Dalam bahasa Arab, kata talfiq (التَّلْفِيقُ) berasal dari kata (لَفَّقَ – يُلَفِّقُ – تَلْفِيقاً) yang
berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Misalnya seperti ungkapan (لَفَّقْتُ الثَّوْبَ) yang
artinya, saya menggabungkan antara kedua ujung baju (pakaian/kain), satu dengan
yang lain, lalu menjahitnya. (Lisanul Arab 10-330-331). Dan pembahasan talfiq
yang akan dibahas di sini ialah, sebagaimana banyak diperbincangkan oleh para
ulama ushul dan fuqaha yang menyangkut masalah bertaklid kepada madzhab-madzhab
para imam mujtahid. Kami angkat berdasarkan kitab Ushul Al Fiqhi Al Islami,
karya Dr. Wahbah Az Zuhaili, Juz II, hlm. 1171-1181.
PENGERTIAN TALFIQ
Talfiq, yaitu mendatangkan suatu
cara (dalam ibadah atau mu’amalah) yang tidak pernah dinyatakan oleh ulama
mujtahid. Maksudnya, bertaklid kepada madzhab-madzhab serta mengambil
(menggabungkan) dua pendapat atau lebih dalam satu masalah, yang memiliki
rukun-rukun dan cabang-cabang, sehingga memunculkan suatu perkara gabungan
(rakitan) yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang pun (dari para imam
mujtahid)[1], tidak oleh imam yang dulu dia ikuti madzhabnya maupun imam
‘barunya’. Justru masing-masing imam tersebut menetapkan batilnya penggabungan
dalam ibadah tersebut.
Contoh, seseorang mentalak tiga
terhadap isterinya. Kemudian mantan isterinya menikah dengan anak laki-laki
berusia 9 tahun untuk tujuan tahlil (menghalalkan kembali pernikahan dengan
suaminya yang pertama, Pent.). Dalam hal ini, suami keduanya bertaklid kepada
madzhab Asy Syafi’i yang mengesahkan pernikahan seperti itu, kemudian ia
menggauli wanita tersebut dan lalu menceraikannya dengan bertaklid kepada
madzhab Imam Ahmad yang mengesahkan jenis talak seperti itu dan tanpa melalui
masa ‘iddah, sehingga suaminya yang pertama boleh menikahinya kembali.[2]
Syaikh Ali Ajhuri Asy Syafi’i
memberi komentar, bahwa (contoh) seperti itu dilarang pada masa kami, dan hal
itu tidak boleh serta tidak sah untuk diamalkan. Karena menurut madzhab Asy
Syafi’i, disyaratkan yang menikahkan anak kecil harus ayah atau kakeknya, dan
harus seorang yang adil, serta mesti ada kemaslahatan bagi anak tersebut dalam
pernikahannya. Kemudian yang menikahkan si wanita harus walinya yang adil
dengan dua saksi yang adil pula. Jika ada satu syarat tak terpenuhi, maka tidak
sah tahlil tersebut, karena pernikahannya tidak sah.
RUANG LINGKUP TALFIQ
Masalah talfiq sama halnya dengan
masalah taklid, ruang lingkupnya adalah dalam masalah-masalah ijtihadi [3] yang
bersifat zhanni (bukan merupakan perkara qathi’ atau pasti, Pent.). Adapun
setiap perkara yang ma’lum fiddin bidhdharurah (prinsipil) dalam agama ini,
berupa perkara-perkara yang disandarkan pada hukum syar’i (yang pasti), yang
telah disepakati oleh kaum muslimin dan pengingkarnya dihukumi kafir, maka
tidak boleh ada taklid apalagi membuat talfiq di dalamnya.
Atas dasar itu, maka tidak boleh
membuat talfiq yang dapat mengarah kepada pembolehan (penghalalan) perkara yang
diharamkan seperti khamr (miras) dan zina.
HUKUM TALFIQ
Talfiq Yang Diperbolehkan
Dalil bagi pendapat yang
menyatakan bahwa talfiq itu dilarang, adalah apa yang dinyatakan oleh ulama
ushul sebagai ijma’ yang melarang memunculkan pendapat ketiga, jika para ulama
berbeda pendapat menjadi dua kelompok mengenai hukum dalam suatu masalah. Jadi,
kebanyakan dari mereka menyatakan tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang
dapat melanggar wilayah kesepakatan.
Misalnya seperti masalah ‘iddah
bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam masalah ini ada dua
pendapat di kalangan ulama. Pertama, berpendapat bahwa‘iddahnya adalah (dengan)
melahirkan kandungannya. Kedua, berpendapat bahwa ‘iddahnya adalah masa ‘iddah
yang paling jauh dari dua masa ‘iddah [4] . Maka tidak boleh memunculkan
pendapat baru –misalnya- dengan menyatakan bahwa ‘iddahnya adalah hanya dengan
hitungan bulan (4 bulan 10 hari) saja.[5]
Untuk mengomentari (menyanggah)
klaim kebatilan talfiq ini, bisa melalui dua metoda. 1) Metode penolakan (al
man’u) atau peniadaan (an nafyu), 2) Metode penetapan lawannya (itsbatul
‘aks).[6]
1. Metode Penolakan atau Peniadaan.
Hal itu jelas, karena talfiq
dibangun di atas pemikiran taklid yang ditetapkan oleh ulama muta`akhirin
(generasi akhir) pada masa-masa kemunduran (umat Islam dalam berijtihad,
pent.).
Artinya talfiq ini belum dikenal
(tidak ada) di kalangan Salaf (pendahulu umat ini), tidak di masa Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidak pula di masa imam-imam
(setelah mereka) dan para muridnya. Adapun di masa Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam , maka tidak ada praktek talfiq sama sekali, karena masa itu merupakan
era penyampaian wahyu yang tidak memungkinkan adanya ijtihad.
Demikian pula di masa sahabat dan
tabi’in, tidak dikenal adanya talfiq di tengah-tengah mereka. Yang ada hanyalah
seseorang bertanya kepada ulama yang disukainya dari kalangan sahabat dan
tabi’in, lalu ia (yang ditanya) memberi fatwa kepadanya tanpa mengharuskan
berpegang dengan fatwanya, dan juga tanpa melarang orang (penanya) tersebut
dari mengamalkan fatwa selainnya, padahal ia mengetahui adanya perbedaan
pendapat yang banyak di antara mereka.
Begitu juga di masa para empat
imam atau ulama lainnya yang sudah masuk kategori ulama mujtahid, tidak ada
nukilan dari mereka tentang larangan beramal dengan madzhab selainnya. Bahkan masing-masing
saling mengikuti di belakang ulama yang lain, padahal setiap dari mereka
mengetahui perbedaan pendapatnya dengan yang lain dalam masalah ijtihadi yang
bersifat zhanni (tidak pasti). Maka hal ini menunjukkan bahwa –dahulu- orang
yang meminta fatwa, mengambil pendapat-pendapat para ulama dalam dua masalah
atau lebih, dan tidak dikatakan bahwa dia telah melakukan talfiq, atau telah
sampai pada suatu kondisi yang tidak pernah disebutkan oleh para pemberi fatwa.
Hal itu hanyalah terhitung sebagai bentuk saling bercampurnya pendapat-pendapat
para pemberi fatwa tersebut pada diri orang yang meminta fatwa tadi tanpa ada
kesengajaan (untuk mencampuradukkan antara pendapat satu dengan yang lain).
Sama halnya dengan saling bercampurnya bahasa-bahasa antara satu dengan yang lain
dalam bahasa Arab, misalnya.
Dan selebihnya, pendapat mereka
yang melarang perbuatan talfiq, dapat mengarah kepada larangan bertaklid, yang
pada dasarnya mereka sendiri mewajibkan taklid tersebut bagi orang-orang
awam[7], meskipun kebanyakan taklid itu bukan merupakan bentuk talfiq. Dan hal
ini bertentangan dengan prinsip yang berbunyi perbedaan pendapat para imam
adalah rahmat bagi umat [8] . Juga bertentangan dengan prinsip kemudahan dan
kelonggaran serta menghilangkan perkara yang memberatkan dan kondisi yang
menyulitkan, yang merupakan asas bangunan syari’at Islam.
2. Metode Penetapan Lawannya (Itsbatul ‘Aks).
Dengan anggapan membenarkan dan
menerima pendapat yang melarang talfiq, maka tampaklah dari ketetapan para
ulama itu, bahwa tidaklah ada keharusan berpegang kepada madzhab tertentu dalam
seluruh permasalahan, sebagaimana telah dijelaskan. Dan seseorang yang tidak
berpegang kepada madzhab tertentu, maka dibolehkan melakukan talfiq. Jika tidak
demikian, maka akan mengakibatkan kesimpulan pembatalan peribadahan orang-orang
awam, karena –pada kenyataannya- kita hampir tidak mendapati seorang yang awam
mengerjakan suatu ibadah yang benar-benar sesuai dengan madzhab tertentu.
Adapun persyaratan yang mereka sebutkan tentang keharusan memperhatikan
perbedaan dalam lintas madzhab, bila seseorang bertaqlid kepada satu madzhab
atau meninggalkan madzhabnya –yang terdahulu- dalam suatu masalah, maka hal ini
perkara yang menyulitkan, baik dalam masalah-masalah ibadah maupun mu’amalah.
Karena hal itu bertentangan dengan prinsip kelonggaran dan kemudahan syari’at
serta kecocokakannya dengan seluruh kemaslahatan manusia
Contohnya, seseorang yang
berwudhu dan mengusap kepalanya –dengan bertaqlid kepada madzhab Imam Asy
Syafi’i- maka wudhunya sah. Kemudian, apabila dia menyentuh kemaluannya setelah
itu dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah, maka shalatnya sah. Karena
wudhunya orang yang bertaklid ini sah menurut kesepakatan, hal itu disebabkan
bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah. Dan
seperti ini tidak dikatakan bahwa wudhunya tidak sah karena dianggap batal oleh
masing-masing dari dua madzhab tersebut; karena dua masalah tersebut terpisah
(antara satu dengan yang lain). Wudhu tersebut awalnya telah sempurna dengan
bertaklid kepada madzhab Asy Syafi’i, sampai kemudian menyentuh kemaluannya dan
dia meneruskan (tetap dalam keadaan memiliki wudhu) dengan bertaklid kepada
madzhab Abu Hanifah. Maka taklid kepada madzhab Abu Hanifah hanyalah sekedar
melanjutkan apa yang sudah sah, bukan pada permulaan ibadah.
Adapun klaim sebagian pengikut
madzhab Hanafi [9], bahwa telah ada ijma’ yang melarang melakukan talfiq, maka
bisa jadi cuma ditinjau dari kesepakatan para pengikut madzhab ini saja
(Hanafiah), atau mengacu kepada mayoritas ulama, atau berdasarkan apa yang
didengar, atau cuma prasangka (zhan) saja. Karena, jika masalah tersebut sudah
merupakan ijma’, seharusnya para fuqaha madzhab-madzhab lain pun akan
menjelaskan adanya ijma’ tersebut, tidak cukup hanya dengan diamnya mereka dan
kemungkinan saja. Dan tidak ada bukti terkuat yang menunjukkan secara jelas
perihal tidak adanya ijma’ yang melebihi keberadaan penentangan banyak ulama
muta`akhirin terhadapnya (larangan talfiq). [10]
Al Kamal bin Al Hammam dalam At
Tahrir –dan diikuti oleh muridnya Ibnu Amir Al Hajj [11]- menyatakan:
“Sesungguhnya seorang (awam) yang bertaklid dibolehkan untuk bertaklid kepada
siapa yang disukainya [12]. Dan jikalau seorang yang awam mengambil pendapat
mujtahid yang paling ringan baginya dalam setiap masalah, maka saya tidak
mengetahui ada dalil naqli maupun aqli yang melarangnya. Dan ketika seseorang
(awam) mencari-cari yang paling ringan baginya dari pendapat seorang mujtahid
–yang berhak berijtihad-, saya tidak mengetahui dari unsur syari’at ini yang
mencelanya, sementara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai sesuatu yang
meringankan umatnya".
Adapun kalau dua imam tersebut
sepakat mengenai batalnya amal pelaku talfiq, maka ini merupakan pendapat yang
tidak didukung oleh hujjah. Karena orang yang bertaklid tersebut tidaklah
bertaklid kepada keduanya dalam keseluruhan amal. Namun hanya bertaklid kepada
salah satu dari dua imam dalam masalah tertentu, yang dalam hal itu, dia tidak
bertaklid kepada yang lain, maka hal seperti ini tidak mengapa. Sedangkan
keseluruhan amal tidak ada seorang pun yang mengharuskan untuk menelitinya,
tidak dalam hal ijtihad maupun dalam hal taklid. Tetapi ini hanya merupakan
mengada-adakan satu hukum syari’at dari seseorang yang tidak berhak untuk
mengatakannya.
Ibnu Abidin menyampaikan
pernyataannya dalam Tanqih Al Hamidiyah yang intinya, bahwa dalam angan-angan
seorang mufti terdapat petunjuk tentang kebolehan hukum gabungan, dan Syaikh
Ath Thursusi juga membolehkannya, begitu pula ‘Allamah Abu As Su’ud memfatwakan
kebolehannya dalam fatwanya. Demikian juga ketetapan Ibnu Nujaim dalam
risalahnya yang berjudul Fi Bai’il Waqfi Bi Ghabnin Fahisys, bahwa menurutnya
pendapat dalam madzhab adalah kebolehan melakukan talfiq, sebagaimana juga yang
dinukil dari Al Fatawa Al Bazaziyah. Sedangkan Ibnu Arafah Al Maliki
membenarkan kebolehannya dalam Al Hasyiah ‘Ala Asy Syarh Al Kabir. Allamah Al
‘Adawi dan yang lainnya juga memfatwakan kebolehannya, karena itu merupakan
bentuk kelonggaran.[13]
Dan Jumhur ulama –di antaranya
sebagian ulama madzhab Syafi’iyah- berpendapat bahwa Ijma’ yang dinukil oleh
orang per orang –seperti yang diklaim untuk masalah ini- tidak harus diamalkan
(karena hakikatnya bukan ijma’, Pent.). Apalagi –dalam hal ini- mengklaim
adanya ijma’ dilarang. Karena kenyataannya para ulama terpercaya telah
menyebutkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, seperti Al Amir dan Al
Baijuri. Dan Asy Syafsyawani menyinggung tentang penggabungan suatu masalah
dari dua madzhab atau lebih dengan berkata: “Sesungguhnya para ahli ushul
berselisih pendapat dalam masalah ini, tetapi yang benar –menurut penelitian-
adalah dibolehkan (melakukan talfiq)".
Kesimpulannya:
Kesimpulannya:
Bahwa agama Allah itu mudah, tidak sulit, dan pendapat yang membolehkan talfiq termasuk dalam kategori memudahkan manusia (khususnya orang-orang awam, Pent.). Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي
الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [Al
Hajj : 78].
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ
يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفاً
Allah hendak memberikan
keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [An Nisa’: 28].
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ
الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [Al Baqarah : 185]. Dan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ
السَّمْحَةِ
Aku telah diutus dengan
(membawa agama Islam) yang lurus lagi mudah.[14]
Talfiq Yang Dilarang
Kebolehan melakukan talfiq ini
tidak bersifat mutlak, tetapi terbatas dalam ruang lingkup tertentu. Karena ada
bentuk talfiq yang serta merta batil menurut bentuknya, seperti bila talfiq
tersebut menjurus kepada penghalalan perkara-perkara yang diharamkan (secara
qath’i atau pasti) seperti khamr (miras), zina dan dll. Dan ada yang dilarang
bukan menurut dzatnya, tetapi karena ada sesuatu yang mencampurinya (sehingga
yang asalnya boleh, menjadi terlarang, Pent.). Jenis kedua ini ada tiga
macam.[15]
1. Menyengaja hanya mencari-cari
yang paling ringan (tatabbu’ ar rukhash).
Yaitu seseorang mengambil apa
yang paling ringan dari setiap madzhab, tanpa ada unsur keterpaksaan dan udzur
kuat. Hal ini terlarang demi menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha
pembebasan diri dari beban-beban syari’at. Al Ghazali berkata,"Tidak boleh
seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan seorang awam –juga-
tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab dalam
setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua masalah dengan tanpa ada
keterpaksaan, Pent.) …… ”. [16] Dan tentunya masuk ke dalam macam ini, yaitu
mencari-cari hukum yang paling ringan dengan seenaknya dan mengambil pendapat
yang lemah dari setiap madzhab demi mengikuti syahwat dan hawa nafsunya.
2. Talfiq yang mengakibatkan
penolakan hukum (ketetapan atau keputusan) hakim (pemerintah), karena
ketetapannya dapat menghilangkan perselisihan untuk mengantisipasi terjadinya
kekacauan.
3. Talfiq yang mengakibatkan
seseorang meninggalkan apa yang telah diamalkannya secara taklid, atau
meninggalkan perkara yang telah disepakati disebabkan oleh adanya perkara yang
ditaklidinya.
Contoh keadaan pertama. Kalau ada
seorang yang faqih (paham tentang agama) berkata kepada isterinya “Saya
mentalakmu selamanya” dan ia berpendapat bahwa -dengan lafadz seperti itu-
telah jatuh talak tiga, maka ia melaksanakan pendapatnya berkaitan antara
dirinya dan isterinya tersebut, dan ia berketetapan bahwa isterinya telah haram
baginya. Kemudian setelah itu dia berpendapat bahwa talaknya tersebut adalah
talak raj’i, namun ia tetap melaksanakan pendapatnya yang pertama yang telah
ditetapkan sebelumnya dan tidak mau mengembalikan isterinya (yang telah
ditalaknya) sebagai isterinya lagi dengan pendapat terbarunya itu. Hal ini
terlarang, karena dia masih menyisakan pendapat pertama, sementara itu dia
sudah mengambil pendapat kedua dalam masalah yang sama.
Contoh keadaan kedua. Jika
seorang laki-laki bertaklid kepada Imam Abu Hanifah dalam pendapatnya tentang
(sahnya) pernikahan tanpa wali (si wanita)[17], maka ‘aqad (pernikahan)
tersebut meluluskan pengesahan jatuhnya talak, karena hal itu satu konsekuensi
sahnya pernikahan menurut ijma’. Lalu, jika laki-laki tersebut menjatuhkan tiga
talak terhadap isterinya, kemudian dia ingin bertaklid kepada Imam Asy Syafi’i
yang berpendapat tidak ada talak yang jatuh, karena pernikahannya tersebut
tanpa wali (yang menurut beliau tidak sah, Pent.) [18], maka tidak boleh dia
melakukan –talfiq- seperti itu, karena dia meninggalkan taklidnya dalam perkara
wajib yang telah disepakati.[19]
Hal itu lebih ditujukan untuk
menjaga masalah nasab daripada mempertimbangkan aspek lainnya. Karena, jika
tidak begitu, maka akan menghasilkan konsekuensi bahwa hubungan yang telah
dilakukan (antara keduanya) adalah hubungan haram (zina) dan anak-anak yang
dilahirkan (dari hubungan tersebut) adalah anak-anak zina. Maka harus ditutup
setiap pintu yang dapat mengarahkan kepada upaya rekayasa (tahayul) seperti itu
dalam segala masalah yang besar, seperti masalah pernikahan atau dalam setiap
perkara yang menyudutkan agama sebagai obyek mainan atau merugikan manusia atau
kerusakan di atas muka bumi.
Adapun dalam urusan peribadahan
dan beban-beban syari’at yang tidak ada kesempitan untuk para hambaNya, maka
tidaklah dilarang melakukan talfiq, walaupun akan mengakibatkan ditinggalkannya
perkara yang telah diamalkan atau ditinggalkannya perkara wajib karena perkara
wajib lainnya berdasarkan ijma’, selama tidak menjurus kepada pembebasan diri
dari ikatan beban-beban syari’at, atau mengarah kepada penghapusan hikmah
ditetapkannya syari’at dengan cara mengikuti setiap hilah (rekayasa) yang dapat
merubah atau menghilangkan maksud syari’at.
HUKUM TALFIQ DALAM BEBAN-BEBAN SYARI’AT
(TAKALIF ASY SYAR'IYYAH)
Di atas telah dijelaskan bahwa
ruang lingkup talfiq hanyalah dalam perkara-perkara furu’ (cabang) yang
bersifat zhanni yang dibolehkan terjadi ijtihad, yaitu dalam perkara-perkara
yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Adapun berkaitan
dengan urusan aqidah, keimanan dan akhlak serta perkara-perkara yang prinsip
agama ini, maka tidak dapat dimasuki oleh talfiq. Karena tidak boleh ada taklid
padanya menurut kesepakatan ulama, juga bukan termasuk wilayah ijtihad yang
akan mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat –yang menjadi dasar bagi
taklid dan talfiq-.
Lantaran talfiq ini sangat
mungkin terjadi dalam masalah-masalah furu’, maka harus ada perincian mengenai
hukum masalah-masalah furu’ tersebut. Perkara-perkara furu’ dalam syari’at
terbagi menjadi tiga jenis.[20]
1. Perkara-perkara furu' yang
dibangun di atas prinsip kemudahan dan kelapangan dengan berbagai ragamnya yang
disebabkan beragamnya keadaan para mukallaf (orang yang dibebani syari’at).
2. Perkara-perkara furu' yang
dibangun di atas prinsip kehati-hatian dan mencari yang paling selamat.
3. Perkara-perkara furu' yang
berorientasi kemaslahatan dan kebahagiaan para hamba.
Jenis yang pertama, adalah
ibadah-ibadah mahdhah. Dibolehkan melakukan talfiq di dalamnya jika diperlukan,
karena dasarnya adalah melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan tunduk
kepadaNya dengan tanpa ada unsur kesempitan. Maka tidak boleh terjadi sikap
berlebihan dalam hal ini. Karena sikap berlebihan (melampaui batas) akan
menjerumuskan kepada kebinasaan.
Adapun ibadah-ibadah maliyah
(dengan harta), maka haruslah diperketat untuk kehati-hatian, karena
dikhawatirkan akan menelantarkan hak kaum fakir miskin. Oleh karena itu,
seseorang yang ingin menunaikan zakat tidak boleh mengambil pendapat yang lemah
atau menggabungkan pendapat dari setiap madzhab yang lebih tidak menjamin
keutuhan hak kaum fakir. Dalam masalah ini, seorang mufti (pemberi fatwa)
hendaknya mengeluarkan fatwa yang paling hati-hati (selamat) dan paling
kondusif, dengan tetap mempertimbangkan kondisi orang yang meminta fatwa
(mustafti) dan apakah dia termasuk orang-orang yang punya kepentingan (tertentu
mendesak) atau tidak.
Adapun jenis kedua, yaitu
kelompok perkara-perkara yang dilarang, yang bertumpu pada kehati-hatian
(ihtiyath) dan mengambil pendapat yang paling selamat (wara’) [21] (dengan
meninggalkan syubhat) sekuat mungkin. Karena Allah Azza wa Jalla tidaklah
melarang sesuatu, kecuali karena adanya madharat (bahaya). Maka tidak boleh
memberi kelonggaran atau melakukan talfiq dalam hal itu, kecuali dalam keadaan
darurat (terpaksa) menurut kacamata syari’at. Sebab kondisi darurat (terpaksa)
membolehkan (mengambil) yang dilarang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ
فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Apa yang kularang hendaklah kalian jauhi
(tinggalkan); dan apa yang kuperintahkan, maka hendaklah kalian kerjakan sekuat
kemampuan kalian.[22]
Dalam hadits di atas, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikat perintah dengan tingkat kemampuan,
sementara larangan dimutlakkan (tidak diikat), demi menolak madharat dari
perkara yang dilarang tersebut.
Adapun tidak bolehnya talfiq
dalam larangan-larangan itu, karena larangan-larang tersebut dibangun atas
dasar kehati-hatian dan mencari yang paling selamat. Hal itu bersandar kepada
hadits :
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
Tinggalkanlah apa yang meragukan bagimu
menuju apa yang tidak meragukan bagimu.[23]
Adapun larangan-larangan yang
berkaitan dengan hak-hak manusia, maka tidak boleh melakukan talfiq di
dalamnya. Karena hal itu berdasarkan asas menjaga hak serta mencegah gangguan
dan menganiaya (orang lain). Maka tidak boleh melakukan talfiq dalam hal
tersebut, karena merupakan bentuk rekayasa tipuan yang bertujuan menentang hak
orang dan merugikan mereka.
Sedangkan jenis ketiga, yaitu
jenis mu’amalah (interaksi antara manusia), hukuman pidana (hudud), menunaikan
kewajiban harta dan pernikahan.
Pernikahan dan hukum yang
integral dengannya, seperti mufaraqah (pemisahan hubungan antara suami isteri)
itu, landasannya adalah mewujudkan kebahagiaan suami-isteri dan anak-anak. Hal
ini dapat terealisasi dengan menjaga ikatan pernikahan tersebut dan terciptanya
kehidupan yang baik dalam keluarga, sebagaimana yang telah ditetapkan Al Qur`an
Al Karim :
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. [Al Baqarah : 229].
Jadi, setiap perkara yang
mendukung prinsip ini boleh diamalkan, meskipun dalam sebagian kasus akan
menyeret kepada perbuatan talfiq. Hanya saja, hendaknya talfiq tidak dijadikan
sebagai obyek permainan orang dalam urusan-urusan pernikahan dan talak, dengan
tetap memperhatikan kaidah syari’at, yaitu bahwa “hukum asal pernikahan atau
perkawinan adalah haram” [24] (kecuali yang memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan syari’at, Pent.), demi menjaga hak-hak kaum wanita dan keturunan.
Dan bila hal tersebut (mempermainkan hukum dalam pernikahan) di atas terjadi,
maka talfiq menjadi terlarang.
Adapun masalah mu’amalah,
menunaikan kewajiban harta, penegakan hudud (hukum pidana) dan perlindungan
darah (manusia) serta masalah lain yang serupa yang memperhatikan kemaslahatan
dan kebaikan bagi kehidupan manusia, maka wajib mengambil dari setiap madzhab,
pendapat yang paling mengutamakan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia,
kendatipun harus melakukan talfiq. Sebab pemilihan pendapat model itu akan
mencerminkan usaha untuk mendukung kemaslahatan yang diinginkan oleh syariat.
Ditambah lagi, karena kemaslahatan-kemaslahatan manusia berubah seiring dengan
perubahan zaman, adat kebiasaan dan perkembangan peradaban mereka. Dan batasan
maslahah adalah, setiap perkara yang menjamin perlindungan terhadap lima
prinsip dasar, yaitu penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta; serta
perlindungan terhadap setiap kebaikan yang dibidik oleh syari’at, baik melalui
Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’, yang lebih dikenal dengan mashalih mursalah
maqbulah (yang bisa diterima).
Kesimpulannya, batasan dibolehkan
atau tidaknya melakukan talfiq adalah, bahwa setiap perkara yang dapat
mengacaukan landasan-landasan syari’at dan dapat menghancurkan aturan dan
hikmahnya, maka hal itu dilarang, terutama kalau hal itu sekedar hiyal
(rekayasa belaka untuk melepaskan diri dari beban syari’at, Pent.). Sedangkan
segala sesuatu yang mendukung landasan, hikmah dan aturan syari’at untuk
membahagiakan manusia di dunia dan akhirat, dengan memfasilitasi kemudahan
kepada mereka dalam urusan peribadahan serta menjamin segala kemaslahatan untuk
mereka dalam urusan mu’amalah (interaksi antara mereka), maka hal itu
dibolehkan, bahkan merupakan tuntutan.
Sebagai tambahan, pemberlakuan
talfiq hanya dibolehkan saat dibutuhkan atau dalam kondisi darurat (terpaksa)
saja, bukan bertujuan untuk mempermainkan hukum agama atau mencari-cari
pendapat yang paling mudah dan ringan dengan sengaja tanpa ada maslahah yang
dilegalkan syariat. Dan lagi, itupun terbatas pada sebagian hukum peribadahan
dan mu’amalah yang bersifat ijtihadi (yang dibolehkan terjadinya perbedaan
pendapat) dan bukan bersifat qath’i (pasti). Wallahu A’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote
[1]. Hal
itu bila dalam satu masalah seseorang mengamalkan dua pendapat sekaligus atau
mengamalkan salah satunya dengan menyisakan pengaruh pendapat lainya.
[2].
Umdatut Tahqiq, hlm. 101.
[3].
Masalah ijtihadi yaitu masalah yang diperselisihkan, disebabkan oleh perbedaan
pemahaman dan cara pandang terhadap suatu dalil syar’i (dari Al Qur’an maupun
Sunnah) yang mengandung dua kemungkinan makna atau lebih (Pent.)
[4]. Yang
terjauh dari dua masa ‘iddah, yakni mana yang paling lama antara waktu 4 bulan
10 hari atau waktu melahirkan kandungan. (Pent.)
[5].
Sebenarnya ada perbedaan antara masalah memunculkan pendapat ketiga dengan
masalah talfiq. Pertama, karena pembahasan tentang memunculkan pendapat ketiga
bisa berlaku bila masalahnya sama, sedangkan talfiq ada dalam masalah yang
berbeda. Kedua, menurut pendapat yang terpilih, tidak ada kesepakatan dalam
masalah talfiq ini. Maka menggosok (anggota tubuh) dalam wudhu merupakan
masalah yang diperselisihkan di antara para imam, dan batalnya wudhu karena
menyentuh wanita merupakan masalah lain. Kedua masalah ini masing-masing
diperselisihkan, maka melakukan talfiq pada keduanya tidak merusak apa yang
menjadi kesepakatan. Jadi, qiyas (analogi) di atas ada perbedaannya (artinya
masalah tersebut tidak dapat diqiyaskan dengan yang lain karena ada perbedaan,
Pent.). (Lihat Abhats Al Mu’tamar Al Awwal Li Majma’ Al Buhuts, hlm. 95).
[6]. Lihat
pembahasan ini dalam kitab Umdatut Tahqiq Fi At Taqlid Wat Talfiq, hlm. 92-110,
dengan perubahan.
[7]. Yakni
dalam keadaan darurat (terpaksa) tatkala seseorang (terutama yang awam) tidak
mengetahui atau tidak memperoleh hujjah (dalil) dari Al Qur’an atau Sunnah
tentang suatu masalah. (Pent.)
[8].
Hadits yang berbunyi : اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ – “perselisihan
umatku adalah rahmat” adalah hadits palsu dan bahkan tidak memiliki asal dalam
hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lihat Dha’if Al Jami’ (no.
230), karya Syaikh Al Albani رحمه الله. Pent).
[9]. Lihat
catatan Al Mufti dalam Hasyiyah Ibnu Abidin (1/69 dan setelahnya), serta Al
Ihkam Fi Tamyiz Al Fatawa ‘An Al Ahkam, karya Al Qarafi, hlm. 250 dan
setelahnya.
[10]. Lihat Umdatut Tahqiq, hlm. 106 dan setelahnya.
[10]. Lihat Umdatut Tahqiq, hlm. 106 dan setelahnya.
[11]. At
Tahrir beserta syarahnya, 3/350 dan berikutnya.
[12]. Hal
itu jika ia betul-betul terpaksa karena tidak mengetahui dalil masalah
tersebut, Pent.
[13]. Hasyiyah Ad Dasuqi ‘Ala Asy Syarh Al Kabir, 1/20.
[13]. Hasyiyah Ad Dasuqi ‘Ala Asy Syarh Al Kabir, 1/20.
[14].
Lafadz penggalan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, dengan banyaknya
jalur periwayatan dan pendukungnya, dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no.
2924. Silahkan lihat takhirj hadits ini yang beliau jelaskan. (Pent.)
[15].
Lihat Umdatut Tahqiq, hlm. 121.
[16]. Al
Mustashfa (2/125).
[17].
Pendapat Imam Abu Hanifah dalam hal ini lemah, karena bertentangan dengan
hadits yang shahih : ((لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ)) Tidak sah nikah tanpa wali. (HR Ahmad, Abu
Dawud, At Tirmidzi, An Nasa-i, Ibnu Majah dan Al Hakim dari Abu Musa
Radhiyallahu 'anhu ; Diriwayatkan pula dari sahabat lain yaitu dari Ibnu Abbas
-رضي الله عنهما- Aisyah رضي الله عنها dan Imran bin
Hushain Radhiyallahu 'anhu. Lihat Shahih Al Jami’ no. 7555, 7556, 7557 dan
7558). (Pent.)
[18].
Karena talak tersebut terjadi bukan secara kebetulan, lalu ia ingin mengikat
akad baru dengan wanita tersebut.
[19].
Yakni bahwa pendapat yang menyatakan bahwa hal ini tidak boleh bukan karena
adanya talfiq saja, tetapi juga karena perihal meninggalkan pendapat yang telah
diikuti (dengan taklid) sebelumnya setelah mengamalkannya dengan masih
menyisakan pendapat lamanya tersebut (padahal dia telah mengambil pendapat lain
yang baru).
[20].
Umdatut Tahqiq, hlm. 127 dan berikutnya.
[21].
Wara’ yaitu menahan diri dari perkara-perkara meragukan (syubhat) karena
khawatir dan takut kepada Allah Azza wa Jalla, kemudian digunakan juga untuk
menahan diri dari yang hal mubah.
[22].
Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[23]. HR
Tirmidzi dan An Nasa-i dari Al Hasan bin Ali bin Abu Thalib, dan Tirmidzi
berkata: “Hadits hasan shahih.” Lihat Shahih Al Jami’, no. 3377 dan 3378.
[24]. Al
Asybah Wa An Nazhair, karya Ibnu Nujaim (1/98 dan berikutnya), Al Asybah oleh
As Suyuthi (67 dan berikutnya). Maksud kaidah tersebut ialah, wanita yang akan
dinikahi pada asalnya diharamkan bagi seorang laki-laki (sampai terjadi
pernikahan yang sah, Pent.). Masuk pula dalam hal ini, setiap cara untuk
menikmati wanita (yang diharamkan).