“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,” (Q.S: Ali Imran; 14)
Demikian pernyatan Al Quran atas sebuah fitrah yang mendasar (fundamental)
pada diri manusia, yakni kecintaan pada wanita. Demikian halnya sebaliknya,
wanita pun punya kecendrungan pada lawan jenisnya. Yang jelas fitrah tesebut
merupakan realitas yang tak terbantahkan oleh siapapun.
Bila kita amati kondisi
sosial di sekitar kita, terlihat sebuah fakta akan mudahnya akses pertemuan dua
jenis berbeda anak manusia, laki-laki dan wanita. Masing-masing dapat memandang
antara satu dengan yang lainnya. Moment ini akan dapat berlanjut pada babak
berikutnya. Bagi yang teguh prinsipnya, konsisten terhadap norma-norma agama,
akan membatasi diri sebagai langkah preventif dari hal-hal negatif yang
berkelanjutan teringat pesan agama.
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ [النور
: 30 ، 31]
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
perbuat". Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya,…”(Q.S: An Nur; 30-31)
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِعَلِىٍّ « يَا عَلِىُّ
لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الأُولَى وَلَيْسَتْ
لَكَ الآخِرَةُ ». (رواه ابى داود والترمذى وأحمد)
Rosulullah
berkata pada Ali: “Hai Ali !! janganlah kau perturutkan satu pandangan kepada
pandangan lain, karena sesungguhnya buatmu adalah yang pertama (tiba-tiba), dan
bukan yang berikutnya” (H.R: Abi Dawud, At Turmudzi, dan Ahmad)
Sedangkan bagi individu
yang terbuai dengan kesenangan nafsunya, maka dari perjumpaan tersebut akan
berlanjut pada tahapan-tahapan berikutnya. Antara lain; senyuman, sapaan, salam
dan bahkan sampai pada terciptanya jalinan atau hubungan khusus diluar
pernikahan (pacaran), sebagaimana dituturkan oleh Dr. Yusuf Qordhowi dalam
bukunya “al Halal wa al Haram”:
نَظْرَةٌ
فَابْتِسَامَةٌ فَسَلامٌ # فَكَلامٌ فَمَوْعِدٌ فَلِقَاءٌ
“Permulaannya pandangan, kemudian senyuman, lantas sapaan, berlanjut untaian
kata, janjian, dan akhirnya berbuah perjumpaan”
Sucinya Cinta
Kasih
Hubungan yang terjalin
diantara dua anak manusia dari jenis kelamin yang berbeda dalam ikatan pacaran
adalah satu fenomena yang melanda bagi remaja, bahkan orang tua sekalipun
(selingkuh), dan saat ini anak-anak kecilpun tidak ketinggalan. Berpacaran benar-benar
telah menggejala pada tunas-tunas bangsa tersebut (the next generation).
Bila kita renungkan, fenomena ini kurang lebihnya disebabkan oleh pengaruh
lingkungan, adanya tayangan atau berita media baik cetak maupun elektronik,
terutama televisi dengan tayangan-tayangan sinetron remaja yang kental, syarat
dengan aksi-aksi provokatifnya. Realitas semacam itu tidak bisa kita pungkiri
ataupun menutup mata darinya. Bila kita beranjak sebentar saja ke tempat-tempat
umum semisal; taman, tempat wisata/rekreasi dll. tempat kerja, gedung bioskop,
bahkan lembaga pendidikan sekalipun (mohon maaf), akan kita dapati fakta
tersebut.
Perlu diketahui dan
dimengerti, bawa sebuah fitrah yang terdapat pada diri manusia sebagaimana
lahirnya cinta kasih antar lawan jenis sebagai perwujudan (implementasi)
dari firman Allah diatas (Q.S: Ali Imran; 14), secara substansial tidaklah
dihalangi oleh Islam, karena itu merupakan fitrah manusia bahkan fitrah semua
makhluq hidup.
Cinta kasih sendiri bagi
manusia merupakan dorongan naluri sejak kecil dan menjadi kebutuhan setelah
dewasa, bersikap anti pati ataupun membendung perasan tersebut adalah sebuah
langkah yang akan sangat menyulitkan. Akan tetapi melepasnya tanpa kendali juga
dapat mengakibatkan timbulnya bahaya yang tidak kecil. Karena itu agama memberi
tuntunan jika ada yang bercinta kasih dengan lawan jenisnya, maka hendaklah
dimaksudkan untuk bertujuan menjalin ikatan yang resmi (halal) yakni
pernikahan, hidup berumah tangga.
Dan tentunya jika
masing-masing memang benar-benar memiliki cinta yang tulus, konsisten dengan
norma-norma agama, moral dan susila, maka tidak akan terjadi tidakan tindakan
negatif yang bertentangan dengan norma-norma tersebut, sebagaimana hamil di
luar nikah, bermesraan ditempat sepi atau ramai, sentuhan, ciuman dll. Nabi
Muhammad Shollallâhu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
قالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ». (رواه مسلم)
“Wahai para pemuda
kawinlah kamu jikalau telah mampu, karena nikah adalah paling mujarab dalam
menjaga pandangan (di hadapan kaum wanita) dan dalam menjaga kesucian. Dan yang
tidak bisa melaksanakannya (tidakmampu kawin) hendaklah berpuasa karena puasa
itu mengekang nafsu ” (H.R: Muslim)
Pacaran (Sebuah
definisi)
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kata pacar didefinisikan dengan: teman lawan jenis yang tetap
dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Bila demikian maka perlu
diketahui bahwa islam tidak menghalangi lahirnya cinta kasih antar lawan jenis
karena itu adalah fitrah manusia bahkan fitrah semua makhluq hidup, demikian
komentar Dr. Quraish Sihab atas definisi tersebut.
Kencendrungan
cinta kasih yang terdapat pada selain manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Dr.
Adnan Zurzur dkk. dalam buku “Nidzam al Usrah fi al Islam” hanya sebatas
menjaga kelangsungan (eksistensi) jenis populasinya (kelompoknya).
Sedangkan kecendrungan cinta kasih pada diri manusia, tersimpan hikmah yang
agung tidak hanya sebatas menjaga kelangsungan populasi manusia. Masing-masing
laki-laki dan wanita senantiasa memiliki kecendrungan pada lawan jenisnya,
dikarenakan pada diri mereka tersusun unsur-unsur yang dapat menyebabkan
timbulnya daya tarik dan simpatik, kecintaan pada lawan jenis.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala, menjadikan kecendrungan cinta kasih pada manusia untuk sebuah
tujuan yang sangat mulia, yaitu agar mereka menjadi komunitas yang maju (progresif,
madani) serta berperadaban. Ikatan yang terjalin antara pasangan suami
istri tidak cuma sebatas pelampiasan syahwat biologis (seksual), bahkan
terdapat ikatan batin serta rohani (spiritual) yang sungguh luar biasa. Subhanallah, Allah berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21) [الروم : 21]
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S: Ar Ruum; 21)
Namun benar-benar
memprihatinkan sekali, fenomena berpacaran yang melanda para remaja, anak-anak
dan orang dewasa lebih mengarah pada memperturutkan nafsu belaka. Mula-mula
diawali dengan yang ringan-ringan semisal; sendau gurau, kirim surat, pesan
singkat (SMS). Dan lama-kelamaan akan melangkah lebih intensif lagi seperti
berkencan, bermesraan di tempat sepi bahkan di keramaian sekalipun. Dan yang
paling menyedihkan lagi adalah puncak dari kesemuanya itu yakni perzinahan, Naudzubillah.
Tidakkah bola salju yang
terus menggelinding akan semakin cepat berputarnya dan semakin besar pula
bongkahannya? Kobaran api yang membara, yang melalap rumah-rumah warga desa
tadinya merupakan sepercik api kecil yang ditiup oleh angin. Demikian halnya
sepasang insan yang dibuai oleh keasyikan berpacaran, semakin sering bermesraan
semakin besar pula bahaya yang diakibatkan. Sebagaimana diungkapkan oleh
bait-bait syair berikut:
وَكَاذِبُ
الْفَجْرِ يَبْدُو قَبْلَ صَادِقِهِ# وَأَوَّل غَيْثٍ قَطْرَةٌ ثُمَّ يَنْسَكِبُ
وَكَـذَاكَ
عِشْقُ الْعَاشِقَيْنِ الهَوَى# بِالْمَزْحِ يَبْدُووَبِالْإِذْمَانِ يَلْتَهِبُ
“Fajar
kadzib muncul sebelum fajar shodiq, hujan deras awalnya adalah rintik-rintik
Demikian halnya
kerinduan orang yang dimabuk asmara, awalnya adalah gurauan yang berlanjut pada
kobaran api cinta. ”
Syech Ali at Thontowi
seorang penulis produktif sekaligus da'i yang masyhur, pernah menulis pesan
pada putrinya, yang selanjutnya beliau publikasikan dalam buku “Ya Binty wa
Ya Walady / kepada putra-putriku ”:
“Tidak akan ada seorang
pria melontarkan senyumanya kepadamu, berbicara dengan lembut dan merayu,
memberikan bantuan dan pelayanan kepadamu, kecuali akan ada maksud-maksud
tertentu. Setidak-tidaknya isyarat bagi dirinya bahwa itu adalah langkah awal.
Apa sesudah itu wahai putriku? Renungkanlah ! kalian berdua, bersama-sama
berkencan, menikmati kelezatan yang hanya sebentar kau rasakan ……… sesudah itu,
dia lupa dan pergi meninggalkan kamu. Dan engkau? …… sungguh akan merasakan
pahitnya dari pertemuan yang sebentar itu untuk selama-lamanya”.
Selanjutnya beliau menuliskan: “Coba anda renungkan, apakah pantas disamakan
lezatnya berhubungan yang sebentar rasanya itu dengan penderitaan-penderitaan
anda? Apakah pantas, harga kegadisan anda dibayar begitu murah dan penderitaan
anda setelah itu ditebus dengan harga begitu mahal”?....
Pacaran Dalam
Pandangan Pakar
Sebagian orang yang
berpacaran berargumentasi bahwa jalinan yang mereka ciptakan adalah bentuk
penjajakan guna mencari partner yang ideal dan serasi bagi masing-masing pihak.
Tapi dalam kenyataannya, masa penjajakan itu tidak lebih dimanfaatkan sebagai pengumbaran
nafsu syahwat semata, dan bukan bertujuan untuk secepatnya melaksanakan
pernikahan.
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim
al Jauziyyah (691-751 H = 1292-1350 M), seorang cendekiawan muslim sejati
disamping pula seorang pakar dengan multi disiplin ilmu, memaparkan pendapatnya
bahwa: “Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta.
Malah cinta diantara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan
bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta,
tidak boleh tidak akan timbul keinginan lain yang tidak diperoleh sebelumnya”.
Demikian pandangan Ibnu Qayyim tentang pacaran seperti dikutip oleh Abdurrahman
al Mukaffi dalam bukunya “Pacaran Dalam Kaca Mata Islam”.
Apapun bentuk dari hubungan
intim diluar ikatan pernikahan, dinilai agama sebagai jalinan yang yang
terlarang (haram). Meski sudah dilamar/pinang (khitbah)
sekalipun, hubungan resmi belum terwujud. Karena lamaran cuma sebatas
muqaddimah yang lebih bersifat pendahuluan dan pengenalan. Jadi, larangan-larangan
(keharaman) yang berlaku sebelum lamaran masih tetap berlaku setelahnya, hingga
benar-benar sudah ada ijab qobul (aqad nikah). Dalam prosesi lamaran yang
diperbolehkan hanya melihat wajah dan kedua telapak tangan. Ketentuan ini
sebagaimana termaktub dalam formulasi kitab-kitab Fiqih (yurispruden islam).
Pesan-Pesan
Agama
Berpacaran sebagaimana
disinggung oleh Abdurrahman al Mukaffi terdiri dari tiga tahapan:
ü Perjumpaan pertama
ü Pengungkapan diri
ü Dan pembuktian
Dan selama proses tersebut
berjalan, tentunya tidak sedikit hal-hal yang tidak sejalan (kontradiktif)
dalam arti diharamkan oleh agama, sehingga memperkuat dari keharaman
berpacaran. Dapat disebutkan di sini diantaranya adalah: memperturutkan hawa
nafsu (syahwat), pandangan yang diharamkan agama, sentuhan, bermesraan
di tempat sepi, perzinahan dll.
Ada baiknya kami sebutkan
dalam tulisan ini beberapa pesan agama (dalil-dalil), berupa ayat-ayat Al
Qur'an serta hadis Nabi yang kiranya dapat dijadikan bahan kajian serta
renungan, sehingga selanjutnya diamalkan (implementasi) dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga dapat menuntun kita kejalan yang lurus dan diridhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala , serta
menjadikan diri kita termasuk dari golongan hamba-hamba-Nya yang benar-benar
bertaqwa.
a.
Kecaman Allah Subhanahu Wa Ta'ala terhadap
orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya:
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ
عَلَيْهِ وَكِيلًا (43 أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ
هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا (44) [الفرقان : 43 ،44]
“Terangkanlah
kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka
apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?Atau apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang
ternak itu).”(Q.S. Al Furqan; 43-44)
a.
Larangan berzina serta
perbuatan-perbuatan yang dapat menghantarkan pada perzinahan:
ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk. ” (Q.S. Bani
Israil; 32)
a.
Perintah menjaga pandangan
dari hal-hal yang di haramkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
[النور : 30 ، 31]
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
perbuat". Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya,…… ”(Q.S. An Nuur; 30-31)
a.
Macam-macam perzinahan yang
dilarang agama:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ
لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ
وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ
ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ (رواه مسلم عن أبى هريرة)
“Telah
tertulis atas anak Adam bagiannya dari hal zina. Ia akan menemuinya dalam
hidupnya, dan tiada terhindarkan. Zina mata adalah melihat, zina telinga adalah
mendengar, zina lidah adalah berkata, zina tangan adalah menyentuh, zina kaki
adalah berjalan, zina hati adalah keinginan dan berangan-angan, dibenarkan hal
ini oleh kelaminnya atau di dustakannya.”(H.R. Muslim dari Abi Hurairah)
a.
Larangan berdua di tempat
yang sepi:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَمَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ، فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ
لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَان
“Rosulillah
Shollallâhu 'Alaihi wa Sallam bersabda:.dan barang siapa beriman kepada Allah
dan hari akhir, janganlah ia bersunyi sepi berduaan dengan wanita yang tidak
didampingi muhrimnya, sebab bila demikian setanlah yang menjadi pihak
ketiganya. ” (H.R. Ahmad)
Catatan akhir
Betapapun mengekspresikan
perasan cinta kasih dengan berpacaran seperti muda-mudi saat ini sangatlah
kontras dengan norma-norma agama. Dan hal ini bukan berarti bahwa agama tidak
merespon sama sekali terhadap kebutuhan cinta kasih yang menjadi fitrah manusia
tersebut, akan tetapi agama cukup bijak (hikmah) dalam mengambil sikap,
dan pernikahan adalah satu-satunya alternatif untuk mengakomodir fitrah cinta
kasih ini. Mengumbar nafsu syahwat dengan berpacaran adalah merupakan pilihan
yang tidak tepat bagi insan yang beragama dan berakal sempurna. Dikarenakan
dengan mengumbar nafsu tersebut berarti mengingkari nikmat aqal. Jadi, tepatlah
bila orang yang memperturutkan hawa nafsunya lebih hina dari pada binatang (al
Furqan,44). Topik tulisan ini memang cukup sensitif sekali, dan tiada
dimaksudkan untuk menyudutkan siapapun. Tetapi berangkat (inspirasi)
dari perintah untuk mengatakan kebenaran, saling nasehat menasehati dan
mengingatkan sesama muslim, maka kami goreskan tinta pena ini. Tidakkah agama
Islam adalah agama nasehat?? dan semua manusia dalam kerugian selain yang
beriman, berbuat baik (amal sholih) dan saling berwasiat atas kebenaran
dan kesabaran (al 'Ashr, 03) ??? Dewasa ini banyak sekali kemaksiyatan
disekitar kita yang kita biarkan begitu saja. Bahkan boleh jadi, kita tidak
mengerti kalau hal itu merupakan maksiyat. Hal ini kurang lebih disebabkan
lemahnya kecemburuan (ghirah) kita atas norma ataupun ajaran agama yang
kita miliki, disamping kurang intens dalam mempelajari, dan mengamalkannya (implementasi)
dalam kehidupan sehari-hari. Semoga tulisan ini bermanfa'at sebagai bahan
intropeksi (muhasabah) bersama, dan motifator untuk lebih mendalami
ajaran agama, amien. [Wallahu A'lam]