KH. Sahal Mahfudz |
Dan kita mendengar nyanyian
kabung: Di muka pintu
masih/ bergantung tanda kabung/ Seakan ia tak akan kembali/ Memang ia tak
kembali/ tapi ada yang mereka tak/ mengerti - mengapa ia tinggal diam/ waktu
berpisah...
Sajak dari Subagio
Sastrowardojo yang berjudul ‘Dan Kematian Makin Akrab’ ini, membawa kita kepada
labirin pemahaman tentang kematian yang seolah tiada ujung dan tepi. Kalimat mengapa ia tinggal diammemanggul makna bahwa orang mati seringkali
tinggal diam di lubuk hati orang-orang. Ia tak hendak disembunyikan olehpusara yang
menimbun hidupnya (Dipinjam dari ungkapan William
Shakespeare, Sonnet 17).
Agar bisa termasuk ke dalam
mereka yangtinggal
diam, setidaknya ada
yang musti kita ketahui tentang ilmu yang bermanfaat. Waktu kita belajar agama,
penekanan terhadap pentingnya ilmu yang bermanfaat membikin kita paham satu hal
penting: orang yang berilmu tidak akan mati. Dan dalam kasus ini, Kiai Sahal
patut menjadi teladan dan panutan.
Kiai Sahal wafat pada 24
Januari yang lalu. Tapi layaknya orang berilmu lainnya, Kiai Sahal masih ada
dan hidup. Demikian apa yang dikatakan oleh Sahabat Ali R.a. dalam sebuah syair
indah: ... Maka jadilah
pemenang lantaran ilmu; dengannya kau akan hidup selama-lamanya/ Manusia-manusia
mati dan ahli ilmu tetap hidup abadi. Bagaimana cara orang berilmu itu hidup? Mereka hidup dalam
karyanya, ilmunya, dedikasinya, perjuangannya, dan segala apa yang telah ia
sumbangkan untuk masyarakat yang melingkupinya.
Kiai Sahal adalah sekian dari
tak banyak ulama Indonesia yang mampu mendukakan seluruh elemen masyarakat;
rakyat jelata, santri, cendekiawan, pejabat tinggi, di hari wafatnya (bahkan
sebagian orang meyakini bahwa bencana yang melanda negeri kita di hari wafatnya
beliau adalah merupakan tanda alam pun berduka). Demikian ini didasari oleh
beberapa hal. Dan beberapa hal ini dapat kita temui dalam buku ‘Belajar dari
Kiai Sahal’ yang terbit pada bulan Mei 2014 ini. Buku yang dikatakan bagaikan
menyusun mozaik (lihat: sambutan tim redaksi) ini mampu untuk setidaknya
membantu memberi gambaran kepada pembaca tentang sosok Kiai Sahal dari sudut
pantang yang beragam dan atau bervariatif.
Beberapa hal itu, yang disusun
bagai mozaik itu, sejenak mengentaskan kesedihan kita dengan semaian pelajaran
berharga melalui kesan-kesan dari seseorang yang pernah berinteraksi dengan
beliau. Atau seseorang yang mengenal beliau. Atau seseorang yang bersimpati
terhadap pribadi maupun pemikiran beliau. Seperti apa yang diungkapkan oleh KH
A. Mustofa Bisri:
Beliau termasuk segelintir
orang yang menguasai fikih di zaman sekarang. Apalagi ditambah
mengkontekstualisasikan fikih ke dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya orang
memaksakan untuk menerapkan fikih sebagaimana yang dipelajari. Ada pula yang
sama sekali tidak menggunakannya. Kiai Sahal tidak seperti itu. Jadi beliau
masih menghendaki fikih dengan pemahaman-pemahaman yang baik yang sesuai dengan
konteks zaman sekarang. Itulah kelebihan beliau. (Halaman
10).
Kesan ini rangkul-merangkul
dengan berbagai cerita menarik yang mengharukan, menyenangkan, menggugah,
menginspirasi, merasuki, dari potongan-potongan mozaik dalam buku ini. Tak
hanya itu, peletakkan beliau sebagai objek material memungkinkan adanya
alternatif sudut pandang (dalam bahasala lain disebut objek formal) dari si
pencerita atau penulis. Buku ini memuat 46 tulisan dari penulis yang jumlahnya
sama. Sebanyak jumlah itu pulalah pembaca akan menemukan sudut pandang.
Seperti apa yang dikisahkan
oleh salah satu murid Kiai Sahal, Wakhrodi. Ia mengambil sudut pandang dari apa
yang tidak dilakukan oleh Kiai Sahal. Menurutnya, apa yang tidak dilakukan Kiai
Sahal barangkali pengaruhnya sama besar atau bahkan lebih besar dari apa yang
dilakukan beliau. Misalnya, ketika Kiai Sahal tidak mengundang tokoh besar pada
acara haul Ayahhanda beliau, Kiai Mahfudz. Atau ketika beliau memilih lewat
pintu belakang usai menghadiri pertemuan lembaga-lembaga yang beliau geluti
demi tidak disorot oleh media. Atau ketika beliau berniat untuk tidak
menghadiri undangan partai Golkar (pada poin ini ada cerita menarik) yang waktu
itu dihadiri oleh Presiden Soeharto. Atau ketika beliau menolak uang fee dari pimpinan proyek pembangunan gedung MUI Jawa Tengah.
Bahkan sampai apa yang beliau lakukan berupa tidak tergoda oleh politik praktis
pasca era reformasi. (Halaman 46-51).
Seorang Kiai Sahal dirangkum
dan diterjemahkan sedemikian mengesankan dalam buku ini. Kiai Sahal adalah kiai
alifbata: istilah untuk menyebut seorang kiai yang meskipun telah menjadi
seorang faqih, tapi masih mau mengajari anak kecil dan
mengajarkan hal-hal yang ‘dianggap’ kecil. Laiknya cerita yang diungkap oleh
Tutik Nurul Jannah, ibu dari kedua cucu beliau. (Halaman 18-23).
Begitu juga, Kiai Sahal adalah
ulama Mancanegara. Kitab beliau yang bertajuk Thariqat Al-Hushul
‘ala Ghayat Al-Wushul, sebuah hasiyah (komentar) atas kitab karya Imam Abu Yahya Zakaria
Al-Anshary, mendapat sambutan yang tidak sembarangan dari ulama Timur Tengah.
Sampai-sampai, dalam satu kisah, salah satu Syaikh Universitas Al-Azhar pernah
menggunakan kitab itu sebagai rujukan dalam menyusun muqorror (diktat untuk mahasiswa). Beliau juga merupakan penggagas
fikih sosial; kajian fikih yang dekat dengan masyarakat dan begitu lentur serta
bersifat kontekstual (meskipun tidak melepaskan diri dari tekstual, warisan
ulama klasik).
Dalam buku ini pula, pembahasan
mengenai kiprah dan pemikiran beliau mendapatkan posri yang cukup dan
berimbang. Penulis seperti Sumanto Al Qurtuby, M. Imam Aziz, Hilmi Ali Yafie,
Ahmad Suaedy, dll, menyoroti kiprah beliau di gelanggang Jam’iyyah Nahdlatul
Ulama (NU). Sementara penulis seperti Husein Muhammad, Akhmad Sahal, Aziz Anwar
Fachruddin, dll, menyoal tentang gagasan fikih sosial dan kontektualisasi fikih
klasik.
Maka, alangkah tidak merupakan
suatu hal yang berlebihan, jika pada hari wafatnya beliau, rasa kehilangan
nampak di hampir semua lapisan masyarakat, terutama warga NU. Demikian besar
kedukaan yang melanda hingga serasa enggan ia membiarkan kita sejenak bernafas
tanpa aroma berkabung. Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda: “Sungguh, kematian
sebuah qabilah (suatu kelompok) niscaya lebih ringan ketimbang matinya
seorang alim”. Dalam konteks Kiai Sahal, sabda agung ini sangat relevan.
Kita boleh kenyang meratapi kesedihan akibat kehilangan Kiai
bersahaja ini. Tapi, kita tak boleh kenyang mengambil pelajaran dan mau’idhoh hasanah dari karya, kisah, pesan, dan ajaran beliau. Dan buku ini,
meski belum merangkum kesemua tentang beliau, tapi cukup untuk menjadi
pelajaran bagi yang pernah maupun yang belum pernah belajar langsung dari
beliau. Buku ini adalah pecahan Mozaik yang dirangkum dan disusun demi
mengekalkan ia
yang tinggal diam di dalam lubuk hati kita semua.
Judul Buku : Belajar dari Kiai Sahal
Editor : M. Imam Aziz
Penerbit : PPKMF
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : xxiv+373 Halaman
ISBN : 978-602-951-888-7
Peresensi : Mohamad S. Arifin, santri Kiai Sahal. Saat ini sedang berkelana di Kairo,
Judul Buku : Belajar dari Kiai Sahal
Editor : M. Imam Aziz
Penerbit : PPKMF
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : xxiv+373 Halaman
ISBN : 978-602-951-888-7
Peresensi : Mohamad S. Arifin, santri Kiai Sahal. Saat ini sedang berkelana di Kairo,
di Universitas Al-Azhar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar