Rabu, 13 Mei 2015

Dalil Menghajikan Orang Yang Telah Meninggal



Dalil pertama, hadits Nabi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ أُخْتِي قَدْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ، وَإِنَّهَا مَاتَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَاقْضِ اللَّهَ، فَهُوَ أَحَقُّ بِالقَضَاءِ

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata kepada beliau: “Sesungguhnya saudara perempuanku nadzar untuk berhaji, tetapi ia meninggal dunia”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Andaikata ia mempunyai hutang, bukankah engkau akan membayarnya?”. Ia menjawab: “Ya”. Beliau kemudian bersabda: ”Maka bayarlah hutang haji itu kepada Allah, sebab Allah lebih berhak untuk dibayar”. (Shahih Bukhari juz 8 hal. 142 no. 6699).

Dalil kedua, hadits Nabi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ : إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ : وَجَبَ أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ، قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ : صُومِي عَنْهَا ، قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا 

Dari Abdullah bin Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang wanita datang dan bertanya: "Sesungguhnya saya bersedekah budak untuk ibuku yang telah meninggal". Beliau bersabda: "Engkau mendapatkan pahalanya dan dikembalikan kepada engkau warisannya". Dia bertanya: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya beliau mempunyai (tanggungan) puasa sebulan, apakah saya puasakan untuknya?" Beliau menjawab: "Puasakan untuknya". Dia bertanya lagi: "Sesungguhnya beliau belum pernah haji sama sekali, apakah (boleh) saya hajikan untuknya?" Beliau menjawab: "Hajikan untuknya". (Shahih Muslim juz 2 hal. 805 no. 1149).

Dalil ketiga, penjelasan Imam Ibnu Hajar rahimahullah: Ulama yang memperbolehkan menggantikan haji orang lain bersepakat, bahwa tidak diterima haji wajib kecuali untuk orang meninggal dunia atau lumpuh. Maka orang sakit tidak termasuk yang dibolehkan, karena ada harapan kesembuhannya. Tidak juga orang gila, karena ada harapan normal. Tidak juga orang yang dipenjara, karena ada harapan bebas. Tidak juga orang fakir karena mungkin dia akan menjadi kaya.

Dalil keempat, penjelasan Imam Nawawi rahimahullah: Mayoritas ulama mengatakan bahwa menghajikan orang lain itu dibolehkan untuk orang yang telah meninggal dunia dan orang lemah (sakit) yang tidak ada harapan sembuh.
Qadhi Iyadh berpendapat berbeda dengan madzhabnya (Malikiyah) dengan tidak menganggap hadits (yang membolehkan) menggantikan puasa bagi orang meninggal dan menghajikannya. Dia berkesimpulan bahwa haditsnya mudhtharib (tidak tetap). Alasan ini batil, karena haditsnya tidak mudhtharib. Cukuplah bukti kesahihan hadits ini manakala  Imam Muslim menjadikannya sebagai hujah dalam kitab shahihnya. Dan masih banyak lagi dalil lainnya yang tidak dapat kami tampilkan seluruhnya di sini.

Sedangkan pandangan kebanyakan para ulama pemuka madzhab (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) menyatakan bahwa boleh menghajikan orang yang telah meninggal, sedangkan menurut qaul mu’tamad madzhab Malikiyah menyatakan bahwa tidak boleh ada perwakilan dalam haji, baik untuk yang masih hidup ataupun telah meninggal, dengan udzur ataupun tanpa udzur. Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh Al Murtadho). 

Referensi:

Fathul Bari li Ibni Hajar juz 4 hal. 70
واتفق من أجاز النيابة في الحج على أنها لا تجزى في الفرض إلا عن موت أو عضَب – أي : شلل - ، فلا يدخل المريض ؛ لأنه يرجى برؤه ، ولا المجنون ؛ لأنه ترجى إفاقته ، ولا المحبوس ؛ لأنه يرجى خلاصه ، ولا الفقير ؛ لأنه يمكن استغناؤه

Syarh an Nawawiy 'ala Muslim juz 8 hal. 27
والجمهور على أن النيابة في الحج جائزة عن الميت والعاجز الميئوس من برئه ، واعتذر القاضي عياض عن مخالفة مذهبهم – أي : المالكية - لهذه الأحاديث في الصوم عن الميت والحج عنه بأنه مضطرب ، وهذا عذر باطل ، وليس في الحديث اضطراب ، ويكفى في صحته احتجاج مسلم به في صحيحه

Al Mausu’ah al Fiqhiyyah juz 17 hal. 72
ذهب الجمهور ( الحنفية والشافعية والحنابلة ) إلى مشروعية الحج عن الغير  وقابليته للنيابة ، وذهب مالك على المعتمد في مذهبه إلى أن الحج لا يقبل النيابة لا عن الحي ولا عن الميت ، معذورا أو غير معذور

Makna Dua Kalimat Syahadat


Dalam Kitab Sullamuttaufiq halaman 6 s/d 16:

ومعنى أشهد أن لا إله إلا الله أن تعلم وتعتقد وتؤمن وتصدق أن لا معبود بحق في الوجود إلا الله الواحد الأحد الأول القديم الحي القيوم الباقي الدائم الخالق الرازق العالِم القدير الفعَّال لما يريد ما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم موصوف بكل كمال منزَّه عن كل نقص ليس كمثله شيء وهو السميع البصير فهو القديم وما سواه حادث وهو الخالق وما سواه مخلوق وكلامه قديم كسائر صفاته لأنه مباين لجميع المخلوقات في الذات والصفات والأفعال سبحانه وتعالى عما يقول الظالمون علوا كبيرا ا

Makna ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH
Hendaknya kamu mengetahui, meyakini, mengimani dan membenarkan bahwa tidak ada Dzat yang wajib disembah dengan haq di dalam wujudnya kecuali Allah yang satu , yang Awal , yang Dahulu , yang Hidup, yang Berdiri Sendiri, Yang Kekal, yang Abadi, Yang menciptakan, yang memberi rizki, Yang Maha Mengetahui. Yang Maha Kuasa, yang maha membuat yang Dia inginkan
Sesuatu yang Allah kehendaki menjadi ada, dan apa yang tidak di kehendaki oleh Allah, tidak ada. 
Dan tidak ada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah yang maha Timggi dan Maha Agung. Yang tersifati dengan seluruh sifat kesempurnaan, Yang tidak ada sifat2 kekurangan. Tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatupun. Dia maha Mendengar dan Maha Melihat.
Dia yang Dahulu, yang selainnya adalah baru. Dia adalah sang Pencipta dan yang lainnya adalah ciptaan-Nya. Kalamnya adalah Qadiem seperti halnya seluruh sifatnya yang lain. Karena sesungguhnya Allah SWT adalah berbeda dengan seluruh mahluk baik dalam dzat-Nya, perbuatan-Nya dan Sifat-sifat-Nya.
Allah SWT terbebas dari ucapan-ucapan orang-orang yang zhalim semuanya. Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.
ومعنى أشهد أن محمدا رسول الله أن تعلم وتعتقد وتصدق وتؤمن أن سيدنا محمد بن عبد الله بن عبد المطلب بن هاشم بن عبد مناف القرشي صلى الله عليه وسلم عبدُ الله ورسوله إلى جميع الخلق وُلد بمكة وبُعث بها وهاجر إلى المدينة ودفن فيها وأنه صلى الله عليه وسلم صادق في جميع ما أخبر به فمن ذلك عذاب القبر ونعيمه وسؤال الملكين منكر ونكير والبعث والحشر والقيامة والحساب والثواب والعذاب والميزان والنار والصراط والحوض والشفاعة والجنة والخلود والرؤية لله تعالى في الجنة وتؤمن بملائكة الله ورسله وكتبه وبالقَدَر خيره وشره وأنه صلى الله عليه وسلم خاتم النبيين وسيد ولد آدم أجمعين

Makna ASHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH
Hendaknya kamu mengetahui, meyakini, mengimani dan membenarkan bahwa sesungguhnya Penguhulu kita, Muhammad bin Abdullah, bin Abdul Muthallib, bin Hasyim, bin Abdu Manaf yang bangsa Quraisy - shallallaahu ‘alaihi wasallam - adalah hamba Allah dan Rasul-Nya kepada seluruh mahluk. 
Beliau dilahirkan di Mekah dan di Utus disana, dan Hijrah ke Madinah dan di makamkan di sana. 
Dan sesungguhnya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah benar dalam segala apa yang di khabarkan.
Sebagian yang di khabarkan beliau adalah:Adzab kubur dan nikmat kuburPertanyaan dua Malaikat, Munkar dan Nakir Bangkit dari kubur Dikumpulkan di alam Mahsyar Qiyamat Hisab Pahala Siksa Mizan Neraka ShirothTelaga Syafa'at Syurga dan kekal di dalamnya Melihat Allah SWT di dalam syurga
Dan kemudian mengimani Malaikat-malaikat AllahRasul-rasul-NyaKitab-kitab-Nya dan mengimani qadar baik yang bagus maupun qadar yang jelek semuanya dari Allah SWT Dan sesunguhnya Nabi Muhammad SAW adalah penutup para Nabi dan pemimpin Anak Adam semuanya.

Menambah Wajah Dengan Daging Aurat, Sahkah Shalatnya ?



Untuk mengembalikan kondisi wajah, pak Fulan telah menambal bagian wajah dengan daging pantatnya, padahal pantat termasuk aurat.

Pertanyaan   :  Sahkah sholatnya  ?
Jawab           : Sah sholatnya dengan syarat bagian wajah yang ditambal tersebut ditutup, dan wajib dibuka ketika sujud, menurut pendapat yang kuat.
Ta’bir            :  Hasyiyah Syarqowi juz I hal. 174.
                         Bujairimi Alal Khotib juz I hal. 400.
فى الشرقاوى 1/174 مانصه : (قوله ما بين سرته وركبته) الى أن قال فلا يجب ستره وكذا لو تعلقت جلدة من غير العورة ووصلت اليها مع الإلتصاق أو دونه بخلاف العكس بأن تعلقت من العورة الى غيرها على ما مر فإنه يجب سترها إعتبارا بالأصل فيهما والفرق بين هذا وبين ما ذكروه فيما لو تعلقت جلدة من الفرض فى اليدين مثلا الى غيره أو بالعكس حيث قالوا بعدم وجوب غسلها فى الأول دون الثاني ان أجزاء العورة لها حكمها فى حرمة النظر وإن انفصلت عن اليدين بالكلية كشعر المحلوق من العانة ولاكذلك المنفصل من محل الفرض.
وفى البجيرمي على الخطيب 1/400 مانصه : وإذا تعارض عليه السجود والستر بيده قيل يقدم السجود لأنه ركن والستر شرط وفيها يقدم الستر الى أن قال وعبارة م ر على التحرير وإذا تعارض السجود والستر قدم السجود على المعتمد فيجب عليه وضع يده ويترك الستر لأن الشارع أوجب عليه وضع الأعضاء السبعة فصار حينئذ عاجزا عن الستر والستر لايجب إلا عند القدرة.


Merahasiakan Pengalaman Ilahiyyah



“Rahasiakan Allah dalam hatimu, sebagaimana engkau merahasiakan cacat-cacatmu.”
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim Qs

Ibnu Athaillah mengatakan, “Orang yang belum sampai dan orang yang sudah sampai, tidak lain kecuali hanya sebagai derajat dalam memanifestasikan hakikat melalui ketidakmampuan dirinya. Siapa yang sampai ke suatu maqom, ia akan tak berdaya untuk sampai ke maqom itu, maka sesungguhnya ia telah sampai (wushul pada maqom tersebut).” Namun harus ditegaskan, yang dimaksud dengan “Tidak mampu” yaitu, manakala muncul setelah ia fana’ secara hakiki, bukan “tak mampu” secara metaforal (majazy), karena orang yang bodoh itu, ketidak-mampuannya juga tampak secara nyata, namun orang yang ‘arif ketidakmampuannya muncul secara Jalaly-Rahmany (maksudnya ketidakberdayaannya muncul akibat memandang Sifat Keagungan dan RahmaniyahNya). Berbeda jika ia tidak mampu memang karena kebodohannya.
Maka bisa ditampakkan, bahwa:
Orang bodoh ketika bergerak dan terjadi, ia terjerembab dalam kepentingan selera dirinya, sedangkan orang ‘arif tidak bergerak kecuali untuk memenuhi hak kewajibannya. Orang bodoh selalu berkhayal, orang ‘arif selalu meraih kefahaman. Orang bodoh selalu mencari ilmu, orang ‘arif selalu mencari Sang Empunya Ilmu. Orang bodoh mengikuti gambaran yang tampak secara lahiriyah. Orang ‘arif memejamkan mata lahiriyahnya dan yang tampak pandangan ruihani maknawinya.
Para murid dalam perjalanan ruhaninya, diharuskan menyimpan rahasia ilmu, amal, hal, dan hasrat luhurnya. Jika ia mempublikasi pengalaman ruhaninya, membuat keikhlasannya semakin minim. Apalagi jika ia mengungkapkan keikhlasannya, itu menunjukkan betapa sedikitnya sikap benar bersama Tuhannya.
Banyak para penempuh bangga dengan pengalaman ruhaninya, lalu ia mandeg dalam kepuasan dirinya, dan ketakjubannya. Banyak para penempuh yang mengungkapkan kedalaman batinnya, lalu ia kehilangan keikhlasannya. Banyak para penempuh yang gembira dengan capaian hakikatnya, padahal ia baru tahap proses awal perjalanannya.
Karena itu, benarlah ungkapan Syeikh Abdul Jalil Mustaqim Qs, “Rahasiakan Allah dalam hatimu, sebagaimana engkau merahasiakan cacat-cacatmu.”
Pengalaman Ilahiyah, biarlah menjadi rahasia diri anda, dan biar Allah Swt saja yang Tahu. Karena pengalaman itu datangnya memang dari Allah Swt, bukan dari dirimu, bukan dari amal dan maqommu.
Ibnu Atahaillah selanjutnya menegaskan: “Janganlah engkau mengulurkan tanganmu untuk mengambil sesuatu dari makhluk, kecuali anda melihat bahwa sang pemberi adalah Tuhanmu. Jika anda mampu di posisi demikian, ambillah menurut batas keserasian (standar) ilmu.”
Inilah etika sang penempuh, ketika menerima dan meminta tolong pada sesama, perihal soal harta benda. Sang penempuh (murid) mesti melihat bahwa sang pemberi adalah Allah Swt, bukan makhluk. Itu pun sebatas kewajaran yang dibutuhkan seketika itu, menurut standar pengetahuan agama.
Para sufi melarang meraih harta berlebih, apalagi disertai sikap rakus dan ambisi, penuh dengan cinta duniawi. Karena itu semua bisa melahirkan cobaan.
Kisah berikut bisa jadi renungan kita. Ketika seorang Sufi sedang mengundang jamuan makan para sahabatnya.
Pelayan acara itu terkejut dengan perilaku para undangan pesta gurunya itu. Setidaknya sang pelayan mengamati ada tiga golongan tamu yang datang dengan gaya dan etika berbeda-beda.
Kelompok pertama, dipersilakan makan oleh tuan rumah, tapi tak kunjung makan juga, padahal makanan yang  disiapkan adalah kesukaan mereka, apalagi mereka kelihatan haus dan lapar. Beberapa menit kemudian, tuan rumah menyilakan kembali pada tamu-tamu itu, saat itulah mereka mulai mengambil hidangan makanan.
Kelompok kedua, tamu-tamu yang datang langsung dipersilakan makan oleh tuan rumah. Dan seketika itu pula langsung disantap makanan yang ada di hadapannya.
Kelompok ketiga, tamu yang datang belum dipersilakan oleh tuan rumah sudah langsung mengambil makanan itu.
Tentu pelayan penasaran. Akhirnya ia bertanya pada gurunya, atas perilaku para undangan tamunya itu. “Tanyakan saja pada mereka, kenapa mereka begitu?” kata sang guru.
Sang pelayan menanyakan kepada mereka, alasan apa yang membuat mereka berbeda-beda dalam merespon hidangan tuan rumah alias gurunya itu.
Kelompok pertama menjawab, “Kami memang sangat lapar dan dahaga, dan sangat bernafsu untuk segera melahap makanan kesukaan kami. Ketika tuan rumah menyilakan nafsu kami semakin bertambah, namun kami terikat aturan adab untuk tidak mengambil makanan karena dorongan nafsu. Saat itu selera  nafsu kami tiba-tiba sirna, dan guru anda tahu, kami sudah tidak berselera pada makanan hidangannya. Justru saat itulah guru anda menyilakan yang kedua kalinya, dan kami pun makan hidangannya.
Sang pelayan melanjutkan, pertanyaan pada kelompok kedua. Mereka menjawab, “Kami ini adalah tamu, dan posisi kami seperti mayit, jadi ketika tuan rumah menyilakan makan, kami harus makan, suka maupun tidak.”
Si pelayan semakin penasaran, lalu ia bertanya pada kelompok ketiga yang langsung menyantap makanan, tanpa dipersilakan lebih dulu. “Orang yang mengenal Allah (‘arif) melakukan semauNya.”
Si pelayan terpana mendapat jawaban ketiga kelompok undangan itu, sementara sang guru atau tuan rumah senyum-senyum saja.
Ini semua hanyalah ilustrasi mengenai adab dari para penempuh maupun sang arif, yang erat hubungannya dengan  soal mengambil atau mengulurkan tangan pada harta, makanan atau apa pun dari makhluk.