Rabu, 14 Mei 2014

Hukum Memanfaatkan Barang Bekas Milik Masjid

Di desa saya ada sebuah masjid kuno yang kondisinya agak memperhatinkan. Kemudian masyarakat sepakat untuk memperbiki denga cara mengganti secara total bangunan masjid itu. Dengan demikian banyak bangunan masjid tersebut yang tidak terpakai.
Menurut keyakinan orang ditempat saya, bahwa benda-benda bekas masjid (misalnya genteng, kayu, bata dan sebagainya) tidak boleh dipakai untuk keperluan lain (misalnya untuk rumah), apalagi dijual tambah tidak boleh. Pokoknya, kalau ditanya alasannya, mereka menjawab ora apik, barang masjid kok didol (tidak baik, barang masjid kok dijual).
Tapi dipihak lain, jika barang itu tidak dimanfaatkan (misalnya, diberikan orang yang tidak mampu atau dijual kemudian uangnya masuk kekas masjid) akan hancur dimakan hujan atau rusak dengan sendirinya.
Pertanyaan saya, betulkah benda masjid itu mengandung kekuatan ghaib, sehingga orang-orang mempercayainya sebagai sesuatu yang tidak baik jika dimanfaatkan oleh orang lain? Apakah ada dalilnya tentang masalah ini? Lalu lebih baik mana antara dibiarkan dengan dimanfaatkan?
 
Jawaban:
Saudara yang terhormat. Menjawab pertanyaan Anda mengenai kebenaran bahwa benda masjid mengandung kekuatan gaib. Sehingga orang-orang mempercayainya sebagai sesuatu yang tidak baik jika dimanfaatkan oleh orang lain, atau lebih tepatnya untuk kepentingan orang lain.
Di sini perlu kami tegaskan, bahwa benda masjid itu tidak mempunyai kekuatan gaib yang berakibat tidak baik bagi pemakainya. Islam tidak mengenal bahkan menolak anggapan tersebut. Kalau orang-orang ditempat Anda berkeyakinan bahwa benda-benda bekas masjid tidak boleh dijual atau lainnya dengan alasan, 'Ora apik, barang masjid kok didol' sebenarnya keyakinan tersebut mempunyai landasan agama yang kuat.
Sebab dalam agama Islam, barang yang sudah diwakafkan, itu tidak boleh dijual atau diberikan kepada orang lain, sebagaimana tersebut dalam kitab fiqh. Sehingga jika meminjam barang wakaf masjid misalnya pengeras suara kita bawa pulang kemudian kita setel (kita pakai) di rumah kita, maka hukumnya haram (yang diterjemahkan oleh orang-orang di kampung saudara dengan kata 'ora apik')
Adapun jika saudara menanyakan mana yang lebih baik, apakah benda-benda bekas masjid tersebut dibiarkan saja sampai hancur tanpa guna ataukah dimanfaatkan?
Jika kita mau memakai madzhab Syafi'i dan tidak mau berpindah ke madzhab lain dalam masalah ini, maka benda-benda tersebut harus kita biarkan saja sampai hancur dengan sendirinya. Atau diberikan ke masjid lain yang memerlukannya.
Jika orang-orang kampung Anda mau berpindah ke madzhab Hanafi, maka benda-benda tersebut dapat kita tukarkan dengan benda lain yang dapat dimanfaatkan oleh masjid tersebut dengan syarat-syarat tertentu. Sebagaimana disebutkan dalam fiqh-fiqh Hanafi, misalnya kitab Raddul Mukhtar juz 3 hal 387.




KUMPULAN BAHTSUL MASAAIL

Koleksi Bahtsul Masail yang dimiliki oleh KH. A. Masduqi Machfudh, termasuk arsip Kolom Bahtsul Masail dari majalah PWNU Jawa Timur Aula, Bahtsul Masail Wilayah (PWNU) Jawa Timur, dan Bahtsul Masail pada muktamar maupun pra-muktamar NU.

Hukum Jual Beli Kotoran Hewan (Pupuk Kandang)

Assalamu 'alaikum wr. wb.
Saya ingin bertanya, apa hukumnya menjual kotoran hewan seperti kotoran ayam, kambing, lembu. Kalau boleh mohon dijelaskan dan kalau tak boleh juga dijelaskan. Trims Pak Ustad.

Wa’alaikumsalam wa rahmatullah. Guna memenuhi kebutuhan hidup, banyak diantara kita yang menjalankan profesi dan bergerak di sektor perdagangan yang meniscakan adanya berbagai barang (komoditas) yang diperjualbelikan. 
Dalam pandangan ulama madzhab Syafi’i, barang yang diperjual belikan harus memenuhi persyaratan diantaranya adalah barang tersebut harus suci dan bermanfaat. Mengingat kotoran ayam, kambing dan lembu dalam madzhab Syafi’i dihukumi najis oleh sebagian ulama, maka jual beli barang-barang tersebut dinyatakan tidak sah.
Namun ulama syafiiyah atau pengikut madzhab Syafi'i memberikan tawaran solusi begini: Barang-barang ini dapat dimiliki dengan cara akad serah terima barang yang ditukar dengan barang lain tanpa transaksi jual beli.
Sebenarnya ada pandangan ulama madzhab Hanafi yang membolehkan proses jual beli kotoran-kotoran hewan tersebut, karena ada unsur manfaat di dalamnya. Adapun dasar pengambilan hukum yang kami gunakan adalah:

Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh
وَلَمْ يَشْتَرِطْ الْحَنَفِيَّةُ هَذَا الشَّرْطَ فَأَجَازُوْا بَيْعَ النَّجَاسَاتِ كَشَعْرِ الْخِنْزِيْرِ وَجِلْدِ الْمَيْتَةِ لِلانْتِفَاعِ بِهَا إِلاَّ مَا وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ بَيْعِهِ مِنْهَا كَالْخَمْرِ وَالْخِنْزِيْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالدَّمِ كَمَا أَجَازُوْا بَيْعَ الْحَيَوَانَاتِ الْمُتَوَحِّشَةِ وَالْمُتَنَجِّسِ الَّذِيْ يُمْكِنُ اْلانْتِفَاعُ بِهِ فِيْ اْلأَكْلِ وَالضَّابِطُ عِنْدَهُمْ أَنَّ كُلَّ مَا فِيْهِ مَنْفَعَةٌ تَحِلُّ شَرْعًا فَإِنَّ بَيْعَهُ يَجُوْزُ لِأَنَّ اْلأَعْيَانَ خُلِقَتْ لِمَنْفَعَةِ اْلإِنْسَانِ
Dan ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan syarat ini (barang yang dijualbelikan harus suci, bukan najis dan terkena najis). Maka mereka memperbolehkan jualbeli barang-barang najis, seperti bulu babi dan kulit bangkai karena bisa dimanfaatkan. Kecuali barang yang terdapat larangan memperjual-belikannya, seperti minuman keras, (daging) babi, bangkai dan darah, sebagaimana mereka juga memperbolehkan jualbeli binatang buas dan najis yang bisa dimanfaatkan untuk dimakan.Dan parameternya menurut mereka (ulama Hanafiyah) adalah, semua yang mengandung manfaat yang halal menurut syara.’, maka boleh menjual-belikannya. Sebab, semua makhluk yang ada itu memang diciptakan untuk kemanfaatan manusia.
Demikian jawaban yang bisa kami sampaikan. Mudah-mudahan dengan jawaban ini, kita lebih bijak dalam menjalani aktifitas hidup sehari-hari.

Hukum Puasa di Bulan Rojab

Assalamu'alaikum Wr. Wb. Yang mau saya tanyakan mengenai puasa bulan Rajab hukumnya bagaimana? Sering saya mendengengar bahwa apabila masuk bulan Rajab kok banyak yang berpuasa. Sekian trimakasih. Wassalamu'alaikum. (Alfani Fahmi, dari Jember).
Wa’alaikum salam Wr. Wb.
Sdr. Alfani Fahmi Yth. Pembahasan mengenai puasa sunnah di bulan Rajab sudah sangat sering dibahas di NU Online. Berikut ini antara lain, artikel yang pernah dimuat di rubrik Ubudiyah yang ditulis oleh Ust. Yusuf Suharto, Ketua Aswaja Centre PCNU Jombang.
---
PUASA BULAN RAJAB
Rajab adalah bulan ke tujuh dari penggalan Islam qomariyah (hijriyah). Peristiwa Isra Mi’raj  Nabi Muhammad  shalallah ‘alaih wasallam  untuk menerima perintah salat lima waktu terjadi pada 27 Rajab ini.

Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram, artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat  bulan haram, ketiganya secara berurutan  adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri,  Rajab.

Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan  ini, Al-Qur’an menjelaskan:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Hukum Puasa Rajab

Hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) itu cukup menjadi hujjah atau landasan mengenai keutamaan puasa di bulan Rajab.

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"

Menurut as-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.

Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan  berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan  Rajab).

Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumid-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum  di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.

Disebutkan dalam  Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu dzulqa’dah, dzul hijjah, rajab dan  muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.

Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan, telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul SAW menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).

Hadis Keutamaan Rajab

Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan kekhususan puasa bulan Rajab:

• Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah SAW memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).

• "Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."

• Riwayat al-Thabarani dari Sa'id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana  berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya....."

• "Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut".

• Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku."

• Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”. (*) (Sumber nu.or.id)

NU Penggagas Islam Ahlussunnah wal Jamaah

NU Penggagas Islam Ahlussunnah wal Jamaah
Judul: Islam NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia
Penulis: Drs KH Busyairy Harist, MAg
Editor: Mohammad Iqbal
Penerbit: Khalista Surabaya
Cetakan: I, Agustus 2010
Tebal: 223 hlm.
Peresensi: Moh Ridwan Rifa’i
    Bila ditilik dari sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), memang selalu menarik untuk dibicarakan dan diperbincangkan. Karena organisasi ini lahir atas inisiatif kaum tradisionalis (kalangan pesantren), yang memang betul dan paham terhadap kondisi sosial keagamaan sebelum NU lahir. 
   Karena pada kondisi itu, amaliah dan ajaran Islam ahlusunnah wal jamaah terancam ditiadakan bahkan dihabisi oleh suatu kelompok yang berpaham Wahabi. Kelompok Wahabi ini adalah kelompok yang anti tradisi Islam yang tidak ada di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. 
     Mereka menganggap tradisi dan amaliah yang tidak ada dalam keduanya adalah bid’ah. Bahkan yang tidak bid’ah pun dianggap bid’ah dan syirik, seperti membaca tahlil, yasinan, diba’an, dan ziarah kubur dilarang. Sehinga ulama pesantren dengan tegas berpendapat, bahwa ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah wajib dipertahankan dan dilestarikan.
     Selain dengan latar belakang di atas NU lahir dinakodai oleh para kiai, seperti Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Sansuri. Dan NU lahir tidak sebagaimana organisasi-organisasi lainnya, lahirnya NU adalah sebuah hasil perjuangan dan istikharah para kiai. NU tidak hanya sekedar oraganisasi yang banyak jamaahnya, akan tetapi lahirnya NU mampu memberikan sumbangsih besar terhadap perjalanan bangsa Indonesia. 
    Salah satu tokohnya, seperti Kiai Wahid Hasyim pernah menjadi Mentri Agama dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menjadi Presiden Republik Indonesia. Maka tidak berlebihan jika banyak orang dan kalangan selalu membicarakan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi terbesar di Indonesia.
     Peristiwa berdirinya Nadlatul Ulama (NU) juga tidak terlepas dari beberapa organisasi yang dibentuk oleh para tokoh NU, seperti Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), Nadlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Taswirul Afkar (Forum Diskusi), Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang) dan lain-lain. Dengan terbentuknya organisasi ini, maka pada akhirnya terbentuklah juga sebuah organisasi besar yang mewadahi para ulama dan kalangan tradisionalis (pesantren). Tepatnya pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H, para ulama terkemuka se Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk mendirikan sebuah organisasi yang kemudian diberi nama Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Inilah salah satu perjalanan dan proses NU berdiri, dengan harapan untuk mempertahankan dan memperjuangkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja).
     Buku yang ditulis oleh Kiai Buyairi Harits ini sangatlah lengkap, yang didalamnya menjelaskan trentang seluk beluknya mengapa NU didirikan, mengapa akidah ahlussunnah wal jamaah harus diperjuangkan, dan lengkap dengan amaliah-amaliahnya. Dalam buku ini penulis juga menjelaskan tentang sistem bermazhabnya orang NU. Di komunitas NU istilah mazhab sudah lama dikenal. Karena di NU selalu bergulat dengan fiqh yang berpegangan pada salah satu imam mazhab yang empat, yakni mulai dari Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Dari imam mazhab yang empat tersebut, diwajibkan hukumnya bagi umat Islam mengikuti salah satunya. Karena dalam konteks hukum dan fiqh NU wajib mengikuti salah satu mazhab yang empat, dikhawatirkan terjadi percampuradukan antara yang hak dan yang batil, atau tergelincir dalam kesalahan atau mengambil hukum yang mudah-mudah dan cenderung seenaknya (36-37).
     Dan yang menarik dalam buku ini dijelaskan tentang amaliah NU yang harus dijaga, dilestarikan, dikembangkan dan dipertahankan oleh warganya khususnya umat Islam hingga akhir zaman. Adapun amaliah NU dibidang ubudiyah, seperti melafazkan niat sebelum shalat, membaca basmalah dalam surat al-fatihah, qonut pada shalat subuh, membaca wirid setelah shalat, berjabat tangan setelah shalat, bilal pada shalat jum’at, khotib jum’at memegang tongkat, dan bilangan rakaat shalat tarawih di dalam buku ini penulis menjelaskan secara sistematis lengkap dengan dalil-dalilnya. 
    Dalam bidang muamalah (sosial), seperti mengharumkan tubuh mayit dengan membakar dupa, mengantarkan jenazah sambil membaca lafad la Ilaha Illallah, adzan setelah mayit diletakkan dalam kubur, talqin, dan ziarah kubur juga dijelaskan dalam buku ini lengkap dengan dalil-dalilnya.
     Dengan membaca buku ini setidaknya pembaca bisa mengetahui tentang NU, mulai dari sejarah berdirinya hingga mengetahui terhadap ajaran-ajarannya. Karena sampai saat ini sudah banyak golongan, seperti orang Wahabi memulai merusak bahkan memberikan fatwah syirik dan haram melakukan tradisi amaliah NU. Mereka berpandangan bahwa amaliah yang dilakukan oleh warga NU, seperti mebaca tahlil, istghosah, yasinan, dibaan, dan ziarah kubur adalah perbuatan bid’ah. Padahal dalam buku ini dijelaskan melakukan amaliah yang sering dilakukakan oleh warga NU hukumnya boleh dan mendapat pahala, tidak haram dan tidak syirik.
    Salah satu tugas Nadlatul Ulama (NU) kedepan, adalah menjaga pesantren, pengayom umat, mensejahterakan warganya, dan melestarikan ajaran dan amaliahnya. Dan selama ini, sepertinya NU lebih cenderung kepada gerakan politiknya bukan kepada gerakan sosial keagamaanya. Karena NU bukanlah organisasi politik (ijtimaiyah wassiyasiyah), NU adalah organisasi sosial keagamaan (ijtimaiyah wadiniyah). Semoga dalam kepemimpinan Kiai Sahal Mahfudh dan Kiai Said Aqil Siraj ini, mampu memberikan nuansa baru bagaimana NU bisa maju dan meneladani kepemimpinan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. wallhu a’lam (Sumber: nu.or.id)
 
Peresensi adalah, Staf Pengajar Madrasah Ibtida’iyah Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep  dan Saat ini aktif sebagai Sekretaris Ranting NU Banuaju Timur Batang-Batang Sumenep Madura

Kyai Sahal Mahfudz: Kyai Alif-ba-ta dan Kyai Mancanegara




KH. Sahal Mahfudz
Dan kita mendengar nyanyian kabung: Di muka pintu masih/ bergantung tanda kabung/ Seakan ia tak akan kembali/ Memang ia tak kembali/ tapi ada yang mereka tak/ mengerti - mengapa ia tinggal diam/ waktu berpisah...
Sajak dari Subagio Sastrowardojo yang berjudul ‘Dan Kematian Makin Akrab’ ini, membawa kita kepada labirin pemahaman tentang kematian yang seolah tiada ujung dan tepi. Kalimat mengapa ia tinggal diammemanggul makna bahwa orang mati seringkali tinggal diam di lubuk hati orang-orang. Ia tak hendak disembunyikan olehpusara yang menimbun hidupnya (Dipinjam dari ungkapan William Shakespeare, Sonnet 17).
Agar bisa termasuk ke dalam mereka yangtinggal diam, setidaknya ada yang musti kita ketahui tentang ilmu yang bermanfaat. Waktu kita belajar agama, penekanan terhadap pentingnya ilmu yang bermanfaat membikin kita paham satu hal penting: orang yang berilmu tidak akan mati. Dan dalam kasus ini, Kiai Sahal patut menjadi teladan dan panutan.
Kiai Sahal wafat pada 24 Januari yang lalu. Tapi layaknya orang berilmu lainnya, Kiai Sahal masih ada dan hidup. Demikian apa yang dikatakan oleh Sahabat Ali R.a. dalam sebuah syair indah: ... Maka jadilah pemenang lantaran ilmu; dengannya kau akan hidup selama-lamanya/ Manusia-manusia mati dan ahli ilmu tetap hidup abadi. Bagaimana cara orang berilmu itu hidup? Mereka hidup dalam karyanya, ilmunya, dedikasinya, perjuangannya, dan segala apa yang telah ia sumbangkan untuk masyarakat yang melingkupinya.
Kiai Sahal adalah sekian dari tak banyak ulama Indonesia yang mampu mendukakan seluruh elemen masyarakat; rakyat jelata, santri, cendekiawan, pejabat tinggi, di hari wafatnya (bahkan sebagian orang meyakini bahwa bencana yang melanda negeri kita di hari wafatnya beliau adalah merupakan tanda alam pun berduka). Demikian ini didasari oleh beberapa hal. Dan beberapa hal ini dapat kita temui dalam buku ‘Belajar dari Kiai Sahal’ yang terbit pada bulan Mei 2014 ini. Buku yang dikatakan bagaikan menyusun mozaik (lihat: sambutan tim redaksi) ini mampu untuk setidaknya membantu memberi gambaran kepada pembaca tentang sosok Kiai Sahal dari sudut pantang yang beragam dan atau bervariatif.
Beberapa hal itu, yang disusun bagai mozaik itu, sejenak mengentaskan kesedihan kita dengan semaian pelajaran berharga melalui kesan-kesan dari seseorang yang pernah berinteraksi dengan beliau. Atau seseorang yang mengenal beliau. Atau seseorang yang bersimpati terhadap pribadi maupun pemikiran beliau. Seperti apa yang diungkapkan oleh KH A. Mustofa Bisri:
Beliau termasuk segelintir orang yang menguasai fikih di zaman sekarang. Apalagi ditambah mengkontekstualisasikan fikih ke dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya orang memaksakan untuk menerapkan fikih sebagaimana yang dipelajari. Ada pula yang sama sekali tidak menggunakannya. Kiai Sahal tidak seperti itu. Jadi beliau masih menghendaki fikih dengan pemahaman-pemahaman yang baik yang sesuai dengan konteks zaman sekarang. Itulah kelebihan beliau. (Halaman 10).
Kesan ini rangkul-merangkul dengan berbagai cerita menarik yang mengharukan, menyenangkan, menggugah, menginspirasi, merasuki, dari potongan-potongan mozaik dalam buku ini. Tak hanya itu, peletakkan beliau sebagai objek material memungkinkan adanya alternatif sudut pandang (dalam bahasala lain disebut objek formal) dari si pencerita atau penulis. Buku ini memuat 46 tulisan dari penulis yang jumlahnya sama. Sebanyak jumlah itu pulalah pembaca akan menemukan sudut pandang.
Seperti apa yang dikisahkan oleh salah satu murid Kiai Sahal, Wakhrodi. Ia mengambil sudut pandang dari apa yang tidak dilakukan oleh Kiai Sahal. Menurutnya, apa yang tidak dilakukan Kiai Sahal barangkali pengaruhnya sama besar atau bahkan lebih besar dari apa yang dilakukan beliau. Misalnya, ketika Kiai Sahal tidak mengundang tokoh besar pada acara haul Ayahhanda beliau, Kiai Mahfudz. Atau ketika beliau memilih lewat pintu belakang usai menghadiri pertemuan lembaga-lembaga yang beliau geluti demi tidak disorot oleh media. Atau ketika beliau berniat untuk tidak menghadiri undangan partai Golkar (pada poin ini ada cerita menarik) yang waktu itu dihadiri oleh Presiden Soeharto. Atau ketika beliau menolak uang fee dari pimpinan proyek pembangunan gedung MUI Jawa Tengah. Bahkan sampai apa yang beliau lakukan berupa tidak tergoda oleh politik praktis pasca era reformasi. (Halaman 46-51).
Seorang Kiai Sahal dirangkum dan diterjemahkan sedemikian mengesankan dalam buku ini. Kiai Sahal adalah kiai alifbata: istilah untuk menyebut seorang kiai yang meskipun telah menjadi seorang faqih, tapi masih mau mengajari anak kecil dan mengajarkan hal-hal yang ‘dianggap’ kecil. Laiknya cerita yang diungkap oleh Tutik Nurul Jannah, ibu dari kedua cucu beliau. (Halaman 18-23).
Begitu juga, Kiai Sahal adalah ulama Mancanegara. Kitab beliau yang bertajuk Thariqat Al-Hushul ‘ala Ghayat Al-Wushul, sebuah hasiyah (komentar) atas kitab karya Imam Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, mendapat sambutan yang tidak sembarangan dari ulama Timur Tengah. Sampai-sampai, dalam satu kisah, salah satu Syaikh Universitas Al-Azhar pernah menggunakan kitab itu sebagai rujukan dalam menyusun muqorror (diktat untuk mahasiswa). Beliau juga merupakan penggagas fikih sosial; kajian fikih yang dekat dengan masyarakat dan begitu lentur serta bersifat kontekstual (meskipun tidak melepaskan diri dari tekstual, warisan ulama klasik).
Dalam buku ini pula, pembahasan mengenai kiprah dan pemikiran beliau mendapatkan posri yang cukup dan berimbang. Penulis seperti Sumanto Al Qurtuby, M. Imam Aziz, Hilmi Ali Yafie, Ahmad Suaedy, dll, menyoroti kiprah beliau di gelanggang Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Sementara penulis seperti Husein Muhammad, Akhmad Sahal, Aziz Anwar Fachruddin, dll, menyoal tentang gagasan fikih sosial dan kontektualisasi fikih klasik.
Maka, alangkah tidak merupakan suatu hal yang berlebihan, jika pada hari wafatnya beliau, rasa kehilangan nampak di hampir semua lapisan masyarakat, terutama warga NU. Demikian besar kedukaan yang melanda hingga serasa enggan ia membiarkan kita sejenak bernafas tanpa aroma berkabung. Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda: “Sungguh, kematian sebuah qabilah (suatu kelompok) niscaya lebih ringan ketimbang matinya seorang alim”. Dalam konteks Kiai Sahal, sabda agung ini sangat relevan.
Kita boleh kenyang meratapi kesedihan akibat kehilangan Kiai bersahaja ini. Tapi, kita tak boleh kenyang mengambil pelajaran dan mau’idhoh hasanah dari karya, kisah, pesan, dan ajaran beliau. Dan buku ini, meski belum merangkum kesemua tentang beliau, tapi cukup untuk menjadi pelajaran bagi yang pernah maupun yang belum pernah belajar langsung dari beliau. Buku ini adalah pecahan Mozaik yang dirangkum dan disusun demi mengekalkan ia yang tinggal diam di dalam lubuk hati kita semua.

Judul Buku       : Belajar dari Kiai Sahal
Editor               : M. Imam Aziz
Penerbit           : PPKMF
Cetakan           : I, Mei 2014
Tebal               : xxiv+373 Halaman
ISBN                : 978-602-951-888-7
Peresensi        : Mohamad S. Arifin, santri Kiai Sahal. Saat ini sedang berkelana di Kairo,
  di Universitas Al-Azhar

Minggu, 11 Mei 2014

Biografi KH. Cholil Nawawie, Sidogiri




Sekitar tahun 1925 M/1343H. Nyai Nadzifah, istri Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, KH. Nawawie Noerhasan, melahirkan seorang bayi lelaki. Atas saran Mbah Cholil Bangkalan, kiai dan wali kesohor dari Bangkalan, bayi itu kemudian diberi nama Muhammad Cholil. Keistimewaan Kiai Cholil memang sudah tampak sejak kecil, hingga sebagian orang pun meyakininya sudah menjadi wali sejak kecilnya itu.         
Sehari sebelum Mbah Cholil Bangkalan wafat, Mas Cholil (panggilan akrab Kiai waktu kecil) berteriak-teriak, “Medura kiamat, Medura kiamat (Madura kiamat, Madura kiamat)”. Ucapan itu diteriakkan Mas Cholil berkali-kali, sehingga didengar oleh abahnya, Kiai Nawawie, yang waktu itu sedang mengajar di surau.        
“Ana apa, Lil (ada apa Lil)?” Kiai Nawawie bertanya.      
“Medura kiamat, Ba (Madura kiamat, Abah), “ kata Mas Cholil, mengulang.     
Kiai Nawawie baru mengerti perkataan Mas Cholil pada keesokan harinya, ketika sampai berita kepadanya bahwa Mbah Cholil Bangkalan wafat. Ulama adalah pilar dunia yang dapat menahan murka Allah untuk menurunkan adzab pada manusia. Karena itu, wafatnya seorang ulama besar sekelas Mbah Cholil bisa disebut sebagai kiamat.
Dalam menjalani masa-masa belajar, Kiai Cholil mengembara dari satu pondok ke pondok yang lain. Selain mengaji kepada Kiai Abdul Djalil, Kiai Cholil juga pernah ngaji di Pesantren Sarang, Jawa Tengah, saat pesantren itu diasuh oleh Kiai Zubair, ayahanda K.H. Maimun Zubair.
Saat mondok di sana, di samping mengaji, secara sembunyi-sembunyi ia mengisi bak mandi Kiai Zubair. Selang beberapa lama, hal itu diketahui, Kiai Zubair berkata kepada Kiai Cholil, “Mas, sampeyan wangsul mawon, sa aken liane (Mas, kamu pulang saja, kasihan yang lain).”
Maksud kata “kasihan” tersebut karena hampir di setiap sisi ia unggul, sementara santri lainnya tertinggal jauh. Bahkan pada masalah yang tak terkait dengan pelajaran secara langsung, seperti kerja mengabdi kepada guru, ia mengungguli yang lainnya. Di Pondok Sarang, Kiai Cholil mondok hanya sekitar tiga bulan. Selepas dari Sarang, Kiai Cholil melanjutkan mengaji kepada Kiai Mahfudz, Termas, dan Kiai Masduki, Lasem, Jawa Tengah. Tidak diketahui secara pasti berapa lama Kiai Cholil mengaji kepada dua ulama kenamaan tersebut.
Selang beberapa lama, Kiai Cholil berangkat nyantri ke Makkah. Di Tanah Suci, Kiai Cholil mengaji kepada ulama-ulama besar, di antaranya Syaikh Amin Kutbi dan Syaikh Hasan Al-Yamani. Disebutkan, sewaktu di Makkah ia mondok selama tiga tahun.  

Dua Lumbung Padi
         Di dalem Kiai Cholil ada dua lumbung padi, satu untuk keperluan dalem, yang satunya untuk persediaan seandainya masyarakat kampung membutuhkan. Kondisi seperti itu sudah lama ia perhitungkan. Sebab, ketika waktu paceklik datang, biasanya masyarakat akan datang meminta bantuan kepadanya.          
Suatu saat panen gagal, sehingga masyarakat berduyun-duyun meminta bantuan. Saking banyaknya yang datang, lumbung persediaan yang biasanya untuk keperluan dalem juga dikeluarkan, tapi tetap saja tidak mencukupi.            
Kondisi itu membuatnya menangis sedih. Ia merasa tidak dapat membantu masyarakat dengan maksimal. Bila hari raya sudah dekat, seperti biasanya banyak orang berkeliling menjajakan dagangan dari rumah ke rumah. Setiap orang yang datang kepadanya untuk menawarkan barang, hampir pasti barang dagangannya dibelinya, dan untuk sementara waktu disimpannya di dalem. Ketika hari raya tiba, semua barang itu dibagikan kepada tetangga sekitar.            Kiai Cholil juga dikenal sebagai seorang yang sangat menghormati tamu dan tidak membeda-bedakan siapa pun tamu yang datang kepadanya. Semua tamu ia sambut dengan penuh hormat dengan sambutan yang hangat.           
Wujud kepeduliannya juga dapat dilihat dari komitmennya yang bukan saja mengajar santri-santri didiknya, tetapi juga mendidik masyarakat. Secara rutin ia memberikan pengajian kepada masyarakat kampung setiap hari Selasa. Sementara pada hari Ahad ia memberi pengajian kitab Bidayatul Hidayah kepada kepala desa dan aparatnya se-Kecamatan Kraton.

Pendidik Sejati nan Bersahaja      
        Kiai Cholil adalah sosok yang kesehariannya penuh dengan keteladanan. Di antara teladan istimewanya adalah keistiqamahannya yang sangat menonjol dalam hal belajar dan mengajar. Sedari kecil, kecintaannya pada ilmu sudah sangat kuat. Itu ditandai di antaranya dengan kepergiannya yang selalu tak pernah lepas dari kitab.    
Sementara dalam hal mengajar, para santrinya sangat merasakannya. Bagi mereka, hampir tidak pernah ada libur dalam majelis-majelis rutin bersama Kiai Cholil di sepanjang hidupnya. Cerita salah seorang muridnya, Ustadz Abdurrahman Syakur, dirinya sering diajak Kiai Cholil untuk menghadiri undangan. Biasanya naik dokar. Di sela-sela perjalanan, Kiai Cholil sering kali menyempatkan diri mengajari pelajaran ilmu faraidh. Sampai sekarang pelajaran yang diberikan Kiai Cholil terus teringat dan banyak manfaatnya bagi si ustadz.      
Terhadap pengembangan kualitas keilmuan santri, khususnya para santri senior, ia sangat menaruh perhatian. Secara bergilir santri senior dipanggil untuk membaca kitab di hadapannya. Karena Kiai Cholil yang memanggil, mau tidak mau, mereka tertuntut untuk selalu siap menguasai materi pelajaran, khawatir bila mereka dipanggil secara mendadak.        
Ketekunannya dalam menyimak memang luar biasa. Adiknya, Kiai Hasani, sangat mengagumi sifat kakaknya itu. Kiai Hasani pun sampat mengutarakan langsung kekagumannya kepada sang kakak. Namun dengan tawadhu’ Kiai Cholil menganggap ketekunan itu satu hal yang sangat wajar dan tidak perlu dikagumi. “Tidak tahu, Ni (Kiai Hasani), saya senang muthala’ah, anak-anak senang mendengarkan),” katanya kepada Kiai Hasani.    
Salah seorang kiai, Kiai Aqib Yasin, pernah menuturkan, dalam hal ibadah zhahir, Kiai Cholil bisa dibilang “biasa”. Tapi dalam hal ta’lim wa ta’allum, ia luar biasa. “Tirakat Kiai Cholil itu ta’lim wa ta’allum.”
Mengenai ketekunannya tersebut, Kiai Cholil pernah menukil dhawuh dari ayahnya, Kiai Nawawie Noerhasan, “Tekunlah belajar dan shalat berjama’ah, niscaya kau peroleh ilmu yang bermanfaat”. Rupanya, dhawuh itu sangat membekas dan menjadi prinsip hidup Kiai Cholil. Tidak ada kamus berleha-leha, melepaskan waktu tersia-sia tanpa belajar.       
Teringat akan dhawuh itu pula, selain dalam hal ilmu, dalam hal shalat berjama’ah selama hidupnya bisa dikatakan ia tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah. Ketika hampir wafat pun, ia memaksakan diri shalat berjama’ah dengan bermakmum kepada seorang kiai lainnya, K.H. Abdul Halim.     
Kiai Cholil termasuk seorang hafizhul Qur’an, orang yang hafal Al-Quran. Bila ia mengimami shalat berjama’ah, suaranya menyejukkan qalbu dan sangat menyentuh hati, hingga tak jarang membuat air mata orang yang bermakmum kepadanya menetes tanpa mereka sadari.    Kiai Cholil adalah sebuah kitab yang telah termanifestasi dalam tingkah laku. Demikian buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri menyebutkannya. Dengan kata lain, ia adalah kitab berjalan yang berhias perilaku yang penuh dengan keteladanan dalam gerak-geriknya sehari-hari. Akhlaq dan syari’atnya tepat berpadu dengan ilmunya. Sepulang menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, Kiai Cholil berkata pada Kiai Hasani, “Tidak pas, Ni. Mengerjakan sunnah, meninggalkan yang wajib.” Kalimat itu adalah ungkapan protes darinya pada sistem dan juga praktek pelaksanaan ibadah haji yang sering mengabaikan salat dalam perjalanan. 


Pada suatu acara walimah, uang Kiai Cholil diambil oleh Gus ‘Ud, seorang yang terkenal sebagai wali majdzub. Kiai Cholil mengingatkan, “Haram, Gus… haram, Gus!” Kiai Cholil mengingatkan, siapapun orangnya, jika tidak sesuai syari’at, harus ditegur.   
Selain tegas dalam hal syari’at, profilnya dikenal sangat sederhana dan tidak suka ditonjol-tonjolkan. Dalam forum-forum apapun ia lebih senang diam. Diamnya bukan berarti diam tidak paham atau acuh tak acuh. Diamnya itu adalah untuk memberikan kesempatan bicara yang lebih luas kepada yang lainnya. Terbukti, biasanya setelah semua anggota dalam suatu forum kehabisan argumen atau ada yang musykil, barulah Kiai Cholil angkat bicara, dan mereka semua langsung bisa menerima. Sehingga, bisik-bisik di kalangan mereka menyebutkan, ”Kiai Cholil banyak hafal kitab”.    
Saat makan, bila sudah terasa nikmat, ia berhenti seketika. Soal kebiasaannya ini, Kiai Cholil tidak pernah bercerita, hingga sampai suatu ketika salah seorang yang biasa mendampinginya bertanya kepadanya tentang hal itu. “Saya khawatir nikmat saya habis di dunia,” jawab Kiai Cholil.
Sikap hidup sederhana Kiai Cholil bisa dibaca dari doa yang tertampang di dalemnya, “Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta kumpulkankanlah aku bersama orang-orang miskin.” Juga sebuah ayat Al-Quran yang maknanya, “Kami memberikan makan pada kalian hanya untuk (mencari) ridha Allah. Kami tidak mengharap dari kalian balasan dan juga kata terima kasih.” 
Kedua kalimat itu terpampang di ruang tamu dalem Kiai Cholil dan sering dibaca olehnya. Tulisan itu bukan sebuah hiasan belaka atau slogan kosong, tapi betul-betul terwujud nyata dalam kehidupan Kiai Cholil sehari-hari.           

Kepergian Sang Teladan   
         Segala yang hidup akan kembali kepada-Nya. Tak ada yang mampu menebak kapan Malaikat Maut akan datang menjemput ajal. Tak ada pula orang yang dapat mengulur waktu dari jadwal yang telah ditentukan.   Di salah satu malam ganjil pada bulan yang amat mulia, Senin Pon 21 Ramadhan 1397 H atau 05 September 1977, Kiai Cholil wafat. Shalat terakhirnya adalah shalat Isya yang kemudian dilanjutkan dengan shalat Tarawih. Ia shalat duduk bermakmum kepada K.H. Abdul Halim. Sebelum shalat, karena sifat tawadhu’nya, ia bertanya kepada K.H. Abdul Halim, apakah sudah boleh dirinya shalat dengan duduk.
Saat sedang mengerjakan shalat Tarawih seperti malam-malam sebelumnya, ia pergi ke kamar kecil. Ketika itu, ia terjatuh tanpa ada seorang pun bersamanya. Tak lama berselang salah seorang santri yang biasa mengirinya dating menolong. Tapi tak lama kemudian, Kiai Cholil mengembuskan napas yang terakhir.
Beribu-ribu orang hadir untuk memberikan penghormatan kepada seorang yang pernah dikomentari oleh Rais Am NU K.H. Ahmad Shiddiq Jember, “Kiai Cholil itu wali karena istiqamahnya.” Dengan mata berkaca-kaca mereka mengenang dengan doa kepada sosok kiai tercinta. Kiai yang penuh rasa kasih sayang.
Saat itu, keranda seperti berjalan di atas ujung jari, karena begitu banyak dan rapatnya orang yang memikul. Bahkan, tikar yang dibuat sebagai alas keranda menjadi rebutan ribuan jama’ah sampai habis tak tersisa. Semuanya berebut untuk mengambil, kendati secuil, barakah Kiai Cholil.          
Sumber: Majalah alkisah No. 20/tahun VII/5-18 Oktober 2009

Catatan:
1.    Yang disebut “Kiai Abdul Djalil” adalah K.H. Abd. Djalil bin Fadlil, kakak ipar K.H. Cholil Nawawie dan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri sebelum beliau.
2.   Yang disebut “Ustadz Abdurrahman Syakur” adalah K.H. AD. Rohman Syakur, Rais Syuriah PCNU Kab. Pasuruan.
3.  Yang disebut “K.H. Abdul Halim” adalah K.H. Abd. Alim Abd. Djalil (wafat 2005), keponakan K.H. Cholil Nawawie dan penerusnya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
4.    Yang disebut “Kiai Aqib Yasin” adalah keponakan K.H. Cholil Nawawie dan kiai di PP. Salafiyah, Kota Pasuruan.