كل طيب خلط للميت (وكافور) - ونص الإمام وغيره على
استحباب الإكثار منه فيه ، بل قال الشافعي : ويستحب أن يطيب جميع بدنه بالكافور ؛
لأنه يقويه ويشده
Fiqh al Islamiy wa Adillatuh juz 3 hal. 521-522
وأجاز الشافعية شق بطن الميتة لإخراج
ولدها وشق بطن الميت لإخراج مال منه كما أجاز الحنفية كالشافعية شق بطن الميت فى
حال ابتلاعه مال غيره إذا لم تكن له تركة يدفع منها ولم يضمن عنه أحد وأجاز
المالكية أيضا شق بطن الميت إذا ابتلع قبل موته مالا له أو لغيره إذا كان كثيرا هو
قدر نصاب الزكاة فى حالة ابتلاعه لخوف عليه أو لعذر أما إذا ابتلعه بقصد حرمان
الوارث مثلا فيشق بطنه ولو قل وبناء على هذه اللآراء المبيحة: يجوز التشريح عند
الضرورة أو الحاجة بقصد التعليم لأغراض طبية أو لمعرفة سبب الوفاة وإثبات الجناية
على المتهم بالقتل ونحو ذلك لأغراض جنائية إذا توقف عليها الوصول فى أمر الجناية
للأدلة الدالة على وجوب العدل فى الأحكام حتى لا يظلم بريئ ولا يفلت من العقاب
مجرم أثيم كذلك يجوز تشريح جثث الحيوان للتعليم لأن المصلحة فى التعليم تتجاوز
إحساسها بالألم وعلى كل حال ينبغى عدم التوسع فى التشريح لمعرفة وظائف الأعضاء
وتحقيق الجناية والإقتصار على قدر الضرورة أو الحاجة وتوفير حرمة الإنسان الميت
وتكريمه بمواراته وستره وجمع أجزائه وتكفينه وإعادة الجثمان لحالته بالحياطة
ونهوها بمجرد الانتهاء من تحقيق الغاية المقصودة كما يجوز نقل بعض أعضاء الإنسان
لأخر كالقلب والعين إذا تأكد الطبيب المسلم الثقة العدل موت المنقول عنه لأن الحي
أفضل من الميت وتوفير البصر أول الحياة لإنسان نعمة عظمى مطلوبة شرعا
Al Asybah wan Nadzair lis Suyuthiy hal. 88
القاعدة الخامسة: الحاجة تنزل منزلة
الضرورة عامة كانت أو خاصة
Fatwa Islamiyah
والضرورة هي بلوغ الشخص حداً إن لم
يتناول الممنوع هلك أو قارب، وألحق بعض العلماء بالضرورة الحاجة عامة كانت أو خاصة
كما جاء في الأشباه والنظائر للسيوطي قال: الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو
خاصة. انتهى
Tidak ada komentar:
Posting Komentar